Sabtu, 29 Oktober 2016

Inilah Hidup... (sebuah pilihan bag akhir)

"Jika dimakan, Ayah mati. Jika tidak dimakan, Ibu yang mati. Siapa yang akan kalian pilih?"
Aku diam. Kulihat Ani juga tak bisa menjawab, sedang pacar Ani memang sedari tadi hanya diam saja.
"Inilah hidup, kita harus memilih meski pilihan itu sangat berat. Dan Nia, sudah memilih membela swaminya meski dia tahu swaminya yang salah."
"Tapi kan swaminya kasar, suka mendzolimi dia" protes Ani.
Kulihat Ori tersenyum sebelum akhirnya bicara lagi. "Mengatasi swaminya yang dzolim, bukan seperti ini caranya, bukan dengan jalan meng-ada-kan kamu di dalamnya. Mungkin dia tahu itu. Kamu tidak mau kan Ton menjadi kambing hitam yang dituduh ikut campur atau apalah itu namanya dalam urusan rumah tangga orang lain. Lihat, kamu seorang lelaki, dia wanita. Akan sangat mudah swaminya menuduhmu yang bukan-bukan jika terjadi apa-apa dengan mereka, walau aku tahu kamu niatnya untuk menolong. Biarkan dia menyelesaikan urusannya dahulu dengan swaminya tanpa campur tangan orang lain. Terutama seorang lelaki."
Seperti biasa, kalau Ori sudah bicara yang mengarah kebijakan, semua hanya bisa diam, bahkan tak jarang salah satu dari kami yang mendengarkan hanya biss melingo, seolah semua ucapannya tak bisa dicerna oleh kami semua. Terkadang selang berapa lama, setelah apa yang diucapkan itu terjadi nyata, kami baru tahu maksud dari kata-kata Ori yang pernah dia katakan kepada kami.
Terbukti setelah dua bulan aku dibebaskan oleh polisi dengan tangguhan Nia setelah kemarin sore datang ke kantor polisi.

Namun setelahnya, aku tak pernah bertemu lagi dengan dia, bagai ditelan bumi, bahkan kuhubungi lewat telepon atau bbm sudah tidak bisa lagi. Tidak mungkin aku datang ke rumah suaminya. Yang membuat aku lebih heran, sahabatku yang juga sahabatnya pun tak tahu di mana Nia. 
Hari kedua bebas, rasanya malas jika aku harus pergi ke kantor polisi lagi walau hanya untuk mengisi beberapa berkas yang harus kulengkapi. Tapi siapa sangka di sana aku melihat Damar, suami Nia dibawa oleh beberapa polisi dengan tangan terborgol. 
"Semoga kamu baik-baik saja, Nia." Doaku dalam hati.

Jumat, 28 Oktober 2016

Inilah Hidup... (sebuah pilihan bag.3)


"Tapi kenapa akhirnya ikut pulang dengan suaminya?"
"Dia nangis semaleman, Ton. Lalu kenapa kamu mau menolongnya saat itu?"
"Karena aku..." aku berhenti sejenak memikirkan kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan tadi. "Ya karena dia minta tolong." Lanjutku.
Mereka semua diam seperti bingung apa yang harus mereka katakan.
"Tapi ya sudahlah, jika dia tidak bisa membelaku, mungkin Tuhan yang akan membelaku, jika tidak, mungkin ini takdirku yang harus aku jalani."
"Ya tidak seperti itu juga, Ton?" Ucap Ori akhirnya bicara, seperti ingin menghiburku tapi tak tahu harus memilih kata apa yang tepat untuk menghiburku.
"Kenyataannya memang seperti ini kan? Bisa kalian lihat. Aku dipenjara karena membelanya, tapi dia justru membela suaminya yang selalu kasar dengannya."
"Aku juga tidak habis pikir dengannya, Ton. Kenapa dia bisa setega itu. Padahal kita semua sudah berteman sejak lama. Kamu juga begitu baik dengan dia..."
"Aku baik dengan semua temanku." Ucapku cepat.
"Tapi lebih dengan dia." Ucap Ani lagi.
"Ya sudah. Dia sedang mencoba untuk menjadi istri yang baik dan nurut dengan suaminya. Menang begitu sebaiknya seorang istri"
"Termasuk dengan suami yang dzolim seperti suaminya?"
Aku diam. Aku tak bisa menjawabnya. Hanya mencoba untuk tersenyum.
"Trus mengorbankan kamu dengan menjadikanmu sebagai tersangka pemukulan suaminya? Ini tidak adil, Ton." Lanjut Ani.
"Aku tidak apa-apa, Nik." Sahutku.
"Kamu kenapa jadi seolah-olah bijak sekali? Kamu ketularan bijaknya Ori ya?" Ucap Ani. "Dan kamu, Ori. Kenapa dari tadi hanya diam saja?" Lanjut Ani kepada Ori.
"Aku hanya sedang berpikir. Inilah hidup, kita tak akan pernah tahu dan menyangkanya. Dalam hidup, terkadang yang salah belum tentu sebenarnya salah, terkadang justru kita terpaksa membela yang salah demi satu alasan. Mungkin kalian tak mengerti betapa sulitnya berada di posisi Nia," Ori berhenti sejenak lalu berbicara lagi, "bagai makan buah simalakama."
Aku tak mengerti apa maksud dari kalimat terakhir Ori. Begitupun dengan Ani-sepertinya.
(bersambung lagi. Penulis lagi ngantuk)

Kamis, 27 Oktober 2016

Inilah Hidup... (sebuah pilihan bag.2)


"Oke, aku ikut pulang dengan kamu, mas." Ucapnya sambil membantu suaminya berdiri. Di depan mereka, aku hanya terdiam melihat dan tak bisa berpikir apa-apa. Sampai mereka pergi pun aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi baru saja.

Kamis sekitar pukul 10 pagi...
Kudengar suara pintu rumahku diketuk tiga kali. Aku bergegas membukanya karena kebetulan di rumah hanya ada aku sendiri. Kulihat dua petugas polisi berdiri di depan pintu dan satu petugas lagi kulihat berdiri di dekat mobil dinasnya.
Tebakanku benar ketika pikiranku melayang dan mendarat di sebuah film di layar tivi. Petugas datang membawa surat penangkapan. Tapi atas dasar apa aku akan ditangkap? Pikirku.
Kucoba membaca isi surat itu mencari tahu dasar atas penangkapanku. "Tapi, pak... ini..." ucapku setelah tahu pokok permasalahan yang tercantum di dalam surat yang kubawa.
"Nanti bisa dijelaskan di kantor saja" ucap salah satu polisi itu.
Ini benar-benar seperti adegan dalam film yang pernah aku lihat. Sekarang ini terjadi nyata menimpaku. Aku ikuti saja apa maunya dengan membawaku ke kantor polisi.
Sekitar pukul 12 siang, aku sudah meringkuk di dalam jeruji besi setelah sebelumnya aku sempat diinterogasi selama kurang lebih satu jam di sebuah ruangan. Ini juga seperti dalam film saja.
Aku hanya bisa pasrah setelah bukti-bukti visum diperlihatkan kepadaku. Aku berharap, istrinya mau membelaku dengan bicara apa yang sebenarnya terjadi. Karena aku yakin, aku tidak bersalah. Karena aku yakin, dia tahu, semua itu aku lakukan untuk membelanya. 
Tapi ternyata aku salah, dia sama sekali tak membelaku. Terlihat dari apa yang dia ucapkan saat dia dan suaminya melintas dan berhenti sejenak untuk melihatku. Kulihat suaminya tersenyum puas. Sedang kulihat dia sebelum menunduk sempat mengucap sesuatu dari bibirnya yang tak bersuara. Kata yang bisa aku tangkap adalah kata "maaf".

Minggu siang, dua minggu kemudian...
Aku dijenguk oleh kedua temanku, tapi sebenarnya total yang menjenguk aku adalah tiga orang. Mereka bilang, sebenarnya mereka sudah tahu kabar aku ditangkap seminggu yang lalu, tapi baru sempat menjengukku sekarang.
"Aku tidak habis pikir dengan Nia. Kenapa dia tega berbuat ini kepadamu. Sedangkan kamu hanya ingin membela dia dari suaminya, iya kan?" Ani mulai membuka pembicaraan. Sepertinya dia sudah mendapat cerita dari Nia tentang apa yang terjadi kepadanya.
"Sebenarnya ada apa dengan Nia?" Tanyaku mencari tahu.
"Seminggu yang lalu, Nia menelponku dan cerita banyak. Termasuk kamu yang ditahan di sini."
"Cerita apa?" Tanyaku penasaran karena sampai sekarang aku pun tak tahu apa yang sedang terjadi saat itu.
"Setelah menikah, suaminya terus mendzolimi dia. Suaminya kasar, sering marah-marah, bahkan tak jarang suaminya tega menampar dia. Dan waktu kejadian itu, saat kamu disuruh menjemputnya, dia sudah tak tahan lagi ingin pulang ke rumah orang tuanya, dan hanya kamu dalam pikirannya yang bisa dia mintai pertolongan."
(Bersambung, penulisnya lagi butuh kopi)

Rabu, 26 Oktober 2016

Inilah Hidup... (sebuah pilihan bag.1)

Selasa menjelang sore pukul 15:15...
Suara telpon berdering yang membuatku berhenti menulis sesaat untuk melihat sebuah nama yang tertera di layar telponku. Sebuah nama yang membuatku sedikit terkejut, ada apa? pikirku.  Pasalnya, tak pernah sekalipun dia menelponku, jika ada perlu, dia pasti mengirim sebuah pesan dalam chat, itu pun terakhir sekitar 5 bulan lalu. "Haloo" sapaku. Di seberang sana, langsung kudengar suara isak tangis, tanpa ada kata yang keluar darinya. "Kamu kenapa?" Lanjutku.
"Kamu bisa jemput aku, mas?" Ucapnya dengan suara yang masih bercampur tangis. "Kamu tahu rumah suamiku, kan? Aku tunggu ya."
Belum sempat aku mengucap kata, kudengar suara telpon pun berubah tut..tut..tut...
Aku pun bingung harus berbuat apa, terlebih bingung dengannya yang kenapa tiba2 menelponku dan memintaku untuk  menjemputnya, di rumah suaminya pula. Aku masih terdiam di depan laptopku, memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Menjemputnya? Sedang dia istri orang. Tidak menjemputnya? Tapi dia terdengar begitu minta tolong tadi.
Tuhan, maafkan aku. Aku harus menjemputnya sekarang juga. 
Kurang lebih 20 menit, aku hampir sampai di rumah suaminya. Hati semakin tak karuan. Beberapa meter dari rumah suaminya, aku sudah dihadang olehnya. Kulihat dia sangat terburu-buru untuk pergi dari sini. 
"Ayo cepat pergi, mas." ucapnya sambil menempati jok motor di belakangku. Aku tak lekas menurutinya, aku ingin sedikit penjelasan untuk bisa melakukan apa yang harus aku lakukan, namun dia terus merengek untuk cepat pergi dari sini. Masih dengan rasa bingung, aku turuti saja apa maunya. 
Aku mulai menjalankan sepeda motorku untuk meninggalkan tempat ini. 
Baru saja 500 meter berjalan, tiba-tiba suaminya menghentikan laju motornya tak jauh di depan motorku. Reflek aku pun menginjak rem dengan cepat agar tak menabraknya. 
Dia sudah turun dan berjalan menuju kami yang masih duduk di atas motorku. 
"Cepat turun!!" ucapnya keras. Kulihat pandanganya terus mengarah kepada istrinya. Seperti terhipnotis, seketika istrinya pun turun dari motorku. 
Dia mencoba menarik paksa istrinya untuk ikut dengannya,  pulang pastinya. Tapi kulihat istrinya terus meronta menolaknya. Aku hanya diam saja di atas motor sampai kudengar dia minta pertolongan kepadaku. Aku pun tergerak untuk turun mencoba berbicara pada suaminya. 
"Sudah jangan ikut campur, kau!!!". Belum sempat aku berkata, suara itu sudah keluar dari mulutnya. 
"Maaf, mas. Bukanya aku mau ikut campur, tapi aku tidak bisa diam saja jika ada wanita minta tolong kepadaku" ucapku dengan penuh hati-hati. 
"Tapi dia istriku!!!. Aku berhak untuk menyeretnya pulang," nadanya semakin tinggi.
"Tapi dia minta tolong, brati dia tidak mau, kan?" Ucapku yang sudah berdiri berhadapan dengannya. Jarak yang cukup dekat hingga kepalan tangannya dengan mudah bisa mendarat di pipiku. Aku masih mencoba sabar dengan berusaha bicara baik-baik dengannya. 
Tapi tidak untuk selanjutnya ketika kepalan tangannya melayang dan mampu aku hindari. Aku balas dengan pukulan tanganku berkali-kali tepat di wajahnya hingga dia jatuh tersungkur. Hampir saja aku menginjak kepalanya jika saja istrinya tidak menghalangiku. (bersambung...)

Selasa, 25 Oktober 2016

happy birthday


Lagu ini aku buat saat dia berulang tahun... hanya sebuah lagu ini yang bisa aku beri sebagai kado...

Minggu, 23 Oktober 2016

Malulah Kita


Mungkin,
Kita adalah orang-orang yang seharusnya malu
Bagaimana tidak?
Kita hanya menyebut nama-Nya kala terluka
Kita hanya meminta perlindungan kala disakiti
Lalu kita kemanakan Tuhan
Saat pacar kita mencium tepat di bibir kita?
Mungkin kita lupa Tuhan itu siapa

Kini,
Saat pacar kita berbalik mencium tepat di bibir yang lain
Seolah kita adalah yang patut dilindungi Tuhan
Dan mengutus Tuhan untuk membalasnya
Malulah kita

Jumat, 21 Oktober 2016

Aku Mencintaimu


Aku mencintaimu
Tak setipis selaput dara
Yang mudah robek berdarah

Aku mencintaimu
Tak setegang sang maha kontol
Yang mudah lemas lagi bak cendol

Aku mencintaimu
Tak seperti mereka
Yang mudah pergi setelah merdeka

Rabu, 19 Oktober 2016

Mata Itu...

Mata itu, mata-hari
yang menatapku tajam
membelah dada hingga jantung

Mata itu,
adalah kau yang tak pernah kosong

Minggu, 02 Oktober 2016

Untuk Apa?


Untuk apa aku menangis
Walau saatnya sudah tiba, untuk menangis
Untuk apa aku bersedih
Walau saatnya sudah tiba, untuk bersedih
Untuk apa aku sesali
Walau saatnya sudah tiba, untuk menyesali

Untuk apa aku menangisi yang telah pergi
Jika pertemuan dulu aku sambut dengan gembira
Untuk apa aku bersedih melihat yang telah berlalu
Jika kegembiraan dulu sudah kulumat habis
Untuk apa aku sesali yang telah terjadi
Jika awalnya aku sudah mengetahui

Bukahkah?
Tak ada pagi yang tak akan berganti malam
Tak ada malam yang tak akan berganti pagi
Semua pasti terjadi
Lalu untuk apa aku masih di sini

Kamis, 29 September 2016

Rindu Kepada Entah


Sungguh aku rindu kepada yang belum aku miliki, etah apa itu
Namun jelas yang aku rasakan
Aku merindukannya, saat ini

Selasa, 27 September 2016

Peri Kecil


Kepada peri kecil di sana
Ketika kau mengiyakanku
Apakah kau mampu bertahan?
Mengajari aku terbang kembali
Untuk terbang bersama

Sabtu, 24 September 2016

Tentang Hujan dan Aku


Hujan itu turun
Sedangkan aku jatuh
Hujan itu bernyanyi
Sedangkan aku menangis

Hujan itu, ada banyak kehangatan di balik dinginnya
Sedangkan aku tidak
Sama sekali tidak

Hujan yang senantiasa ditunggu para pendoa
Para pujangga yang menuliskan syairnya pada tiap rintiknya
Tapi lihat aku
Yang senantiasa dibuang tak dibutuhkan
Bahkan lebih menyakitkan

Aku takan bersedih
Membencinya pun tidak
Karna aku
Adalah sang awan mendung

Rabu, 06 April 2016

(dialogku bersama Tuhan)

mari sini Tuhan
mari kita bicara
tentang asa-asa yang berjatuhan
tentang bagaimana, hanyalah sebuah cara
     bagaimana aku tak mencintai-Mu
     jika terbaringku Kau jadikan cara
     bagaimana aku ak merindukan-Mu
     jika doaku saja sudah berbicara
maka mari sini Tuhan
jemput aku
berbincang lebih dalam dan perlahan
dari kamar sempit tempat terbaringku
     bukanya aku lelah dan menyerah
     bersama satu kata bismillah
     yang kugelar bersama sajadah
     aku memang merindu-Mu sudah

Sabtu, 02 April 2016

BULAN LURUH

malam yang syahdu berselimut kelambu
dan nyanyian angin meniup wewangian bunga
ada bulan yang luruh di pangkuan
bersamaan lantang kokok ayam jantan
tepat di tengahnya malam
dan bunga ilalang pun tertunduk resah
mengintip malu kepadanya
maka merahlah sudah awan-awan putih yang menggumpal

Kamis, 24 Maret 2016

ANTARA AKU, KAU DAN HUJAN

Ketika malam hujan turun lagi
Ada sebuah rindu yang bertanya
Kapan akan bertemu
Berbagi lagi sebuah rahasia
Antara aku, kau dan hujan
Seperti waktu dulu kita selalu
Kau bagi rahasiamu
Kubagi rahasiaku
Dan kita, melahirkan satu rahasia baru
Yang kita simpan tepat di celah hujan
Dan biarkan hanyut menjadi kenangan

Rabu, 09 Maret 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.7



Suara telepon genggam Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih telepon genggamnya yang tergeletak di kasur. Dilihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam panggilan ke telepon genggam Jingga. “halo Yu..” jawabnya sembari duduk di kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana saja to lama banget angkatnya” protes Ayu dalam telepon.
Dari suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima centimeter. “sorry sorry, lagi masak di dapur, ada apa pagi-pagi udah telepon?”
“hari ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
            “jam berapa?”
            “ntar siang jam satu ya”
            “wah kalo ntar siang aku ndak bisa, panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di gramedia”
            “kok malem sih?”
            “kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya iya deh”
“yes” ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu. “gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia berkata yang membuat Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya di kasur dan lari ke dapur.
            “halo halo Jingga” suara Ayu masih terdengar memanggil-manggil Jingga dalam telepon.
            Sampai di dapur ia menggumam sendiri ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?” tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
            “iya, tadi ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
            “makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti bisa di telepon balik kan atau kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana nduk?”
            “iya bu besok ndak gitu lagi” ucap Jingga merasa bersalah.
            “ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan terpaksa tetap membuka usaha menjahit di rumah.
ӝӝӝӝӝ

Siang yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas  fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa menyegarkan di siang itu.
   Di bawah matahari dengan langkah sedikit gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka kamu Ar?”
            “iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang dengan istirahat.
            Berpayung langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari, membuat semua begitu damai terasa. Ia  terduduk sendiri di atas gundukan pasir di bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
            Lalu tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang bernama Dewi Kecil.
            Hari sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir hilang di atas birunya air laut. Tidak ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
            Arya teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.

Senin, 07 Maret 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.6



         Hari itu adalah hari yang tidak disangka-sangka bagi meraka, setelah sekian lama terpisah tanpa komunikasi lagi akhirnya bertemu lagi di kota ini, di kampus yang sama pula. Seakan teman yang hilang telah kembali lagi.
            “gimana ni kabar teman-teman SMP sejak gua pindah?”
             “wah tenang banget” wajahnya seperti lega “pokoknya damai, tentram, nggak ada keributan lagi” ucapnya tersenyum menyindir Dimas yang dijuluki sebagai trouble maker di sekolahnanya.
            “sial lo. lo kata gua biang keributan?” Dimas menyangkal.
            “ya begitulah kira-kira” Arya tersenyum lagi.
            “iya iya deh” Dimas agak sinis mengakui “o ya gimana bu Wati sekarang?
            ”bu Wati yang gendut  itu? Terakhir liat dia masih aja gendut. o ya lo paling suka kan ngerjain dia?”
            Dimas tertawa lebar mengingat saat-saat masih SMP, saat tiap hari selalu mengerjain bu Wati wali kelasnya itu. Bagi dia tiada hari tanpa mengerjain bu Wati yang galak, hingga tidak terhitung lagi sudah berapa kali Dimas kena hukuman dari bu Wati mulai dari lari keliling lapangan, ngepel kamar mandi atau berdiri di depan kelas dengan kaki kiri dilipat keatas dan tangan kanan memegang telinga kiri, tapi tetap saja dia tak jera untuk mengerjai bu Wati. “gatel tangan gua kalo nggak ngerjain dia” Dimas melanjutkan tertawanya membuat Arya juga ikut tertawa kecil. “o ya trus gimana tu si, emm siapa tu namanya yang lo taksir dulu?” Dimas melanjutkan.
            “Devi”
            “iya si Devi, bukannya waktu gua mau pindah lo punya rencana buat nembak dia?”
             Arya tak menjawab, malah sinar wajahnya tiba-tiba mendadak perlahan meredup mendengar pertanyaan Dimas tentang masalalu itu, tentang kejadian yang membuatnya malu yang tidak terlupakan sampai ia beranjak dewasa.
            “kenapa lo Ar?” Dimas yang sadar dengan perubahan di wajah Arya. “ada yang salah ya ma pertanyaan gua?” Dimas yang sibuk menyetir menoleh sekali lagi ke arah Arya yang masih terdiam dari tadi “gua tau ni, pasti ditolak kan?” ucap sok tahu Dimas dan akhirnya tertawa keras walau tak tahu itu benar atau salah.
            Arya dengan wajah murungnya terpaksa menjawab pertanyaan itu. “sebenernya gua belum sempet nembak dia Dim, waktu itu gua…” Arya berhenti bicara sejenak
            “kenapa Ar?” Tanya Dimas mulai penasaran.
            “waktu itu gua…” dan pikirannya melayang kembali ke masa itu.
            “Aryaa!!!” panggil bu Wati. “sedang sibuk nulis apa kamu?” bentak bu Wati yang merasa Arya cuekin ketika sedang menjelaskan pelajarannya.
             tidak nulis apa-apa kok bu” jawabnya gemetar sambil ia tutup perlahan buku di depannya itu.
             “ibu perhatikan tadi kamu asik nulis sesuatu waktu ibu menerangkan, sini coba lihat?” ibu Wati mendekatinya dengan wajah garang yang menbuat Arya semakin gemetar ketakutan dan mengambil buku tulis di depannya. Ia  mulai takut bercampur malu kalau puisi itu sampai dibaca depan teman-teman.
            “apa ini Arya?” tanya bu Wati dengan nada marah setelah melihat tulisan itu. “sini maju kedepan”
            Dengan gugup ia melangkah berjalan kedepan dengan kepala menunduk dan berhenti tepat disamping bu Wati.
            “cepat kamu baca ini di depan teman-teman kamu” bu Wati memberikan buku itu kepadanya.
            Dengan keadaan masih tertunduk ia mencoba melirik ke arah teman-teman yang terdiam, mungkin juga takut melihat bu Wati yang sedang marah kepadanya.
Dengan terbata-bata ia mulai membaca tulisannya sendiri di buku itu. Baru saja bebera bait ia baca, satu demi satu teman-temannya mulai melepaskan tawanya karena sudah tak tahan untuk menahan tawanya setelah  mendengar puisi yang ia bacakan di depan kelas. Dalam beberapa menit saja, semua yang ada di kelas akhirnya tertawa keras menertawainya, mereka sudah tak perduli dengan wajah bu Wati yang masih garang seperti macan ingin menangkap mangsanya.
“hahahaha…” tawa lepas Dimas juga menertawainya yang sedari tadi mendengarkan cerita Arya.untung gua nggak ada disana, coba kalo ada, gua anak yang paling keras ketawa” Dimas masih meneruskan tawanya dan semakin keras dari sebelumnya, seakan itu adalah lelucon paling lucu dalam hidupnya. “lucu..lucu”
            “lucu apanya?” tanya Arya yang wajah bertolak belakang dengan wajah Dimas.
            “lucu aja, ada anak SMP mau nembak cewek pake puisi. lo kira anak SMP bisa klepek-klepek cuma dengan puisi? yang ada malah muntah kali Ar. malu-maluin aja lo” Dimas masih saja tak berhenti tertawa. “lagian lo tu ada-ada aja ya, nembak cewek pake puisi, cemen banget tau, nggak gentle, lebay, kemayu kata orang jawa”
             “udah deh jangan tertawa mulu. suatu saat lo yang ngalamin kayak gitu, baru tau rasa lo”
            “apa?” Dimas seolah-olah kaget “gua nembak cewek pake puisi? sorry ya, anti, nggak bakalan Ar” dengan wajah sombong seakan-akan tak akan pernah terjadi “gua masih punya harga diri buat nggak nglakuin hal yang malu-maluin kayak gitu”.
            “liat aja ntar, kalo itu terjadi, gua yang akan tertawa paling keras di depan lo” ucapnya seperti mendoakan hal itu akan terjadi kelak.
            “oke kita liat aja ntar” dengan nada optimis tak akan pernah terjadi.
            Mereka terdiam sesaat dan sampailah mereka di depan halaman rumah Dimas.
            “turun yuk” ajak Dimas.