Rabu, 09 Maret 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.7



Suara telepon genggam Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih telepon genggamnya yang tergeletak di kasur. Dilihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam panggilan ke telepon genggam Jingga. “halo Yu..” jawabnya sembari duduk di kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana saja to lama banget angkatnya” protes Ayu dalam telepon.
Dari suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima centimeter. “sorry sorry, lagi masak di dapur, ada apa pagi-pagi udah telepon?”
“hari ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
            “jam berapa?”
            “ntar siang jam satu ya”
            “wah kalo ntar siang aku ndak bisa, panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di gramedia”
            “kok malem sih?”
            “kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya iya deh”
“yes” ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu. “gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia berkata yang membuat Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya di kasur dan lari ke dapur.
            “halo halo Jingga” suara Ayu masih terdengar memanggil-manggil Jingga dalam telepon.
            Sampai di dapur ia menggumam sendiri ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?” tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
            “iya, tadi ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
            “makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti bisa di telepon balik kan atau kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana nduk?”
            “iya bu besok ndak gitu lagi” ucap Jingga merasa bersalah.
            “ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan terpaksa tetap membuka usaha menjahit di rumah.
ӝӝӝӝӝ

Siang yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas  fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa menyegarkan di siang itu.
   Di bawah matahari dengan langkah sedikit gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka kamu Ar?”
            “iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang dengan istirahat.
            Berpayung langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari, membuat semua begitu damai terasa. Ia  terduduk sendiri di atas gundukan pasir di bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
            Lalu tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang bernama Dewi Kecil.
            Hari sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir hilang di atas birunya air laut. Tidak ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
            Arya teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar