Rabu, 26 Oktober 2016

Inilah Hidup... (sebuah pilihan bag.1)

Selasa menjelang sore pukul 15:15...
Suara telpon berdering yang membuatku berhenti menulis sesaat untuk melihat sebuah nama yang tertera di layar telponku. Sebuah nama yang membuatku sedikit terkejut, ada apa? pikirku.  Pasalnya, tak pernah sekalipun dia menelponku, jika ada perlu, dia pasti mengirim sebuah pesan dalam chat, itu pun terakhir sekitar 5 bulan lalu. "Haloo" sapaku. Di seberang sana, langsung kudengar suara isak tangis, tanpa ada kata yang keluar darinya. "Kamu kenapa?" Lanjutku.
"Kamu bisa jemput aku, mas?" Ucapnya dengan suara yang masih bercampur tangis. "Kamu tahu rumah suamiku, kan? Aku tunggu ya."
Belum sempat aku mengucap kata, kudengar suara telpon pun berubah tut..tut..tut...
Aku pun bingung harus berbuat apa, terlebih bingung dengannya yang kenapa tiba2 menelponku dan memintaku untuk  menjemputnya, di rumah suaminya pula. Aku masih terdiam di depan laptopku, memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Menjemputnya? Sedang dia istri orang. Tidak menjemputnya? Tapi dia terdengar begitu minta tolong tadi.
Tuhan, maafkan aku. Aku harus menjemputnya sekarang juga. 
Kurang lebih 20 menit, aku hampir sampai di rumah suaminya. Hati semakin tak karuan. Beberapa meter dari rumah suaminya, aku sudah dihadang olehnya. Kulihat dia sangat terburu-buru untuk pergi dari sini. 
"Ayo cepat pergi, mas." ucapnya sambil menempati jok motor di belakangku. Aku tak lekas menurutinya, aku ingin sedikit penjelasan untuk bisa melakukan apa yang harus aku lakukan, namun dia terus merengek untuk cepat pergi dari sini. Masih dengan rasa bingung, aku turuti saja apa maunya. 
Aku mulai menjalankan sepeda motorku untuk meninggalkan tempat ini. 
Baru saja 500 meter berjalan, tiba-tiba suaminya menghentikan laju motornya tak jauh di depan motorku. Reflek aku pun menginjak rem dengan cepat agar tak menabraknya. 
Dia sudah turun dan berjalan menuju kami yang masih duduk di atas motorku. 
"Cepat turun!!" ucapnya keras. Kulihat pandanganya terus mengarah kepada istrinya. Seperti terhipnotis, seketika istrinya pun turun dari motorku. 
Dia mencoba menarik paksa istrinya untuk ikut dengannya,  pulang pastinya. Tapi kulihat istrinya terus meronta menolaknya. Aku hanya diam saja di atas motor sampai kudengar dia minta pertolongan kepadaku. Aku pun tergerak untuk turun mencoba berbicara pada suaminya. 
"Sudah jangan ikut campur, kau!!!". Belum sempat aku berkata, suara itu sudah keluar dari mulutnya. 
"Maaf, mas. Bukanya aku mau ikut campur, tapi aku tidak bisa diam saja jika ada wanita minta tolong kepadaku" ucapku dengan penuh hati-hati. 
"Tapi dia istriku!!!. Aku berhak untuk menyeretnya pulang," nadanya semakin tinggi.
"Tapi dia minta tolong, brati dia tidak mau, kan?" Ucapku yang sudah berdiri berhadapan dengannya. Jarak yang cukup dekat hingga kepalan tangannya dengan mudah bisa mendarat di pipiku. Aku masih mencoba sabar dengan berusaha bicara baik-baik dengannya. 
Tapi tidak untuk selanjutnya ketika kepalan tangannya melayang dan mampu aku hindari. Aku balas dengan pukulan tanganku berkali-kali tepat di wajahnya hingga dia jatuh tersungkur. Hampir saja aku menginjak kepalanya jika saja istrinya tidak menghalangiku. (bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar