Hari
itu adalah hari yang tidak disangka-sangka bagi
meraka, setelah sekian lama terpisah tanpa komunikasi lagi akhirnya bertemu
lagi di kota ini,
di kampus yang sama pula. Seakan teman yang hilang telah kembali lagi.
“gimana ni kabar teman-teman SMP sejak
gua pindah?”
“wah
tenang banget” wajahnya seperti lega “pokoknya damai, tentram, nggak ada keributan lagi”
ucapnya tersenyum menyindir Dimas yang dijuluki sebagai trouble maker di
sekolahnanya.
“sial lo. lo kata gua biang keributan?”
Dimas menyangkal.
“ya begitulah kira-kira” Arya tersenyum
lagi.
“iya iya deh” Dimas agak sinis
mengakui “o ya gimana bu Wati sekarang?”
”bu Wati yang gendut itu? Terakhir liat dia masih aja gendut. o ya lo paling suka kan
ngerjain dia?”
Dimas
tertawa lebar mengingat saat-saat masih SMP, saat tiap hari selalu mengerjain
bu Wati wali kelasnya itu. Bagi dia tiada hari tanpa mengerjain bu Wati yang
galak, hingga tidak
terhitung lagi sudah berapa kali Dimas kena hukuman dari bu Wati mulai dari lari
keliling lapangan, ngepel kamar mandi atau berdiri di depan kelas dengan kaki
kiri dilipat keatas dan tangan kanan memegang telinga kiri, tapi tetap saja dia
tak jera untuk mengerjai bu Wati. “gatel tangan gua kalo nggak ngerjain dia” Dimas
melanjutkan tertawanya membuat Arya juga ikut tertawa kecil. “o ya trus gimana
tu si, emm siapa tu namanya yang lo taksir dulu?” Dimas melanjutkan.
“Devi”
“iya si Devi, bukannya waktu gua mau
pindah lo punya rencana buat nembak dia?”
Arya tak menjawab, malah sinar wajahnya
tiba-tiba mendadak perlahan meredup mendengar pertanyaan Dimas tentang masalalu
itu, tentang kejadian yang membuatnya malu yang tidak terlupakan sampai ia beranjak dewasa.
“kenapa lo Ar?” Dimas yang sadar dengan
perubahan di wajah Arya. “ada yang salah ya ma pertanyaan gua?” Dimas yang
sibuk menyetir menoleh sekali lagi ke arah Arya yang masih terdiam dari tadi “gua tau ni, pasti ditolak kan?”
ucap sok tahu Dimas dan akhirnya tertawa keras walau tak tahu itu benar atau
salah.
Arya
dengan wajah murungnya terpaksa menjawab pertanyaan itu. “sebenernya gua belum
sempet nembak dia Dim, waktu itu gua…” Arya berhenti bicara sejenak
“kenapa Ar?” Tanya Dimas mulai
penasaran.
“waktu itu gua…” dan pikirannya melayang kembali ke masa itu.
“Aryaa!!!” panggil bu Wati. “sedang sibuk nulis
apa kamu?” bentak bu Wati yang
merasa Arya cuekin ketika sedang menjelaskan pelajarannya.
“tidak nulis apa-apa kok bu”
jawabnya gemetar sambil ia tutup perlahan buku di depannya itu.
“ibu
perhatikan tadi kamu asik nulis sesuatu waktu ibu menerangkan, sini coba lihat?” ibu Wati mendekatinya
dengan wajah garang yang menbuat Arya semakin gemetar ketakutan dan mengambil
buku tulis di depannya. Ia mulai takut
bercampur malu kalau puisi itu sampai dibaca depan teman-teman.
“apa ini Arya?” tanya bu Wati dengan
nada marah setelah melihat tulisan itu. “sini maju kedepan”
Dengan gugup ia melangkah
berjalan kedepan dengan kepala menunduk dan berhenti tepat disamping bu Wati.
“cepat kamu baca ini di depan
teman-teman kamu” bu Wati memberikan buku itu kepadanya.
Dengan
keadaan masih tertunduk ia mencoba melirik ke arah teman-teman yang terdiam,
mungkin juga takut melihat bu Wati yang sedang marah kepadanya.
Dengan
terbata-bata ia mulai membaca tulisannya sendiri di buku itu. Baru saja bebera
bait ia baca, satu demi satu teman-temannya mulai melepaskan tawanya karena
sudah tak tahan untuk menahan tawanya setelah
mendengar puisi yang ia bacakan di depan kelas. Dalam beberapa menit
saja, semua yang ada di kelas akhirnya
tertawa keras menertawainya, mereka sudah tak perduli dengan wajah bu Wati yang
masih garang seperti macan ingin menangkap mangsanya.
“hahahaha…”
tawa lepas Dimas juga menertawainya yang sedari tadi mendengarkan cerita Arya. “untung gua nggak ada disana, coba kalo ada, gua anak yang paling
keras ketawa” Dimas masih meneruskan tawanya dan semakin keras dari sebelumnya,
seakan itu adalah lelucon paling lucu dalam hidupnya. “lucu..lucu”
“lucu apanya?” tanya Arya yang wajah
bertolak belakang dengan wajah Dimas.
“lucu aja, ada anak SMP mau nembak
cewek pake puisi. lo
kira anak SMP bisa klepek-klepek cuma dengan puisi? yang ada malah muntah
kali Ar. malu-maluin
aja lo” Dimas masih saja tak
berhenti tertawa. “lagian lo
tu ada-ada aja ya, nembak
cewek pake puisi, cemen
banget tau, nggak gentle, lebay, kemayu
kata orang jawa”
“udah
deh jangan tertawa mulu. suatu
saat lo yang ngalamin kayak gitu, baru
tau rasa lo”
“apa?” Dimas seolah-olah kaget “gua
nembak cewek pake puisi? sorry
ya, anti, nggak
bakalan Ar” dengan wajah sombong seakan-akan tak akan pernah terjadi “gua masih
punya harga diri buat nggak nglakuin
hal yang malu-maluin kayak gitu”.
“liat aja ntar, kalo itu terjadi, gua
yang akan tertawa paling keras di depan lo” ucapnya seperti mendoakan hal itu
akan terjadi kelak.
“oke kita liat aja ntar” dengan nada
optimis tak akan pernah terjadi.
Mereka
terdiam sesaat dan sampailah mereka di depan halaman rumah Dimas.
“turun yuk” ajak Dimas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar