Beberapa bulan kuliah di tempat yang baru, tidak banyak yang Arya kenal, selain sepupunya sendiri, Heru. Hingga suatu hari di sebuah koridor kampus, ia melihat sesosok lelaki yang tidak asing baginya. Lelaki itu sedang asik berbincang dengan beberapa wanita cantik. “Kok, kayak Dimas, ya?” Arya bertanya pada dirinya sendiri sembari mencoba mengingat-ingat.
Dalam ingatannya, dulu memang Dimas sempat bilang kalau dirinya akan pindah ke kota Jogjakarta, tempat di mana ayahnya di tugaskan. Waktu itu memang mereka masih SD. Sejak kepindahan Dimas, mereka memang tidak pernah saling bertemu dan komunikasi lagi.
Arya mulai yakin ketika ia mendengar salah satu wanita itu memanggil nama “Dimas”. Arya mencoba menghampiri Dimas yang entah masih ingat dengannya atau tidak. Dengan sedikit ragu, Arya mencoba untuk menyapanya.
“Dimas?” panggil Arya.
Dimas hanya menoleh heran dengan lelaki yang baru saja memanggil namanya.
“Lo beneran Dimas, kan?” tanya Arya.
“Iya. Sorry, lo siapa, ya?” tanya Dimas dengan penuh penasaran mengapa ada orang yang bertanya dengan logat Jakarta yang masih kental.
“Gua Arya. Temen lo waktu SD. Inget, nggak?”
“Arya?” Dimas mengerutkan dahinya mencoba keras mengingat nama itu.
“Ingat?”
“Bentar,” ucap Dimas melihat wajah lelaki yang di depannya penuh dengan seksama. “Maksud lo, Arya si culun itu? Arya yang pake kaca mata itu?” setelah Dimas merasa mengingat sosok itu.
“Yup, benar!” jawab Arya singkat dan tersenyum.
“Bentar, dulu. Kenapa lo bisa di sini?” ucap Dimas yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Terlebih lagi karena penampilan Arya begitu berbeda dengan yang terakhir ia lihat.
“Gua di sini kuliah, lah! Bukan cari cewek!”
“Kuliah di sini? Yang bener? Kok kita baru ketemu, ya?”
“Gua baru saja pindah ke sini.”
“Kenapa?”
“Pengen aja kuliah di Jogja.”
“Oh!”
“Kami pergi dulu ya, Dim?” ucap cewek-cewek centil yang sudah merasa dicuekin oleh Dimas.
“Oke, deh!”
“Dadaagh, Dimas!” ucap mereka serempak dengan nada manja.
“Centil banget mereka sama lo, Dim? Lo pakai pelet apa?” tanya Arya.
“Sorry, gua nggak level pakai pelet. Sudah lupain saja. Ini rencananya lo mau kemana?”
“Mau pulang.”
“Kalau gitu mampir ke rumah gua dulu, yuk?”
“Oke, deh!”
Dan mereka berjalan menuju di mana mobil Dimas diparkirkan. Setelah sebelumnya Arya memberi tahu Heru lewat telpon untuk meninggalkannya saja karena dirinya sudah mendapat tumpangan dari Dimas.
“Ini mobil lo, Dim?” ucap Arya setelah melihat mobil Dimas di parkiran. “Oh, jadi ini pelet yang lo gunakan. Pantesan!” lanjut Arya.
Sebuah mobil Honda Jazz putih dengan modifikasi dan Air Brush yang elegan terparkir mentereng di antara mobil-mobil yang lain. Jelas cewek mana yang tidak akan tertarik dengan Dimas, pikir Arya.
“Ya jelas lah, Dimas!” ucap Dimas dengan nada sombongnya.
“Ternyata sombong lo dari kecil nggak hilang-hilang, ya?”
Dan Dimas hanya tersenyum saja mendengar apa yang Arya ucapkan kepadanya.
Sepanjang jalan menuju rumah Dimas, di dalam mobil mereka asik mengobrol tentang masa lalu. Seakan mereka memutar video kenangan tentang masa SD dulu. Sewaktu SD, mereka adalah teman dekat. Kemana-mana mereka selalu berdua. Sebelum akhirnya mereka harus teripsah karena Dimas pindah ke Jogjakarta.
Dan hari ini adalah hari yang tidak disangka-sangka bagi mereka. Akhirnya mereka bertemu lagi di kota yang sama, di kampus yang sama. Seakan teman yang hilang kini telah kembali.
“Gimana nih, kabar temen-temen SD semenjak gua pindah?” tanya Dimas di sela menyetir mobilnya.
“Wah, seneng benget. Pokonya damai, tentram dan nggak ada lagi keributan!” ucap Arya sembari tensenyum menyindir Dimas yang terkenal sebagai Troublemaker di sekolahnya dulu.
“Sialan lo! Lo kata gua biang keributan?” ucap Dimas berusaha menyangkal.
“Ya begitu lah kira-kira.”
“Oh, iya. Kalau kabar Bu Wati, gimana?”
“Terakhir yang gua lihat, dia masih gendut kaya dulu.”
Dimas pun tertawa.
“Lo suka banget kan ngerjain Bu Wati?”
Dimas kembali tertawa lebih keras. Teringat ulahnya sendiri yang memang kerap mengerjai Bu Wati. Bagi Dimas tiada hari tanpa mengerjainya. Hingga sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia harus mendapat hukuman dari Bu Wati. Namun itu tetap saja tidak membuatnya jera. “Gatel gua kalau nggak ngerjain Bu Wati,” ucap Dimas.
Kini Arya yang tertawa mendengar ucapan Dimas.
“Oh, iya. Terus gimana tuh si..” ucapan Dimas terhenti. Wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Siapa dulu cewek yang lo taksir?” lanjutnya bertanya kepada Arya.
“Diva?” jawab Arya.
“Iya, si Diva. Bukannya waktu gua pindah lo punya rencana mau nembak dia, ya?”
Arya malah tertunduk tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Sinar di wajahnya mendadak meredup. Seketika ia teringat peristiwa yang membuatnya malu yang tidak akan pernah ia lupakan.
“Kenapa lo, Ar?” tanya Dimas yang menyadari perubahan pada temannya itu. “Gua tahu nih. Pasti lo ditolak, kan?” lanjutnya dan diakhiri dengan gelak tawa.
“Sebenarnya gua belum sempat nembak dia, Dim. Waktu itu gua..” kata-katanya terhenti.
“Terus?”
“Waktu itu gua..” dan pikirannya melayang kembali ke masa itu.
“Arya!” panggil Bu Wati. Sedang menulis apa, kamu?” bentak Bu Wati ketika menyadari bahwa Arya tengah asik sibuk sendiri di mejanya.
“Tidak menulis apa-apa, Bu,” jawab Arya gemetar sembari menutup cepat bukunya.
“Bohong! Sini ibu lihat bukumu!” ucap Bu Wati. Dan ia menghampiri Arya dengan wajah garang. Membuat Arya semakin gemetar ketakutan, takut ketahuan. Dengan galak Bu Wati merebut buku yang coba disembunyikan oleh Arya.
“Apa ini, Arya?” tanya Bu Wati dengan nada marah setelah sempat membaca tulisan yang tadi Arya tulis. “Sini maju ke depan!” lanjut perintah Bu Wati.
Dengan gugup Arya melangkah berjalan ke depan dengan kepala yang tertunduk.
“Coba kamu baca ini!” perintah Bu Wati sembari menyodorkan buku yang tadi ia ambil.
Arya hanya bisa melirik ke arah teman-temannya.
“Ayo, Arya!” ucap Bu Wati lagi.
Dengan terbata-bata Arya mulai membaca tulisannya sendiri. Baru saja beberapa bait ia membaca, satu demi satu temannya mulai melepaskan tawa tanpa ada lagi rasa takut kepada Bu Wati yang sedang marah kepada Arya. Dalam hitungan detik, seisi kelas sudah pecah dengan gelak tawa karena mendengar Arya membacakan puisi cinta yang ditujukan kepada Diva.
“Hahaa..!” Dimas tertawa lepas mendengar cerita Arya. “Untung gua nggak ada di sana. Coba kalau ada, pasti gua anak yang tertawa paling keras!” lanjutnya masih dalam keadaan tertawa. “Lucu.. lucu!” lanjutnya lagi.
“Apanya yang lucu?” tanya Arya.
“Lucu aja. Secara ada anak SD mau nembak cewek pakai puisi. Lo kira anak SD bisa baper cuma dengan puisi? Malu-maluin saja lo, Ar?” ucap Dimas diselangi dengan tawa. “Lagian lo tuh ada-ada aja. Masak nembak cewek pakai puisi? Cemen banget, nggak gentle, lebay, kemayu kata orang jawa,” lanjutnya.
“Nggak usah ketawa lo, Dim. Suatu saat lo bakal ngalamin juga. Dan inget, kalau itu terjadi, gua yang akan tertawa paling keras di depan lo!” ucap Arya.
“Apa? Gua nembak cewek pakai puisi? Sorry ya, anti. Gua nggak bakalan kayak lo, Ar?” ucap Dimas sombong seakan hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.
“Ya, lihat saja nanti!” ucap Arya seperti mendoakan itu akan terjadi pada Dimas.
“Oke, kita lihat saja nanti,” ucap Dimas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar