Jumat, 09 Maret 2018

PERJALANAN


Sinar mentari yang jatuh hingga menembus sampai ke dalam kamar, suara gaduh yang datang dari luar seakan membangunkannya di pagi ini. Tapi rasanya Arya masih saja malas untuk beranjak dari tempat tidurnya yang begitu nyaman baginya. Ia hanya membuka matanya sedikit saja. Tapi ia masih bisa melihat dengan jelas ketika jarum jam di dinding menunjukkan pukul 06:35 WIB. Dan seketika itu pula matanya jadi terbelalak, membuat tubunya pun beranjak dari tempat tidurnya dengan cepat.
“Ah, kesiangan!” gerutunya. Arya bergegas pergi untuk mandi dengan buru-buru. Kesialannya bertambah satu lagi ketika ia lihat pintu kamar mandi tertutup, tanda ada seseorang di dalam.
Diketuknya pintu itu. “Bentar!” suara keras dari dalam. Menyadari bahwa yang ada di dalam sana adalah adiknya, Arya mencoba untuk mengetuk pintu itu lagi dengan lebih keras dan berteriak “Woi, cepetan!”. Tapi dari dalam justru tak ada respon sedikit pun ketika Dian juga menyadari di luar sana adalah Arya, kakaknya.
Sepuluh menit berlalu, Dian masih saja belum keluar dari kamar mandi dan membuat Arya semakin gelisah. Diketuknya sekali lagi pintu itu lebih keras dari sebelumnya. Dan keluarlah gadis kecil sembari tersenyum dengan nada mengejek.
Mereka memang tak pernah akur jika bersama. Bagai tikus dan kucing saja sifatnya. Banyak alasan yang membuat mereka berkelahi dan ada-ada saja hal yang mereka rebutkan.
“Sengaja, ya?” ucap Arya sinis.
“Kenapa? Telat, ya? Duh kasihan deh lo!” ejek Dian lalu berlari sebelum mendapat perlawanan dari Arya.
Tak banyak waktu yang Arya habiskan di dalam kamar mandi. Hanya sepuluh menit saja, itu sudah lebih dari cukup untuk sekadar menyegarkan tubuhnya di pagi ini.
***
Semua keluarganya sudah lebih dulu berada di meja makan dan menikmati sarapan pagi, termasuk Dian yang baru saja selesai mengenakan seragam sekolah. Belum juga Arya sampai di meja makan, ibunya langsung menyambutnya dengan beberapa pertanyaan tentang keinginannya untuk pindah kuliah di Jogjakarta.
“Kamu sudah yakin mau pindah ke Jogja, Ar?” tanya ibunya dengan nada datar, namun tersimpan jelas rasa ketidak-percayaan di dalamnya.
“Ya, sudah dong, bu,” jawab Arya setelah ia duduk di sebelah ibunya. “Ini tinggal berangkat” lanjut Arya. Lalu pandangannya terfokus pada hidangan di atas meja.
“Terus, jadi juga tinggal di rumah Budhemu?” tanya ibunya lagi.
“Jadi,” jawabnya singkat sembari tangannya mengambil hidangan tersebut untuk sarapan paginya.
“Tapi inget, jangan bikin masalah di rumah Budhemu. Paham?” nasehat ibunya setelah meneguk habis air putih.
“Tenang saja, bu. Aku kan anak baik-baik,” jawab Arya.
“Baik dari Hongkong?” ucap Dian tiba-tiba dengan nada ketus.
“Udah, deh. Anak kecil diem aja! Anak masih ingusan aja mau ikut campur. Dilap dulu itu ingus!” ucap Arya sambil melempar lap dan mengenai wajah Dian. Dan Dian hanya bisa membalas dengan melempar kembali ke arah wajah Arya, namun mampu ditangkisnya.
“Kalian tuh, ya? Berantem terus kerjaannya,” lalu ibunya melihat ke arah Arya. “Kamu juga, Ar. Sudah besar nggak mau ngalah sama adeknya, “ lanjut ibunya. Dan Arya hanya terdiam sambil terus menyantap makanannya.
“Kalau begitu, Arya pamit dulu,” ucapnya setelah ia menyelesaikan sarapan paginya. Arya beranjak dari tempat duduknya. Lalu ia salami satu per satu tangan kedua orang tuanya sambil mencium tangannya, kecuali Dian. Karena Arya tahu Dian tak mungkin mau untuk disalaminya.
Namun tebakan Arya salah. Bahkan tak pernah ia bayangkan, Dian mau memeluknya. Arya bingung melihat apa yang adiknya lakukan. Tak pernah sekali pun Dian melakukan hal itu kepada Arya sebelunya. Pelukannya begitu erat seperti takut kehilangan. Tangan Arya mulai ikut memeluk tubuh kecil Dian yang sudah menempel di tubuhnya.
“Kalau kak Arya pergi, terus yang menemin Dian main siapa?” suara lirih yang keluar dari mulut Dian.
Kata-kata Dian seperti mampu meluluhkan hati Arya yang sekeras batu. Kata-katanya begitu polos, begitu lugu dan menyentuh. Ada sesuatu yang beda, Arya merasa benar-benar ada rasa kasih sayang antara ia dan adiknya. Arya menarik nafas panjang, lalu melepaskan pelukannya untuk bisa mensejajarkan wajahnya dengan wajah adiknya. Arya melihat air mata Dian sudah membasahi pipinya.
“Kakak pergi dulu, ya? Kakak mau kuliah dulu di sana,” ucap Arya. “Kakak pasti pulang, kok?” lanjutnya.
“Kapan?” tanya dian cepat.
“Ya, besok kalau libur kuliahnya.”
“Beneran?”
“Beneran. Kakak janji.”
“Awas kalau bohong!”
“Iya. Ya sudah, kalau begitu kakak berangkat dulu, ya? Jangan nakal ya di rumah,” ucap Arya dan Dian hanya tersenyum manis tanpa mengeluarkan kata-kata.
Arya menghela nafas panjang lagi. Dengan langkah kaki yang pasti, ia melangkah pergi meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Jogjakarta.
***
Dengan menggunakan Kereta Api Argo Dwipangga, Arya meninggalkan kotanya, meninggalkan hiruk-pikuk kota yang selama ini telah mengkotaminasi dirinya, juga meninggalkan semua kenangan yang memang ingin ia lupakan.
Tidak terasa hampir seharian Arya berada dalam Kereta Api, dalam perjalanan menuju kota tujuan. Sekitar pukul 3 sore, kereta pun terhenti di Stasiun Tugu.
Arya menuju peron untuk mencari Heru yang sudah berada di sana. Heru adalah sepupunya yang sudah ia tugasi untuk menjemput dirinya di Stasiun.
“Hai, Ru?” sapa Arya setelah melihat heru dari beberapa jarak langkah. “Sudah dari tadi?” lanjutnya setelah berada di depan Heru.
“Sudah dari kemarin malahan,” jawab Heru kesal karena ia sudah menunggu dari jam 2, sesuai perintah Arya. Heru memang seperti itu orangnya, suka Hiperbola kalau bercanda. “Yee, malah ikutan duduk! Ayo, ah!” lanjut Heru setelah melihat Arya duduk di sebelahnya.
“Istirahat bentar, Ru. Capek, nih?” keluh Arya.
“Nanti saja istirahatnya di rumah. Aku sudah bosen dari tadi nunggu kamu di sini,” ucapnya sambil beranjak pergi.
Mau tak mau Arya harus beranjak dari tempat duduknya untuk mengikuti sepupunya. “Ru, tungguin gua!” teriaknya.
 Matahari masih terasa terik walau hari sudah menjelang sore. Seakan masih kuat membakar kulit yang membuat lelah semakin menjadi. Arya ingin segera sampai di rumah Budhe Lastri.
“Naik motor, Ru?” tanya Arya.
“Nggak. Kita naik pesawat,” jawab Heru hiperbola lagi. Padahal Arya sempat membayangkan dirinya akan dijemput menggunakan mobil. Ia sudah membayangkan sejuknya AC mobil yang begitu sejuk. “Ya, iya lah. Sudah tahu cuma punya motor, pakai tanya segala. Sudah ayo cepet naik!” lanjut Heru.
“Ya, kirain special. Sewa mobil gitu buat jemput gua,” ucap Arya.
“Special gundulmu kui!” jawab Heru.
Dan akhirnya mereka pulang dengan mengendarai motor milik Heru. Arya berharap segera sampai untuk merebahkan tubuhnya yang sudah begitu lelah yang terenggut oleh perjalanannya.
“Assalamualaikum, budhe!” salam Arya setelah melihat budhenya yang tengah asik di depan tivi yang membuatnya tidak menyadari bahwa Arya sudah datang.
“Waalaimumsalam!” jawab budhe sambil menoleh ke belakang. “Eh, kamu Ar? Maaf budhe ndak tahu kalau kamu sudah sampai,” lanjutnya.
“Keasikan nonton sinetron sih budhe?” ucap Arya sambil mencium tangan budhenya. “Kalau sudah nonton sinetron saja, jadi lupa semuanya. Sampai nggak aku masuk. Kalau maling yang masuk gimana, coba?” lanjutnya.
“Ah, kamu Ar. Ada-ada saja.”
“Cuma sekadar mengingatkan saja budhe. Nggak ada salahnya kan hati-hati dan waspada. Nggak ada yang nggak mungkin, kan?”
“Iya, deh. Kamu tuh persis ibumu. Pinter kalau ngomong.”
“Masak sih, budhe? Tapi kata temen-temenku, aku tuh pendiam, loh?”
“Iya, pendiam. Tapi kalau sudah ngomong, nerocos terus kayak beo.”
Arya hanya tersenyum tanpa membalas ucapan budhe Lastri.
“Ya, sudah. Kamu istirahat dulu sana. Sudah budhe siapin kamarnya.”
“Yang mana, budhe?”
“Yang itu, Ar!” tangan budhe menunjuk ke arah sebuah kamar yang terletak tak jauh dari ruang tamu.
“Oke! Aku istitahat dulu ya, budhe?”
Sebuah kamar yang memiliki jendela dengan pemandangan sebuah taman kecil yang ditanami beberapa jenis tanaman, termasuk beberapa jenis bunga.
Arya membuka jendela tersebut dan berdiri memandang keluar. Hembusan angin pun berebut masuk mengenai tubuh Arya yang memang sudah lelah. Dan menciptakan rasa kantuk di dalam diri Arya.
Dengan belaian angin sepoi-seopi yang berhembus mesra, Arya rebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Seketika matanya terpejam, lalu tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar