Sabtu, 17 Maret 2018
Senyuman Itu
Dering suara ponselnya terus berbunyi hingga terdengar sampai ke dapur yang membuat Jingga tergesa menuju kamarnya. Dilihatnya sebuah nama yang hampir setiap hari muncul di layar ponsel Jingga. Nama itu adalah Ayu.
“Halo, Yu!” jawab Jingga sembari duduk di bibir tempat tidurnya.
“Ke mana saja, to? Kok lama angkatnya?” protes Ayu di sana.
“Kamu tuh kayak udah sama pacarnya saja. Lama angkat telpon saja marah, huh!” ucap Jingga kesal.
“He he!” Ayu hanya bisa tertawa dalam telpon.
“Ada apa?” tanya Jingga kemudian.
“Temenin aku jalan-jalan, yuk?”
“Kapan?”
“Nanti siang, ya?”
“Wah, kalau nanti siang aku nggak bisa. Panas. Lagi pula ada acara sama ibu. Gimana kalau nanti habis magrib saja? Sekalian aku mau cari buku di Gramedia.”
“Kok malem, sih?”
“Kamu tuh, ya? Kayak nggak pernah pergi malam saja. Ya sudah, kalau nggak mau. Aku masih bisa pergi sendiri!”
“Iya, deh?” ucap Ayu pasrah.
“Nah, gitu dong!”
Tiba-tiba Jingga mencium bau gosong. Sontak iya mengucap istiqfar dan langsung melempar ponselnya ke tempat tidur.
“Halo! Halo! Jingga!” panggil Ayu di sana yang bingung ada apa dengan Jingga.
Di dapur Jingga menggerutu sendiri ketika melihat tempe yang tadi digorengnya menghitam gosong. Ibunya yang juga mencium bau gosong pun menghampiri ke dapur untuk mencari tahu asal bau gosong tersebut.
“Opo sek gosong, nduk?” tanya ibunya.
“Ini tempenya gosong, Bu.” jawab Jingga merasa bersalah karena telah meninggalkan tempe tersebut dalam keadaan api kompor masih menyala. “Tadi ada telpon terus Jingga lupa matiin kompornya,” lanjutnya.
“Makanya besok lagi jangan gitu! Kalau lagi masak mbok ya jangan ditinggal.”
“Iya, Bu. Besok nggak gitu lagi, deh? Jingga janji.”
“Ya sudah, dilanjut masaknya. Ibu juga mau lanjutin jahit.” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk merapungkan beberapa pesanan baju yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal rapi dalam menjahit baju dan selalu tepat waktu. Maka tak sedikit orang yang datang ke rumahnya untuk membuat baju kepada ibunya. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya sempat berencana untuk membuat toko butik kecil-kecilan. Tapi rencana itu tak terealisasikan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya.
***
Siang yang terik membakar hari, bahkan angin yang berhembus pun terasa panas terkena kulit. Arya memacu motor CB-nya agar cepat sampai di rumah. Motor CB itu sebenarnya milik Ayahnya Heru yang kini dilimpahkan kepada Arya. Motor itu sangat pas dengan penampilan Arya yang sangat sederhana.
“Lusuh amat kamu, Ar?” tanya Budhe Lastri.
“Iya nih, Budhe! Di luar panas banget cuacanya.” jawab Arya. “Arya langsung masuk ya, Budhe. Mau mandi dulu biar segar!” Lalu Arya meneruskan langkahnya menuju kamarnya.
Setelah mandi, rasa kantuk itu menyerangnya. Ia jatuhkan tubuhnya ke tempat tidur untuk segera tidur sebagai tambahan untuk memulihkan tubuhnya yang tadinya lesu. Dan Arya pun tertidur pulas.
Belum genap pukul empat sore, Arya terbangun dan tak mendapati siapa pun di rumah. Entah pada pergi ke mana para penghuni rumah ini. Biasanya Arya selalu mendapati Budhenya di depan tivi, aktifitasnya setiap sore. Lalu Pakdhenya yang hampir tiap sore mengurusi burung-burung peliharaanya pun sore ini tak nampak. Dan Heru, setahu Arya memang jarang di rumah. Biasanya Heru latihan band bersama temannya.
Dari pada diam sendiri di rumah, pikirannya tiba-tiba saja ingin pergi ke pantai. Tanpa pikir panjang, ia lalu bergegas ke sana. Lumayan untuk refreshing, pikirnya lagi.
Suara ombak yang bergulung-gulung, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai seakan memberi kedaiaan baginya. Rasa lelah, letih, lesu yang menyerang tadi siang seakan hilang seketika.
Arya yang duduk di atas gundukan pasir, terus menyaksikan matahari yang tengah tenggelam di ufuk barat. Sungguh elok langit sore ini pikirnya. Bagai memberi inspirasi untuk menulis puisi. Benar, perlahan ia menulis sebuah puisi yang ia beri judul “Jingga” di laptopnya yang setia menemani ke mana saja. Sebuah puisi yang berisi tentang keindahan langit sore yang berwarna jingga.
Setelah selesai, puisi itu ia kirimkan kepada sahabatnya, Dewi Kecil di sana. Suatu kebiasaan yang sudah lama ia lakukan.
Kini hari mulai gelap ketika matahari sepenuhnya telah tenggelam dan hilang. Arya beranjak pulang. Di tengah perjalanan, Arya teringat bahwa ia harus ke Gramedia karena ada yang harus dibelinya.
***
“Memangnya kamu mau cari apa di Gramedia, say?”
“Mau cari baju,” ucap Jingga sinis. “Haloo! Ke Gramedia ya cari buku, lah?” lanjutnya.
“Ini pertanyaanku yang salah atau yang jawab yang gila? Anak kecil juga paham kali kalau ke Gramedia cari buku. Maksudku cari buku apa, gitu?” Ayu menjelaskan. “Memang harus detail ya kalau tanya sama kamu!” lanjutnya.
Jingga tersenyum melihat temannya yang sudah mulai kesal. “Iya, sayang! Gitu saja manyun! Jelek ah kalau manyun gitu. Kayak kalkun!” ucap Jingga dan tersenyum kembali. “Aku mau cari bukunya Kahlil Gibran” lanjutnya.
“Dasar kutu buku! Kerjanya cuma beli buku saja! Sekali-kali mbok ya shopping, gitu?”
“Lah, ini kan juga shopping namanya?”
“Tuh, kan?” ucap Ayu cepat. “Maksud aku tuh, belanja yang lain selain buku. Baju kek? Tas kek? Apa kek, gitu? Memang buat apa to beli buku terus?”
“Kamu tuh aneh, ya? Buku kok buat apa? Ya dibaca lah! Buat nambah pengetahuan, nggak kayak kamu, ada sepatu model baru, dibeli. Tas model baru, diborong. Terus buat apa, coba?” balas Jingga.
“Fashion, dong!” jawab Ayu cepat. “Secara wanita cantik seperti aku harus selalu jaga penampilan. Masak wanita cantik barang-barangnya jadul? Harus ngikutin trend, dong!” lanjutnya menerangkan kepada Jingga dengan mantap.
“Cantik dari Hongkong?” kata-kata Jingga yang mampu membuat Ayu menyun kembali.
“Tuh, kan manyun lagi? Sudah dibilang jelek kalau manyun, gitu?”
“Ya habisnya kamu gitu!” ucap Ayu dalam keadaan manyun.
“Iya, deh. Temanku yang paling cantik sedunia. Ayu Larasati!”
Kini obrolannya berganti topik ke masalah Dimas. Karena Ayu melihat sejak peristiwa di ulang tahun temannya, Dimas seperti mendekati Jingga. Ayu terus memberi berondongan pertanyaan kepada Jingga yang dijawab dengan singkat. “Aku nggak ada apa-apa dengan Dimas.”
“Ah, bohong!” tangkis Ayu.
“Dimas itu bukan tipe aku”
“Memangnya tipe kamu gimana, Ga?” tanya Ayu jadi penasaran.
“Jadi, cowok tipeku tuh, yang romantis, yang pinter bikin puisi. Soal tampang nomer dua, lah! Yang pertama itu tadi.”
“Inget, Ga. Ini jaman android, nggak kayak jaman...” ucapannya terhenti karena lupa nama sang penyair yang ingin dia sampaikan. “Siapa itu penyair jaman dulu, Ga?” Ayu jadi bertanya kepada Jingga.
“Chairil Anwar?”
“Iya itu, Chairil Anwar. Sekarang tuh jamannya to the point. Nggak pake basa-basi. Kalau suka yang langsung bilang suka, nggak usah ribet pake puisi segala. Yang ada malah diketawain,” Ayu menjelaskan dengan sok berpengalaman. Padahal sampai sekarang dia pun masih sendiri.
“Terserah, lah! Yang penting aku cari cowok yang seperti itu, titik!” ucap Jingga dengan lantang.
“Ya, sudah! Tunggu saja sampai lebaran monyet. Bisa-bisa jadi perawan tua kamu.”
“Halah! Jaman to the point saja kamu juga belum punya pacar, to? Hayo mau alasan, apa?” Jingga membalik kata-kata Ayu untuk menyerangnya.
Ayu hampir mati kutu mendapat pertanyaan itu. Wajah Ayu berubah. Dalam pikirannya hanya mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tadi. “Emm, mungkin cowok-cowok itu goblok dan katarak. Nggak bisa lihat ada cewek secantik aku,” jawab Ayu.
Dan Jingga hanya bisa tertawa saja.
“Ah, malah ketawa,” ucap Ayu.
***
Ayu yang sedari tadi hanya mengikuti Jingga di belakangnya mulai merasa jenuh setengah mati. Jingga hanya mondar-mandir di antara rak-rak buku.
“Say, aku tunggu di sana saja, ya?” ucap Ayu.
“Oke!” jawab Jingga singkat karena matanya terfokus pada deretan buku.
Tidak lama kemudian, akhirnya Jingga menemukan buku yang ia inginkan. Dengan wajah yang sumringah, ia meraih buku itu. Namun tangannya kalah cepat dengan tangan seorang lelaki yang mengambil buku itu lebih dulu. Wajahnya kembali meredup ketika ia tak lagi melihat buku yang lain dengan judul yang sama.
“Kamu mau mengambil buku ini?” tanya Arya.
“Iya, mas. Tapi kalau masnya mau beli buku itu ya buat mas saja. Kan masnya tadi yang duluan ambil buku itu,” jawab Jingga.
“Suka bukunya Khalil Gibran?” tanya Arya lagi.
“Iya, mas!”
“Ya, sudah kalau begitu. Ini buat kamu saja,” ucap Jingga sambil menyodorkan buku yang ada di tangannya.
“Tapi?”
“Aku cuma lihat-lihat saja, kok?”
“Oh! Tapi beneran, nih?”
“Iya!”
Lalu dengan mantap Jingga meraih buku itu yang sudah Arya sodorkan sedari tadi. “Makasih, mas?” ucapnya sambil memberikan senyuman kepada lelaki itu.
Arya hanya terdiam terpaku melihat senyum yang merekah di bibir wanita itu. Begitu manis, pikirnya. Dari semua wanita di kota ini yang pernah ia temui, baru sekali ini ia melihat senyum paling manis. Dari wanita yang masih berdiri di depannya.
“Sudah yuk, say? Bosen di sini!” suara Ayu tiba-tiba terdengar dari belakang.
Jingga menoleh ke arah di mana suara itu berasal. “Iya, sebentar!” jawab Jingga lalu pandangannya kembali ke arah semula. “Sekali lagi terima kasih buat bukunya.”
“Sama-sama!” jawab Arya singkat.
Dan Jingga tersenyum kembali sebelum benar-benar meninggalkan lelaki yang sudah mau mengalah untuknya.
“Siapa tadi, say?” tanya Ayu di depan kasir.
“Nggak tahu. Aku nggak kenal.”
“Kok, tadi bilang terima kasih buat bukunya?”
Salah satu yang membuat Jingga sebal dengan Ayu adalah sifat kepo yang berlebihan. Hal sekecil apa pun yang dialami Jingga akan selalu Ayu tanyakan dengan ambisius.
“Kayaknya tadi dia mau beli buku ini, tapi terus dikasih ke aku karena buku ini tinggal satu di rak.”
“Oh, gitu? Kirain kenal?”
“Kenapa memangnya?” Jingga balik bertanya kepada Ayu yang kepo.
“Manis juga orangnya. Lumayan, lah!”
“Kamu itu, ya? Dikit-dikit dibilang manis, dikit-dikit dibilang keren. Mungkin kambing dikasih baju juga kamu bilang manis dan keren!”
Ayu tersenyum lalu berkata “Ya, sudah. Sekarang gantian anterin aku shoping di Mall, ya?”
“Tapi jangan lama-lama!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar