Sabtu, 10 Maret 2018
DI SUATU PESTA ULANG TAHUN
Jingga masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru setelah turun dari sepeda motornya untuk memberikan obat yang baru saja ia beli di Apotek.
“Nih obatnya, Bu!” Jingga memberikan bungkusan plastik yang berisi obat-obatan untuk mengobati adiknya yang baru saja terjatuh dari sepeda.
Bayu merintih kesakitan ketika ibunya mulai mengusap luka di lututnya dengan obat merah. Rasa perihnya membuat Bayu tidak tahan dan menangis tersedu.
“Makanya kalau naik sepeda hati-hati to, le!” tegur ibu dan terus mengusap luka Bayu dengan kapas.
Jingga yang melihat adiknya sedang menahan rasa perih pun ikut meringis, seakan ia ikut merasakan rasa perih dari luka yang terkena obat merah. Dari pada ia tidak tahan melihat adiknya yang terus merintih, ia putuskan untuk meninggalkan ibu dan adiknya.
Jingga memutuskan untuk istirahat saja di kamarnya. Baru saja ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di sampinya berdering. Dilihatnya nama Ayu yang tertera di layar ponselnya.
Dengan rasa malas ia menjawab panggilan masuk dari Ayu. Seakan ia sudah tahu maksud dari Ayu yang menelpon dirinya. “Iya. Halo, Yu?” nada bicaranya datar.
“Sudah siap to, say? Aku sudah siap meluncur ke situ, nih! Pokoknya nggak ada alasan lagi tiba-tiba nggak bisa ikut. Pokoknya aku sampai situ, kamu harus sudah siap. Dadagh!” suara cerewet Ayu dari balik ponsel.
“Halo, Yu! Ayu!”
Ayu sudah keburu menutup telponya agar tidak ada alasan lagi yang akan keluar dari mulut Jingga. Cara itu pun berhasil membuat Jingga mau tidak mau harus pergi mandi dan bersiap untuk pergi dengan Ayu meski sebenarnya ia tidak tahu mau ke mana.
Dengan dandanan yang sederhana, tanpa banyak polesan di wajahnya, tapi masih memancarkan kecantikan yang alami, Jingga menunggu Ayu di ruang tamu. Di sana ada Bayu yang sedang menonton tivi setelah lukanya diobati oleh sang ibu.
“Mau pergi ya, kak?” tanya Bayu.
“Iya, nih.”
“Mau pergi sama siapa, kak? Pacarnya, ya? Ciee..” telunjuk Bayu yang mungil diarahkannya ke wajah kakaknya.
“Iihh... apaan sih, dek! Kakak itu perginya sama Ayu.”
“Si miss ceriwis itu, kak?”
“Husss... nggak boleh gitu!” larang Jingga kepada Bayu. “Tuh, orangnya sudah dateng,” lanjut Jingga setelah mendengar suara mobil Ayu yang berhenti di depan rumah.
“Uups!” Bayu sambil membungkam mulutnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Hai, semuanya!” suara Ayu yang sudah berada di ruangan itu. “Sudah siap kan, Jing?”
“Don’t call me like that, okey? Please call my complete name. Jingga!” ucap Jingga cepat meralat dengan nada yang menekan jelas.
“Iya iya, nona Jinggaaaaa!” suara Ayu pun ditekan agak panjang untuk memperjelas pengucapan nama Jingga. “Sudah yuk kita berangkat, Jing? Eh salah lagi, Jingga maksudku,” Ayu tersenyum “Keburu malam nih,” lanjutnya lagi.
“Mau pergi ke mana, kak?” tanya Bayu yang ada di sebelahnya.
“Pergi main, sayang,” tangan Ayu mencubit gemas kedua pipi Bayu yang seperti bakpao. “Bayu mau ikut?”
“Nggak ah, kak. Lagian kaki Bayu lagi sakit nih.”
“Aduh kacian!” ucapnya dibuat manja “Emang kenapa kaki kamu?”
“Tadi jatuh, kak. Oleh-olehnya saja ya, kak. Hehehe!” ucap Bayu cepat.
“Iya. Nanti kak Ayu beliin, deh. Bayu mau apa?”
Walaupun ceriwis dan menyebalkan, Ayu adalah teman yang baik dan peduli dengan keluarga Jingga, terutama kepada Bayu, adik satu-satunya sahabatnya.
“Ayo, ah! Keburu malem!” ajak Jingga yang sebenarnya malas untuk pergi.
“Kak Ayu pergi dulu ya, sayang!” pamit Ayu sembari mencubit gemes pipi Bayu yang tembem.
Di dalam mobil, berteman lagu-lagu pop dan dipayungi warna-warni lampu kota yang mulai menyala. Ayu mengendarai mobilnya tak begitu kencang, rasanya sayang melewatkan tiap jengkal jalan yang begitu hangat dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala dan hiruk-pikuk lalu lalang orang dengan aktifitasnya.
Di dalam mobil, berteman lagu-lagu pop, mereka saling berbincang dan sempat Jingga menanyakan kemana tujuan hari ini. Ayu memang tidak memberi tahu Jingga sebelumnya. Ia memang sengaja. Sebab jika ia memberi tahu Jingga sebelumnya, Jingga pasti menolaknya dengan mentah-mentah.
“Memang sebenarnya kita mau ke mana to, Yu?” tanya Jingga penasaran.
“Ke acara ulang tahun temenku,” jawab Ayu tanpa ada rasa berdosa. “Anak orang kaya, loh! Pasti temennya juga kaya-kaya dan cakep-cakep,” lanjutnya berusaha tak membuat Jingga marah karena mengajaknya ke acara yang tak begitu disukai oleh Jingga.
“Ulang tahun? Ayu! Kamu tahu kan aku nggak suka datang ke acara begituan!” ucapnya keras. Dan Ayu hanya bisa tersenyum saja. Ayu memang sudah hafal apa yang tidak disukai Jingga, ia tahu Jingga akan menolak jika dari awal ia memberitahunya. Tapi Ayu juga malas jika harus datang sendiri ke acara tersebut. Makanya dengan taktik itu, Ayu mengajak Jingga untuk menemaninya.
“Ah, kamu tuh, Yu!” lanjut Jingga kesal.
“Iya, maaf. Sekali-kali nggak apa-apa, to? Dari pada di rumah terus, nggak gaul. Bete, kan?”
“Itu kalau kamu. Kalau aku nggak, tuh!” elak Jingga ketus.
Tapi mau bagaimana lagi, Jingga tidak bisa apa-apa lagi. Ia tidak mungkin meminta Ayu untuk memutar balik mobilnya. Dengan terpaksa dan mulut yang manyun, Jingga pasrah saja dibawa pergi ke acara ulang tahun tersebut.
***
Suasana pesta tersebut sangat meriah dengan iringan musik DJ. Di sana-sini banyak terlihat remaja dengan berbagai aktifitas, ada yang riuh saling selfie, berbincang dan tertawa, ada yang bergoyang mengikuti irama musik DJ, ada juga yang terlihat berkali-kali mencicipi semua hidangan yang ada. Namun tidak dengan Jingga, ia lebih memilih duduk di bangku taman yang berada agak jauh dari sana.
“Ayo, to ikut gabung di sana?” ucap Ayu sembari mencoba menyeret tangan Jingga dengan kedua tangannya. “Cowoknya cakep-cakep, loh!” rayunya lagi. Namun rayuannya tidak membuat Jingga berubah pikiran untuk tetap duduk menyendiri jauh dari acara tersebut. “Ya sudah, kalau begitu,” ucap Ayu pasrah dan ia meninggalkan Jingga sendirian.
Di tengah keasikannya duduk sendiri di bangku taman yang membuatnya nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk acara tersebut, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok lelaki yang berjalan ke arahnya. Jingga belum mengetahui siapa lelaki tersebut itu karena lampu di belakangnya justru menyembunyikan wajah lelaki itu.
“Hai, Jingga!” masih dengan wajah yang tersembunyi, lelaki itu menyapa Jingga yang membuatnya semakin penasaran. Mengapa lelaki itu tahu namanya, pikir Jingga.
“Oh! Kamu, Dim?” ucap Jingga yang sudah bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas.
“Ngapain kamu sendirian di sini? Nggak ikut gabung dengan mereka?” ucap Dimas yang sudah duduk di sebelah Jingga tanpa permisi.
“Aku lebih suka di sini dari pada di sana,” jawab Jingga.
“Oh, gitu? By the way, kamu kenal juga sama yang ulang tahun?”
“Nggak, sih. Cuma tadi diajak sama Ayu. Temen sekolah dulu katanya.”
Di tengah obrolan mereka, mata Dimas menangkap kecantikan wajah Jingga yang tersiram cahaya bulan yang kebetulan saat ini bulan sedang purnama. “Ternyata cantik juga si Jingga ini. Apalagi kalau rambutnya terurai gini,” ucap Dimas dalam hati.
“Kamu nggak ikut gabung juga sama mereka?” tanya Jingga.
Tapi Dimas hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan Jingga. Sepertinya Dimas sedang terkena hipnotis oleh kecantikan wajah Jingga yang membuatnya hanya bengong saja.
“Halo!” ucap Jingga dengan sedikit mengeraskan volume suaranya.
“Sorry.. sorry.., kenapa tadi?”
“Yee! Malah melamun. Tadi aku tanya, kamu nggak gabung dengan mereka?” Jingga mengulangi pertanyaannya.
“Males. Lebih suka di sini.”
“Kamu ikut-ikutan saja?”
“Aku nggak ikut-ikutan kamu. Memang benar aku lebih suka di sini,” ucap Dimas. “Terlebih ada kamu, Ga!” lanjutnya dalam hati.
“Hayoo! Ketahuan mojok berdua. Oh, ini alasannya tadi nggak mau ikut gabung ke sana. Rupanya mau mojok?” ucap Ayu tiba-tiba yang membuat mereka kaget.
“Ihh! Apaan sih, Yu?” ucap Jingga yang seketika pipinya memerah merasa malu oleh kata-kata Ayu tadi.
“Sudah nggak apa-apa. Jangan malu gitu,” lalu Ayu mengalihkan pandangannya ke arah Dimas dan bertanya “Kamu di sini juga, Dim?”
“Iya dong, Dimas!” jawabnya sedikit menyombongkan diri. Dimas memang terkenal suka menyombongkan diri di kampus. Apalagi di depan para cewek-cewek. Maklum, Dimas adalah anak tunggal dari orang tuanya yang sangat kaya.
“Ya, sudah. Dilanjut mojoknya, aku pergi dulu. Dadagh!” ucap Ayu.
Tapi tangan Jingga dengan cepat meraih tangan Ayu sebagai tanda ia melarang Ayu untuk pergi meninggalkan dirinya bersama Dimas. Jingga sudah terlanjur dibuat malu dengan ucapan Ayu tadi. Ia tidak ingin berduaan lagi bersama Dimas. Namun Ayu mampu melepaskan genggaman tangan Jingga dan berhasil untuk pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua.
“Yu! Ayu!” teriak Jingga.
“Sudah biarkan saja. Kita malah bisa berduaan lagi, kan?” ucap Dimas percaya diri.
“Ah, apaan sih, Dim?” dan wajah Jingga semakin memerah.
Dimas hanya tersenyum melihat Jingga yang rupanya ia tahu bahwa Jingga sedang merasa tersipu malu. “Eh, kita tadi sampai mana?” tanya Dimas untuk memulai obrolannya kembali.
“Maaf, Dim. Aku pergi dulu, mau nyusul Ayu,” pamit Jingga yang sudah merasa tidak enak berduaan dengan Dimas. Tidak seperti tadi sewaktu Ayu belum muncul dan berkata seperti itu yang membuatnya merasa malu. Jingga lalu bergegas meninggalkan Dimas sendiri.
“Jingga!” panggilan Dimas pun tak diindahkan lagi oleh Jingga. Jingga tetap saja berlalu dan menghilang di tengah keramaian.
Kini tinggal lah Dimas sendirian di bangku taman yang tadi adalah tempat ternyaman bagi Jingga. Banyak hal yang kini ia pikirkan dalam benaknya tentang Jingga.
“Pulang, yuk?” ajak Jingga yang sudah menemukan Ayu dalam keramaian pesta.
“Bentar lagi, Ga. Tanggung nih, lagi asik!” jawab Ayu yang tak berhenti mengikuti alunan musik dari DJ.
“Sudah malam, nih? Nggak enak pulang terlalu malam,” Jingga terus berusaha merayu Ayu.
“Lima menit lagi, ya?”
“Ya sudah, aku pulang sendirian saja. Biar kamu yang diomelin sama ibuku karena nggak tanggung jawab!” ancam Jingga.
“Iya deh, kita pulang sekarang,” ucap Ayu pasrah.
***
Malam mulai larut tapi suasana kota Jogja semakin ramai. Lalu lalang kendaraan seakan membuat kota Jogja semakin hidup di malam hari. Lampu-lampu kota, Traffic Light dan sinar bulan pernama pun ikut mewarnai malam yang panjang ini.
Mobil Ayu menepi dan berhenti di depan penjual martabak manis untuk menepati janjinya kepada Bayu.
“Beli oleh-oleh bentar ya, Ga? Buat Bayu.”
“Sudah nggak usah, Yu!”
“Sudah nggak apa-apa?”
“Sudah malam juga, Yu. Bisa tambah gendut dia nanti.”
“Sudah biarin saja. Sudah terlanjur janji juga sama Bayu.”
“Ya sudah lah terserah kamu saja!”
“By the way, kok tadi bisa berduaan sama Dimas? Gimana ceritanya?” tanya Ayu setelah memesan martabak manis.
“Nggak tahu. Tiba-tiba saja dia ada di sana.”
“Ngomongin apa saja tadi?” tanya Ayu dengan wajah yang penasaran.
“Ngobrol biasa saja. Nggak ada yang penting.”
“Tapi kayaknya asik banget tadi. Mesra lagi!” ucap Ayu seraya bahunya menyenggol bahu Jingga.
“Apaan sih, Yu? Mulai lagi, deh?”
“Sudah sikat saja. Mumpung kamu belum punya cowok, kan?”
“Mulai ngawur deh ngomongnya?”
“Ngawurnya di mana, coba? Dia kaya, loh? Cakep lagi. Sudah gitu jadi idola lagi di kampus.”
“Nah, itu dia?”
“Itu dia kenapa?”
“Dengerin dulu makanya ada orang ngomong. Maksud aku, justru dia idola di kampus, makanya aku nggak suka.”
“Bukanya malah bangga bisa dapetin sang idola, ya?”
“Itu kalau kamu, Yu! Kalau aku sebaliknya.”
“Tapi..” Ayu tak lagi bisa meneruskan kata-katanya. Ia bingung harus mengatakan apa lagi.
“Sudah, ah! Nggak usah bahas itu lagi. Tuh martabakmu sudah jadi.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar