“Hai, Malaikat Kecil,” chat Dewi Kecil kepadanya.
“Hai juga Dewi Kecil,” balasnya kepada Dewi Kecil.
“Apa kabar kamu? Kemana saja, nih? Kok sudah lama nggak kirim puisi? Kenapa? Sibuk, ya?” chat Dewi Kecil yang bertubi-tubi.
“Baik-baik saja kok. Dan nggak kemana-mana. Soal puisi, ya maaf. Aku lagi nggak ada mood buat nulis puisi dan mengirimkannya ke kamu.”
“Tapi tumben nggak ada mood buat nulis puisi? Biasanya hampir tiap malam kamu kirim aku puisi. Sampai kewalahan aku nyalin di buku.”
“Siapa juga yang nyuruh kamu salin ke buku. Tapi ngomong-ngomong sudah berapa buku puisiku di kamu?”
“Dua buku udah ada, tuh.”
Belum juga ia selesai mengetik, datang lagi chat dari Dewi Kecil yang membuat ia menghapus kembali apa yang sempat ia tulis tadi.
“Diterbitin boleh juga, tuh?”
“Mana ada penerbit yang mau nerbitin bukuku? Puisi asal-asalan gitu.”
“Dicoba apa salahnya? Asal-asalan tapi bagus kok. Sampai baper aku bacanya.”
“Ah, dasarnya kamu baperan mungkin orangnya. Cewek kan gitu, mudah baper.”
Dewi Kecil hanya membalas dengan emot sedih.
“Udah nggak usah sedih, aku bercanda kok.”
Kini Dewi Kecil mengirim emot tersenyum.
Tak terasa sudah hampir 3 jam ia dan Dewi Kecil saling mengobrol lewat chat di ponselnya. Dan rasanya, semua cahaya yang ada di ruangannya mulai meredup. Mungkin karena matanya kini seperti lilin yang perlahan kehabisan pendarnya, lalu mati.
Tapi ia masih saja ingin mengobrol dengan Dewi Kecil. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan. Meski sebenarnya mereka belum saling mengenal dan bertemu di dunia nyata. Bukan mereka tidak mau dan tidak bisa, tapi itu sudah menjadi kesepakatan mereka dari awal pertemuan yang tanpa sengaja di dunia maya setahun yang lalu. Bahkan sekadar nama pun mereka saling merahasiakan. Dan mereka lebih nyaman dengaan sebutan Dewi Kecil dan Malaikat kecil. Nama itu begitu saja tercipta diantara mereka untuk saling memanggil.
“Kenapa ya, kalau kita kita ngobrol seperti ini nggak ada habisnya?” datang chat lagi dari Dewi Kecil.
“Nggak tahu. Apa mungkin karena kita belum saling kenal, ya?”
“Kok bisa?”
“Nggak tahu juga.”
“Ah kamu, nggak tahu terus?”
“Ya, nggak tahu.”
“Tuh kan, nggak tahu lagi.”
Ia hanya mengirim emot tersenyum dan tertawa sekaligus.
“Boleh aku bertanya?”
“Di sini nggak ada polisi yang melarang untuk bertanya. Jadi silahkan bertanya kepadaku, yang penting nggak bertanya apa yang sudah kita sepakati dulu.”
“Iya, aku masih inget, kok. Aku cuma mau bertanya, kenapa kamu suka sekali menulis puisi?”
“Karena aku tidak bisa menulis cerita.”
“Ihh!”
“Hehehe! Jawabannya, entahlah. Aku hanya sekadar menulis apa yang ingin aku tulis saja tanpa ada niatan untuk menulis puisi. Makanya tadi aku bilang puisiku itu hanya asal-asalan.”
“Oh, jadi sekadar ingin menulis apa yang ingin kamu tulis ya?”
“Iya.”
“Terus seandainya ada yang tiba-tiba minta ditulisin puisi, gimana? Bisa?”
“Kadang bisa, kadang nggak.”
“Kalau gitu aku coba, ya?”
“Ah, nggak usah lah.”
“Ayo lah.”
“Kemana?”
“Bikinin aku puisi sekarang.”
“Hmmm, aku coba.”
“Gitu, dong!”
“Mau tentang apa?”
“Tentang pekerjaan.”
Lalu tidak ada lagi balasan chat dari Malaikat kecil kepada Dewi Kecil. Sepertinya ia sedang menulis sebuah puisi atas permintaan sahabatnya itu. Dan di belahan dunia yang lain, Dewi Kecil dengan sabar menunggu puisi dari sahabatnya itu.
“Tak perlu kau resah, memikirkan kertas-kertas di meja kerja, atau omelan bos siang tadi, akhiri saja hari ini, dengan pejamkan mata, lalu padamkan bara api semangat dalam diri, dan jangan lagi berkata.”
Sebuah chat puisi datang di ponsel Dewi Kecil setelah 10 menit Malaikat Kecil menghilang.
“Makasih, ya Malaikan Kecil,” balas Dewi Kecil.
“Sama-sama.”
“Ah, kenapa mataku jadi ngantuk, ya? Apa puisimu mengandung sihir, ya?”
“Ah, itu mah dasar kamunya yang udah ngantuk.”
“Ya, sudah. Aku tidur dulu, ya?”
“Oke. Aku juga mau tidur. Besok mau pergi.”
“Kemana?”
“Kan nggak boleh tanya soal tempat. Perjanjian nomer tiga.”
“Oh iya. Aku lupa.”
“Oh iya juga. Pernah nggak kamu bayangin suatu saat kita itu bertemu? Atau bayangin, ternyata kita adalah teman di dunia nyata, atau bahkan kita adalah musuh?”
“Ada-ada saja kamu. Tapi aku malah nggak kepikiran sampai situ.”
“Ya, siapa pun kita, jika suatu saat salah satu diantara kita ada yang tanpa sengaja tahu siapa kita, tolong tetap rahasiakan saja. Aku ingin Dewi Kecil dan Malaikat Kecil menjadi rahasia selamanya yang hidup di dunia seperti ini saja.”
“Oke siap! Sudah ah ngobrolnya. Orang tadi aku sudah pamitan mau tidur juga.”
“Iya, deh.”
Dan lelah di tubuh Malaikat Kecil pun menjadi, seakan memaksanya untuk ikut mengakhiri hari ini. Dengan berselimut gelap dan dingin, ditemani rintik hujan yang masih terdengar, ia mulai merebahkan tubuh lelahnya setelah ia tidak lupa mematikan laptopnya. Dan matanya perlahan terpejam lalu tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar