Selasa, 17 April 2018

AKU HANYA MENCINTAIMU


Aku mencintaimu, tapi tidak ingin memilikimu
Karena apakah mencintai itu harus memiliki?
Apakah mencintai tuhan harus memiliki tuhan?
Aku tak akan egois, biar tuhan juga dimiliki oleh semua manusia, semua alam semesta
Begitu juga dengan, aku mencintaimu
Cinta hanya urusan pribadi, tak perlu aku menyeretmu ke dalam cinta ini
Apalagi memaksamu merasakan cinta yang belum tentu kamu suka
Sekali lagi, aku hanya mencintaimu, bukan ingin memilikimu

Namun jika kau ingin denganku, pastikan dulu itu bukan karena aku mencintaimu
Biar ini jadi lain cerita.

Jogja 150418

Sabtu, 17 Maret 2018

Senyuman Itu


Dering suara ponselnya terus berbunyi hingga terdengar sampai ke dapur yang membuat Jingga tergesa menuju kamarnya. Dilihatnya sebuah nama yang hampir setiap hari muncul di layar ponsel Jingga. Nama itu adalah Ayu.
“Halo, Yu!” jawab Jingga sembari duduk di bibir tempat tidurnya.
“Ke mana saja, to? Kok lama angkatnya?” protes Ayu di sana.
“Kamu tuh kayak udah sama pacarnya saja. Lama angkat telpon saja marah, huh!” ucap Jingga kesal.
“He he!” Ayu hanya bisa tertawa dalam telpon.
“Ada apa?” tanya Jingga kemudian.
“Temenin aku jalan-jalan, yuk?”
“Kapan?”
“Nanti siang, ya?”
“Wah, kalau nanti siang aku nggak bisa. Panas. Lagi pula ada acara sama ibu. Gimana kalau nanti habis magrib saja? Sekalian aku mau cari buku di Gramedia.”
“Kok malem, sih?”
“Kamu tuh, ya? Kayak nggak pernah pergi malam saja. Ya sudah, kalau nggak mau. Aku masih bisa pergi sendiri!”
“Iya, deh?” ucap Ayu pasrah.
“Nah, gitu dong!”
Tiba-tiba Jingga mencium bau gosong. Sontak iya mengucap istiqfar dan langsung melempar ponselnya ke tempat tidur.
“Halo! Halo! Jingga!” panggil Ayu di sana yang bingung ada apa dengan Jingga.
Di dapur Jingga menggerutu sendiri ketika melihat tempe yang tadi digorengnya menghitam gosong. Ibunya yang juga mencium bau gosong pun menghampiri ke dapur untuk mencari tahu asal bau gosong tersebut.
“Opo sek gosong, nduk?” tanya ibunya.
“Ini tempenya gosong, Bu.” jawab Jingga merasa bersalah karena telah meninggalkan tempe tersebut dalam keadaan api kompor masih menyala. “Tadi ada telpon terus Jingga lupa matiin kompornya,” lanjutnya.
“Makanya besok lagi jangan gitu! Kalau lagi masak mbok ya jangan ditinggal.”
“Iya, Bu. Besok nggak gitu lagi, deh? Jingga janji.”
“Ya sudah, dilanjut masaknya. Ibu juga mau lanjutin jahit.” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk merapungkan beberapa pesanan baju yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal rapi dalam menjahit baju dan selalu tepat waktu. Maka tak sedikit orang yang datang ke rumahnya untuk membuat baju kepada ibunya. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya sempat berencana untuk membuat toko butik kecil-kecilan. Tapi rencana itu tak terealisasikan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya.
***
   
Siang yang terik membakar hari, bahkan angin yang berhembus pun terasa panas terkena kulit. Arya memacu motor CB-nya agar cepat sampai di rumah. Motor CB itu sebenarnya milik Ayahnya Heru yang kini dilimpahkan kepada Arya. Motor itu sangat pas dengan penampilan Arya yang sangat sederhana.
“Lusuh amat kamu, Ar?” tanya Budhe Lastri.
“Iya nih, Budhe! Di luar panas banget cuacanya.” jawab Arya. “Arya langsung masuk ya, Budhe. Mau mandi dulu biar segar!” Lalu Arya meneruskan langkahnya menuju kamarnya.
Setelah mandi, rasa kantuk itu menyerangnya. Ia jatuhkan tubuhnya ke tempat tidur untuk segera tidur sebagai tambahan untuk memulihkan tubuhnya yang tadinya lesu. Dan Arya pun tertidur pulas.
Belum genap pukul empat sore, Arya terbangun dan tak mendapati siapa pun di rumah. Entah pada pergi ke mana para penghuni rumah ini. Biasanya Arya selalu mendapati Budhenya di depan tivi, aktifitasnya setiap sore. Lalu Pakdhenya yang hampir tiap sore mengurusi burung-burung peliharaanya pun sore ini tak nampak. Dan Heru, setahu Arya memang jarang di rumah. Biasanya Heru latihan band bersama temannya.
Dari pada diam sendiri di rumah, pikirannya tiba-tiba saja ingin pergi ke pantai. Tanpa pikir panjang, ia lalu bergegas ke sana. Lumayan untuk refreshing, pikirnya lagi.
Suara ombak yang bergulung-gulung, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai seakan memberi kedaiaan baginya. Rasa lelah, letih, lesu yang menyerang tadi siang seakan hilang seketika.
Arya yang duduk di atas gundukan pasir, terus menyaksikan matahari yang tengah tenggelam di ufuk barat. Sungguh elok langit sore ini pikirnya. Bagai memberi inspirasi untuk menulis puisi. Benar, perlahan ia menulis sebuah puisi yang ia beri judul “Jingga” di laptopnya yang setia menemani ke mana saja. Sebuah puisi yang berisi tentang keindahan langit sore yang berwarna jingga.
Setelah selesai, puisi itu ia kirimkan kepada sahabatnya, Dewi Kecil di sana. Suatu kebiasaan yang sudah lama ia lakukan.
Kini hari mulai gelap ketika matahari sepenuhnya telah tenggelam dan hilang. Arya beranjak pulang. Di tengah perjalanan, Arya teringat bahwa ia harus ke Gramedia karena ada yang harus dibelinya.
***
“Memangnya kamu mau cari apa di Gramedia, say?”
“Mau cari baju,” ucap Jingga sinis. “Haloo! Ke Gramedia ya cari buku, lah?” lanjutnya.
“Ini pertanyaanku yang salah atau yang jawab yang gila? Anak kecil juga paham kali kalau ke Gramedia cari buku. Maksudku cari buku apa, gitu?” Ayu menjelaskan. “Memang harus detail ya kalau tanya sama kamu!” lanjutnya.
Jingga tersenyum melihat temannya yang sudah mulai kesal. “Iya, sayang! Gitu saja manyun! Jelek ah kalau manyun gitu. Kayak kalkun!” ucap Jingga dan tersenyum kembali. “Aku mau cari bukunya Kahlil Gibran” lanjutnya.
“Dasar kutu buku! Kerjanya cuma beli buku saja! Sekali-kali mbok ya shopping, gitu?”
“Lah, ini kan juga shopping namanya?”
“Tuh, kan?” ucap Ayu cepat. “Maksud aku tuh, belanja yang lain selain buku. Baju kek? Tas kek? Apa kek, gitu? Memang buat apa to beli buku terus?”
“Kamu tuh aneh, ya? Buku kok buat apa? Ya dibaca lah! Buat nambah pengetahuan, nggak kayak kamu, ada sepatu model baru, dibeli. Tas model baru, diborong. Terus buat apa, coba?” balas Jingga.
“Fashion, dong!” jawab Ayu cepat. “Secara wanita cantik seperti aku harus selalu jaga penampilan. Masak wanita cantik barang-barangnya jadul? Harus ngikutin trend, dong!” lanjutnya menerangkan kepada Jingga dengan mantap.
“Cantik dari Hongkong?” kata-kata Jingga yang mampu membuat Ayu menyun kembali.
“Tuh, kan manyun lagi? Sudah dibilang jelek kalau manyun, gitu?”
“Ya habisnya kamu gitu!” ucap Ayu dalam keadaan manyun.
“Iya, deh. Temanku yang paling cantik sedunia. Ayu Larasati!”
Kini obrolannya berganti topik ke masalah Dimas. Karena Ayu melihat sejak peristiwa di ulang tahun temannya, Dimas seperti mendekati Jingga. Ayu terus memberi berondongan pertanyaan kepada Jingga yang dijawab dengan singkat. “Aku nggak ada apa-apa dengan Dimas.”
“Ah, bohong!” tangkis Ayu.
“Dimas itu bukan tipe aku”
“Memangnya tipe kamu gimana, Ga?” tanya Ayu jadi penasaran.
“Jadi, cowok tipeku tuh, yang romantis, yang pinter bikin puisi. Soal tampang nomer dua, lah! Yang pertama itu tadi.”
“Inget, Ga. Ini jaman android, nggak kayak jaman...” ucapannya terhenti karena lupa nama sang penyair yang ingin dia sampaikan. “Siapa itu penyair jaman dulu, Ga?” Ayu jadi bertanya kepada Jingga.
“Chairil Anwar?”
“Iya itu, Chairil Anwar. Sekarang tuh jamannya to the point. Nggak pake basa-basi. Kalau suka yang langsung bilang suka, nggak usah ribet pake puisi segala. Yang ada malah diketawain,” Ayu menjelaskan dengan sok berpengalaman. Padahal sampai sekarang dia pun masih sendiri.
“Terserah, lah! Yang penting aku cari cowok yang seperti itu, titik!” ucap Jingga dengan lantang.
“Ya, sudah! Tunggu saja sampai lebaran monyet. Bisa-bisa jadi perawan tua kamu.”
“Halah! Jaman to the point saja kamu juga belum punya pacar, to? Hayo mau alasan, apa?” Jingga membalik kata-kata Ayu untuk menyerangnya.
    Ayu hampir mati kutu mendapat pertanyaan itu. Wajah Ayu berubah. Dalam pikirannya hanya mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tadi. “Emm, mungkin cowok-cowok itu goblok dan katarak. Nggak bisa lihat ada cewek secantik aku,” jawab Ayu.
Dan Jingga hanya bisa tertawa saja.
“Ah, malah ketawa,” ucap Ayu.
***
Ayu yang sedari tadi hanya mengikuti Jingga di belakangnya mulai merasa jenuh setengah mati. Jingga hanya mondar-mandir di antara rak-rak buku.
“Say, aku tunggu di sana saja, ya?” ucap Ayu.
“Oke!” jawab Jingga singkat karena matanya terfokus pada deretan buku.
Tidak lama kemudian, akhirnya Jingga menemukan buku yang ia inginkan. Dengan wajah yang sumringah, ia meraih buku itu. Namun tangannya kalah cepat dengan tangan seorang lelaki yang mengambil buku itu lebih dulu. Wajahnya kembali meredup ketika ia tak lagi melihat buku yang lain dengan judul yang sama.
“Kamu mau mengambil buku ini?” tanya Arya.
“Iya, mas. Tapi kalau masnya mau beli buku itu ya buat mas saja. Kan masnya tadi yang duluan ambil buku itu,” jawab Jingga.
“Suka bukunya Khalil Gibran?” tanya Arya lagi.
“Iya, mas!”
“Ya, sudah kalau begitu. Ini buat kamu saja,” ucap Jingga sambil menyodorkan buku yang ada di tangannya.
“Tapi?”
“Aku cuma lihat-lihat saja, kok?”
“Oh! Tapi beneran, nih?”
“Iya!”
Lalu dengan mantap Jingga meraih buku itu yang sudah Arya sodorkan sedari tadi. “Makasih, mas?” ucapnya sambil memberikan senyuman kepada lelaki itu.
Arya hanya terdiam terpaku melihat senyum yang merekah di bibir wanita itu. Begitu manis, pikirnya. Dari semua wanita di kota ini yang pernah ia temui, baru sekali ini ia melihat senyum paling manis. Dari wanita yang masih berdiri di depannya.
“Sudah yuk, say? Bosen di sini!” suara Ayu tiba-tiba terdengar dari belakang.
Jingga menoleh ke arah di mana suara itu berasal. “Iya, sebentar!” jawab Jingga lalu pandangannya kembali ke arah semula. “Sekali lagi terima kasih buat bukunya.”
“Sama-sama!” jawab Arya singkat.
Dan Jingga tersenyum kembali sebelum benar-benar meninggalkan lelaki yang sudah mau mengalah untuknya.
“Siapa tadi, say?” tanya Ayu di depan kasir.
“Nggak tahu. Aku nggak kenal.”
“Kok, tadi bilang terima kasih buat bukunya?”
Salah satu yang membuat Jingga sebal dengan Ayu adalah sifat kepo yang berlebihan. Hal sekecil apa pun yang dialami Jingga akan selalu Ayu tanyakan dengan ambisius.
“Kayaknya tadi dia mau beli buku ini, tapi terus dikasih ke aku karena buku ini tinggal satu di rak.”
“Oh, gitu? Kirain kenal?”
“Kenapa memangnya?” Jingga balik bertanya kepada Ayu yang kepo.
“Manis juga orangnya. Lumayan, lah!”
“Kamu itu, ya? Dikit-dikit dibilang manis, dikit-dikit dibilang keren. Mungkin kambing dikasih baju juga kamu bilang manis dan keren!”
Ayu tersenyum lalu berkata “Ya, sudah. Sekarang gantian anterin aku shoping di Mall, ya?”
“Tapi jangan lama-lama!”


Minggu, 11 Maret 2018

TEMAN YANG HILANG



    Beberapa bulan kuliah di tempat yang baru, tidak banyak yang Arya kenal, selain sepupunya sendiri, Heru. Hingga suatu hari di sebuah koridor kampus, ia melihat sesosok lelaki yang tidak asing baginya. Lelaki itu sedang asik berbincang dengan beberapa wanita cantik. “Kok, kayak Dimas, ya?” Arya bertanya pada dirinya sendiri sembari mencoba mengingat-ingat.
Dalam ingatannya, dulu memang Dimas sempat bilang kalau dirinya akan pindah ke kota Jogjakarta, tempat di mana ayahnya di tugaskan. Waktu itu memang mereka masih SD. Sejak kepindahan Dimas, mereka memang tidak pernah saling bertemu dan komunikasi lagi.
Arya mulai yakin ketika ia mendengar salah satu wanita itu memanggil nama “Dimas”. Arya mencoba menghampiri Dimas yang entah masih ingat dengannya atau tidak. Dengan sedikit ragu, Arya mencoba untuk menyapanya.
“Dimas?” panggil Arya.
Dimas hanya menoleh heran dengan lelaki yang baru saja memanggil namanya.
“Lo beneran Dimas, kan?” tanya Arya.
“Iya. Sorry, lo siapa, ya?” tanya Dimas dengan penuh penasaran mengapa ada orang yang bertanya dengan logat Jakarta yang masih kental.
“Gua Arya. Temen lo waktu SD. Inget, nggak?”
“Arya?” Dimas mengerutkan dahinya mencoba keras mengingat nama itu.
“Ingat?”
“Bentar,” ucap Dimas melihat wajah lelaki yang di depannya penuh dengan seksama. “Maksud lo, Arya si culun itu? Arya yang pake kaca mata itu?” setelah Dimas merasa mengingat sosok itu.
“Yup, benar!” jawab Arya singkat dan tersenyum.
“Bentar, dulu. Kenapa lo bisa di sini?” ucap Dimas yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Terlebih lagi karena penampilan Arya begitu berbeda dengan yang terakhir ia lihat.
“Gua di sini kuliah, lah! Bukan cari cewek!”
“Kuliah di sini? Yang bener? Kok kita baru ketemu, ya?”
“Gua baru saja pindah ke sini.”
“Kenapa?”
“Pengen aja kuliah di Jogja.”
“Oh!”
“Kami pergi dulu ya, Dim?” ucap cewek-cewek centil yang sudah merasa dicuekin oleh Dimas.
“Oke, deh!”
“Dadaagh, Dimas!” ucap mereka serempak dengan nada manja.
“Centil banget mereka sama lo, Dim? Lo pakai pelet apa?” tanya Arya.
“Sorry, gua nggak level pakai pelet. Sudah lupain saja. Ini rencananya lo mau kemana?”
“Mau pulang.”
“Kalau gitu mampir ke rumah gua dulu, yuk?”
“Oke, deh!”
Dan mereka berjalan menuju di mana mobil Dimas diparkirkan. Setelah sebelumnya Arya memberi tahu Heru lewat telpon untuk meninggalkannya saja karena dirinya sudah mendapat tumpangan dari Dimas.
“Ini mobil lo, Dim?” ucap Arya setelah melihat mobil Dimas di parkiran. “Oh, jadi ini pelet yang lo gunakan. Pantesan!” lanjut Arya.
Sebuah mobil Honda Jazz putih dengan modifikasi dan Air Brush yang elegan terparkir mentereng di antara mobil-mobil yang lain. Jelas cewek mana yang tidak akan tertarik dengan Dimas, pikir Arya.
“Ya jelas lah, Dimas!” ucap Dimas dengan nada sombongnya.
“Ternyata sombong lo dari kecil nggak hilang-hilang, ya?”
Dan Dimas hanya tersenyum saja mendengar apa yang Arya ucapkan kepadanya.
Sepanjang jalan menuju rumah Dimas, di dalam mobil mereka asik mengobrol tentang masa lalu. Seakan mereka memutar video kenangan tentang masa SD dulu. Sewaktu SD, mereka adalah teman dekat. Kemana-mana mereka selalu berdua. Sebelum akhirnya mereka harus teripsah karena Dimas pindah ke Jogjakarta.
Dan hari ini adalah hari yang tidak disangka-sangka bagi mereka. Akhirnya mereka bertemu lagi di kota yang sama, di kampus yang sama. Seakan teman yang hilang kini telah kembali.
“Gimana nih, kabar temen-temen SD semenjak gua pindah?” tanya Dimas di sela menyetir mobilnya.
“Wah, seneng benget. Pokonya damai, tentram dan nggak ada lagi keributan!” ucap Arya sembari tensenyum menyindir Dimas yang terkenal sebagai Troublemaker di sekolahnya dulu.
“Sialan lo! Lo kata gua biang keributan?” ucap Dimas berusaha menyangkal.
“Ya begitu lah kira-kira.”
“Oh, iya. Kalau kabar Bu Wati, gimana?”
“Terakhir yang gua lihat, dia masih gendut kaya dulu.”
Dimas pun tertawa.
“Lo suka banget kan ngerjain Bu Wati?”
Dimas kembali tertawa lebih keras. Teringat ulahnya sendiri yang memang kerap mengerjai Bu Wati. Bagi Dimas tiada hari tanpa mengerjainya. Hingga sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia harus mendapat hukuman dari Bu Wati. Namun itu tetap saja tidak membuatnya jera. “Gatel gua kalau nggak ngerjain Bu Wati,” ucap Dimas.
    Kini Arya yang tertawa mendengar ucapan Dimas.
“Oh, iya. Terus gimana tuh si..” ucapan Dimas terhenti. Wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Siapa dulu cewek yang lo taksir?” lanjutnya bertanya kepada Arya.
“Diva?” jawab Arya.
“Iya, si Diva. Bukannya waktu gua pindah lo punya rencana mau nembak dia, ya?”
Arya malah tertunduk tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Sinar di wajahnya mendadak meredup. Seketika ia teringat peristiwa yang membuatnya malu yang tidak akan pernah ia lupakan.
“Kenapa lo, Ar?” tanya Dimas yang menyadari perubahan pada temannya itu. “Gua tahu nih. Pasti lo ditolak, kan?” lanjutnya dan diakhiri dengan gelak tawa.
“Sebenarnya gua belum sempat nembak dia, Dim. Waktu itu gua..” kata-katanya terhenti.
“Terus?”
“Waktu itu gua..” dan pikirannya melayang kembali ke masa itu.
“Arya!” panggil Bu Wati. Sedang menulis apa, kamu?” bentak Bu Wati ketika menyadari bahwa Arya tengah asik sibuk sendiri di mejanya.
“Tidak menulis apa-apa, Bu,” jawab Arya gemetar sembari menutup cepat bukunya.
“Bohong! Sini ibu lihat bukumu!” ucap Bu Wati. Dan ia menghampiri Arya dengan wajah garang. Membuat Arya semakin gemetar ketakutan, takut ketahuan. Dengan galak Bu Wati merebut buku yang coba disembunyikan oleh Arya.
“Apa ini, Arya?” tanya Bu Wati dengan nada marah setelah sempat membaca tulisan yang tadi Arya tulis. “Sini maju ke depan!” lanjut perintah Bu Wati.
Dengan gugup Arya melangkah berjalan ke depan dengan kepala yang tertunduk.
“Coba kamu baca ini!” perintah Bu Wati sembari menyodorkan buku yang tadi ia ambil.
Arya hanya bisa melirik ke arah teman-temannya.
“Ayo, Arya!” ucap Bu Wati lagi.
Dengan terbata-bata Arya mulai membaca tulisannya sendiri. Baru saja beberapa bait ia membaca, satu demi satu temannya mulai melepaskan tawa tanpa ada lagi rasa takut kepada Bu Wati yang sedang marah kepada Arya. Dalam hitungan detik, seisi kelas sudah pecah dengan gelak tawa karena mendengar Arya membacakan puisi cinta yang ditujukan kepada Diva.
“Hahaa..!” Dimas tertawa lepas mendengar cerita Arya. “Untung gua nggak ada di sana. Coba kalau ada, pasti gua anak yang tertawa paling keras!” lanjutnya masih dalam keadaan tertawa. “Lucu.. lucu!” lanjutnya lagi.
“Apanya yang lucu?” tanya Arya.
“Lucu aja. Secara ada anak SD mau nembak cewek pakai puisi. Lo kira anak SD bisa baper cuma dengan puisi? Malu-maluin saja lo, Ar?” ucap Dimas diselangi dengan tawa. “Lagian lo tuh ada-ada aja. Masak nembak cewek pakai puisi? Cemen banget, nggak gentle, lebay, kemayu kata orang jawa,” lanjutnya.
“Nggak usah ketawa lo, Dim. Suatu saat lo bakal ngalamin juga. Dan inget, kalau itu terjadi, gua yang akan tertawa paling keras di depan lo!” ucap Arya.
“Apa? Gua nembak cewek pakai puisi? Sorry ya, anti. Gua nggak bakalan kayak lo, Ar?” ucap Dimas sombong seakan hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.
“Ya, lihat saja nanti!” ucap Arya seperti mendoakan itu akan terjadi pada Dimas.
“Oke, kita lihat saja nanti,” ucap Dimas.

Sabtu, 10 Maret 2018

DI SUATU PESTA ULANG TAHUN


Jingga masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru setelah turun dari sepeda motornya untuk memberikan obat yang baru saja ia beli di Apotek.
“Nih obatnya, Bu!” Jingga memberikan bungkusan plastik yang berisi obat-obatan untuk mengobati adiknya yang baru saja terjatuh dari sepeda.
Bayu merintih kesakitan ketika ibunya mulai mengusap luka di lututnya dengan obat merah. Rasa perihnya membuat Bayu tidak tahan dan menangis tersedu.
“Makanya kalau naik sepeda hati-hati to, le!” tegur ibu dan terus mengusap luka Bayu dengan kapas.
Jingga yang melihat adiknya sedang menahan rasa perih pun ikut meringis, seakan ia ikut merasakan rasa perih dari luka yang terkena obat merah. Dari pada ia tidak tahan melihat adiknya yang terus merintih, ia putuskan untuk meninggalkan ibu dan adiknya.
Jingga memutuskan untuk istirahat saja di kamarnya. Baru saja ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di sampinya berdering. Dilihatnya nama Ayu yang tertera di layar ponselnya.
Dengan rasa malas ia menjawab panggilan masuk dari Ayu. Seakan ia sudah tahu maksud dari Ayu yang menelpon dirinya. “Iya. Halo, Yu?” nada bicaranya datar.
“Sudah siap to, say? Aku sudah siap meluncur ke situ, nih! Pokoknya nggak ada alasan lagi tiba-tiba nggak bisa ikut. Pokoknya aku sampai situ, kamu harus sudah siap. Dadagh!” suara cerewet Ayu dari balik ponsel.
“Halo, Yu! Ayu!”
            Ayu sudah keburu menutup telponya agar tidak ada alasan lagi yang akan keluar dari mulut Jingga. Cara itu pun berhasil membuat Jingga mau tidak mau harus pergi mandi dan bersiap untuk pergi dengan Ayu meski sebenarnya ia tidak tahu mau ke mana.
Dengan dandanan yang sederhana, tanpa banyak polesan di wajahnya,  tapi masih memancarkan kecantikan yang alami, Jingga menunggu Ayu di ruang tamu. Di sana ada Bayu yang sedang menonton tivi setelah lukanya diobati oleh sang ibu.
“Mau pergi ya, kak?” tanya Bayu.
“Iya, nih.”
“Mau pergi sama siapa, kak? Pacarnya, ya? Ciee..” telunjuk Bayu yang mungil diarahkannya ke wajah kakaknya.
“Iihh... apaan sih, dek! Kakak itu perginya sama Ayu.”
“Si miss ceriwis itu, kak?”
“Husss... nggak boleh gitu!” larang Jingga kepada Bayu. “Tuh, orangnya sudah dateng,” lanjut Jingga setelah mendengar suara mobil Ayu yang berhenti di depan rumah.
“Uups!” Bayu sambil membungkam mulutnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Hai, semuanya!” suara Ayu yang sudah berada di ruangan itu. “Sudah siap kan, Jing?”
“Don’t call me like that, okey? Please call my complete name. Jingga!” ucap Jingga cepat meralat dengan nada yang menekan jelas.
“Iya iya, nona Jinggaaaaa!” suara Ayu pun ditekan agak panjang untuk memperjelas pengucapan nama Jingga. “Sudah yuk kita berangkat, Jing? Eh salah lagi, Jingga maksudku,” Ayu tersenyum “Keburu malam nih,” lanjutnya lagi.
“Mau pergi ke mana, kak?” tanya Bayu yang ada di sebelahnya.
“Pergi main, sayang,” tangan Ayu mencubit gemas kedua pipi Bayu yang seperti bakpao. “Bayu mau ikut?”
“Nggak ah, kak. Lagian kaki Bayu lagi sakit nih.”
“Aduh kacian!” ucapnya dibuat manja “Emang kenapa kaki kamu?”
“Tadi jatuh, kak. Oleh-olehnya saja ya, kak. Hehehe!” ucap Bayu cepat.
“Iya. Nanti kak Ayu beliin, deh. Bayu mau apa?”
Walaupun ceriwis dan menyebalkan, Ayu adalah teman yang baik dan peduli dengan keluarga Jingga, terutama kepada Bayu, adik satu-satunya sahabatnya.
“Ayo, ah! Keburu malem!” ajak Jingga yang sebenarnya malas untuk pergi.
“Kak Ayu pergi dulu ya, sayang!” pamit Ayu sembari mencubit gemes pipi Bayu yang tembem.
Di dalam mobil, berteman lagu-lagu pop dan dipayungi warna-warni lampu kota yang mulai menyala. Ayu mengendarai mobilnya tak begitu kencang, rasanya sayang melewatkan tiap jengkal jalan yang begitu hangat dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala dan hiruk-pikuk lalu lalang orang dengan aktifitasnya.
Di dalam mobil, berteman lagu-lagu pop, mereka saling berbincang dan sempat Jingga menanyakan kemana tujuan hari ini. Ayu memang tidak memberi tahu Jingga sebelumnya. Ia memang sengaja. Sebab jika ia memberi tahu Jingga sebelumnya, Jingga pasti menolaknya dengan mentah-mentah.
“Memang sebenarnya kita mau ke mana to, Yu?” tanya Jingga penasaran.
“Ke acara ulang tahun temenku,” jawab Ayu tanpa ada rasa berdosa. “Anak orang kaya, loh! Pasti temennya juga kaya-kaya dan cakep-cakep,” lanjutnya berusaha tak membuat Jingga marah karena mengajaknya ke acara yang tak begitu disukai oleh Jingga.
“Ulang tahun? Ayu! Kamu tahu kan aku nggak suka datang ke acara begituan!” ucapnya keras. Dan Ayu hanya bisa tersenyum saja. Ayu memang sudah hafal apa yang tidak disukai Jingga, ia tahu Jingga akan menolak jika dari awal ia memberitahunya. Tapi Ayu juga malas jika harus datang sendiri ke acara tersebut. Makanya dengan taktik itu, Ayu mengajak Jingga untuk menemaninya.
“Ah, kamu tuh, Yu!” lanjut Jingga kesal.
“Iya, maaf. Sekali-kali nggak apa-apa, to? Dari pada di rumah terus, nggak gaul. Bete, kan?”
“Itu kalau kamu. Kalau aku nggak, tuh!” elak Jingga ketus.
Tapi mau bagaimana lagi, Jingga tidak bisa apa-apa lagi. Ia tidak mungkin meminta Ayu untuk memutar balik mobilnya. Dengan terpaksa dan mulut yang manyun, Jingga pasrah saja dibawa pergi ke acara ulang tahun tersebut.
***
Suasana pesta tersebut sangat meriah dengan iringan musik DJ. Di sana-sini banyak terlihat remaja dengan berbagai aktifitas, ada yang riuh saling selfie, berbincang dan tertawa, ada yang bergoyang mengikuti irama musik DJ, ada juga yang terlihat berkali-kali mencicipi semua hidangan yang ada. Namun tidak dengan Jingga, ia lebih memilih duduk di bangku taman yang berada agak jauh dari sana.
“Ayo, to ikut gabung di sana?” ucap Ayu sembari mencoba menyeret tangan Jingga dengan kedua tangannya. “Cowoknya cakep-cakep, loh!” rayunya lagi. Namun rayuannya tidak membuat Jingga berubah pikiran untuk tetap duduk menyendiri jauh dari acara tersebut. “Ya sudah, kalau begitu,” ucap Ayu pasrah dan ia meninggalkan Jingga sendirian.
Di tengah keasikannya duduk sendiri di bangku taman yang membuatnya nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk acara tersebut, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok lelaki yang berjalan ke arahnya. Jingga belum mengetahui siapa lelaki tersebut itu karena lampu di belakangnya justru menyembunyikan wajah lelaki itu.
“Hai, Jingga!” masih dengan wajah yang tersembunyi, lelaki itu menyapa Jingga yang membuatnya semakin penasaran. Mengapa lelaki itu tahu namanya, pikir Jingga.
“Oh! Kamu, Dim?” ucap Jingga yang sudah bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas.
“Ngapain kamu sendirian di sini? Nggak ikut gabung dengan mereka?” ucap Dimas yang sudah duduk di sebelah Jingga tanpa permisi.
“Aku lebih suka di sini dari pada di sana,” jawab Jingga.
“Oh, gitu? By the way, kamu kenal juga sama yang ulang tahun?”
“Nggak, sih. Cuma tadi diajak sama Ayu. Temen sekolah dulu katanya.”
Di tengah obrolan mereka, mata Dimas menangkap kecantikan wajah Jingga yang tersiram cahaya bulan yang kebetulan saat ini bulan sedang purnama. “Ternyata cantik juga si Jingga ini. Apalagi kalau rambutnya terurai gini,” ucap Dimas dalam hati.
“Kamu nggak ikut gabung juga sama mereka?” tanya Jingga.
Tapi Dimas hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan Jingga. Sepertinya Dimas sedang terkena hipnotis oleh kecantikan wajah Jingga yang membuatnya hanya bengong saja.
“Halo!” ucap Jingga dengan sedikit mengeraskan volume suaranya.
 “Sorry.. sorry.., kenapa tadi?”
“Yee! Malah melamun. Tadi aku tanya, kamu nggak gabung dengan mereka?” Jingga mengulangi pertanyaannya.
“Males. Lebih suka di sini.”
“Kamu ikut-ikutan saja?”
“Aku nggak ikut-ikutan kamu. Memang benar aku lebih suka di sini,” ucap Dimas. “Terlebih ada kamu, Ga!” lanjutnya dalam hati.
“Hayoo! Ketahuan mojok berdua. Oh, ini alasannya tadi nggak mau ikut gabung ke sana. Rupanya mau mojok?” ucap Ayu tiba-tiba yang membuat mereka kaget.
“Ihh! Apaan sih, Yu?” ucap Jingga yang seketika pipinya memerah merasa malu oleh kata-kata Ayu tadi.
“Sudah nggak apa-apa. Jangan malu gitu,” lalu Ayu mengalihkan pandangannya ke arah Dimas dan bertanya “Kamu di sini juga, Dim?”
“Iya dong, Dimas!” jawabnya sedikit menyombongkan diri. Dimas memang terkenal suka menyombongkan diri di kampus. Apalagi di depan para cewek-cewek. Maklum, Dimas adalah anak tunggal dari orang tuanya yang sangat kaya.
“Ya, sudah. Dilanjut mojoknya, aku pergi dulu. Dadagh!” ucap Ayu.
Tapi tangan Jingga dengan cepat meraih tangan Ayu sebagai tanda ia melarang Ayu untuk pergi meninggalkan dirinya bersama Dimas. Jingga sudah terlanjur dibuat malu dengan ucapan Ayu tadi. Ia tidak ingin berduaan lagi bersama Dimas. Namun Ayu mampu melepaskan genggaman tangan Jingga dan berhasil untuk pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua.
“Yu! Ayu!” teriak Jingga.
“Sudah biarkan saja. Kita malah bisa berduaan lagi, kan?” ucap Dimas percaya diri.
“Ah, apaan sih, Dim?” dan wajah Jingga semakin memerah.
Dimas hanya tersenyum melihat Jingga yang rupanya ia tahu bahwa Jingga sedang merasa tersipu malu. “Eh, kita tadi sampai mana?” tanya Dimas untuk memulai obrolannya kembali.
“Maaf, Dim. Aku pergi dulu, mau nyusul Ayu,” pamit Jingga yang sudah merasa tidak enak berduaan dengan Dimas. Tidak seperti tadi sewaktu Ayu belum muncul dan berkata seperti itu yang membuatnya merasa malu. Jingga lalu bergegas meninggalkan Dimas sendiri.
“Jingga!” panggilan Dimas pun tak diindahkan lagi oleh Jingga. Jingga tetap saja berlalu dan menghilang di tengah keramaian.
Kini tinggal lah Dimas sendirian di bangku taman yang tadi adalah tempat ternyaman bagi Jingga. Banyak hal yang kini ia pikirkan dalam benaknya tentang Jingga.
“Pulang, yuk?” ajak Jingga yang sudah menemukan Ayu dalam keramaian pesta.
“Bentar lagi, Ga. Tanggung nih, lagi asik!” jawab Ayu yang tak berhenti mengikuti alunan musik dari DJ.
“Sudah malam, nih? Nggak enak pulang terlalu malam,” Jingga terus berusaha merayu Ayu.
“Lima menit lagi, ya?”
“Ya sudah, aku pulang sendirian saja. Biar kamu yang diomelin sama ibuku karena nggak tanggung jawab!” ancam Jingga.
“Iya deh, kita pulang sekarang,” ucap Ayu pasrah.
***

Malam mulai larut tapi suasana kota Jogja semakin ramai. Lalu lalang kendaraan seakan membuat kota Jogja semakin hidup di malam hari. Lampu-lampu kota, Traffic Light dan sinar bulan pernama pun ikut mewarnai malam yang panjang ini.
Mobil Ayu menepi dan berhenti di depan penjual martabak manis untuk menepati janjinya kepada Bayu.
“Beli oleh-oleh bentar ya, Ga? Buat Bayu.”
“Sudah nggak usah, Yu!”
“Sudah nggak apa-apa?”
“Sudah malam juga, Yu. Bisa tambah gendut dia nanti.”
“Sudah biarin saja. Sudah terlanjur janji juga sama Bayu.”
“Ya sudah lah terserah kamu saja!”
“By the way, kok tadi bisa berduaan sama Dimas? Gimana ceritanya?” tanya Ayu setelah memesan martabak manis.
“Nggak tahu. Tiba-tiba saja dia ada di sana.”
“Ngomongin apa saja tadi?” tanya Ayu dengan wajah yang penasaran.
“Ngobrol biasa saja. Nggak ada yang penting.”
“Tapi kayaknya asik banget tadi. Mesra lagi!” ucap Ayu seraya bahunya menyenggol bahu Jingga.
“Apaan sih, Yu? Mulai lagi, deh?”
“Sudah sikat saja. Mumpung kamu belum punya cowok, kan?”
“Mulai ngawur deh ngomongnya?”
“Ngawurnya di mana, coba? Dia kaya, loh? Cakep lagi. Sudah gitu jadi idola lagi di kampus.”
“Nah, itu dia?”
“Itu dia kenapa?”
“Dengerin dulu makanya ada orang ngomong. Maksud aku, justru dia idola di kampus, makanya aku nggak suka.”
“Bukanya malah bangga bisa dapetin sang idola, ya?”
“Itu kalau kamu, Yu! Kalau aku sebaliknya.”
“Tapi..” Ayu tak lagi bisa meneruskan kata-katanya. Ia bingung harus mengatakan apa lagi.
“Sudah, ah! Nggak usah bahas itu lagi. Tuh martabakmu sudah jadi.”

Jumat, 09 Maret 2018

PERJALANAN


Sinar mentari yang jatuh hingga menembus sampai ke dalam kamar, suara gaduh yang datang dari luar seakan membangunkannya di pagi ini. Tapi rasanya Arya masih saja malas untuk beranjak dari tempat tidurnya yang begitu nyaman baginya. Ia hanya membuka matanya sedikit saja. Tapi ia masih bisa melihat dengan jelas ketika jarum jam di dinding menunjukkan pukul 06:35 WIB. Dan seketika itu pula matanya jadi terbelalak, membuat tubunya pun beranjak dari tempat tidurnya dengan cepat.
“Ah, kesiangan!” gerutunya. Arya bergegas pergi untuk mandi dengan buru-buru. Kesialannya bertambah satu lagi ketika ia lihat pintu kamar mandi tertutup, tanda ada seseorang di dalam.
Diketuknya pintu itu. “Bentar!” suara keras dari dalam. Menyadari bahwa yang ada di dalam sana adalah adiknya, Arya mencoba untuk mengetuk pintu itu lagi dengan lebih keras dan berteriak “Woi, cepetan!”. Tapi dari dalam justru tak ada respon sedikit pun ketika Dian juga menyadari di luar sana adalah Arya, kakaknya.
Sepuluh menit berlalu, Dian masih saja belum keluar dari kamar mandi dan membuat Arya semakin gelisah. Diketuknya sekali lagi pintu itu lebih keras dari sebelumnya. Dan keluarlah gadis kecil sembari tersenyum dengan nada mengejek.
Mereka memang tak pernah akur jika bersama. Bagai tikus dan kucing saja sifatnya. Banyak alasan yang membuat mereka berkelahi dan ada-ada saja hal yang mereka rebutkan.
“Sengaja, ya?” ucap Arya sinis.
“Kenapa? Telat, ya? Duh kasihan deh lo!” ejek Dian lalu berlari sebelum mendapat perlawanan dari Arya.
Tak banyak waktu yang Arya habiskan di dalam kamar mandi. Hanya sepuluh menit saja, itu sudah lebih dari cukup untuk sekadar menyegarkan tubuhnya di pagi ini.
***
Semua keluarganya sudah lebih dulu berada di meja makan dan menikmati sarapan pagi, termasuk Dian yang baru saja selesai mengenakan seragam sekolah. Belum juga Arya sampai di meja makan, ibunya langsung menyambutnya dengan beberapa pertanyaan tentang keinginannya untuk pindah kuliah di Jogjakarta.
“Kamu sudah yakin mau pindah ke Jogja, Ar?” tanya ibunya dengan nada datar, namun tersimpan jelas rasa ketidak-percayaan di dalamnya.
“Ya, sudah dong, bu,” jawab Arya setelah ia duduk di sebelah ibunya. “Ini tinggal berangkat” lanjut Arya. Lalu pandangannya terfokus pada hidangan di atas meja.
“Terus, jadi juga tinggal di rumah Budhemu?” tanya ibunya lagi.
“Jadi,” jawabnya singkat sembari tangannya mengambil hidangan tersebut untuk sarapan paginya.
“Tapi inget, jangan bikin masalah di rumah Budhemu. Paham?” nasehat ibunya setelah meneguk habis air putih.
“Tenang saja, bu. Aku kan anak baik-baik,” jawab Arya.
“Baik dari Hongkong?” ucap Dian tiba-tiba dengan nada ketus.
“Udah, deh. Anak kecil diem aja! Anak masih ingusan aja mau ikut campur. Dilap dulu itu ingus!” ucap Arya sambil melempar lap dan mengenai wajah Dian. Dan Dian hanya bisa membalas dengan melempar kembali ke arah wajah Arya, namun mampu ditangkisnya.
“Kalian tuh, ya? Berantem terus kerjaannya,” lalu ibunya melihat ke arah Arya. “Kamu juga, Ar. Sudah besar nggak mau ngalah sama adeknya, “ lanjut ibunya. Dan Arya hanya terdiam sambil terus menyantap makanannya.
“Kalau begitu, Arya pamit dulu,” ucapnya setelah ia menyelesaikan sarapan paginya. Arya beranjak dari tempat duduknya. Lalu ia salami satu per satu tangan kedua orang tuanya sambil mencium tangannya, kecuali Dian. Karena Arya tahu Dian tak mungkin mau untuk disalaminya.
Namun tebakan Arya salah. Bahkan tak pernah ia bayangkan, Dian mau memeluknya. Arya bingung melihat apa yang adiknya lakukan. Tak pernah sekali pun Dian melakukan hal itu kepada Arya sebelunya. Pelukannya begitu erat seperti takut kehilangan. Tangan Arya mulai ikut memeluk tubuh kecil Dian yang sudah menempel di tubuhnya.
“Kalau kak Arya pergi, terus yang menemin Dian main siapa?” suara lirih yang keluar dari mulut Dian.
Kata-kata Dian seperti mampu meluluhkan hati Arya yang sekeras batu. Kata-katanya begitu polos, begitu lugu dan menyentuh. Ada sesuatu yang beda, Arya merasa benar-benar ada rasa kasih sayang antara ia dan adiknya. Arya menarik nafas panjang, lalu melepaskan pelukannya untuk bisa mensejajarkan wajahnya dengan wajah adiknya. Arya melihat air mata Dian sudah membasahi pipinya.
“Kakak pergi dulu, ya? Kakak mau kuliah dulu di sana,” ucap Arya. “Kakak pasti pulang, kok?” lanjutnya.
“Kapan?” tanya dian cepat.
“Ya, besok kalau libur kuliahnya.”
“Beneran?”
“Beneran. Kakak janji.”
“Awas kalau bohong!”
“Iya. Ya sudah, kalau begitu kakak berangkat dulu, ya? Jangan nakal ya di rumah,” ucap Arya dan Dian hanya tersenyum manis tanpa mengeluarkan kata-kata.
Arya menghela nafas panjang lagi. Dengan langkah kaki yang pasti, ia melangkah pergi meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Jogjakarta.
***
Dengan menggunakan Kereta Api Argo Dwipangga, Arya meninggalkan kotanya, meninggalkan hiruk-pikuk kota yang selama ini telah mengkotaminasi dirinya, juga meninggalkan semua kenangan yang memang ingin ia lupakan.
Tidak terasa hampir seharian Arya berada dalam Kereta Api, dalam perjalanan menuju kota tujuan. Sekitar pukul 3 sore, kereta pun terhenti di Stasiun Tugu.
Arya menuju peron untuk mencari Heru yang sudah berada di sana. Heru adalah sepupunya yang sudah ia tugasi untuk menjemput dirinya di Stasiun.
“Hai, Ru?” sapa Arya setelah melihat heru dari beberapa jarak langkah. “Sudah dari tadi?” lanjutnya setelah berada di depan Heru.
“Sudah dari kemarin malahan,” jawab Heru kesal karena ia sudah menunggu dari jam 2, sesuai perintah Arya. Heru memang seperti itu orangnya, suka Hiperbola kalau bercanda. “Yee, malah ikutan duduk! Ayo, ah!” lanjut Heru setelah melihat Arya duduk di sebelahnya.
“Istirahat bentar, Ru. Capek, nih?” keluh Arya.
“Nanti saja istirahatnya di rumah. Aku sudah bosen dari tadi nunggu kamu di sini,” ucapnya sambil beranjak pergi.
Mau tak mau Arya harus beranjak dari tempat duduknya untuk mengikuti sepupunya. “Ru, tungguin gua!” teriaknya.
 Matahari masih terasa terik walau hari sudah menjelang sore. Seakan masih kuat membakar kulit yang membuat lelah semakin menjadi. Arya ingin segera sampai di rumah Budhe Lastri.
“Naik motor, Ru?” tanya Arya.
“Nggak. Kita naik pesawat,” jawab Heru hiperbola lagi. Padahal Arya sempat membayangkan dirinya akan dijemput menggunakan mobil. Ia sudah membayangkan sejuknya AC mobil yang begitu sejuk. “Ya, iya lah. Sudah tahu cuma punya motor, pakai tanya segala. Sudah ayo cepet naik!” lanjut Heru.
“Ya, kirain special. Sewa mobil gitu buat jemput gua,” ucap Arya.
“Special gundulmu kui!” jawab Heru.
Dan akhirnya mereka pulang dengan mengendarai motor milik Heru. Arya berharap segera sampai untuk merebahkan tubuhnya yang sudah begitu lelah yang terenggut oleh perjalanannya.
“Assalamualaikum, budhe!” salam Arya setelah melihat budhenya yang tengah asik di depan tivi yang membuatnya tidak menyadari bahwa Arya sudah datang.
“Waalaimumsalam!” jawab budhe sambil menoleh ke belakang. “Eh, kamu Ar? Maaf budhe ndak tahu kalau kamu sudah sampai,” lanjutnya.
“Keasikan nonton sinetron sih budhe?” ucap Arya sambil mencium tangan budhenya. “Kalau sudah nonton sinetron saja, jadi lupa semuanya. Sampai nggak aku masuk. Kalau maling yang masuk gimana, coba?” lanjutnya.
“Ah, kamu Ar. Ada-ada saja.”
“Cuma sekadar mengingatkan saja budhe. Nggak ada salahnya kan hati-hati dan waspada. Nggak ada yang nggak mungkin, kan?”
“Iya, deh. Kamu tuh persis ibumu. Pinter kalau ngomong.”
“Masak sih, budhe? Tapi kata temen-temenku, aku tuh pendiam, loh?”
“Iya, pendiam. Tapi kalau sudah ngomong, nerocos terus kayak beo.”
Arya hanya tersenyum tanpa membalas ucapan budhe Lastri.
“Ya, sudah. Kamu istirahat dulu sana. Sudah budhe siapin kamarnya.”
“Yang mana, budhe?”
“Yang itu, Ar!” tangan budhe menunjuk ke arah sebuah kamar yang terletak tak jauh dari ruang tamu.
“Oke! Aku istitahat dulu ya, budhe?”
Sebuah kamar yang memiliki jendela dengan pemandangan sebuah taman kecil yang ditanami beberapa jenis tanaman, termasuk beberapa jenis bunga.
Arya membuka jendela tersebut dan berdiri memandang keluar. Hembusan angin pun berebut masuk mengenai tubuh Arya yang memang sudah lelah. Dan menciptakan rasa kantuk di dalam diri Arya.
Dengan belaian angin sepoi-seopi yang berhembus mesra, Arya rebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Seketika matanya terpejam, lalu tertidur.

Kamis, 08 Maret 2018

PROLOG

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21:15 WIB. Tapi hujan di luar sana masih saja belum berhenti mengguyur bumi. Ribuan rintiknya masih terdengar seperti melodi indah yang tercipta di atap rumah. Kini hawa dingin mulai menyeruak masuk dari celah-celah jendela kamar dan mengusir suhu kamar, tapi ia masih saja asik dengan laptopnya tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca malam ini. Hanya suara ponselnya yang dapat menghentikan tangannya yang sedang bergelut dengan keyboard laptopnya.
“Hai, Malaikat Kecil,” chat Dewi Kecil kepadanya.
“Hai juga Dewi Kecil,” balasnya kepada Dewi Kecil.
“Apa kabar kamu? Kemana saja, nih? Kok sudah lama nggak kirim puisi? Kenapa? Sibuk, ya?” chat Dewi Kecil yang bertubi-tubi.
“Baik-baik saja kok. Dan nggak kemana-mana. Soal puisi, ya maaf. Aku lagi nggak ada mood buat nulis puisi dan mengirimkannya ke kamu.”
“Tapi tumben nggak ada mood buat nulis puisi? Biasanya hampir tiap malam kamu kirim aku puisi. Sampai kewalahan aku nyalin di buku.”
“Siapa juga yang nyuruh kamu salin ke buku. Tapi ngomong-ngomong sudah berapa buku puisiku di kamu?”
“Dua buku udah ada, tuh.”
Belum juga ia selesai mengetik, datang lagi chat dari Dewi Kecil yang membuat ia menghapus kembali apa yang sempat ia tulis tadi.
“Diterbitin boleh juga, tuh?”
“Mana ada penerbit yang mau nerbitin bukuku? Puisi asal-asalan gitu.”
“Dicoba apa salahnya? Asal-asalan tapi bagus kok. Sampai baper aku bacanya.”
“Ah, dasarnya kamu baperan mungkin orangnya. Cewek kan gitu, mudah baper.”
Dewi Kecil hanya membalas dengan emot sedih.
“Udah nggak usah sedih, aku bercanda kok.”
Kini Dewi Kecil mengirim emot tersenyum.
Tak terasa sudah hampir 3 jam ia dan Dewi Kecil saling mengobrol lewat chat di ponselnya. Dan rasanya, semua cahaya yang ada di ruangannya mulai meredup. Mungkin karena matanya kini seperti lilin yang perlahan kehabisan pendarnya, lalu mati.
Tapi ia masih saja ingin mengobrol dengan Dewi Kecil. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan. Meski sebenarnya mereka belum saling mengenal dan bertemu di dunia nyata. Bukan mereka tidak mau dan tidak bisa, tapi itu sudah menjadi kesepakatan mereka dari awal pertemuan yang tanpa sengaja di dunia maya setahun yang lalu. Bahkan sekadar nama pun mereka saling merahasiakan. Dan mereka lebih nyaman dengaan sebutan Dewi Kecil dan Malaikat kecil. Nama itu begitu saja tercipta diantara mereka untuk saling memanggil.
“Kenapa ya, kalau kita kita ngobrol seperti ini nggak ada habisnya?” datang chat lagi dari Dewi Kecil.
“Nggak tahu. Apa mungkin karena kita belum saling kenal, ya?”
“Kok bisa?”
“Nggak tahu juga.”
“Ah kamu, nggak tahu terus?”
“Ya, nggak tahu.”
“Tuh kan, nggak tahu lagi.”
Ia hanya mengirim emot tersenyum dan tertawa sekaligus.
“Boleh aku bertanya?”
“Di sini nggak ada polisi yang melarang untuk bertanya. Jadi silahkan bertanya kepadaku, yang penting nggak bertanya apa yang sudah kita sepakati dulu.”
“Iya, aku masih inget, kok. Aku cuma mau bertanya, kenapa kamu suka sekali menulis puisi?”
“Karena aku tidak bisa menulis cerita.”
“Ihh!”
“Hehehe! Jawabannya, entahlah. Aku hanya sekadar menulis apa yang ingin aku tulis saja tanpa ada niatan untuk menulis puisi. Makanya tadi aku bilang puisiku itu hanya asal-asalan.”
“Oh, jadi sekadar ingin menulis apa yang ingin kamu tulis ya?”
“Iya.”
“Terus seandainya ada yang tiba-tiba minta ditulisin puisi, gimana? Bisa?”
“Kadang bisa, kadang nggak.”
“Kalau gitu aku coba, ya?”
“Ah, nggak usah lah.”
“Ayo lah.”
“Kemana?”
“Bikinin aku puisi sekarang.”
“Hmmm, aku coba.”
“Gitu, dong!”
“Mau tentang apa?”
“Tentang pekerjaan.”
Lalu tidak ada lagi balasan chat dari Malaikat kecil kepada Dewi Kecil. Sepertinya ia sedang menulis sebuah puisi atas permintaan sahabatnya itu. Dan di belahan dunia yang lain, Dewi Kecil dengan sabar menunggu puisi dari sahabatnya itu.
“Tak perlu kau resah, memikirkan kertas-kertas di meja kerja, atau omelan bos siang tadi, akhiri saja hari ini, dengan pejamkan mata, lalu padamkan bara api semangat dalam diri, dan jangan lagi berkata.”
Sebuah chat puisi datang di ponsel Dewi Kecil setelah 10 menit Malaikat Kecil menghilang.
“Makasih, ya Malaikan Kecil,” balas Dewi Kecil.
“Sama-sama.”
“Ah, kenapa mataku jadi ngantuk, ya? Apa puisimu mengandung sihir, ya?”
“Ah, itu mah dasar kamunya yang udah ngantuk.”
“Ya, sudah. Aku tidur dulu, ya?”
“Oke. Aku juga mau tidur. Besok mau pergi.”
“Kemana?”
“Kan nggak boleh tanya soal tempat. Perjanjian nomer tiga.”
“Oh iya. Aku lupa.”
“Oh iya juga. Pernah nggak kamu bayangin suatu saat kita itu bertemu? Atau bayangin, ternyata kita adalah teman di dunia nyata, atau bahkan kita adalah musuh?”
“Ada-ada saja kamu. Tapi aku malah nggak kepikiran sampai situ.”
“Ya, siapa pun kita, jika suatu saat salah satu diantara kita ada yang tanpa sengaja tahu siapa kita, tolong tetap rahasiakan saja. Aku ingin Dewi Kecil dan Malaikat Kecil menjadi rahasia selamanya yang hidup di dunia seperti ini saja.”
“Oke siap! Sudah ah ngobrolnya. Orang tadi aku sudah pamitan mau tidur juga.”
“Iya, deh.”
Dan lelah di tubuh Malaikat Kecil pun menjadi, seakan memaksanya untuk ikut mengakhiri hari ini. Dengan berselimut gelap dan dingin, ditemani rintik hujan yang masih terdengar, ia mulai merebahkan tubuh lelahnya setelah ia tidak lupa mematikan laptopnya. Dan matanya perlahan terpejam lalu tertidur.

Selasa, 06 Maret 2018

Seperti Gunung


Jarak yang kauciptakan justru melahirkan satu hal yang tak kubayangkan sebelumnya. Keindahanmu justru semakin bisa kulihat saat kau semakin jauh dariku, aku semakin terpana kepadamu, semakin aku jatuh cinta kepadamu.
Kau seperti gunung, yang cukup dari jarak ini saja untuk bisa melihat keindahanmu utuh. Namun, suatu saat nanti aku pasti akan mendakimu, saat rindu sudah menggebu untuk menaklukkan puncak dari hatimu. Dan aku akan mengerti, darimu, dari puncak hatimu, betapa indah melihat sekitar.

Kamis, 01 Maret 2018

Di Sudut Kota Ini


Kumencarimu di sudut kota,
saat kau tak lagi ada di sudut kata
Kau menghilang,
dari barisan puisi-puisi yang kutulis
dan meninggalkan rindu yang miris

Aku tak ingin terus menerus menulis tentang rinduku padamu,
aku hanya ingin menulis tentangmu,
tentang kita,
juga tentang mimpi-mimpi yang pernah ada

Ke mana kini perginya dirimu,
dirimu yang menjadi jantung di setiap puisi-puisi yang kutulis,
dirimu yang selalu ada di setiap waktu aku menulis
Kembalilah,
aku di sudut kota ini menunggumu

Jogjakarta 060218

Rabu, 28 Februari 2018

Di Belakangku

Tak mengapa kau main curang di belakangku, berbagi cinta dengan yang lain. Aku akan tetap berdiri dan terus memandang ke depan. Aku tak akan sekali-kali melihat ke arah di mana kau menghianatiku. Hatiku terlalu berharga untuk berbalik arah kepadamu dan menjadi pendaratan pelukmu yang penuh dusta.

Di depanku, jalan masih amatlah panjang, jalan yang lebih berharga dari sekadar aku kembali padamu. Dan meskipun aku akan berhenti nanti, itu bukan karena kamu, tapi karena ada tempat yang lebih nyaman untuk berbagi, tempat yang membuatku lupa akan hal yang pernah tertancap di punggungku

Sabtu, 24 Februari 2018

Tak Mau Sendiri


Senja yang hilang berganti malam
Membuat kesepianku semakin dalam
Ditelan semua yang aku benci dari kesendirian
Di mana kamu yang telah memberiku kesepian
Tak bisakah kau datang meski sebentar
Memecahkan kesepian yang begitu datar
Aku tak mau terus sendiri
Tanpa kamu berhari-hari

@DH – JOG180218