Senin, 29 Februari 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.4

Jingga buru-buru masuk rumah setelah turun dari sepedanya dan langsung menuju kamar adiknya. Ibunya sudah menunggu cemas dari tadi. Menunggu Jingga yang sedari tadi keluar membeli obat buat adiknya.
“nih bu obatnya”. Jingga memberikan bungkusan plastik yang berisi obat-obatan tuk mengobati adiknya yang baru saja terjatuh dari sepeda.
Bayu merintih kesakitan ketika ibunya mulai mengusap luka di lututnya dengan obat merah. Rasa perihnya membuat Bayu tak tahan dan menangis tersedu.
“makanya kalau naik sepeda hati-hati to” tegur ibunya dan terus mengusap luka Bayu dengan kapas.
Jingga yang melihat adiknya menahan rasa perih pun ikut meringis seakan ikut merasakan rasa perih dari luka yang terkena obat merah. Dan sesekali Bayu menjerit kesakitan saat dia tak tahan menahan perihnya. “pelan-pelan bu”. Tapi ibunya tak peduli dengan rintihan Bayu, ibunya tetap saja mengusap luka Bayu dengan obat tadi. Jingga yang merasa kasihan melihat adiknya, akhirnya tak tahan dan keluar meninggalkan mereka. Biar ibunya saja yang mengurusi Bayu.
Jingga menuju ke kamarnya untuk istirahat. Baru saja ia merebahkan tubuhnya di kasur yang penuh boneka koleksinya, tiba-tiba telepon genggamnya yang tergeletak di sebelahnya, berdering berulang-ulang. Di lihatnya nama Ayu yang tertera dipanggilan masuk. Dengan rasa malas ia terima panggilan dari Ayu yang ia sudah tahu apa maksud dari panggilan itu. “ya halo Yu” nadanya datar tak semangat.
“udah siap to say? aku udah siap meluncur kesitu nih. pokoknya ndak ada alasan lagi tiba-tiba ndak bisa. Nanti aku sampai situ, kamu harus sudah siap ya. daa daa” kata-katanya memaksa dan tak memberi Jingga kesempatan untuk bicara.
Yu halo Yu, Ayu”
            Dan Ayu sudah keburu menutup teleponya agar tidak ada alasan lagi yang akan keluar dari mulut Jingga.
“yah terpaksa deh nganterin Ayu pergi” gerutu Jingga sambil ia melempar telepon genggamnya ke kasur.
Dengan dandanan yang sederhana tapi masih tetap terlihat wajahnya yang manis, ia menunggu di ruang tamu sambil menonton televisi bersama Bayu yang masih kesakitan.
“mau pergi ya kak?”
“iya ni. masih sakit ndak lukanya?”
“masih sedikit ni kak. oya. mau pergi sama siapa kak? pacarnya ya? dandannya cantik banget. Hayo ngaku aja kak” Bayu sedikit tersenyum, telunjuknya yang mungil di arahkannya ke wajah Jingga.
“iihh. apaan sih dek. kakak tu perginya sama Ayu”
“si miss ceriwis itu kak?
“hus. ndak boleh gitu” larang Jingga kepada Bayu. “tuh orangnya sudah dateng” setelah Jingga mendengar suara mobil Ayu dari luar.
“uups” Bayu sambil membungkam mulutnya dengan kedua tangannya sendiri.
“hai semuanya” suara Ayu yang sudah berada di ruangan itu dan berjalan mendekati mereka. “udah siap kan Jing”
“don’t call me like that, okey? Please call my complete name, Jingga” ucap Jingga cepat meralat dengan nada yang menekan jelas.
“iya iya nona Jinggaaaaa” suara Ayu pun ditekan agak panjang memperjelas pengucapan nama Jingga. “udah yuk kita berangkat Jing. eh salah, Jingga” ia tersenyum “keburu malam ni” lanjutnya lagi.
“mau pergi kemana kak?” tanya Bayu yang ada di sebelahnya.
“pergi maen sayang” tangan Ayu mencubit gemes kedua pipi Bayu yang seperti bakpao menempel di wajah Bayu. “Bayu mau ikut?”
ndak ah kak. lagian kaki Bayu lagi sakit nih”
“aduh kacian” ucapnya di buat manja “emang kenapa to kaki kamu?” Ayu melihat lukanya.
“jatuh kak tadi. oleh-olehnya aja kak. hehehe..” ucap Bayu cepat.
“iya nanti kak Ayu beliin deh, Bayu mau apa?”
Walaupun ceriwis dan menyebalkan, Ayu adalah teman yang baik dan peduli dengan keluarga Jingga, terutama kepada Bayu, walau kadang juga suka bikin Jingga kesal oleh ulah dan tingkah laku Ayu.
“ayo ah. katanya keburu malem?” ajak Jingga yang sebenernya males untuk pergi.
“kak Ayu pergi dulu ya sayang” sekali lagi ia mencubit gemes pipi Bayu yang tembem.
Di dalam mobil putih, berteman lagu-lagu pop dari mp3 mobilnya dan dipayungi warna-warni lampu kota yang mulai menyala. Mobil itu tak melaju kencang, seakan sayang melewatkan tiap jengkal jalan yang terlewati. Suasana sore dengan hiruk pikuk lalu lalang orang dengan berbagai kendaraan dan aktifitas di kota itu yang memang sayang jika dilewatkan begitu saja.
“memang sebenernya kita mau kemana to Yu?”
“ke acara ulang tahun temanku” Ayu tersenyum karena telah merasa membohongi Jingga. “anak orang kaya lo, pasti temennya juga kaya-kaya dan cakep-cakep” lanjutnya berusaha menjelaskan agar Jingga tak marah.
“ulang tahun?” ucap Jingga dengan nada tinggi didalam mobil.
Ayu masih senyum-senyum mendengar ucapan Jingga, karena Ayu hafal betul kalau temannya yang satu ini paling malas pergi ke pesta-pesta seperti itu dan pasti akan menolak jika Jingga tau dari awal. Makanya Ayu terpaksa membohongi Jingga untuk menemaninya.
“kamu tahu kan aku paling males pergi ke pesta kayak begituan Yu
“sekali-kali ndak apa-apa to? daripada di rumah terus ndak tau luasnya dunia, bete tau”
“itu kalo kamu, aku ndak tuh” elaknya ketus.
Tapi mau bagaimana lagi, Jingga tidak bisa apa-apa, dan ia tak mungkin meminta Ayu untuk menurunkannya di jalan, apalagi memintanya tuk memutar arah mobilnya. Dengan terpaksa Jingga pasrah diajak Ayu ke pesta itu.
ӝӝӝӝӝ



Minggu, 28 Februari 2016

DENDAM PSIKOPAT bag.2

   Waktu hampir menjelang subuh, Feri tak juga bisa tertidur. Pikiranya terus teringat pada kematian istrinya dan pria yang menabraknya, juga sebuah dendam seorang psikopat. Ya Feri sebenarnya pernah mengalami gejala yang disebut psikopat saat jiwanya sempat terganggu ketika ayahnya meninggal saat Feri duduk di bangku kuliah. Tapi setelah menjalani beberapa terapi dan rehab, dia bisa melanjutkan cita-citanya sebagai dokter gigi. Tapi kini memori dan kejiwaannya kembali terusik dan yang terlintas kini hanya ingin membunuh pria itu.
   Pucuk dicinta ulam pun tiba. Itulah pribahasa yang tepat untuk Feri ketika dia bingung bagaimana harus membunuh Ryan. Niki baru saja menelpon Feri untuk memeriksa gigi Ryan. Dalam pikirannya inilah waktu yang tepat untuk membunuh Ryan.
   Hari rabu Feri sengaja meliburkan karyawannya dan menutup kliniknya dari umum hanya untuk melancarkan rencana jahatnya. Tak ada rasa gelisah atau takut saat dia menunggu kedatangan Ryan.
   Jam 3 kurang Ryan datang dengan menggunakan taxi, karena sejak kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang, dia mengalami trauma menaiki motor.
   "Kenapa kliniknya sepi?" Tanya Ryan.
   "Aku sengaja menutup klinik"
   "Kenapa?" Tanya Ryan lagi. Tapi Feri hanya menjawab "ah tidak apa-apa" dan tak ada kecurigaan sedikitpun di wajah Ryan mengenai jawaban itu.
   Ryan berbaring ditempat duduk kusus pasien dan siap untuk dipriksa dan Feri berjalan mendekati Ryan dengan mendorong trolly alat-alat medis. Untuk memberi kesan tak mencurigakan, langkah pertama adalah pura-pura memeriksa mulut Ryan dengan menggunakan spiegel setelah itu baru ia meraih sonde, sebuah alat yang terbuat dari stenlis dengan ujung meruncing. "Coba buka mulut lagi yang lebar". Ryan hanya bisa menuruti apa yang dikatakan Feri kepadanya. Sonde yang sebenarnya digunakan untuk mencari caries justru berubah fungsi kini. Ia tekan dengan keras saat sonde telah berada di dalam mulut Ryan, seketika mata Ryan melotot hampir keluar menahan rasa sakitnya saat benda tadi menusuk twnggorokannya, dan darahpun mengalir dari leher bagian belakang karena tertembus sonde. Melihat Ryan yang masih meronta, dengan beringas Feri menancapkan pisau bedah berulang kali tepat di dada Ryan sampai Ryan tak bergerak lagi.
   Kini ruang kerja Feri dipenuhi bau amis darah yang melumer kemana-mana. Sekali lagi tak ada rasa takut dan berdosa, di wajah Feri hanya terlihat ekspresi wajah yang senang dan puas.
   Jam 7 malam kantornya sudah bersih kembali, mayat Ryan pun sudah dimasukkan kedalam plastik bag untuk dibuang di suatu tempat.
   Jam 9 Niki menelpon Feri untuk menanyakan keberadaan Ryan yang sampai jam segini belum pulang. Feri hanya menjawab "tidak tahu" dan mengatakan bahwa Ryan sudah pulang sedari tadi jam 5.
   #####
   Seminggu, dua minggu bahkan hampir sebulan, Ryan belum ditemukan. Itu yang membuat keluarganya sedih. Dari pihak kepolisian pun sudah berusaha keras termasuk mengintrogasi Feri namun hasilnya nihil. Tapi dalam pikiran Niki ada sesuatu yang aneh atas hilangnya Ryan. Dia mulai berpikir flasback, mengingat-ingat apa yang aneh dalam minggu-munggu terakhir sebelum  Ryan menghilang.
   Niki memang pemikir yang jeli dan aneh, berbeda dengan orang-orang biasa. Niki juga termasuk mahasiswi yang jenius di kampusnya, tak heran jika saat kelulusan dia bisa menyandang kumlaut.
   Entah mengapa pikirannya teringat ketika malam dimana Feri datang kerumahnya untuk bertemu kedua orang tuanya.  Ada yang aneh ketika Feri mendadak ingin pulang setelah mendengar cerita tentang Ryan. Saat itu juga pikirannya teringat ketika Feri bercerita tentang kematian istrinya. Dari situ penyelidikan Niki dimulai.
   Hanya butuh dua minggu penyelidikan tersebut dan Niki akhirnya mendapat semua informasi yang mengarah hilangnya Ryan jelas bersangkutan dengan Feri.  "Feri pasti menuntut balas atas kematian istrinya" ucap Niki.
   #####
   Seperti biasa, mereka pergi je warung kopi biasanya. Saat Feri pergi ketoilet, saat itu juga Niki mencampuri minuman Feri dengan obat tidur yang membuat Feri sangat mengantuk dan mengajak Niki pulang.
   "Biar aku yang menyetir saja" pinta Niki. Namun  bukan rumah Feri tujuannya, melainkan sebuah gudang kosong mobil itu melaju. Dan menyekap Feri disana.
   Pada hari pertama, Feri terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah terikat pada kursi dengan kepala yang dibalut kain hitam. Dihari kedua, Niki datang ke gedung itu dengan membawa tongkat base ball milik Ryan.
   "Kamu" ucap Feri dengan terkejut seyelah Niki melepas kain dari kepala Feri.  Dan tanpa basa-basi, Niki memukul kepala Feri dibagian pinggir hingga darah segar mengalir dari telinganya.
    "Mungkin polisi tidak bisa menyeretmu kepenjara, tapi aku sendiri yang akan menyiapkan nerakamu. Dan sekali lagi Niki memukul Feri dengan tongkat base ball yang tadi.
   "Oke, aku memang sudah membunuh Ryan" ucap Feri
   "Jadi kamu membunuh Ryan. Kenapa Fer?" Niki sambil menangis
   "Karena dia sudah membunuh istriku dan lari begitu saja"
   "Tapi kamu tahu kan dia adikku satu-satunya. Aku sayang dia Fer"
   "Tapi dia sudah..." belum selesai Feri bicara, tongkat base ball tadi udah melayan dan mendarat di kepala Feri untuk ketiga kalinya.
   "Aku minta maaf Nik, tolong jangan bunuh aku, aku sayang banget sama kamu Nik" ucap Feri memelas. Niki mendekat seperti hatinya telah luluh dengan perkataan Feri tadi. Niki meraih wajah Feri dengan kedua tangannya dan membuat nafas ketakukan Feri mereda. Tanpa banyak bicara, wajah Niki mendekat ke wajah Feri, dekat dan semakin dekat sampai bibir Niki menempel di bibir Feri. Setelah dengan buas melumat bibir Feri selama lebih dari 3 menit, Niki melepaskan ciumannya dan mendadak meraih tongkat base ball tadi dan dengan brutal memukuli kepala Feri sampai wajah Feri tertutup darah dan tak bergerak lagi"

Sabtu, 27 Februari 2016

DENDAM PSIKOPAT

   Di sebuah gudang kosong dan sunyi, tak ada gaduh suara apapun yang terdengar selain gemercit suara kipas angin gantung yang kekurangan pelumas. Tepat dibawahnya seorang lelaki yang terikat di kursi dengan kepala terbungkus kain hitam. Dan seorang wanita yang berdiri tepat di depanya dengan sebuah tongkat base ball ditangannya.
   "kamu" ucap lelaki itu dengan terkejut setelah wanita itu melepas kain hitam tersebut.
   Wanita itu tak bicara sedikitpun, hanya tongkat base ballnya yang berbicara "bukkk" tepat di kepala bagian pinggir dan darah segar pun mengalir. "mungkin polisi tak bisa menyeretmu ke penjara, tapi aku sendiri yang akan menyiapkan nerakamu". Sekali lagi wanita itu memukul kepala lelaki itu.
   #####
   Kebahagiaan yang Feri rasakan tak berlangsung lama, pasalnya belum genap sebulan dia harus kehilangan istri tercintanya karena sebuah kecelakaan, tabrak lari, setelah pulang dari bulan madu. Betapa sangat terpukulnya dia. Hampir setiap hari ia murung, bahkan pekerjaannya sebagai dokter gigi pun terbengkalai.
   Setahun berlalu, Feri sudah mulai bisa menerima kenyataan dan sudah bisa beraktiftas seperti biasanya. Sampai akhirnya Feri tanpa sengaja bertemu dengan Niki di sebuah warung kopi ternama. Kecintaannya terhadap kopi yang membuat mereka cepat akrab. Di warung itulah akhirnya sebuah cinta tercipta. Hampir setiap malam minggu mereka habiskan di warung kopi itu.
   Segelas irish coffee yang tinggal setengah, adalah tanda bahwa Niki sudah lama duduk di warung itu sendirian. Tentu saja dia sedang menunggu Feri. Selang tak beberapa lama, Feri datang dari belakang mengejutkan Niki.
   "aku punya sesuatu untukmu" ucap Feri yang sudah duduk dihadapannya. "sekarang pejamkan mata kamu" ucap lanjut Feri. Niki hanya bisa mengikuti perintah Feri tanpa tahu yang akan diperbuat oleh Feri. "sekarang kamu boleh buka mata kamu" ucap Feri lagi.
   Raut wajah Niki berbinar setelah melihat benda di depannya. "apa ini artinya kamu melamarku?" tanya Niki dengan gembira.
   "iya sayang, dan besok aku akan kerumahmu untuk bertemu orang tuamu" ucap Feri.
   #####
   Minggu malam adalah hari yang sangat ditunggu oleh Niki, terutama kedatangan Feri kerumahnya. Kebahagian Niki bertambah ketika kedua orang tuanya memberi restu.
   "ya sudah kalian ngobrol saja dulu, ibu tinggal ke dalam" ucap ibunya sembari meninggalkan mereka yang diikuti oleh ayahnya.
   Jam masih menunjukkan pukul 9 malam, mereka masih asik ngobrol berdua hingga tanpa sengaja Niki menceritakan kejadian setahun silam yang dialami oleh Rian, adik kesayangan Niki. Seketika ingatan Feri kembali tertuju ke kejadian dimana istrinya meninggal karena tabrak lari oleh seorang pria yang tak bertanggung jawab. Hal itu diperkuat oleh cerita Niki tentang waktu dan tempat kejadian tersebut.
   "tak salah lagi, pria yang menabrak istriku adalah adik dari pacarku sendiri" ucap Feri dalam hati.
   "kamu kenapa Fer?" tanya Niki yang melihat perubahan drastis di wajah Feri.
   "tidak apa-apa, aku hanya harus pulang sekarang juga" jawab Feri.
   "kamu yakin tidak apa-apa?  Ya sudah kalau gitu hati-hati ya"

Bersambung....

Kamis, 25 Februari 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.3



Hari yang cerah hingga nampak jelas  terlihat dari balik kaca jendela kereta. Sawah, pemandangan, perkotaan, pedesaan dan pemukiman warga tampak indah berbaris rapi bagai parade, seolah-olah berlari menghampiri lalu hilang lagi dalam sekejap mata dari pandangannya, dan begitu seterusnya.
Suara deru nafas mesin terus melaju memacu laju kereta tanpa lelah. Arya menggeser posisi duduknya ke kanan dan menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Ia layangkan pandangnya jauh keluar menikmati perjalanannya, menikmati segala apa yang tertangkap oleh kedua matanya yang terus terjaga tanpa lelah.
Jendela kereta api itu bagai layar televisi yang mempertontonkan keindahan alam yang begitu indah. Serasa ada penyegaran dalam otaknya setelah sekian lama terkontaminasi oleh hiruk pikuk kota tempat tinggalnya dan masalah-masalah yang memaksanya untuk meninggalkan semua itu. Di tempat duduk bernomor 105 ia bisa merasakan nyaman, bagai tertidur di atas kebun bunga penuh warna-warni, penuh kupu-kupu berterbangan di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi yang meniupnya mesra. Begitu tenang ia rasakan.
Indah…
hamparan hijaunya sawah membentang
bak permadani menari tertiup angin
awan putih seakan berkejar-kejaran di atasnya
memeriahkan cerahnya biru langit yang luas
dan semua terlihat jelas
terlukis dalam bingkai hati yang merindu

Tak terasa hampir seharian Arya dalam kereta itu. Menempuh perjalanan panjang, melewati tempat-tempat yang indah, pemandangan yang dulu pernah ia nikmati juga saat ia masih berumur 10 tahun. Dan sekitar pukul 15:30 kereta pun terhenti di stasiun kota tujuan, memaksanya untuk mengakhiri perjalanannya, perjalanan yang sungguh menyenangkan baginya.
Begitu ia menginjakkan kaki keluar kereta, terlihat para pedagang berjajar rapi menggelar dagangannya, seakan menyambut kedatangannya. Senyum mereka, keramahan mereka dan keakraban mereka begitu hangat ia rasakan. “monggo mas jajanannya”. Ucap para pedangan itu seakan saling berlomba mendapatkan pembeli, namun Arya tetap berlalu dengan meninggalkan senyum ke tiap para pedagang itu. Tetapi wanita paruh baya yang berada paling ujung di antara pedagan lainnya seakan mampu membuat Arya terhenti dan membeli beberapa cemilan pada wanita paruh baya itu.
Setelah membawa cemilan yang baru saja dibelinya, ia  langsung menuju ruang tunggu karena ia yakin sepupunya sudah berada disana untuk menjemputnya. Ia mendekatinya  begitu ia melihat sepupunya itu sedang duduk di kursi yang sepertinya memang sudah dari tadi, terlihat jelas dari lekuk wajahnya yang kusut seperti pakaian belum disetrika.
“hai Ru…” sapanya setelah jaraknya beberapa langkah dari tempat Heru duduk. ”udah dari tadi?” lanjutnya lagi.
”udah dari kemaren malahan” jawabnya kesal dengan logat orang jawa yang khas. Memang sepupunya seperti itu orangnya, kalau bercanda selalu hiperbola. Selalu melebih-lebihkan sesuatu kalau sedang kesal. ”yee, malah ikut duduk kamulanjut Heru setelah melihat Arya ikut duduk di sebelahnya.
”duduk bentar Ru. capek ni.” keluh Arya.
”nanti saja istirahatnya di rumah. sudah bosen aku kelamaan nunggu kamu disini” ucapnya sambil berdiri hendak pergi.
”iya iya deh” Arya berdiri dan berjalan mengikuti Heru yang sudah berjalan keluar. ”tunggu Ru” tangan Arya sambil membenahi tas ransel di punggungnya.
Matahari masih terik walau hari sudah menjelang sore. Seakan masih kuat membakar kulit dan membuat lelah semakin menjadi. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah budhe Lastri.
”naik motor Ru?” Tanya Arya yang dalam pikirannya ia akan dijemput memakai mobil dan bisa menyandarkan kepalanya dan merasakan sejuknya AC mobil karena perjalanan tadi telah merenggut tenaga yang hanya menyisakan lelah di dirinya.
”ndak... Kita naik pesawat.tangan Heru menyodorkan helm kepada Arya. ya iya lah. Sudah tau punyanya cuma motor, pake nanya segala. Sudah ayo cepet naik”
”iya iya” Arya meraih helm yang disodorkan Heru tadi.
жжжжж

”Assalamualaikum budhe” setelah Arya melihat budhenya sedang asik di depan televisi yang membuatnya  tak tahu akan kedatangan Arya yang sudah berada di ruang tamu.
”waalaikumsalam” jawabnya terkejut dan melihat ke arah suara itu berasal ”eh kamu to Ar. sudah dari tadi datangnya? Maaf budhe ndak tahu, keasikan nonton sinetron nih, sampai ndak tahu kamu masuk Ar”
”kalo udah lihat sinetron aja, jadi lupa semuanya, ampe nggak tahu ada orang masuk, kalo maling yang masuk gimana budhe?” ucap Arya sambil mencium tangan budhenya lalu ikut duduk disebelahnya yang tak beranjak dari sofa panjang.
”ah kamu Ar, ada-ada saja”
”Cuma sekedar ngingetin aja kok budhe, nggak ada salahnya kan hati-hati dan waspada. nggak ada yang nggak mungkin lo budhe”
”iya deh. Kamu tu persis ibumu, pinter kalau ngomong”
”masak sih budhe? Tapi kata temen-temenku, aku tu pendiem lo budhe”
”iya pendiem. Tapi sekali ngomong nrocos terus kaya burung beo” budhe tersenyum setelah mengatakan Arya seperti burung beo.
Dan Arya hanya ikut tersenyum saja mendengar ucapan budhenya tadi.
”ya sudah kamu istirahat saja dulu di kamar, sudah budhe siapin kamarnya”
”yang mana?”
”yang itu Ar” tangan budhe menunjuk arah samping bagian depan.
”oke. Aku istirahat dulu ya budhe”
Kamar yang lumayan bagus dengan jendela menghadap ke taman lalu terus ke jalan, sehingga dapat terlihat dari jauh  jika ada yang lewat depan rumah.
Ia berdiri sejenak tepat di tengah jendela itu melihat keluar memandangi taman. Ia buka sedikit jendelanya dan hembusan angin tanpa permisi cepat masuk hingga mengenai wajahnya. Sejuknya terasa sampai ke seluruh tubuh, perlahan membasuh dahaga tubuhnya yang kekeringan. Menjadikan matanya kini mulai terasa kantuk.
Dengan belaian angin yang berhembus mesra, ia rebahkan tubuh lelahnya di atas tumpukan kasur. Dan seketika matanya terpejam.
ΩΩΩΩΩ


Senin, 22 Februari 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.2



Sinar mentari yang jatuh hingga menembus sampai ke dalam kamar, suara gaduh yang datang dari luar pun ikut membangunkannya di pagi hari, tapi rasanya ia masih malas baranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Hanya membuka mata, melihat jam di mejanya yang samar-samar terlihat mata yang masih sayu. Tiba-tiba ia tersentak dan teringat ia harus berangkat dengan kereta pukul 08:00, matanya terbuka penuh ketika melihat angka di jam itu sudah menunjukkan 06:45. Sontak ia segera bangun dan bergegas pergi ke kamar mandi. ”ah sial kesiangan lagi gerutunya dalam hati saat berlari terburu-buru ke kamar mandi. Ia lihat dari kejauhan pintu kamar mandi tertutup rapat tanda ada yang sedang memakainya dan ia gedor-gedor pintu itu setelah sampai tepat di depan kamar mandi.
”bentar!!!!..” teriak keras suara adiknya dari dalam. Ia tak peduli, ia gedor sekali lagi pintu itu berulang-ulang, tapi justru tak ada respon sedikitpun dari dalam begitu Dian tahu yang ada di luar adalah kakaknya.
Sepuluh menit sudah ia duduk di depan pintu dengan gelisah, entah sengaja atau tidak, adiknya tak kunjung keluar dari dalam. Ia mulai kesal, untuk ketiga kalinya ia gedor pintu itu agak keras dari sebelumnya yang membuat gadis kecil yang imut itu hanya senyum-senyum begitu keluar  dengan sedikit mengejek, yang terlihat jelas dari nada bicaranya. Ia memang tak pernah akur dengan adiknya, bagai tikus dan kucing. Banyak alasan yang membuat mereka berkelahi, dan ada-ada saja hal yang mereka rebutkan, mulai dari chanel televisi, makanan, uang jajan, dan hal-hal kecil lainnya.
”sengaja ya nggak keluar-keluar?”
”kenapa? Buru-buru ya? Duh kasian..” ejek adiknya dan terus berlari ketika kakaknya mengangkat tangan kanannya seperti mau memukul untuk menakut-nakutinya. ”mamah… kak Arya nakal…” dan sayup-sayup suara adiknya hilang dibalik tembok.
Tidak banyak waktu yang ia habiskan untuk bermanja-manja di dalam kamar mandi, tak seperti para wanita yang sedang bertemu pacar keduanya yaitu kamar mandi, yang bisa berjam-jam berada di dalam, entah apa yang mereka lakukan di sana. Tapi ia hanya butuh waktu sepuluh menit saja di dalam.
ӝӝӝӝӝ
Semua keluarganya sudah lebih dulu berada di meja makan dan menikmati sarapan pagi, termasuk adik satu-satunya yang baru saja selesai mandi sebelum dirinya. Belum juga ia sampai di meja makan, ibunya langsung menyambut dengan pertanyaan yang seakan tak percaya dengan niatnya untuk pindah kuliah di tempat budhenya.
”kamu sudah yakin mau pindah kesana Ar?” nadanya datar namun tersimpan jelas keraguan di dalamnya.
”ya udah dong bu”. Ia menggeser kursi dan duduk di sebelah ibunya. ”ni udah siap semua, tinggal berangkat”. Lalu pandangannya fokus pada apa yang ada di meja dan tangannya pun sibuk mangambil makanan yang tersisa di depannya.
”tapi inget jangan bikin masalah di rumah budhemu” nasehat ibunya setelah meneguk habis air minum yang tadi tinggal setengah gelas, tanda sudah selesai dengan sarapannya lebih dulu dari yang lainnya.
”tenang aja bu. aku kan anak baek-baek”
”baek dari hongkong?” ucap ketus tiba-tiba adiknya yang duduk tepat berhadapan dengannya.
”udah diem aja anak kecil. Anak masih ingusan aja mau ikut campur. Di lap dulu tu ingus” perintahnya walau ia tau Dian tidak sedang flu, dan sambil  melempar lap yang ada di meja ke arah adiknya yang mengenai tepat di wajahnya. Dian hanya membalas dengan melempar kembali ke arah kakaknya.
“kalian tu ya. Berantem terus kerjaannya” ibunya lalu  melihat ke arah Arya “kamu juga Ar, udah gede nggak mau ngalah sama adiknya”
Ia hanya cuek mendengar omongan dari ibunya dan tetap menyantap sarapan paginya sebelum ia ketinggalan kereta.
Tiba-tiba terdengar suara ayahnya bertanya tentang kesiapan selama di tempat budhenya nanti.
”udah semua kok yah’’ jawab ia singkat.
“kamu juga sudah bilang budhemu kalau mau kuliah dan tinggal disana?” ibunya tak mau kalah dengan memberi pertanyaan lagi kepada Arya.
”udah juga”. Ia menelan sisa makanan yang masih ada di dalam mulutnya. ”pokoknya udah beres semuanya”. dalam keadaan sambil makan, dengan santai ia menjelaskan semua persiapannya untuk meyakinkan kedua orang tuanya yang terlihat kurang yakin dengan niat anaknya tadi. Dan sepertinya mereka mulai lega setelah mendengar penjelasannya tadi, terlihat dari raut wajah yang perlahan mulai cerah tak seperti mendung sebelumnya.
”kalau begitu aku pamit dulu ya” setelah ia menghabiskan sarapannya itu.
Ia beranjak dari kursi dan satu per satu ia cium tangan kedua orang tuanya secara bergantian, kecuali adiknya, Dian. Karena ia tau Dian pasti akan menolak bersalaman dengannya. Ia melihat air mata ibunya yang sudah terkumpul penuh di kedua matanya, perlahan akhirnya tumpah ke pipi seperti air bah yang tak bisa dibendung lagi. Pikirnya, dari pada ia ikut larut dalam kesedihan ini, segera ia maelangkahkan kaki menuju pintu.
Tapi tiba-tiba dari arah depan, Dian memeluknya, entah ada setan mana yang membuat Dian bisa melakukan itu. Ia bingung melihatnya, dan mulai terharu dengan pelukan Dian yang jarang dan bahkan tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelukannya  begitu erat seperti takut kehilagan dan tak rela melihat kakaknya pergi, mungkin dalam benaknya akan ada sesuatu yang akan hilang dari dirinya, yaitu seorang kakak sekaligus musuh dalam bermainnya.
Tak pernah ia sangka Dian mau memeluknya seperti itu. Kini ia benar-benar larut dalam keadaan itu. Dan masih dalam keadaan memeluk Arya, keluar suara lirih dari mulut Dian yang terpenggal-penggal bercampur tangis ”kalo kakak pergi, trus temen Dian bermain siapa?”
Kata-kata itu seperti meluluhkan hati Arya yang sekeras batu. Kata-katanya begitu polos, begitu lugu dan begitu menyentuh. Ada sesuatu yang beda saat itu. Arya merasa benar-benar ada kasih sayang antara ia dengan adiknya. Arya menarik nafas panjang dan mulai berbicara pada adiknya. ”adik” suara Arya lirih dan ia lepas perlahan pelukannya mencoba mensejajarkan tingginya dengan Dian agar ia bisa menatap wajah adiknya yang sudah basah dengan air mata.
”kakak pergi dulu ya. kakak mau kuliah disana dan kakak pasti pulang”
”kapan?”
”ya kalo libur kan kakak bisa pulang”
”bener?”
”iya kakak janji”
”awas kalo boong”
”iyaaa..”
Sebelum ia mendengar kata-kata keluar lagi dari mulut adiknya, ia langsung pamitan. ”kakak berangkat dulu ya.. jangan nakal ya di rumah, jangan bikin ayah ibu marah”
Arya melihat Dian hanya tersenyum manis padanya.
Ia berbalik arah, menghela nafas panjang. Dengan langkah kaki yang pasti dan sudah tak terasa berat, ia berjalan menjauh dari mereka dan hilang di balik pintu dan meninggalkan pagi yang mengharukan ini.
ΩΩΩΩΩ