Selasa, 03 September 2013

deni, dAN, herly


            Baginya tempat yang paling nyaman adalah meja yang berada di bagian paling pojok. Dimana tempat itu penuh inspirasi untuk dia menulis. Berteman segelas ice capucino, sepiring french fries dan tak lupa laptop yang setia menemani, ia seakan tak memperdulikan lagi apa yang terjadi di sekitarnya dan berapa banyak orang berlalu lalang di sekitarnya. Pandangannya terus lurus pada layar yang menyala. Namun wajanya semakin lama semakin berubah, wajah yang tadinya tenang berpantul cahaya dari layar, berubah wajah dengan raut yang mengkerut. Jelas ia kehilangan ide dari apa yang akan di tulisnya. Tak jarang jari yang tadinya selalu bercumbu dengan keybord beralis bercumbu liar dengan rambut kepalanya. “gila... kenapa tiba-tiba nggak punya ide”. Akhirnya mulutnya pun angkat bicara. Ia minum lagi ice capucino yang masih tersisa setengah, berharap segarnya dapat mengkontaminasi isi kepala dan menemukan kembali ide-ide yang hilang berserakan entah kemana. Habis sudah cairan dingin di gelasnya, namun isi kepala belum juga kembali segar.
            “mbak aku pesen minuman kayak ini lagi dong” ucapnya kepada waitress setelah lambaian tangan yang membuatnya mendekat.
            “sudah itu saja mas?”
            “iya itu aja mbak”
            Setelah beberapa langkah berlalu dari hadapan Dan, waitress itu kembali setelah mendengar ada yang memanggil.
            “aku juga pesen ice chocolate ya mbak”
            Dan waitress itu mencatat apa yang di dengarnya. “ada lagi mas?”
            “cukup itu saja mbak”
            “baik, tunggu sebentar mas”
            Lagi-lagi waitress itu kembali setelah beberapa langkah berlalu setelah mendengar  lelaki yang baru saja memesan minuman memanggilnya. “iya mas” ucapnya sabar
            “gua pesen juga dong”
            “pesen apa mas?”
            “emm apa ya? Ini aja, fanta satu ya”
            “trus yang dua tadi jadi tidak mas?” akhirnya waitress itu bertanya dengan penuh heran.
            “ya elah banyak nanya, iya jadi lah”
            Waitress itu semakin bingung dengan apa yang ia lihat dan alami.
            “o ya, nggak usah pake lama ya, gua haus nih”
            Dan segera waitress itu berlalu dari lelaki yang aneh tadi. sebelum jauh melangkah, ia sempatkan untuk menengok kembali ke arah lelaki tadi penuh heran. Dan siapa tahu lelaki itu kembali memanggilnya untuk ke3 kalinya. Pikirnya.
            Dan sudah hafal betul kenapa dua pribadinya muncul bersama-sama. Memang dalam kondisi dirinya yang seperti itu, mereka selalu hadir. Sebenarnya ia lebih suka jika hanya Deni yang hadir, karena Denilah yang enak di ajak untuk bicara, dia adalah pribadi yang sabar, beda dengan Herly yang kehadirannya selalu membuat masalah, dia adalah pribadi yang penuh emosi dan kasar. Tapi ia juga tak bisa menahan mereka untuk tak muncul, karena semua itu bukan juga kemauannya.
            “kenapa Dan? Bingung lagi ya?” ucap Deni
            “udah lo nggak usah heran gitu Den” Herly pun angkat bicara
            “andai Tuhan berbaik hati untuk mengabulkan permintaanku, aku Cuma ingin minta satu permintaan”
            “apa itu?”
            “aku Cuma minta untuk tak memunculkan kalian”
            “justru Tuhan sudah baik hati sama lo, Dia memunculkan gua sama Deni buat bantu lo yang pikirannya lagi kacau, semrawut. Buktinya kami muncul Cuma pas kalo lo dalam keadaan seperti ini kan?”
            “tumben ngomong bener Her” ucap heran Deni yang memang sudah tau dengan sifat Herly. “bener apa yang di bilang Herly Dan”
            Senyum sinis pun keluar dari bibir Herly setelah mendapat sedikit sanjungan dari Deni dalam bentuk pembenaran. Dan hanya bisa berdiam saja tanpa banyak berkata karena ia juga sadar memang kehadiran mereka hanya saat ia merasakan kebingungan, kegalauan, kesedihan dan yang lebih parah lagi saat ia merasakan depresi. Ia memang sudah menyadari itu sejak lama, sejak ia mengalami patah hati.
            “jadi kamu bingung mau nulis apa?” ucap Deni setelah melihat di layar laptopnya hanya nampak lembar microsoft word yang polos.
            “kenapa? Otak lo lagi nungging? Jadi ide-ide yang ada di otak lo itu pada berjatohan gitu?”
            “iya nih, tiba-tiba bingung mau nulis apa, mana ide nggak ada yang baru”
            “bukannya kamu sendiri yang bilang, ide cerita itu semuanya basi dan sama semua, hanya itu itu saja, tinggal bagaimana cara menuangkan pada alur-alur yang berdeda, pada plot-plot yang tak bisa di tebak”
            “iya aku tau, tapi kali ini aku bener-bener ide di kepala rasanya kering, nggak ada satu katapun yang mau muncul”
            “udah mati aja lo kalo kaya gitu terus”
            “mesin pencetak kata-katamu itu Cuma butuh di refresh aja Dan”
            “dan kalo nggak fresh-fresh juga, mending di shut down aja”
            “baru saja aku setuju dengan apa yang kamu omongin tadi Her, ee sekarang udah ngaco lagi omonganmu”
            “lagian kaya gitu aja ngeluh, cemen banget kan?”
            “sudah tidak usah di denger omongan Herly”
            Obrolan tadi sontak membuat dahi waitres yang mulus langsung berubah mengkerut karena tanpa sengaja ia mendengar sedikit monolog yang terdengar seperti dialog. Yang terbesit dalam pikirannya hanya “udah gila apa ya ni orang”. Tapi tetap berlaku sopan dengan semua tamu, ia menaruh tiga minuman yang sudah di pesan dan seakan tak menaruh rasa yang aneh di pikirannya. Ia terus mencoba bersikap biasa seperti ia melayani tamu-tamu yang lain tanpa berani melayangkan sebuah pertanyaan dan segera bergegas pergi setelah tak ada lagi yang perlu ia kerjakan disana. Dari kejauhan dengan penuh rasa penasaran, ia mengawasi terus lelaki itu. Pikirannya tentang lelaki itu semakin mengatakan iya orang itu memang gila.
            “eh nov, lihat deh cowok yang duduk di pojok itu”
            “kenapa emangnya? Kamu naksir ya?”
            “hus ngawur kamu”
            “trus kenapa?”
            “dari tadi aku perhatiin dia tu ngomong sendiri”
            “lagi telponan kali”
            “lihat tangannya ndak bawa hape to? Kupingnya juga ndak pake earphone. Lagian ngomongnya tu kaya orang ngobrol gitu. Udah gitu lihat minumannya, ada tiga to?”
            “iya ya? Ap jangan-jangan lagi ngobrol sama yang ndak kelihatan”
            “setan maksud kamu nov?”
            “ya seperti itulah kira-kira, aku jadi merinding nih”
            “kamu tu kebanyakan nonton film horor. Yang ini beda nov, dia bukan ngobrol sama orang lain atau setan seperti yang kamu bilang, tapi dia ngobrol dengan dirinya sendiri, jadi tanya sendiri di jawab sendiri, ngomong sendiri di komen sendiri”
            “ah ndak tau ah, malah bingung aku, sudah ah aku mau lanjutin kerja, kamu juga sana kerja lagi, ndak usah ngliatin cowok itu terus, lama-lama naksir loh”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar