Sejak
pertemuan tadi sampai ia di rumah, Arya masih terbayang-bayang
senyuman itu. Di kamar, sedari tadi
ia hanya tersenyum-senyum sendiri di depan laptopnya yang sudah menyala dari
tadi. Dalam hatinya berharap bisa bertemu lagi dengan gadis pemilik senyuman
itu. Namun entah apa ia bisa bertemu lagi atau tidak. Ia pun tak yakin. Mungkin
itu adalah angan-angannya saja yang jauh dari kemungkinan. Tapi semua itu sudah
bisa membuat Arya seperti kambing congek. Ia terus terpaku menatap layar laptop
tanpa menyentuh sedikitpun dan membiarkan begitu saja. Tiba-tiba tanda hijau di
layar laptopnya berkedip-kedip. Ia mendapat sapaan dari Dewi Kecil di chat
roomnya. Sapaan yang bisa membuyarkan lamunannya.
<MK>:
hai juga dewi kecil
Tangannya
mulai bekerja dengan keybord laptopnya, menggantikan lamunan tadi.
<DK>:
maaf aku baru aja buka email nih. jadi baru aja baca puisimu”
<MK>:
nggak apa-apa kok, baru tadi sore juga
kirimnya.
<DK>:
boleh komen nggak?
<MK>:
ya boleh lah, kan tiap aku kirim puisi, aku suruh kamu kasih komen buat
masukan, trus gimana komennya?
<DK>:
bagus sih. tapi kalo di baca-baca terus ada kata yang nggak
enak di dengar
<MK>:
kata apa emangnya?
Arya memasang wajah heran di depan
laptopnya.
<DK>:
membiarkan ku nikmati jingga
<MK>:
emang ada apa dengan kata itu? Ada yang salah ya?
<DK>:
kesannya gimana gitu. aku
baca-baca terus jadi aneh aja, kayak menikmati makanan aja.
<MK>:
emang yang bisa dinikmati cuma makanan aja? Kan aku melihat keindahan langit
sore yang bisa ku nikmati keindahannya, bukan menikmati trus konotasinya di
makan, ketahuan nih kalo suka makan.
Dewi
kecil hanya mengirim simbol orang tersenyum dan Arya
mulai menulis lagi.
<MK>:
itu menceritakan tentang keindahan sore di pantai dengan langit yang menjigga
dan matahari mulai terbenam. Makanya aku menikmati suasana itu
<DK>:
oh gitu ya. Iya iya deh. maaf ya soal yang tadi. Aku emang nggak
ngerti bahasa-bahasa puisi yang penuh teka-teki dan makna yang selalu tersembunyi
itu
<MK>:
nggak apa-apa kok, aku hargai itu, malah
bisa buat masukan aku
<DK>:
by the way, banyak dong cewek yang naksir kamu?
<MK>: kok kamu bisa bilang gitu, kenapa?
<DK>:
kan biasanya gitu, cewek suka cowok yang romantis gitu, yang jago bikin puisi
kaya kamu
<MK>:
gitu ya, tapi aku nggak kok. Bahkan nggak
banyak orang yang tau aku suka bikin puisi, apalagi cewek. Ya Cuma kamu itu
yang tau. Dan aku juga nggak pernah ngrayu cewek, cari cewek atau
nembak cewek pake puisi. Dan satu lagi yang perlu kamu tau, sebagian puisiku cuma
aku tulis dan aku kirim ke kamu, nggak
aku publikasikan ke orang-orang.
<DK>:
yang sebagian lagi kemana? Dan kenapa nggak
kamu publikasikan?
<MK>:
sebagian lagi yang nggak sempet aku kirim ke kamu, ya aku
simpen di buku. Dan pokoknya ada alasan untuk tak aku publikasikan
<DK>:
pertanyaanku masuk dalam peraturan kita ya?
<MK>:
nggak juga sih. Tapi nggak
usah perlu alasannya lah.
Arya
tidak mau lagi menceritakan pengalaman yang memalukan itu kepada orang lain
lagi. Cukup Dimas orang terakhir yang menertawainya.
<DK>:
oke deh. Kalau nggak di publikasikan, kenapa kamu tetep
suka bikin puisi
Dewi
Kecil mulai seperti wartawan yang selalu melempar pertanyaan kepada Arya
<MK>:
sebernanya aku ngak menyebut itu sebagai puisi. Aku
hanya menulis apa yang aku pikirkan, apa yang aku lihat dan apa yang aku rasa,
itu saja. Mungkin karena pemilihan kata yang kebetulan aku gunakan yang membuat
itu menjadi seperti puisi
<DK>:
sama aja itu
<MK>:
beda
<DK>:
emang bedanya dimana
<MK>:
bedanya ya di niatnya
<DK>:
maksudnya?
<MK>:
niatku cuma menuliskan apa yang aku lihat, nggak
niat bikin puisi, karna aku bukan pujangga yang pekerjaannya hanya buat puisi
<DK>:
bukan pujangga tapi bisa bikin puisi, bagus-bagus lagi, banyak yang menyentuh lagi.
Hmm keren
<MK>:
puisi-puisi ku itu hanya sebuah hasil dari ketidak sengajaan aja. Kembali lagi,
aku hanya menulis apa yang aku lihat dan tak ada niat tuk buat puisi dari awal
<DK>:
tapi hebat juga tu, ketidak sengajaan yang menghasilkan sebuah karya puisi yang
bagus. Dan kesan pertama dulu, aku kira kamu pujangga dan cowok yang romantis
<MK>:
salah. Sebenernya aku tu orangnya pendiem dan pemalu, apalagi sama
cewek, kalo nggak kenal banget jarang ngobrol, mungkin
ngobrol juga seperlunya saja
<DK>:
aku nggak nyuruh kamu tuk nyebutin ciri-ciri
kamu loh
<MK>:
kelepasan tadi
<DK>:
walau kita udah sepakat untuk itu, aku masih nggak
ngerti kenapa kita nggak berteman dalam dunia nyata saja,
kan lebih asik?
<MK>:
udah aku bilang aku tu pemalu. Aku lebih nyaman berteman
seperti ini, aku lebih laluasa titip puisi di kamu. Ibaratkan kamu adalah box
kayu tempat penyimpanan puis-puisi ku. Lagian belum tentu asik juga kan
berteman di dunia nyata, karna pertemanan itu bisa ternodai oleh rasa cinta dan
rawan sekali salah paham yang akhirnya malah jadi musuh yang paling berbahaya
<DK>:
kok bisa jadi musuh paling berbahaya?
<MK>:
ya bisa lah. Waktu berteman pasti semua rahasia kita bagi ke sahabat kita,
apapun itu, bahkan kartu AS mu. Dan saat kalian sudah jadi musuh, semua
rahasiamu akan terbongkar semua, kamu akan mati dengan kartu AS mu sendiri yang
telah dia penggang
<DK>:
oh gitu ya? Ngeri juga ya? Jadi takut nih membagi rahasia. Tapi ya udah lah aku
juga masih pengen nikmati puisi-puisimu
<MK>:
menikmati? Emang makanan di nikmati.
Arya
tersenyum sendiri setelah menulis itu, menulis kata-kata yang sama dengan Dewi
Kecil tadi.
<DK>:
ah bisa saja kamu. Oke aku nyerah kalo ngomong sama
kamu.
<MK>:
kenapa?
<DK>:
pasti kalah kalo harus debat sama kamu
<MK>:
debat tu nggak ada istilah kalah atau menang. Debat
itu sebenarnya hanya mempertahankan pendapat atau prinsip yang kita punya. Nggak
ada kalah menang, bahkan nggak boleh ada yang kalah atau menang,
yang penting jangan saling adu fisik, itu baru namanya debat yang sehat. Kalo
harus ada kalah menang, itu namanya musyawarah mufakat atau berunding
<DK>:
kamu sebenarnya siapa sih? kok
selalu bisa menjelaskan tentang apa saja
dan pengalamannya kayak banyak banget
<MK>:
aku adalah binatang jalang dari kumpulanya terbuang
<DK>:
udah deh. Itu kan puisinya Chairil Anwar. Aku tanya beneran nih
<MK>:
aku ya aku, aku adalah aku, aku bukanlah kamu, apalagi mereka. Tapi aku bisa
jadi antara mereka, bisa jadi antara malam yang dingin, bisa jadi antara angin
yang berhembus dan bisa jadi antara air mengalir jauh. Tapi aku akan tetap aku dan aku ya aku.
<DK>:
tu kan puisi lagi. Kamu nulis kaya gitu sadar nggak? apa udah kamu rencanain dari tadi?
<MK>:
kan aku udah bilang tadi, disini aku hanya menulis apa yang ada dalam pikiranku
saat ini. Lagian kalo aku rencanain, mana aku tau kalo kamu bakal tanya siapa
aku. Jadi semua mengalir begitu aja
<DK>:
jadi itu seperti spontanitas ya?
<MK>:
bener banget
<DK>:
tapi kok bisa sih bikin puisi dengan spontanitas gitu, apalagi di sela-sela
obrolan kita, nggak ada 2 menit lagi tadi. Emang udah
belajar berapa lama bikin puisi?
<MK>:
yang namanya spontanitas ya nggak pake
belajar, tapi mungkin bisa disebut kebiasaan. Kalo belajar itu namanya sudah
terkonsep dan di rancang sedemikian rupa dan hasilnya pasti sesuai dengan apa
yang telah di rancang. Contoh kamu mau buat yogurt, kamu harus belajar dulu
lalu merancang dan memproses yang hasil akhirnya ya akan jadi yogurt seperti
yang kamu mau. Dan jika kamu ulangi lagi, ya hasilnya akan tetap yogurt. Beda
dengan spontanitas, kamu nggak ada niat bikin apa-apa, tapi
tiba-tiba jadi suatu hasil yang belum tentu kamu bisa mengulanginya lagi
<DK>:
oh gitu ya? Tapi kenapa ya kadang-kadang sesuatu
yang spontanits biasanya lebih bagus dari yang terkonsep
<MK>:
karna sesuatu yang spontanitas itu adalah reflek yang di berikan secara alami
oleh alam, ggak di buat-buat. Makanya kebanyakan
keindahan alam yang terbentuk secara alami, jauh lebih indah dari keindahan
buatan.
<DK>:
iya juga sih. lagi-lagi kamu bener
Arya
hanya mengirim tanda senyum.
Dan
mereka terlihat asik ngobrol lewat chat room, tak peduli status mereka yang
maya. Tak ada habis-habisnya hal yang mereka bicarakan hingga larut malam.
Hingga rasa kantuk dan lelah telah menyerang keduanya yang membuat mereka
mengakhiri obrolannya.
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar