Senin, 16 September 2013

SENYUMAN ITU (bag.6 SHJ)




“kring kring kring” suara handphone Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih handphonenya yang tergeletak di kasur. Di lihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam panggilan ke handphone Jingga. “halo yu..” jawabnya sembari duduk di kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana saja to lama banget angkatnya” protes Ayu dalam telepon.
Dari suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima centimeter. “sorry sorry, lagi masak di dapur, ada apa pagi-pagi udah telepon?”
“hari ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
            “jam berapa?”
            “ntar siang jam satu ya”
            “wah kalo ntar siang aku ndak bisa, panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di gramedia”
            “kok malem sih?”
            “kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya iya deh”
“yes” ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu. “gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia berkata yang membuat Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya di kasur dan lari ke dapur.
            “halo halo Jingga” suara Ayu masih terdengar memanggil-manggil Jingga dalam telepon.
            Sampai di dapur ia menggumam sendiri ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?” tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
            “iya, tadi ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
            “makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti bisa di telepon balik kan atau kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana nduk?”
            “iya bu besok ndak gitu lagi” ucap Jingga merasa bersalah.
            “ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan terpaksa tetap membuka usaha menjahit di rumah.
ӝӝӝӝӝ

Siang yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas  fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa menyegarkan di siang itu.
   Di bawah matahari dengan langkah sedikit gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka kamu Ar?”
            “iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang dengan istirahat.
            Berpayung langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari, membuat semua begitu damai terasa. Ia  terduduk sendiri di atas gundukan pasir di bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
            Lalu tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang bernama Dewi Kecil.
            Hari sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir hilang di atas birunya air laut. Tidak ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
            Arya teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.
ӝӝӝӝӝ

            Mobil Ayu sudah terparkir di depan rumah Jingga. Mereka berdua sudah siap pergi sesuai rencana yang telah mereka buat pagi harinya. Jingga hanya ingin mencari buku yang ia butuhkan, beda dengan Ayu yang hanya ingin shoping dan shoping saja.      
“memang kamu mau cari apa di gramedia say?”
            “mau cari baju” ucap Jingga sinis. “ya cari buku lah”.
            “ini pertanyaanku yang salah atau yang jawab yang bodoh” sindir Ayu kepada Jingga dengan ucapanya. “anak kecil juga tau kali kalo ke toko buku ya pasti nyari buku. maksudku tu, cari buku apa sayangku. emang harus detail ya tanyanya?”
            Jingga tersenyum melihat Ayu sedikit kesal. “iya iya sayang, gitu aja manyun. jelek ah kayak kalkun tau” Jingga tersenyum lagi dan di ikuti Ayu. “aku mau cari bukunya Kahlil Gibran, sama apa saja ntar yang bagus”
            “dasar kutu buku kamu, kerjaanya cuma beli buku saja. sekali-kali mbok belanja yang laen gitu”
            “lah ini kan juga belanja to sayang”
            “tu kan? memangnya harus detail ya kalau Tanya sama kamu?”
            Jingga tersenyum manis melihat Ayu yang kesal.
“maksudnya belanja baju kek, sepatu kek, tas kek, tokek kek. jangan buku terus, memang buat apa to?”
            “kamu tu aneh ya? buku kok buat apa? ya di baca lah. buat nambah pengetahuan, ndak kayak kamu, ada sepatu model baru, beli… tas model baru, beli… trus buat apa coba?”
            “fashion dong” jawab Ayu cepat tak mau kalah. “secara wanita cantik seperti aku harus menjaga fashion, masak wanita cantik dandananya jadul ndak ikut trend, malu dong”
“cantik dari mana? dari hongkong?”
            Ayu mulai cemberut mendengar ucapan Jingga.
            “tu kan manyun lagi, udah di bilang jelek kalo manyun”
            “ya habisnya kamu gitu”
            “iya deh. temenku yang paling cantik sedunia. Ayu Larasati”
            Lama-lama obrolan itu mengarah ke masalah Jingga dan Dimas lagi. Kini Ayu semakin aktif dengan berondongan pertanyaan kepada Jingga yang membuatnya merasa risih.  “kamu sudah pacaran ya sama Dimas?” pertanyaan standar Ayu tak membuat Jingga menjawab. Tapi tampaknya Ayu tak menyerah begitu saja, ia tetap ingin mengorek info dari mulut Jingga sendiri.
            Jingga berdehem pasang muka serius bersiap menerengkan kriteria cowok yang diinginkannya setelah Ayu mendesak dengan segala pertanyaan. “aku pengennya cowok yang jadi pacarku tu cowok yang romantis, pinter bikin puisi, jadi tiap hari bisa buatin aku puisi, apalagi nembaknya pake puisi. hmmm so sweet” Jingga mulai melayang dengan kata-katanya sendiri “trus nembaknya di tempat yang romantis banyak bunga-bunga atau sambil candlelight dinner kayak di film-film itu Yu. hmmm romantis banget to” Jingga memejamkan mata dan menggenggam kedua tangannya di dadanya, seakan angannya melayang ke tempat yang baru saja ia katakan.
            “ngimpi kamu Ga, hari gini mana ada cowok yang romantis kayak gitu, apalagi pinter bikin puisi, ini jaman modern Ga, ndak kaya jaman…” ucapannya berhenti sejenak “siapa tu pujangga dulu?” Ayu malah bertanya.
            “Chairil Anwar atau WS Rendra”
            “iya itu Chairil Anwar atau siapa itu lah tadi. Sekarang tu jamannya to the point, ndak  usah pake basa-basi, kalo suka ya langsung bilang suka, ndak usah ribet pake puisi segala, yang ada malah di ketawain” Ayu menjelaskan sok paling berpengalaman. Padahal sampai sekarang dia juga masih sendiri.
            “terserah lah. yang penting aku cari cowok yang kayak tadi titik”
            “ya sudah tunggu saja sampai lebaran monyet juga ndak mungkin ada. Bisa-bisa jadi perawan tua kamu nanti”
            “halah. jaman to the point saja kamu juga belum punya cowok to? Hayo mau alasan apa?” Jingga seakan memojokkan Ayu dengan pertanyaanya.
            Wajah Ayu berubah dan yang ada dalam pikiranya hanya mencari alasan apa yang akan ia katakan kepada Jingga tuk menjawab pertanyaan tadi. “karena cowok-cowok itu goblok sama katarak tu, ndak bisa liat ada cewek secantik aku” jawabnya membanggakan diri yang seketika membuat Jingga tertawa keras dalam mobil mendengar jawaban tadi. “ah malah ketawa” Ayu kesal melihat Jingga tertawa tak ada habis-habisnya. “sudah yuk turun, sudah nyampe ni”
            “oh sudah naympe ya?” ucap Jingga masih tertawa.
ӝӝӝӝӝ

            Ayu yang sedari tadi hanya menjadi buntut Jingga mulai merasa bete setengah mati melihat Jingga hanya mondar-mandir diantara rak-rak buku dan belum ada satupun  buku yang sepertinya ingin dia beli. Daripada ia merasa tambah bete, ia memisahkan diri dari Jingga dan hanya duduk saja di kursi yang tersedia disana.
             Jingga terhenti di rak buku dengan papan bertuliskan SASTRA di atasnya. Matanya  langsung tertuju pada buku Khalil Gibran. Saat tangannya ingin meraih buku itu, ternyata ia kalah cepat dengan tangan seorang pria yang sudah lebih dulu ada di sana. Wajahnya sedikit kecewa karena ia melihat buku itu tinggal satu dan sudah pindah di tangan seorang pria tadi.
 “mbak juga mau ambil ini?” ucapnya yang sadar kalau gadis di sebelahnya itu juga mau mengambil buku yang ada di tangannya.
            “iya mas” jawab Jingga malu-malu. “tapi kalo mas juga mau beli buku itu, ya sudah buat mas aja, kan mas duluan yang ambil buku itu”
            “suka bukunya Khalil Gibran ya?” ia malah bertanya pada Jingga.
            “iya mas”
            “ya udah buat kamu aja nih” tangannya menyodorkan buku yang sudah di bawanya.
            “tapi ntar masnya?”
            nggak apa-apa, aku cuma liat-liat aja kok” ucapnya sambil tersenyum kepada Jingga.
            Jingga meraih buku yang disodorkan pria dan membalas senyuman pria itu dengan senyuman termanisnya.
            Arya terdiam terpana sesaat, seperti ada rasa kagum dengan wajah Jingga yang manis saat tersenyum tadi. Alunan instrumen musik yang terdengar sayup-sayup disana pun pas rasanya untuk menjadi backsound rasa kagum Arya yang berjalan beberapa menit saja. Dari semua wanita di Jogjakarta yang pernah ia temui, baru sekali itu ia melihat senyum paling manis.
            “sudah yuk say. bete ni disini” suara Ayu terdengar dari belakang Jingga.
            Jingga menoleh ke belakang. “iya. Bentar dulu” lalu pandangannya kembali melihat Arya. “makasih ya buat bukunya” sebelum pergi ia sempat menghadiahi Arya dengan senyum manis lagi.
            “sama-sama”.
Mereka beranjak pergi meninggalkan Arya sendiri yang masih tetap berdiri di tempat itu. Ia terus memandang Jingga dari belakang hingga tak terlihat lagi.
            “siapa tadi bu?” tanya Ayu setelah mereka sampai di kasir.
            “ndak tau”
            “kok tadi kamu bilang terima kasih buat bukunya?”
            “tadi kayaknya dia mau beli buku ini, tapi trus di kasih ke aku karena dia tau aku juga mau beli buku ini, ya sudah aku ambil saja, lagian di rak tinggal ini saja”
            “oh gitu. kirain kenal”
“kenapa memangnya?”
“anaknya manis juga tuh, lumayan lah”
“kamu tu ya, siapa-siapa di bilang manis, siapa-siapa di bilang keren. Mungkin kambing kalau di pakein baju juga kamu bilang keren ya?”
“enak saja. Aku masih waras ya. Ya sudah, sekarang gantian anterin aku shoping di mall yuk”
            “tapi jangan lama-lama ya”
ΩΩΩΩΩ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar