“kring
kring kring” suara handphone Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang
hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih handphonenya yang tergeletak di
kasur. Di lihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam
panggilan ke handphone Jingga. “halo yu..” jawabnya sembari duduk di
kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana
saja to lama banget angkatnya” protes Ayu
dalam telepon.
Dari
suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima
centimeter. “sorry sorry, lagi
masak di dapur, ada apa
pagi-pagi udah telepon?”
“hari
ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
“jam berapa?”
“ntar siang jam satu ya”
“wah kalo ntar siang aku ndak bisa,
panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo
ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di
gramedia”
“kok malem sih?”
“kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi
malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari
berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya
iya deh”
“yes”
ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari
mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu.
“gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia
berkata yang membuat
Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya
di kasur dan lari ke dapur.
“halo halo Jingga” suara Ayu masih
terdengar memanggil-manggil Jingga dalam
telepon.
Sampai di dapur ia menggumam sendiri
ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang
menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?”
tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat
tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu
tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
“iya, tadi
ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
“makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo
lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti
bisa di telepon balik kan atau
kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya
yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana
nduk?”
“iya bu besok ndak gitu lagi” ucap
Jingga merasa bersalah.
“ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi
ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang
harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan
kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak
sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk
membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah.
Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana
membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi
rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan
terpaksa tetap membuka usaha menjahit di
rumah.
ӝӝӝӝӝ
Siang
yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa
panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa
menyegarkan di siang itu.
Di bawah matahari dengan langkah sedikit
gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam
kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di
teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka
kamu Ar?”
“iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan
langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap
terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari
tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar
angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam
hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun
penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore
aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi
burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru
belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif
pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang
dengan istirahat.
Berpayung
langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang
menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan
awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari,
membuat semua begitu damai terasa. Ia terduduk sendiri di atas gundukan pasir di
bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan
puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di
sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit
sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa
yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
Lalu
tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang
bernama Dewi Kecil.
Hari
sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir
hilang di atas birunya air laut. Tidak
ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke
sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
Arya
teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko
buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.
ӝӝӝӝӝ
Mobil
Ayu sudah terparkir di depan rumah Jingga. Mereka berdua sudah siap pergi
sesuai rencana yang telah mereka buat pagi harinya.
Jingga hanya ingin mencari buku yang ia butuhkan, beda dengan Ayu yang hanya
ingin shoping dan shoping saja.
“memang
kamu mau cari apa di gramedia say?”
“mau cari baju” ucap Jingga sinis. “ya
cari buku lah”.
“ini pertanyaanku yang salah atau yang
jawab yang bodoh” sindir Ayu kepada Jingga dengan ucapanya. “anak kecil juga
tau kali kalo ke toko buku ya pasti nyari buku. maksudku tu, cari buku apa
sayangku. emang harus detail ya tanyanya?”
Jingga
tersenyum melihat Ayu sedikit kesal. “iya iya sayang, gitu
aja manyun. jelek ah kayak kalkun tau” Jingga
tersenyum lagi dan di ikuti Ayu. “aku mau cari bukunya Kahlil Gibran, sama apa saja
ntar yang bagus”
“dasar kutu buku kamu, kerjaanya cuma beli buku saja.
sekali-kali mbok belanja yang laen gitu”
“lah ini kan juga belanja to sayang”
“tu kan? memangnya
harus detail ya kalau Tanya sama kamu?”
Jingga
tersenyum manis melihat Ayu yang kesal.
“maksudnya
belanja baju kek, sepatu kek, tas kek, tokek kek. jangan buku terus, memang buat apa to?”
“kamu tu aneh ya? buku kok buat apa? ya di baca lah. buat nambah pengetahuan,
ndak kayak kamu, ada sepatu model baru, beli…
tas model baru, beli… trus buat
apa coba?”
“fashion dong” jawab Ayu cepat tak mau
kalah. “secara wanita cantik seperti aku harus menjaga fashion, masak wanita
cantik dandananya jadul ndak ikut trend, malu dong”
“cantik
dari mana? dari hongkong?”
Ayu
mulai cemberut mendengar ucapan Jingga.
“tu kan manyun lagi, udah di bilang jelek kalo manyun”
“ya habisnya kamu gitu”
“iya deh. temenku yang paling cantik
sedunia. Ayu Larasati”
Lama-lama obrolan itu mengarah ke
masalah Jingga dan Dimas lagi. Kini Ayu semakin aktif dengan berondongan
pertanyaan kepada Jingga yang membuatnya merasa risih. “kamu sudah pacaran ya sama Dimas?”
pertanyaan standar Ayu tak membuat Jingga menjawab. Tapi tampaknya Ayu tak
menyerah begitu saja, ia tetap ingin mengorek info dari mulut Jingga sendiri.
Jingga berdehem pasang muka serius
bersiap menerengkan kriteria cowok yang diinginkannya setelah Ayu mendesak
dengan segala pertanyaan. “aku pengennya cowok yang jadi pacarku tu cowok yang
romantis, pinter bikin puisi, jadi tiap hari bisa buatin aku puisi, apalagi
nembaknya pake puisi. hmmm so sweet” Jingga mulai melayang dengan kata-katanya
sendiri “trus nembaknya di tempat yang romantis banyak bunga-bunga atau sambil candlelight dinner kayak di film-film itu Yu. hmmm romantis
banget to” Jingga memejamkan mata dan menggenggam kedua tangannya di dadanya,
seakan angannya melayang ke tempat yang baru saja ia katakan.
“ngimpi kamu Ga, hari gini mana ada
cowok yang romantis kayak gitu, apalagi pinter bikin puisi, ini jaman modern
Ga, ndak kaya jaman…” ucapannya berhenti sejenak “siapa tu pujangga dulu?” Ayu
malah bertanya.
“Chairil Anwar atau WS Rendra”
“iya itu Chairil Anwar atau siapa itu
lah tadi. Sekarang tu jamannya to the point, ndak usah pake basa-basi, kalo suka ya langsung
bilang suka, ndak usah ribet pake puisi segala, yang ada malah di ketawain” Ayu
menjelaskan sok paling berpengalaman. Padahal sampai sekarang dia juga masih
sendiri.
“terserah lah. yang penting aku cari
cowok yang kayak tadi titik”
“ya sudah
tunggu saja sampai lebaran monyet juga ndak mungkin ada. Bisa-bisa jadi perawan
tua kamu nanti”
“halah. jaman to the point saja kamu
juga belum punya cowok to? Hayo mau alasan apa?” Jingga seakan memojokkan Ayu
dengan pertanyaanya.
Wajah Ayu berubah dan yang ada dalam
pikiranya hanya mencari alasan apa yang akan ia katakan kepada Jingga tuk
menjawab pertanyaan tadi. “karena
cowok-cowok itu goblok sama katarak tu, ndak bisa liat ada cewek secantik aku”
jawabnya membanggakan diri yang seketika membuat Jingga tertawa keras dalam
mobil mendengar jawaban tadi. “ah malah ketawa” Ayu kesal melihat Jingga
tertawa tak ada habis-habisnya. “sudah yuk turun, sudah nyampe ni”
“oh sudah naympe ya?” ucap Jingga masih
tertawa.
ӝӝӝӝӝ
Ayu
yang sedari tadi hanya menjadi buntut Jingga mulai merasa bete setengah mati
melihat Jingga hanya mondar-mandir diantara rak-rak buku dan belum ada
satupun buku yang sepertinya ingin dia
beli. Daripada ia merasa tambah bete, ia memisahkan diri dari Jingga dan hanya
duduk saja di kursi yang tersedia disana.
Jingga terhenti di rak buku dengan papan
bertuliskan SASTRA di atasnya. Matanya
langsung tertuju pada buku Khalil Gibran. Saat tangannya ingin meraih
buku itu, ternyata ia kalah cepat dengan tangan seorang pria yang
sudah lebih dulu ada di sana. Wajahnya sedikit kecewa karena ia melihat buku
itu tinggal satu dan sudah pindah di tangan seorang pria tadi.
“mbak juga mau ambil ini?” ucapnya
yang sadar kalau gadis di sebelahnya itu juga
mau mengambil buku yang ada di tangannya.
“iya mas” jawab Jingga malu-malu. “tapi
kalo mas juga mau beli buku itu, ya sudah buat mas aja, kan mas duluan yang
ambil buku itu”
“suka bukunya Khalil Gibran ya?” ia
malah bertanya pada Jingga.
“iya mas”
“ya udah buat kamu aja nih” tangannya
menyodorkan buku yang sudah di bawanya.
“tapi ntar masnya?”
“nggak
apa-apa, aku cuma liat-liat aja kok” ucapnya sambil tersenyum
kepada Jingga.
Jingga
meraih buku yang disodorkan pria dan membalas
senyuman pria itu dengan senyuman termanisnya.
Arya
terdiam terpana sesaat, seperti ada rasa kagum dengan wajah Jingga yang manis
saat tersenyum tadi. Alunan instrumen musik yang terdengar sayup-sayup disana
pun pas rasanya untuk menjadi backsound rasa kagum Arya
yang berjalan beberapa menit saja. Dari semua wanita di Jogjakarta yang pernah
ia temui, baru sekali itu ia melihat senyum paling manis.
“sudah yuk say. bete
ni disini” suara Ayu terdengar dari belakang Jingga.
Jingga menoleh ke belakang. “iya.
Bentar dulu” lalu pandangannya kembali melihat Arya. “makasih ya buat bukunya” sebelum pergi ia sempat menghadiahi Arya
dengan senyum manis lagi.
“sama-sama”.
Mereka
beranjak pergi meninggalkan Arya sendiri yang masih tetap berdiri di tempat
itu. Ia terus memandang Jingga dari belakang hingga tak terlihat lagi.
“siapa tadi bu?” tanya Ayu setelah mereka sampai di
kasir.
“ndak tau”
“kok tadi kamu bilang terima
kasih buat bukunya?”
“tadi kayaknya dia mau beli buku ini,
tapi trus di kasih ke aku karena dia tau aku juga mau beli buku ini, ya sudah
aku ambil saja, lagian di rak tinggal ini saja”
“oh gitu. kirain
kenal”
“kenapa
memangnya?”
“anaknya
manis juga tuh, lumayan lah”
“kamu
tu ya, siapa-siapa di bilang manis, siapa-siapa di bilang keren. Mungkin
kambing kalau di pakein baju juga kamu bilang keren ya?”
“enak
saja. Aku masih waras ya. Ya sudah, sekarang gantian anterin aku shoping di
mall yuk”
“tapi jangan lama-lama ya”
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar