Senin, 15 Oktober 2012

bukan pujangga (dia adalah puisi)




          Seperti biasa Arya setiap bangun pagi selalu berolah-raga kecil sekedar menghirup udara pagi yang segar. Tapi kali ini Arya ingin berolah-raga keliling daerah sekitar rumah budhenya karena hari ini tak ada jadwal kuliah.
   Jam enam pagi Arya sudah siap dengan kaos oblong, celana pendek, sepatu, handuk kecil yang melilit di leher dan tak lupa juga earphone yang menempel di kedua telinganya. Di iringi lagu dari secondhand serenade, mulailah ia berlari penuh semangat.
          Baru saja sampai di halaman rumahnya, ia terhenti, matanya terbelalak mengarah pada gadis berambut panjang yang sedang lewat dengan sepeda birunya. Rambutnya tersibak terurai terkena hembusan angin, membuat wajah manis itu terlihat jelas. dalam diam mematungnya, seakan ada sesuatu yang menganjal dalam ingatannya. Raut wajah Arya seperti mengenal gadis berambut panjang itu. “kayak cewek yang tadi malem, tapi masak dia?” Arya masih tidak percaya, dia ingin mengejarnya tapi sayang gadis itu sudah keburu hilang di antara salah satu tikungan.
          Di sepanjang jalan Arya masih bertanya-tanya dalam hati yang membuatnya tak bisa konsentrasi. Gadis tadi benar-benar membuatnya penasaran. “apa mungkin bener dia ya? Ah gak mungkin. Tapi kok bisa mirip ya? Apa memang rumahnya sekitar sini? Ah tau ah..” Arya jadi aneh sendiri di jalan. jogingnya tidak bisa fokus, wajah itu selalu mengganggunya. “kok aku jadi penasaran ma gadis tadi ya? Kalo emang bener dia... bisa sering ketemu ni” Arya lalu senyum-senyum sendiri. Lalu terdiam sesaat tak berkata-kata lagi dalam hatinya. Namun dalam benaknya masih terbayang gadis itu. Dan berharap bisa berjumpa lagi lain waktu.
          Satu jam sudah Arya joging keliling daerah itu. Kini saatnya pulang, tapi kali ini dia hanya berjalan karena tenaganya sudah habis. Keringatnya tak henti mengalir hingga membanjiri kaos oblongnya. Matanya terlihat menoleh kanan kiri seperti elang yang sedang mencari mangsa. Berharap dia melihat gadis tadi untuk memastikan gadis itu sama dengan gadis yang bertemu di toko buku. Hampir sampai di rumah, ia masih tidak melihat gadis itu, justru ia bertemu dengan budhenya di dekat rumah yang sepertinya pulang dari warung membeli lauk tuk sarapan.
           “dari olah-raga Ar?”
           “iya nih budhe, habis joging muter daerah sini aja”
          “wah rajin juga kamu olah-raga”
          “iya dong budhe, gak kayak Heru yang males olah-raga”
          “iya tuh..kerjanya Cuma tidur aja, oh ya, kamu gak kuliah hari ini? Kok olah-raganya sampai jam segini?”
          “gak ada jadwal kuliah budhe, makanya aku olah raga aja”
          “ya sudah mandi sana, habis itu sarapan”
          “oke budhe”
                                ****

           Hari berikutnya saat Arya sedang beli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumahnya, tanpa sengaja dia melihat gadis yang sama dengan gadis kemarin. Kali ini rupanya gadis itu juga melihat Arya yang sedang berada di warung. Mereka saling pandang dan saling lempar senyum. Hanya itu yang mereka bisa lakukan karena jarak yang tidak memungkinkan tuk saling menyapa atau bertanya. Saat itu ia yakin kalau gadis itu adalah gadis yang ia jumpai di toko buku beberapa hari lalu.
          “mau beli apa mas?” tanya penjaga warung.
          Arya masih saja melihat gadis itu dan tak mendengar suara penjaga warung.
          “mas.. mas…” panggil penjaga warung itu sekali lagi.
          “oh iya… maaf mbak”
          “mau beli apa mas?”
          “mau beli sabunnya mbak”
          Arya menoleh lagi ke arah jalan, tapi gadis itu sudah tak terlihat lagi disana. “kemana perginya ya?”
          “nih mas”
          “makasih mbak”
          Arya langsung pulang dengan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Dan lagi-lagi dia di jalan berbicara sendiri dalam hati. “jadi gadis itu bener dia. Rumahnya di sebelah mana ya kok udah hampir empat bulan di sini gak pernah liat dia, malah pertama ketemu di toko buku” wajahnya mulai bersinar senang. “kira-kira rumahnya mana ya?”
          Sepanjang jalan Arya tidak henti-hentinya berdialaog sendiri dalam hati. Andai bisa di gambarkan seperti dalam komik, mungkin sudah banyak tulisan yang ada di atas kepalanya itu.
          Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan Arya. Saat ingin memasuki halaman rumah, dia melihat lagi gadis itu baru saja keluar dari rumah yang ada di depan rumah budhe Lastri. ia terhenti lalu menatap Jingga, begitupun dengan Jingga yang melihat Arya hingga mereka saling melempar senyum lagi tanpa sempat mengucapkan sepatah kata yang keluar dari mulut mereka berdua.
          Dari tatapan dan senyuman hangat yang Jingga berikan, sepertinya Jingga juga sudah menyadari kalau lelaki yang dia temui di toko buku itu adalah orang yang ada di hadapannya.
          Baru kali ini Arya menjadi aneh hanya karena gara-gara gadis itu. Kadang senyum sendiri, ketawa sendiri, bicara sendiri, hingga Heru yang melihat tingkah laku Arya menyangka sepupunya itu sudah gila.
           Hanya karena satu senyuman itu pula Arya jadi rajin mengirim puisi ke Dewi kecil. Dan karena hanya itu yang bisa Arya lakukan dengan puisi-puisinya, menulis dan di kirim ke Dewi Kecil.
          Bagi Arya sejak bertemu gadis itu, gadis itu menjadi sebuah mesin inspirasi yang selalu memproduksi tanpa henti yang bekerja di dalam otak kiri. Dan dia adalah puisi.

Senyumnya seperti senja sore-sore
Untuk uraikan untaian-untaian ungu
Tanpa titik-titik temaram
Rasanya rangkum rinai-rinai rindu
Inilah indahnya imaji-imaji itu
Seperti senja sore-sore saja
Nikmat nyaman nuansa-nuansanya nian
Andai aku adalah aura-aura asanya…
                               ****
          Jingga jadi penasaran juga dengan Arya yang masuk ke rumah bu Lastri dan ia tau kalau bu Lastri hanya punya dua anak yaitu Heru dan kakak perempuannya yang ikut dengan suaminya. “ah mungkin sodaranya Heru” Jingga merebahkan tubuhnya di kasur. “tapi kenapa aku jadi ngurusin dia ya? Tau ah..mending mandi aja lah” Jingga beranjak dari tempat tidurnya yang baru saja sebentar merebahkan tubuhnya.
                              ****

          Hampir setiap hari meraka saling bertemu, saling tatap dan saling senyum walau masih belum bisa saling menyapa karena sikon yang tak memberi kesempatan buat mereka. Namun kebiasaan seperti itu sudah membuat Arya senang.
Arya bisa bernafas lega karena dia yakin bahwa gadis itu tinggal tidak jauh dari rumah budhenya. Ingin sekali ia tau rumahnya atau sekedar tau namanya saja.
Di suatu sore, Arya yang duduk dan bermain gitar, tiba-tiba melihat gadis itu lagi dengan sepedanya dan sedang memboncengkan anak laki-laki agak gendut. Lama ia memperhatikan gadis itu hingga gadis itu merasa ada yang sedang mengawasi dirinya, lalu ia pun menoleh ke arah rumah bu Lastri dan melihat Arya yang sedang bermain gitar di teras depan. Tak berapa lama gadis itu hilang dari pandangan Arya.
          Selang beberapa menit Heru datang dari arah yang sama. Arya yang dari kemarin ingin tahu nama gadis itu mencoba bertanya kepada Heru. Tapi dia tak tahu gadis mana yang Arya maksud. “gadis mana?” Heru balik bertanya setelah dia tak melihat ada gadis di depan rumahnya.
          “tadi yang lewat depan rumah naek sepeda”
          “yang mana gak ada”
          “ya udah lewat sih tadi sebelum kamu dateng”
          “kenapa gak kamu panggil aja, trus ajak kenalan, gampang to?”
          “gak berani”
          “jadi cowok kok gak berani ma cewek, pake rok aja sana”
          “ni beda masalahnya”
          Sepertinya Heru tak tertarik dengan penasarannya Arya kepada gadis itu. Lalu Heru masuk rumah yang di ikuti Arya.
                              ****
          Genap sebulan sudah pertemuan itu terjadi berkali-kali, namun belum juga ada kesempatan tuk saling kenal, bahkan sekedar untuk saling menyapa saja tidak ada waktu yang mempertemukan mereka di situasi yang tepat. Hanya senyuman demi senyuman yang sudah terbiasa mereka lemparkan.
          Ada hasrat yang begitu dalam di dasar hati Arya untuk bisa dekat dengan gadis itu. Bagai ada cahaya setelah sekian lama Arya terpuruk karena cinta yang membuatnya harus pindah ke Jogjakarta. Hasrat itu terlihat jelas di setiap bait-bait yang dia buat dan semua hanya tentang dia.
          Sejak bertemu gadis itu, walau sampai kini ia belum sempat tahu namanya, namun gadis itu mampu merubah hati Arya menjadi lebih berbunga-bunga. Ia ingat betul waktu pertama kali bertemu di toko buku, waktu pertama kali mendapat senyuman  yang masih membekas di ingatannya sampai sekarang.Ia  juga ingat betul beberapa hari lalu  saat di taman, waktu Jingga sedang olah-raga. Dengan kaos putih cerah, celana jean biru selutut, rambutnya terurai terlihat melambai saat angin menerpanya dan keringat yang membasahi wajah manisnya hingga membuat Arya semakin terpana melihatnya.
          Sebenarnya puisi tidak mampu untuk menggambarkan betapa sempurnanya dia di mata Arya atau bahkan pena tidak cukup untuk melukiskan manis wajahnya dalam secarik putihnya kertas.
          Namun senyuman demi senyuman dalam setiap pertemuan, dia rangkum menjadi sebuah puisi terindah tuk selalu menempati istana pikiran di otaknya. Mesin pencatak kata-kata penuh makna nan romantis, kini bekerja lagi setiap waktu setiap saat. Selalu terukir kata demi kata di secarik polosnya kertas hingga perlahan terisi dengan tarian pena yang mengindahinya. Semua tersirat disini, semua yang belum terucapkan kata.
ΩΩΩΩ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar