Minggu, 28 Oktober 2012

28 oktober...



          Hawa terasa panas di dalam ruangan yang hanya berukuran 4x4, sepanas kepala-kepala dari empat orang remaja yang sibuk dengan suatu rencana yang sampai kini belum juga terselesaikan. Sebuah rencana besar yang ingin mereka lakukan seminggu lagi, tepat tanggal 28 oktober nanti.
Wajah-wajah yang nampak serius dan raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu. “gimana kalau kita bajak tugu di pusat kota yang terdapat jam digitalnya.” Ucap salah satu dari mereka yang membuat ketiga temannya bingung dengan usulan dari Bintang. Dan akhirnya ia mulai menjelaskan apa yang ia maksud setelah Beni bertanya. “jadi gini,  kita bajak monitor itu buat menyiarkan video sumpah pemuda. Gimana?” ucapnya sambil pandangannya mengarah ke temannya satu per Satu.
“boleh juga tu usulmu Tang” celoteh Rendi.
“trus gimana caranya?” wajah Andi masih bingung.
“kita gunakan bakat kita semua. Jadi kita bagi tugas. Beni kan jago soal computer tu, Rendi jago elektro, jadi kalian kebagian membajak sistem oprasional monitor yang ada di tugu itu. Aku bikin video sumpah pemuda”
“trus aku kebagian ngapain Tang?” Tanya Andi yang merasa belum kebagian jatah.
“kamu tour guide kita. Yang artinya kamu yang cari jalan gimana caranya kita bisa masuk ke dalam tugu itu”
“kalo itu serahkan ma aku” andi percaya diri.
“tapi kita perlu sistem kerjanya Tang”
“yup bener banget Ren” wajahnya mulai serius “jadi gini, pertama aku bikin video pake handycam. Trus handycam itu kita progam dan di sambungkan ke monitor itu. Kita program secara otomatis untuk mem_play video itu.”
“jadi kaya kita muter handycam yang di sambung ke tivi?” ucap Beni
“yup bener banget” Bintang menjentikkan jarinya yang di lanjutkan menunjuk kearah Beni. “gampang kan? Aku yakin kamu bisa memprogam otomatis ke monitor itu.” Lanjutnya yakin
“itu sih gampang”
Setelah semua jelas. Pekerjaan pertama adalah pekerjaan milik Bintang yang harus membuat video ikrar sumpah pemuda. Tapi ia ingin videonya bukan sekedar rekaman biasa. Ia punya ide untuk merekam semua dari banyak orang dan berbagai kalangan yang akan di jadikan satu. Ia mulai merekam dari beberapa siswa. Dilanjut ke tukang becak, trus tukang jamu, tukang bakso, polisi, pengamen, anak-anak punk, anak-anak komunitas sepeda, pegawai, penumpang bus. Dan yang jelas setelah ia membujuk dan mengajari mereka-mereka untuk lantang mengucapkan isi sumpah pemuda. Bahkan ia harus mengulang-ulang merekam saat ia merekam sebagian besar dari mereka yang susah sekali mengucapkan isi sumpah pemuda. Dalam hatinya ia prihatin karena ternyata masih banyak orang-orang yang tak hafal dengan isi sumpah pemuda, bahkan yang paling memprihatinkan adalah seorang siswa yang saling melempar nama saat Bintang meminta untuk mengucap isi sumpah pemuda untuk direkam.
Seharian sudah ia bekerja di jalanan. Videopun sudah cukup banyak yang ia kumpulkan. Kini saatnya mengedit video-video tadi.
“mau kamu bikin gimana video-video itu?”
“iya gimana Tang” celoteh Andi membuntuti ucapan Beni.
“pertama aku puter salah satu video ini dan di ikuti video-video lainnya hingga membentuk seperti sebuah koor”
Tiba-tiba tangan Rendi ia angkat tanda meminta waktu untuk bicara. “tapi selain video orang mengucap sumpah pemuda itu, kita selipin video tentang Indonesia atau kibaran bendera atau apalah. Biar gak bosen lihatnya” usul Rendi.
Bintang sangat setuju dengan usulan Rendi. Ia cukup searching dari internet saja. Dalam sekejap ia mengunduh banyak video-vidoe tentang Indonesia dan segera menyatukannya. Ini pekerjaan mudah baginya, tak sampai satu jam video itu sudah selesai dan di setujui oleh teman yang lain.
Kini saatnya mereka mencari cara agar mereka bisa menyelinap masuk ke tugu itu dan menguasai ruang control untuk menyambungkan handycam dengan sistem jam digital itu.
Kali ini mereka mengandalkan Andi. Tugas pertamanya adalah mengintai tugu itu seharian untuk mencatat aktifitas penjaga tugu itu. Hari pertama dan kedua gagal. Tak ada aktifitas penjaga di tugu itu. Hari ketiga ia berhasil melihat aktifitas penjaga sekaligus yang membawa kunci pintu untuk masuk kedalam. Bahkan ia berhasil menduplikat kunci tersebut. Hal itu yang membuat ketiga temannya sungguh tak percaya.
“gimana bisa kamu menduplikat kunci itu?”
“factor keberuntungan.” Ia tersenyum “Jadi gini, penjaganya itu ternyata sudah tua. La tadi pas dia bersih-bersih dalem, kuncinya di tinggal di pintu. Segera aja aku ambil trus aku duplikat di tukang kunci. Karena kalau aku ambil otomatis kuncinya akan dia ganti, itu akan susah lagi buat kita bisa masuk”
“cerdas juga kamu Ndi?” celoteh Rendi kepada Andi yang membuat Andi cengar-cengir sombong.
“nih sekarang giliran kamu yang obrak-abrik dalemnya Ren” ucapnya seperti memberi beban kepada Rendi
“tenang aja”
Kini tugas Rendi untuk menggambar ruangan itu dan semua sistem kontrolnya. Tapi ia kesulitan untuk menentukan waktu yang tepat untuk masuk kedalam. Karena Andi hanya memberikan hasil intaian aktifitas pagi sampai sore saja, dimana tak ada penjagapun ia akan susah masuk kedalam. Dan ternyata malam haripun masih banyak kendaraan yang melintas di sekitar tugu jam itu.
“kenapa bingung Ren. Masuk tinggal masuk aja. Kan kamu udah punya kuncinya. Lagian kalau kamu tenang gak gugup, gak bakal ada yang curiga Ren. Mungkin kamu akan di kira penjaga baru. Asal jangan ketahuan penjaga aslinya aja” ucap Beni
“wah kayaknya mantan maling nih”
“tampang kayak gini di bilang tampang maling. Makanya nonton tu film action jangan kartun terus” Beni gantian mengejeknya.
“udah-udah gak usah ribut. waktu kita udah mepet ni”
Siang hari di temani Andi, Rendi pergi ke tugu itu untuk masuk dan menggambar kondisi ruang control. Sesuai perintah Beni, ia tanpa ragu masuk dengan kunci duplikat atas penjagaan Andi di luar. Limabelas menit kemudian ia keluar dengan wajah berseri.
Rendi menyerahkan hasil yang baru saja ia gambar di dalam ruangan itu. Sekarang giliran Beni si otak computer untuk mempelajari bagaimana menyambung dan membuat sistem otomatis. “sekarang kita mau putar jam berapa video ini?”
“jam dua belas aja” ucap Bintang.
“oke” tangannya bekerja pada alat yang ia pegang “beres. kita tinggal pasang ke perangkat yang ada di sana saja”
Hari ini mereka akan menyelesaikan pekerjaan yang terakhir. Kali ini mereka berempat pergi ke tugu jam itu. Dan sudah ada pembagian tugas lagi. Beni dan Rendi bertugas masuk, sedang bintang dan Andi bertugas menjaga di luar.
Tapi kesialan mereka datang hari ini. Ternyata sedang ada perbaikan di dalam tugu itu. Yang kata penjaganya, dirinya tak sengaja menyentuh sesuatu di dalam saat  membersihkan ruangan itu yang membuat sistem eror dan terjadi konsleting kabel yang ada didalam sana.
“wah kalau gini caranya bisa gagal ni rencana kita” gerutu Andi
Mereka tanpak bingung dengan kejadian ini. Mereka menjauh dari tempat itu untuk menyusun rencana baru. Tapi sayang, tak ada rencana baru selain harus menunggu sampai perbaikan itu selesai.
“kita harus berbuat sesuatu nih”
“gimana caranya?” Tanya Beni
“kita bantu mereka?”
Beni, Rendi dan Andi melonggo dan kompak berkata “ha?”
“kalau kita punya niat baek kita pasti punya kesempatan buat masuk kesana.”
“ntar dulu. Kita gak usah repot-repot bantu mereka. Tuh mereka sudah selesai kelihatannya” sambil menunjuk mereka yang baru saja keluar.
Beberapa menit setelah petugas-petugas keluar, mereka menunggu saat yang tepat dan memanstikan petugas tadi sudah pergi semua. Sesuai rencana semula, Rendi dan Beni berjalan tanpa ragu, pandangannya tetap lurus ke depan. Dengan mudah mereka masuk dan kini sudah berda di dalam ruang control. Lagi-lagi pekerjaan mereka terhambat karena ternyata computer yang mengoprasikan monitor besar itu mati.
 “berarti jam di luar gak nyala ya? Coba kamu telpon Bintang suruh cek jam di luar nyala apa gak?”
Ternyata memang tak menyala setelah Bintang melihat ke arah layar besar  itu. “kalau begitu kamu tetep jagain depan ya. Karena aku butuh banyak waktu untuk mengecek apa yang rusak” ucap Beni masih di telepon.
Dengan penuh keringat yang bercucuran di wajahnya karena pengapnya di ruangan itu. Ia melai mengecek apa yang rusak. Memang dasar otak computer, ia bisa menyalakan kembali dan menyambungkan handycam ke computer itu. Dan taraaa, pekerjaannya sudah selesai kini. Tepat jam dua belas besok video itu akan terputar secara otomatis. Video yang berdurasi lima belas menit lamanya.
Dan entah apa yang akan terjadi besok saat video itu terputar. Yang jelas mereka tau bahwa pembajakan ini adalah tindakan criminal dan mereka sudah siap dengan apa yang menantinya. Termasuk di jemput pihak yang berwajib.
Mereka hanya para remaja yang kesal dan tak tahu di mana harus menyalurkan ide dan kreatifitas mereka. Bahkan di hari sumpah pemuda saja pemerintah setempat tak punya program untuk merayakannya, seakan generasi sekarang sudah lupa akan sumpah pemuda yang di perjuangkan oleh para pemuda-pemuda jaman dulu.
Hari ini tanggal 28 oktober, dimana hari yang di peringati sebagai hari sumpah pemuda. Mereka pergi menuju ke tugu jam itu untuk menyaksikan apa yang telah mereka perbuat. Mereka berempat duduk agak jauh dari tugu itu. Menunggu cemas apakah itu akan berhasil atau tidak.
Dalam hitungan detik, jam itu akan menunjukkan pukul dua belas. “10 9 8 7 6 5 4 3 2 1…” mereka menghitung mundur dan suara seperti sirine yang di ikuti video bendera yang berkibar dan nampak pengambilan video itu berjalan semakin deket ke bendera. Sekitar duapuluh detik sirine itu menyala yang membuat pandangan orang-orang tertuju pada layar besar itu. Bahkan orang rela menghentikan laju kendaraan hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi. Bahkan juga ada aparat kepolisian yang menuju ke sana. Seketika banyak orang yang telah berkumpul memandang layar besar di atas tugu itu.
Video-video itu akhirnya muncul satu per satu. Video yang membuat orang-orang di sekitar situ merasa heran. Dan mereka berempat tersenyum puas di tempat mereka berdiri menyaksikan. “gak nyangka kalau kamu bakal kasih suara sirine dulu buat menarik perhatian orang-orang” ucap Beni yang di respon dengan senyuman dari Bintang.
Tapi Rendi, Beni dan Andi tak tau kelengkapan video itu. Termasuk akhir dari video itu yang ternyata ada sebuah orasi yang di lakukan Bintang. Sebuah orasi untuk menyadarkan para pemuda-pemudi untuk tetap ingat dengan hari sumpah pemuda termasuk isi dari sumpah pemuda. Orasi yang berbunyi
“di hari minggu tanggal 28 oktober ini, saya hanya ingin mengingatkan dan membukakan mata kita agar sadar dan setidaknya ikut berpartisipasi memperingati hari sumpah pemuda ini. Saya yakin bahwa kita sudah tidak mengenal arti dari sumpah pemuda ini. Coba lihat dan bercermin, seharusnya betapa malunya kita yang mengaku orang Indonesia dan hidup di Negara ini, tapi sedikitpun tak menunjukkan rasa nasionalisme. Lihat bahasa yang kita gunakan sekarang, pakaian yang kita kenakan, asesoris yang kita pakai, semua itu jauh dari rasa nasionalisme sebagai anak bangsa. Dengan ini saya mengajak teman-teman, sahabat dan para putra putri Indonesia untuk bersama-sama mengikrarkan sumpah pemuda” orasinya berhenti, lalu tangan kanan Bintang ia letakkan di dada, pandangannya mengarah ke atas ke sebuah bendera merah putih yang berkibar. Mulutnya mulai bersuara lagi. “kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kami putra dan putri mengaku bertanah air satu, tanah air indonesia”
Orang-orang yang menyaksikan satu per satu terlihat mengikuti apa yang Bintang lakukan. Baru memasuki baris kedua, semua orang sudah banyak yang menaruh kepalan tangan mereka di dada dan mengikuti Bintang mengikrarkan isi sumpah pemuda itu. Begitu juga mereka berempat.   


Sabtu, 27 Oktober 2012

aku bukan pujangga (bag. LIBURAN)




          “liburan kali ini kamu mau kemana Ar?” Tanya Bagus dengan logat Balinya yang masih kental.
“gak tau gus, mungkin mudik ke Jakarta” jawabnya lesuh.
“kalau begitu, ikut saya kebali gimana?” Bagus menawarkan.
Ajakan Bagus membuat sumringah Arya dan jelas saja tanpa pikir panjang ia mengiyakan tawaran tadi. Ia berpikir lumayan untuk mengusir penat karena ujian semester dan penatnya karena masalah cinta. Apalagi dengan di ajak Bagus, ia tak perlu mengeluarkan biaya banyak selama disana. “trus kapan kita berangkat?” Arya bertanya semangat.
“kamu siapin saja apa yang kamu perlukan. Kalau sudah siap semuanya, kita berangkat”
“oke siap”
ΨΨΨΨΨΨΨ

Suasana pulau dewata sudah bisa ia rasakan walau masih dalam perjalanan. Apalagi saat menyebrangi laut dengan kapal. Bagus memang sengaja memilih naek bus untuk pulang ke Bali. Arya mencoba keluar menuju dek paling atas untuk melihat suasana ombak pantai yang mengantarkannya ke pulau dewata. Ia berdiri dan menyandarkan kedua tangannya dipagar pembatas pinggir kapal. Ia melepas pandangannya jauh ke tiap gelombang-gelombang ombak yang naek turun. Dari jauh terlihat cahaya-cahaya kecil bersinar seperti kunang-kunang yang terbang berbaris rapi. Semakin kapal ini mendekat semakin jelas cahaya-cahaya itu terlihat. Cahaya yang berasal dari lampu-lampu yang ada di dermaga dan beberapa gedung yang ada di dekatnya.
Ia sadar bahwa kapal yang ia tumpangi sebentar lagi akan tiba di dermaga. Ia pun masuk dan siap-siap untuk melanjutkan perjalanannya. Ia lihat Bagus masih saja tertidur sedari tadi saat ia meninggalkannya.
(PUISI)
“gus.. gus.. bangun. Kita sudah sampai” ketika kapalnya sudah berlabuh di dermaga. Dan mereka melanjutkan perjalanannya dengan bus tadi. Kata Bagus masih sekitar satu jam lagi untuk sampai ke rumahnya.
Menjelang sore akhirnya mereka sampai juga di sebuah bangunan yang sudah menjadi ciri khas rumah Bali. Ya mereka sampai di rumah Bagus. Rumah yang cukup besar dengan gaya Bali yang masih terlihat dari gapura depan sampai belakang dan setiap sudut rumahnya. “besar juga ya rumah kamu” setelah mereka memasuki halaman rumah Bagus.
“ya sudh kita masuk dulu yuk” ajak Bagus kepada Arya yang baru melihat-lihat sekitar.
Dari balik pintu jati yang berukir motif bali, dua orang muncul dengan pakaian Bali juga. Mereka tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Yang sepertinya mereka sudah tahu kalau Bagus pulang mengajak satu temannya.
“pak, bu, ini teman saya yang kemarin saya ceritakan”
Arya tak tahu harus mengucap apa kepada kedua orang tua Bagus. Ia hanya tersenyum sopan kepada mereka.
“ya sudah kalian istirahat saja dulu” suruh ibunya Bagus. “kamu antar nak Arya ke kamarnya, ibu sudah siapkan kamarnya”
“terima kasih bu” ucap Arya singkat.
Di kamarnya ia malah tak bisa tidur. Ia putuskan saja untuk keluar rumah untuk melihat-lihat sekitar rumah Bagus.
“loh mau kemana nak Arya?” Tanya ibunya Bagus yang melihat Arya keluar rumah. “gak istirahat dulu?” lanjut bertanya.
“gak bisa tidur bu, mau lihat-lihat dulu”
“kalu begitu jangan jauh-jauh ya”
Arya tersenyum dan melanjutkan langkahnya untuk keluar rumah. Dengan berteman kamera ia yang ia bawa untuk mengabadikan liburan ini. Ia mulai jeprat-jepret apa saja yang ia anggap menarik untuk di foto. Mulai dari pemandangan sampai bangunan-bangunan yang ada di situ. Setelah sekitar satu jam ia berjalan-jalan. Ia kembali pulang ke rumah Bagus.
Di kamarnya ia belum juga bisa memejamkan matanya, lantas saja ia menyalakan laptopnya. Ia meulis beberapa puisi tuk menggambarkan suasana yang telah ia lihat sehari ini. Beberapa puisi tentang suasana di Bali sudah selesai. Dan ia menggeserkan cursornya ke tanda SEND lalu ia menekan ENTER. Yang sudah pasti tujuannya adalah seseorng yang entah dimana. Dewi Kecil.
Ia juga tak lupa untuk membuat jadwal selama ia berada di Bali. Tempat-tempat yang ia harus kunjungi. Dan otomatis Baguslah yang akan menjadi tour guidenya. Pikirnya lagi,  lumayan tak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa tour guide. “Ternyata enak juga punya temen orang Bali jadi bisa mengirit pengeluaran”.pikirnya dalam hati yang ia bubuhi dengan rasa bersyukur punya teman Bagus.
ΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨ

ini adalah hari pertama ia menelusuri pulai Bali. Sesuai dengan jadwal yang sudah ia buat tadi malam. Beberapa tempat sudah ia kunjungi, kini saatnya ia menuju ke tempat yang belum ia coret dari daftar hari ini. Pantai Kuta sebagai tempat terakhir. Lagi pula tempat yang paling tepat untuk menikmati sunset di sore ini.
“gus, aku pergi bentar ya, pengen cari obyek yang bagus nih” Ia memisahkan diri dengan Bagus, ia ingin jalan-jalan sendiri menyusuri pantai ini.
“ok. Tapi jangan jauh-jauh. Nanti kita ketemu dua jam lagi di tempat ini ya” ucapnya sambil teriak karena Arya keburu kabur dari tempat itu.
Arya berjalan mendekat ke ombak lalu berbaur dengan kerumunan wisatawan yang ada disana dengan berbagai aktifitas. Tak lama kemudian ia terlihat menjauh lagi dan menuju tempat yang agak sepi. Ia duduk beralaskan pasir, cameranya menbidik surfer yang sedang bergaya melawan ombak dan beberapa wisatawan dengan aktifitas yang menurut ia unik untuk di abadikan. Dan yang paling menarik untuk di abadikan dengan kameranya adalah siluet-siluet orang saat matahari mulai terbenam.
Senja yang indah berhias sunset sungguh ia nikmati di pulau ini. Sunset yang ia nikmati lagi sejak terakhir kali ia liburan dengan keluarganya ke pantai ini saat ia masih SD.
Senja yang membuat ia tenang, yang menbuat ia perlahan lupa akan masalah cinta yang ada di hatinya. Senja yang perlahan menggantikan kekuatan seorang Jingga pada mesin pencetak kata-kata puitis miliknya. Namun kali ini senja adalah sebuah suasana sore yang indah dengan langit menjingga bercampur suara deburan ombak dan matahari yang mulai termakan bulat-bulat oleh gelombangg air laut di ufuk barat.
Waktu datang juga, waktu yang memaksa Arya untuk kembali pulang meninggalkan suasana senja ini. Itu bertanda habisnya juga jadwal untuk hari ini. Namun masih ada jadwal-jadwal selanjutnya yang harus ia kerjakan, mulai dari jadwal belanja pesanan orang tuanya, budhe Lastri dan tak kalah Heru juga memasan macam-macam barang.
Sebelum ia istirahat, ia tak lupa memindahkan hasil jepretanya ke dalam laptopnya untuk di lihat lagi hasilnya. Kabel data sudah tertancap pada laptopnya. Ia mulai melihat semua foto-foto itu. Hampir lima puluh foto yang ia ambil hari ini. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah foto yang ia ambil di pantai Kuta tadi, sebuah foto segerombolan orang yang bermain dengan air laut, namun bukan itu yang menarik matanya, tapi seorang gadis yang berada di antara mereka. Ia tak percaya. Ia mencoba memperbesar fotonya agar terlihat lebih jelas lagi. Disana terlihat seorang gadis yang mirip dengan Jingga. Ia masih tak percaya. “apa mungkin dia juga liburan di sini dengan Dimas? Karena bagi Dimas, liburan ke Bali bukan hal yang sulit” ucapnya dalam hati sambil melihat dengan jelas gadis itu Jingga atau bukan.
Lagi-lagi ia di buat penasaran oleh gadis itu, sama persisi dengan kejadian saat pertama kali ia bertemu Jingga di komplek rumahnya. Bedanya kali ini, entah itu Jingga atau hanya orang yang mirip dengan Jingga. Tapi ia yakin itu adalah Jingga setelah ia juga bertanya kepada Bagus untuk lebih memastikan.
“tapi kenapa dia disini ya Ar?”
“buat Dimas, pergi ke Bali kan bukan hal yang susah. Tinggal bilang orang tuanya, terbang deh ke Bali”
“bener kamu Ar”
“ya sudah, aku balik ke kamar lagi ya. Makasih Gus”.
Liburan yang ia harapkan dapat melupakan Jingga penatnya tentang Jingga tak berhasil. Gadis itu seperti mengikuti dan mengusik dimana saja ia berada, bahkan di Bali ini. Ingin sekali ia memastikan lagi dengan menelpon Dimas atau Jingga langsung. Namun tangannya tak bisa bergerak untuk sekedar menekan nomor mereka. Mungkin sudah cukup jelas dengan tebakan Bagus tadi bahwa gadis dlam fotonya itu adalah Jingga. “gua udah mencoba meninggalkan bayangan-bayangan Jingga di Jogjakarta dan berharap gua di sini bisa fresh. Malah orangnya yang ada disini. Kalo gini caranya, gimana gua bisa melupakan dia” ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia berpikir ini adalah kebetulan yang tak pernah ia harapkan. Kebetulan yang hanya membuat ia semakin penat saja.
ΨΨΨΨΨΨΨ

Ia terbangun oleh suara handphonenya yang terus bordering. Dengan malasnya ia mengangkat handphonenya tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menelponya. “haloo siapa ni” dengan suara khas bangun tidur yang masih ngantuk. Seketika matanya benar-benar terbuka setelah ia tahu siapa dan lokasi yang berbicara lewat telpon ini. Dimas menelponnya dari Jakarta dan ia ingin mampir ke rumah Arya.
“lo serius sekarang ada di Jakarta?”
“makanya gua telpon elo, gua pengen mampir ke rumah lo. Gak percaya banget sih lo”
“bukannya gak percaya, tapi bukannya lo lagi di..” ia tak meneruskan ucapannya karena ia pikir tak ada gunanya ia mengatakan di Bali. “sorry Dim, tapi gua sekarang lagi liburan di Bali ma temen gua yang orang Bali”. Ia sedikit lega mengetahui lokasi Dimas sekarang, tapi tak benar-benar lega karena rasa penasaran itu mulai muncul lagi.
“gila lo, kenapa gak ngajak gua liburan di Bali”
“sorry Dim, gua juga Cuma di ajak Bagus” ia diam sejenak. “oya Jingga ikut lo juga ke Jakarta?” akhirnya ia bertanya juga tentang Jingga.
“ya pastilah”
Wajahnya kini di slimuti lagi oleh rasa penasarannya yang kedua setelah dulu pernah penasaran dengan Jingga. Setelah merasa tak ada yang harus mereka bicarakan, ia bergegas pamitan kepada Dimas. Dan langsung menemui Bagus untuk memberi kabar ini. “gus.. gus.. kita ternyata salah tentang cewek di foto yang aku tunjukin tadi malem”
“salah gimana?”
“cewek itu bukan Jingga Gus”
“kamu yakin itu Ar?”
“iya aku yakin, karena sekarang Jingga lagi sama Dimas di Jakarta”
“jadi cewek itu siapa dong?” Bagus jadi ikut penasaran.
“makanya buruan yuk kita ke Kuta lagi, siapa tau cewek itu masih main disana” ajaknya semangat bercampur rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun.
Hampir seharian mereka tongkrongin pantai Kuta itu demi untuk menunggu segala kemungkinan dan berharap sedikit kebetulan. Tapi senja hampir berlalu, masih saja mereka tak melihat gadis yang mereka cari. “sudah pulang dulu yuk” ajak Bagus yang sudah terlihat bosan seharian menunggu sesuatu yang belum pasti di pantai ini. Terpaksa dengan tangan kosong mereka pulang dan melanjutkan esok hari.
Sebelum ia benar-benar meninggalkan pantai ini, ia berharap dalam hati bisa bertemu gadis itu, gadis yang mirip dengan Jingga, mulai dari senyum sampai rambutnya yang tergambar dalam foto tanpa sengaja olehnya.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ



Selasa, 23 Oktober 2012

3in1

   di sudut ruangan tertata meja kotak terbuat dari kayu jati yang di kelilingi empat kursi, tapi hanya satu kursi yang sudah terisi oleh seorang remaja sedang asik dengan laptopnya. hanya berteman capucino dan frenchfries di meja yang memang tak begitu besar. ia terlihat sibuk, jarinya terus saja berperang dengan keybord tanpa henti, entak apa yang ia kerjakan.
   tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba herly datang yang di susul dengan deni. kedatangan mereka tiba-tiba malah membuyarkan konsentrasi DAN. "kalian kenapa muncul disini?". pertanyaannya tak ada yang menjawab. justru dengan lantang herly memanggil pelayan yang beru melintas di dekatnya. "mbak pesan ice coffe with vanilla ice cream ya mbak". baru saja pelayan itu ingin pergi setelah tadi memastikan ada pesanan lagi atau tidak, tiba-tiba deni pun memesan fanta yang membuat pelayan semakin heran. "gak seharusnya kalian muncul disini" ucapnya lirih agar para tamu yang lain tak mendengar.
   "emang lo aja yang butuh suasana? gua juga butuh" ucap herly
   "emang kamu lagi apa DAN?" gantian deni bertanya.
   "ok ok" ucapnya pasrah "ni gua lagi bikin cerita" lanjutnya yang menhentikan tangannya mengetik.
   "nulis terus..." herly dengan nada mengejek yang terlihat dari kata terus yang si ucapkan panjang.
   "tapi masalahnya kok sederhana banget DAN" ucap deni setelah melihat cerita itu.
   "buat gua, bukan di pokok permasalahan yang di buat rumit, tapi gua pengen penyelesaiaannya yang akan gua buat berkesan dan mengena ke orang yang membacanya"
   "bener juga tu" deni mulai mengerti jalan pikiran si DAN
   "silahkan pesanannya mas" masih saja wajah pelayan itu terlihat heran.
   hampir satu jam mereka disana. dan tepat jam sembilan mereka memutuskan untuk pulang kerumah.
   "fer, orang itu gila apa ya?" ucap pelayan tadi kepada temannya.
   "emang kenapa?"
   "liat aja pesanannya ada tiga, dia kan cuma sendirian. padahal pesanan yang pertama saja belum habis". bulu kuduk sinta mulai berdiri.

(sore di kedai pizza)

Kamis, 18 Oktober 2012

hidup berawal dari kenyataan... (perkenalan)

   (musik backsound perlahan pelan dan hilang berganti suara gotri)
   "namaku triatmodjo sukardi. aku anak tunggal di keluarga ini. pasti kalian heran, aku anak tunggal tapi namaku tri, yang berarti tiga. entah dari mana nama itu melekat di namaku. tapi kata bapakku, dulu sebelum aku lahir, ada dua anak yang terlahir dari rahim ibuku, tapi sayang semua mati, eh meninggal saat mereka lahir. jadilah aku anak ketiga yang tunggal.hehehe
   aku tinggal di jogja bagian selatan, yang tepatnya di mbantul, yang lebih tepatnya di sewon, dan paling tepatnya lagi di belakang kampus ISI.
   tiap pagi sebelum ayam jago berkokok aku sudah terbangun, tepatnya jam 7:00, maklum aku ndak punya ayam jago, ayam di ruahku semua betina. kata bapakku biar bisa bertelur, biar kita sekeluarga bisa makan. maklum saja kami orang sangat sederhana sekali, alias miskin.
   ini foto pacarku, lebih tepatnya calon pacar. hehehe dan yang itu poster band favorit aku" aku berdiri dan mengikuti gaya mereka, aku tersenyum dan membayangkan menjadi mereka. "yeah rock man.."
   (cameraman berjalan memutar di bagian bawah)
   kata orang hidup itu berawal dari mimpi. tapi ndak buat aku. kata bapakku, hidup itu berawal dari kenyataan. jadi setiap aku bermimpi selalu saja di marahin sama bapakku.padahal aku punya mimpi jadi bintang superstar,minimal ya penyanyi kaya di poster tadi. katanya...
(camera berbayang dan rabun, flasback ke masa silam)
  "kamu tu gak usah mimpi. apalagi pengen jadi supermi"
   "superstar pak" aku meralatnya.
  "iya itu supertar atau superboy. kamu tu anak ornag miskin le, jangan buat bapak dan simbokmu pusing lagi mikirin mimpi kamu" kata bapakku sambil jari kelingkingnya di masukkan ke lubang pantat ayam untuk mengetahui ayamnya sudah mau bertelum apa belum.
   (gambarnya kembali lagi di masa sekarang)
   ya kenyataan yang membuat aku begini, hidup mengamen di tiap jalan. karena itu juga, aku selalu di pandang sebelah mata oleh tetangga aku. tepatnya depan rumah persis. ya ndak persis-persis banget sih. tapi maklum saja kalo dia memandang aku sebelah mata, la wong matanya, amit-amit jabang bayi ojo kaget, matanya merem satu, alias punya mata satu. dan dia selalu mencibir keluargaku, tapi aku tetep cuek. kaya pepatah yang aku dapatkan waktu SD dulu. anjing menggonggong biarkan saja, la wong anjing bisanya cuma menggonggong, ya to? kalo berkokok malah aku curi trus aku jual, pasti laku mahal.
   (cameraman mengikuti kemana pergi gotri dengan di iringi lagu dari endank soekamti sebagai backsound. saat gotri loncat menyebrangi genangan air, cameraman juga mengikuti, saat gotri melintasi lintasan kereta api, cameraman juga masih mengikiti)
  "woi tri..." salah satu dari tiga temenku menyapaku saat mereka melihatku berlari kecil yang membuatku mengalihkan pandanganku ke mereka. aku berhenti, mereka yang menghampiriku.
   "hari ini kita ngamen dimana?" lanjut pardi.
   "di gerbong saja yuk" usul bandi
   "kemaren kan sudah. lagian kalo ketahuan petugas, kita akan di usir" ucapku
   "trus" tanya cepat bandi
  kami berempat terdiam sesaat berpikir. dua menit kemudian kami di kagetkan dengan suara lantang bayu "aha.. kita ngamen di pasar bringharjo saja. disana banyak cewek-ceweknya"
   "wuuu dasar" ucap kami serempak

(bersambung dulu)

hujan di halte

Jam 5 sore hujan tak juga reda.hujan yang menahanku bersama temanku dhalte ini.satu demi satu orang yg menunggu bus pun sudah pergi,tinggal ak,wisnu dan seorang wanita berkemeja putih dg jas yg dpelukny duduk dujung kursi halte.dasar wisnu yg mata kerangjang akhirny beraksi,ak hny melihat saja ap yg akn dy lakukan.wisnu tiba2 duduk dselah kanan yg mbwt wanita itu kaget dan menoleh kepadany.ak tak begitu
jelas ap yg wisnu katakan,namun dr sodoran tangan wisnu ak bisa mengartikan ap yg ducapkan.wanita it meraih tangan wisnu dan ku lht dy tsenyum kpd wisnu.ku geser posisi dudukku agar bs mendengar ap yg mreka obrolkan.tak ku sangka wisnu merayu dg sejuta jurusny.dlm hatiku hny bkata heran pd wisnu.dia tak prnh menyerah dlm merayu wanita.tiba2 tepat ddpn halte bhenti sbuah mobil honda jaz wrn hitam,dua anak kecil d dlm mobil it melambaikan tangan seraya berteriak "mamah. .mamah ayo cepat" .seketika ku lht wajah wisnu bwajah merah dan ak ku lepaskan tawaku sekeras2ny saat wanita it hlg bsama mobil yg mbawanya...

Selasa, 16 Oktober 2012

D.K.Y.I

aku sendiri masih binggung dengan tasya, tak biasanya di hari ini hanya mengajak aku saja untuk merayakan hari ultahnya tepat di hari ini di sebuah restoran mewah seperti ini. namun aku kaget ketika ternyata dia juga mengundang rendipacar yang amat dia sayang. selama kami menunggu rendi, dia tak banyak bicara, entah karena wajahnya yang terlihat pucat atau memang ada sesuatu dengannya.
sebenarnya ingin sekali aku mengatakan kalau rendi itu bajingan, namun aku tak pernah sanggup untuk mengatakan karena penyakit yang ada dalam tubuhnya bisa merenggut nyawanya bila aku tetap mengatakan. "maafkan aku tas" ucapku dalam hati.
"kok kamu gelisah gitu nan?" tiba-tiba dia bertanya padaku
"gak apa-apa tas, mungkin ac nya terlalu dingin"
setelah lima belas menit menunggu, akhirnya rendi datang juga. dia duduk berhadapan denganku dan wajahnya terlihat bingung seperti aku tadi. ya, pasti dia bingung mengapa tasya mengajak dia dan aku untuk merayakan ultahnya bertiga saja.
tak lama setelah rendi memesan minuman, tasya akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar lembut dan merdu tak seperti biasa yang super cerewet. "pasti kalian bingung kenapa aku ajak kalian berdua ke tempat ini di hari ultahku"
aku dan rendi saling tatap lalu kembali menatap tasya tanpa sepatah katapun.
"sebenarnya ada yang mau aku bicarakan ke kalian berdua" lanjutnya yang membuat kami masih terdiam penasaran. "aku sudah lama kalian ada hubungan kusus di belakang aku" sontak ucapannya membuat kami kaget, keringatku mulai meleleh seperti gunung es yang mencair lalu membanjiri seluruh wajahku. tak sangka ternyata dia tau hubunganku dengan rendi. "tenang aja, aku gak marah kok, aku tau kalau rendi sebenarnya sudah tak mencintaiku, namun dia takut mengatakan ini semua. jadi sekarang aku ingin mengikhlaskan kalian berdua" ucapannya kali ini tambah menbuatku hancur dan merasa malu ditambah lagi merasa bersalah. aku hanya bisa mengucapkan kata maaf, sedang rendi terliaht diam saja yang sesekali melirik melihatku. "aku ingin kalian bahagia" lalu dia tersenyum manis kepadaku. seperti ada yang beda dalam senyumnya kali ini, tapi tak tau apa di balik itu. "aku ketoilet dulu ya" lanjutnya.
hampir setengah jam tasya tak kembali dan aku putuskan untuk menyusulnya, namun tiba-tiba HP ku berdering yang menbuatku mengurungkan niatku itu. aku kaget bukan kepalang ketika rara adikya memberi kabar tentang kematian tasya siang tadi di rumah sakit karena sakit kompilasi yang di deritanya. aku masih tak percaya dengan semua ini, lantas tanpa pikir panjang aku berlari ke toilet, sungguh terkejut aku tak dapat bicara, seluruh tubuhku meluruh jatuh bersandar di dinding. tasya tak ada di toilet setelah aku bertanya kepada office girl...
(starbucks 20:15@dAN_aku...)

Senin, 15 Oktober 2012

bukan pujangga (dia adalah puisi)




          Seperti biasa Arya setiap bangun pagi selalu berolah-raga kecil sekedar menghirup udara pagi yang segar. Tapi kali ini Arya ingin berolah-raga keliling daerah sekitar rumah budhenya karena hari ini tak ada jadwal kuliah.
   Jam enam pagi Arya sudah siap dengan kaos oblong, celana pendek, sepatu, handuk kecil yang melilit di leher dan tak lupa juga earphone yang menempel di kedua telinganya. Di iringi lagu dari secondhand serenade, mulailah ia berlari penuh semangat.
          Baru saja sampai di halaman rumahnya, ia terhenti, matanya terbelalak mengarah pada gadis berambut panjang yang sedang lewat dengan sepeda birunya. Rambutnya tersibak terurai terkena hembusan angin, membuat wajah manis itu terlihat jelas. dalam diam mematungnya, seakan ada sesuatu yang menganjal dalam ingatannya. Raut wajah Arya seperti mengenal gadis berambut panjang itu. “kayak cewek yang tadi malem, tapi masak dia?” Arya masih tidak percaya, dia ingin mengejarnya tapi sayang gadis itu sudah keburu hilang di antara salah satu tikungan.
          Di sepanjang jalan Arya masih bertanya-tanya dalam hati yang membuatnya tak bisa konsentrasi. Gadis tadi benar-benar membuatnya penasaran. “apa mungkin bener dia ya? Ah gak mungkin. Tapi kok bisa mirip ya? Apa memang rumahnya sekitar sini? Ah tau ah..” Arya jadi aneh sendiri di jalan. jogingnya tidak bisa fokus, wajah itu selalu mengganggunya. “kok aku jadi penasaran ma gadis tadi ya? Kalo emang bener dia... bisa sering ketemu ni” Arya lalu senyum-senyum sendiri. Lalu terdiam sesaat tak berkata-kata lagi dalam hatinya. Namun dalam benaknya masih terbayang gadis itu. Dan berharap bisa berjumpa lagi lain waktu.
          Satu jam sudah Arya joging keliling daerah itu. Kini saatnya pulang, tapi kali ini dia hanya berjalan karena tenaganya sudah habis. Keringatnya tak henti mengalir hingga membanjiri kaos oblongnya. Matanya terlihat menoleh kanan kiri seperti elang yang sedang mencari mangsa. Berharap dia melihat gadis tadi untuk memastikan gadis itu sama dengan gadis yang bertemu di toko buku. Hampir sampai di rumah, ia masih tidak melihat gadis itu, justru ia bertemu dengan budhenya di dekat rumah yang sepertinya pulang dari warung membeli lauk tuk sarapan.
           “dari olah-raga Ar?”
           “iya nih budhe, habis joging muter daerah sini aja”
          “wah rajin juga kamu olah-raga”
          “iya dong budhe, gak kayak Heru yang males olah-raga”
          “iya tuh..kerjanya Cuma tidur aja, oh ya, kamu gak kuliah hari ini? Kok olah-raganya sampai jam segini?”
          “gak ada jadwal kuliah budhe, makanya aku olah raga aja”
          “ya sudah mandi sana, habis itu sarapan”
          “oke budhe”
                                ****

           Hari berikutnya saat Arya sedang beli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumahnya, tanpa sengaja dia melihat gadis yang sama dengan gadis kemarin. Kali ini rupanya gadis itu juga melihat Arya yang sedang berada di warung. Mereka saling pandang dan saling lempar senyum. Hanya itu yang mereka bisa lakukan karena jarak yang tidak memungkinkan tuk saling menyapa atau bertanya. Saat itu ia yakin kalau gadis itu adalah gadis yang ia jumpai di toko buku beberapa hari lalu.
          “mau beli apa mas?” tanya penjaga warung.
          Arya masih saja melihat gadis itu dan tak mendengar suara penjaga warung.
          “mas.. mas…” panggil penjaga warung itu sekali lagi.
          “oh iya… maaf mbak”
          “mau beli apa mas?”
          “mau beli sabunnya mbak”
          Arya menoleh lagi ke arah jalan, tapi gadis itu sudah tak terlihat lagi disana. “kemana perginya ya?”
          “nih mas”
          “makasih mbak”
          Arya langsung pulang dengan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Dan lagi-lagi dia di jalan berbicara sendiri dalam hati. “jadi gadis itu bener dia. Rumahnya di sebelah mana ya kok udah hampir empat bulan di sini gak pernah liat dia, malah pertama ketemu di toko buku” wajahnya mulai bersinar senang. “kira-kira rumahnya mana ya?”
          Sepanjang jalan Arya tidak henti-hentinya berdialaog sendiri dalam hati. Andai bisa di gambarkan seperti dalam komik, mungkin sudah banyak tulisan yang ada di atas kepalanya itu.
          Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan Arya. Saat ingin memasuki halaman rumah, dia melihat lagi gadis itu baru saja keluar dari rumah yang ada di depan rumah budhe Lastri. ia terhenti lalu menatap Jingga, begitupun dengan Jingga yang melihat Arya hingga mereka saling melempar senyum lagi tanpa sempat mengucapkan sepatah kata yang keluar dari mulut mereka berdua.
          Dari tatapan dan senyuman hangat yang Jingga berikan, sepertinya Jingga juga sudah menyadari kalau lelaki yang dia temui di toko buku itu adalah orang yang ada di hadapannya.
          Baru kali ini Arya menjadi aneh hanya karena gara-gara gadis itu. Kadang senyum sendiri, ketawa sendiri, bicara sendiri, hingga Heru yang melihat tingkah laku Arya menyangka sepupunya itu sudah gila.
           Hanya karena satu senyuman itu pula Arya jadi rajin mengirim puisi ke Dewi kecil. Dan karena hanya itu yang bisa Arya lakukan dengan puisi-puisinya, menulis dan di kirim ke Dewi Kecil.
          Bagi Arya sejak bertemu gadis itu, gadis itu menjadi sebuah mesin inspirasi yang selalu memproduksi tanpa henti yang bekerja di dalam otak kiri. Dan dia adalah puisi.

Senyumnya seperti senja sore-sore
Untuk uraikan untaian-untaian ungu
Tanpa titik-titik temaram
Rasanya rangkum rinai-rinai rindu
Inilah indahnya imaji-imaji itu
Seperti senja sore-sore saja
Nikmat nyaman nuansa-nuansanya nian
Andai aku adalah aura-aura asanya…
                               ****
          Jingga jadi penasaran juga dengan Arya yang masuk ke rumah bu Lastri dan ia tau kalau bu Lastri hanya punya dua anak yaitu Heru dan kakak perempuannya yang ikut dengan suaminya. “ah mungkin sodaranya Heru” Jingga merebahkan tubuhnya di kasur. “tapi kenapa aku jadi ngurusin dia ya? Tau ah..mending mandi aja lah” Jingga beranjak dari tempat tidurnya yang baru saja sebentar merebahkan tubuhnya.
                              ****

          Hampir setiap hari meraka saling bertemu, saling tatap dan saling senyum walau masih belum bisa saling menyapa karena sikon yang tak memberi kesempatan buat mereka. Namun kebiasaan seperti itu sudah membuat Arya senang.
Arya bisa bernafas lega karena dia yakin bahwa gadis itu tinggal tidak jauh dari rumah budhenya. Ingin sekali ia tau rumahnya atau sekedar tau namanya saja.
Di suatu sore, Arya yang duduk dan bermain gitar, tiba-tiba melihat gadis itu lagi dengan sepedanya dan sedang memboncengkan anak laki-laki agak gendut. Lama ia memperhatikan gadis itu hingga gadis itu merasa ada yang sedang mengawasi dirinya, lalu ia pun menoleh ke arah rumah bu Lastri dan melihat Arya yang sedang bermain gitar di teras depan. Tak berapa lama gadis itu hilang dari pandangan Arya.
          Selang beberapa menit Heru datang dari arah yang sama. Arya yang dari kemarin ingin tahu nama gadis itu mencoba bertanya kepada Heru. Tapi dia tak tahu gadis mana yang Arya maksud. “gadis mana?” Heru balik bertanya setelah dia tak melihat ada gadis di depan rumahnya.
          “tadi yang lewat depan rumah naek sepeda”
          “yang mana gak ada”
          “ya udah lewat sih tadi sebelum kamu dateng”
          “kenapa gak kamu panggil aja, trus ajak kenalan, gampang to?”
          “gak berani”
          “jadi cowok kok gak berani ma cewek, pake rok aja sana”
          “ni beda masalahnya”
          Sepertinya Heru tak tertarik dengan penasarannya Arya kepada gadis itu. Lalu Heru masuk rumah yang di ikuti Arya.
                              ****
          Genap sebulan sudah pertemuan itu terjadi berkali-kali, namun belum juga ada kesempatan tuk saling kenal, bahkan sekedar untuk saling menyapa saja tidak ada waktu yang mempertemukan mereka di situasi yang tepat. Hanya senyuman demi senyuman yang sudah terbiasa mereka lemparkan.
          Ada hasrat yang begitu dalam di dasar hati Arya untuk bisa dekat dengan gadis itu. Bagai ada cahaya setelah sekian lama Arya terpuruk karena cinta yang membuatnya harus pindah ke Jogjakarta. Hasrat itu terlihat jelas di setiap bait-bait yang dia buat dan semua hanya tentang dia.
          Sejak bertemu gadis itu, walau sampai kini ia belum sempat tahu namanya, namun gadis itu mampu merubah hati Arya menjadi lebih berbunga-bunga. Ia ingat betul waktu pertama kali bertemu di toko buku, waktu pertama kali mendapat senyuman  yang masih membekas di ingatannya sampai sekarang.Ia  juga ingat betul beberapa hari lalu  saat di taman, waktu Jingga sedang olah-raga. Dengan kaos putih cerah, celana jean biru selutut, rambutnya terurai terlihat melambai saat angin menerpanya dan keringat yang membasahi wajah manisnya hingga membuat Arya semakin terpana melihatnya.
          Sebenarnya puisi tidak mampu untuk menggambarkan betapa sempurnanya dia di mata Arya atau bahkan pena tidak cukup untuk melukiskan manis wajahnya dalam secarik putihnya kertas.
          Namun senyuman demi senyuman dalam setiap pertemuan, dia rangkum menjadi sebuah puisi terindah tuk selalu menempati istana pikiran di otaknya. Mesin pencatak kata-kata penuh makna nan romantis, kini bekerja lagi setiap waktu setiap saat. Selalu terukir kata demi kata di secarik polosnya kertas hingga perlahan terisi dengan tarian pena yang mengindahinya. Semua tersirat disini, semua yang belum terucapkan kata.
ΩΩΩΩ