Entah
sudah berapa kali aku gagal dalam menjalani sebuah hubungan dengan seorang
laki-laki sampai aku tak tahu mana yang cinta sejati mana yang bukan, mana yang
cinta sebenarnya mana yang hanya sesaat atau sekedar kebutuhan saja. Ah.. aku
sudah tak tahu bedanya, sepertinya kata terakhir yang tepat buatku kini, hanya
sekedar kebutuhan saja. Sepertinya aku sudah tak menggunakan hati lagi dalam
menerima semua lelaki yang mendekatiku, melainkan hanya mengalir begitu saja. Sebenarnya
aku juga tak mau seperti ini, namun cinta sebelumnya telah menghancurkan hati ini
hingga aku tak bisa melahirkan cinta lagi, tak bisa merasakan bagaimana itu
cinta, bagaimana rasa manisnya cinta, aku sudah tak bisa lagi merasakan. Apalagi
setelah cinta demi cinta datang silih berganti menyapa aku
Hingga
hari ini, dimana tepat di hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanku dengan
seorang laki-laki yang telah meminangku 8 tahun lalu. Memang aku menerimanya
bukan karena cinta, tapi semua itu mengalir begitu saja, aku hanya sekedar
menjalani apa yang seharusnya aku jalani, takdir mungkin lebih tepatnya. Lagi pula ini
sudah memasuki jaman postmodernisasi, dimana tak perlu ada cinta dalam
menjalankan pernikahan. Cinta sudah di kesampingkan. Sekarang yang terpenting
hanyalah suka sama suka, hanya sekedar materi saja atau sekedar kebutuhan saja.
Ya, aku rasa itu semua sudah cukup menjadi modal utama untuk melangsungkan
pernikahanku dengannya.
Bukan
aku sok munafik atau tak percaya dengan suatu pernikahan yang di dasari oleh
cinta. Karena bagaimana bisa aku menyebut ini cinta jika selama ini aku di tipu
daya oleh kata-kata cinta yang datang silih berganti, karena bagiku cinta itu
hanya sekali dalam hidup, yaitu cinta yang bisa membuat kita bahagia yang bisa
membuat kita nyaman yang bisa membuat kita semakin hidup dan itu adalah cinta
pertamaku dengan lelaki yang telah meninggalkanku, bahkan sampai sekarang hanya
ada cintanya yang masih tersimpan disini, bukan di hatiku yang telah hancur
karenanya, tapi sudah menjadi nafas di tubuh ini.
Pernah
aku selepasnya mencoba mencintai lelaki lain dan menjalani hubungan dengannya,
aku selalu memaksakan hati ini untuk mengatakan “aku mencintainya” aku terus
mengatakan seperti itu setiap kali di dekatnya atau saat dia ingin mendengarkan
kata cinta padanya , tapi apa yang aku rasakan, hatiku justru semakin
mengelaknya, semakin terluka saja ketika aku memaksakan diri mencintainya, tapi
begitu aku bermain tanpa cinta, hatiku terasa nyaman hingga begitu seterusnya
sampai terakhir dengan lelaki yang telah menjadikan aku seorang ibu dari
anak-anaknya. Tapi bukan berarti aku hanya main-main dengan dia, aku sangat
serius menjalani semua ini, tapi ya itu tadi, tanpa cinta, walaupun ada, itu
hanya cinta yang bukan cinta sebenarnya, apalagi cinta sejati seperti pertama
aku merasakan cinta.
Aku
biarkan semua mengalir begitu saja seperti air, toh pada kenyataannya cinta tak
begitu di perlukan dalam berumah tangga atau dalam penyatuan sel telur dan
sperma. Sebagai contoh adalah aku. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan hidup
bersama swamiku yang sebenarnya tak aku cintai, bahkan aku telah melahirkan 2
anak dari pernikahan ini.
Entah
sampai kapan aku akan merasakan seperti ini, menjalani sebuah keluarga tanpa
ada cinta, namun bisa bertahan selama ini dan bisa merasakan kebahagiaan yang
mungkin tak bisa di rasakan oleh mereka yang menikah atas nama cinta. Jika kita
menelaah, dalam berumah tangga bukan cinta yang utama. Cinta lebih bermanfaat
bagi mereka-mereka yang sedang kasmaran atau yang sedang PeDeKaTe. Ah aku rasa
tidaklah mungkin seorang istri akan berkata seperti ini “tidak apa-apa jika
hari ini kamu pulang tanpa membawa uang, yang penting kamu masih membawa cinta
untukku mas”. Kata-kata yang tidak akan mungkin terucap oleh seorang istri. Jika
ada, aku akan dengan lantang mengatakan “ANDA SUDAH GILA!!!!”.
“sedang
apa sayang?” suara itu terdengar setelah sebelumnya aku dengar decitan pintu
yang terbuka.
“tidak
apa-apa mas, aku hanya menulis saja” aku segera saja menutup laptopku sebelum
mas Bagas membaca apa yang aku tulis.
Ya,
Bagas Saputro Wijoyo namanya, seorang lelaki mapan yang sampai saat ini tak
pernah bisa aku cintai namun berhasil menikahiku dan memberiku 2 orang anak. Selama
ini pula dia tak pernah tahu tentang perasaanku yang sebenarnya. Bukan karena
aku berbohong dalam lisan kepadanya, tapi karena mas Bagas tak pernah
menanyakan hal itu dari saat pertama bertemu, bahkan sampai saat melamarku. Kata-kata
yang masih aku ingat sehari sebelum melamarkau adalah “kamu tak perlu
mengatakan cinta atau membuktikan cintamu kepadaku, dengan menerima lamaranku
besok, itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu mencintaiku sama seperti aku
mencintaimu”. Kata-kata yang akan selalu aku ingat dalam hidupku, bukan karena
keromantisannya, melainkan kata-kata itu yang membuat aku merasa berdosa sekali,
karena kata-kata itu salah besar. Bukan karena cinta aku menerima lamarannya,
tapi karena mungkin dialah takdir untukku.
“selamat
ulang tahun untuk pernikahan kita yang ke 8 sayang”. Ternyata tanpa aku sadari,
dia membawa sebuah kue kecil yang di sembunyikan di belakang tubuhku saat masuk
ke kamar ini. Kami berdua meniup lilin yang ada di atas kue itu bersama-sama. Aku
tersenyum memandang wajahnya.
Mas
Bagas memelukku erat sembari mencium keningku. Aku hanya diam saja menerima
semua itu hingga tubuhku ia rebahkan di atas ranjang. Entah cinta atau bukan
ini namanya, yang jelas kami sama-sama menikmatinya hingga pagi menjelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar