Selasa, 05 November 2013

cinta bukan modal utama...



Entah sudah berapa kali aku gagal dalam menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki sampai aku tak tahu mana yang cinta sejati mana yang bukan, mana yang cinta sebenarnya mana yang hanya sesaat atau sekedar kebutuhan saja. Ah.. aku sudah tak tahu bedanya, sepertinya kata terakhir yang tepat buatku kini, hanya sekedar kebutuhan saja. Sepertinya aku sudah tak menggunakan hati lagi dalam menerima semua lelaki yang mendekatiku, melainkan hanya mengalir begitu saja. Sebenarnya aku juga tak mau seperti ini, namun cinta sebelumnya telah menghancurkan hati ini hingga aku tak bisa melahirkan cinta lagi, tak bisa merasakan bagaimana itu cinta, bagaimana rasa manisnya cinta, aku sudah tak bisa lagi merasakan. Apalagi setelah cinta demi cinta datang silih berganti menyapa aku
Hingga hari ini, dimana tepat di hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanku dengan seorang laki-laki yang telah meminangku 8 tahun lalu. Memang aku menerimanya bukan karena cinta, tapi semua itu mengalir begitu saja, aku hanya sekedar menjalani apa yang seharusnya aku jalani,  takdir mungkin lebih tepatnya. Lagi pula ini sudah memasuki jaman postmodernisasi, dimana tak perlu ada cinta dalam menjalankan pernikahan. Cinta sudah di kesampingkan. Sekarang yang terpenting hanyalah suka sama suka, hanya sekedar materi saja atau sekedar kebutuhan saja. Ya, aku rasa itu semua sudah cukup menjadi modal utama untuk melangsungkan pernikahanku dengannya.
Bukan aku sok munafik atau tak percaya dengan suatu pernikahan yang di dasari oleh cinta. Karena bagaimana bisa aku menyebut ini cinta jika selama ini aku di tipu daya oleh kata-kata cinta yang datang silih berganti, karena bagiku cinta itu hanya sekali dalam hidup, yaitu cinta yang bisa membuat kita bahagia yang bisa membuat kita nyaman yang bisa membuat kita semakin hidup dan itu adalah cinta pertamaku dengan lelaki yang telah meninggalkanku, bahkan sampai sekarang hanya ada cintanya yang masih tersimpan disini, bukan di hatiku yang telah hancur karenanya, tapi sudah menjadi nafas di tubuh ini.
Pernah aku selepasnya mencoba mencintai lelaki lain dan menjalani hubungan dengannya, aku selalu memaksakan hati ini untuk mengatakan “aku mencintainya” aku terus mengatakan seperti itu setiap kali di dekatnya atau saat dia ingin mendengarkan kata cinta padanya , tapi apa yang aku rasakan, hatiku justru semakin mengelaknya, semakin terluka saja ketika aku memaksakan diri mencintainya, tapi begitu aku bermain tanpa cinta, hatiku terasa nyaman hingga begitu seterusnya sampai terakhir dengan lelaki yang telah menjadikan aku seorang ibu dari anak-anaknya. Tapi bukan berarti aku hanya main-main dengan dia, aku sangat serius menjalani semua ini, tapi ya itu tadi, tanpa cinta, walaupun ada, itu hanya cinta yang bukan cinta sebenarnya, apalagi cinta sejati seperti pertama aku merasakan cinta.
Aku biarkan semua mengalir begitu saja seperti air, toh pada kenyataannya cinta tak begitu di perlukan dalam berumah tangga atau dalam penyatuan sel telur dan sperma. Sebagai contoh adalah aku. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan hidup bersama swamiku yang sebenarnya tak aku cintai, bahkan aku telah melahirkan 2 anak dari pernikahan ini.
Entah sampai kapan aku akan merasakan seperti ini, menjalani sebuah keluarga tanpa ada cinta, namun bisa bertahan selama ini dan bisa merasakan kebahagiaan yang mungkin tak bisa di rasakan oleh mereka yang menikah atas nama cinta. Jika kita menelaah, dalam berumah tangga bukan cinta yang utama. Cinta lebih bermanfaat bagi mereka-mereka yang sedang kasmaran atau yang sedang PeDeKaTe. Ah aku rasa tidaklah mungkin seorang istri akan berkata seperti ini “tidak apa-apa jika hari ini kamu pulang tanpa membawa uang, yang penting kamu masih membawa cinta untukku mas”. Kata-kata yang tidak akan mungkin terucap oleh seorang istri. Jika ada, aku akan dengan lantang mengatakan “ANDA SUDAH GILA!!!!”.
“sedang apa sayang?” suara itu terdengar setelah sebelumnya aku dengar decitan pintu yang terbuka.
“tidak apa-apa mas, aku hanya menulis saja” aku segera saja menutup laptopku sebelum mas Bagas membaca apa yang aku tulis.
Ya, Bagas Saputro Wijoyo namanya, seorang lelaki mapan yang sampai saat ini tak pernah bisa aku cintai namun berhasil menikahiku dan memberiku 2 orang anak. Selama ini pula dia tak pernah tahu tentang perasaanku yang sebenarnya. Bukan karena aku berbohong dalam lisan kepadanya, tapi karena mas Bagas tak pernah menanyakan hal itu dari saat pertama bertemu, bahkan sampai saat melamarku. Kata-kata yang masih aku ingat sehari sebelum melamarkau adalah “kamu tak perlu mengatakan cinta atau membuktikan cintamu kepadaku, dengan menerima lamaranku besok, itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu mencintaiku sama seperti aku mencintaimu”. Kata-kata yang akan selalu aku ingat dalam hidupku, bukan karena keromantisannya, melainkan kata-kata itu yang membuat aku merasa berdosa sekali, karena kata-kata itu salah besar. Bukan karena cinta aku menerima lamarannya, tapi karena mungkin dialah takdir untukku.
“selamat ulang tahun untuk pernikahan kita yang ke 8 sayang”. Ternyata tanpa aku sadari, dia membawa sebuah kue kecil yang di sembunyikan di belakang tubuhku saat masuk ke kamar ini. Kami berdua meniup lilin yang ada di atas kue itu bersama-sama. Aku tersenyum memandang wajahnya.
Mas Bagas memelukku erat sembari mencium keningku. Aku hanya diam saja menerima semua itu hingga tubuhku ia rebahkan di atas ranjang. Entah cinta atau bukan ini namanya, yang jelas kami sama-sama menikmatinya hingga pagi menjelang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar