Pagi
yang cerah, embun masih setia menyelimuti dedaunan dan menyejukkan sekitar. Tersapa
hembusan angin yang sepoi-sepoi membuat embun seakan menari gelisah di ujung
daun yang runcing. Kupu-kupu kecil berwarna-warni berterbangan lalu hinggap
tepat di tengah bunga itu, bercengkrama dan menghisap
setiap putik-putik di benang sarinya.
Arya
yang duduk di dekatnya memandang setiap gerak-gerik ringannya di atas bunga
tadi. Terlihat resah, seakan kupu-kupu tadi tahu ada yang sedang mengawasi,
cepat dia terbang dan berlalu hinggap ke bunga yang lebih jauh.
Sorotan
mata Arya masih mengikuti kupu-kupu itu kemana pergi, hingga pandangannya
beralih ke arah seorang gadis yang sedang jogging
dengan anak kecil gemuk di sebelahnya,
mereka menuju ke arah dimana ia sedang duduk santai setelah lelah berolah raga.
Semakin dekat jaraknya, semakin jelas juga wajah yang mengkilat basah karena
derasnya keringat yang mengalir dari wajanya. Dia adalah gadis berambut panjang
yang memiliki senyuman manis itu.
Seperti
biasa gadis itu hanya melemparkan senyum ketika lewat depan Arya. Senyuman yang
memang sudah ia hafal betul karena ia kerap mendapatkannya dari gadis itu,
gadis yang belum ia ketahui namanya.
Di kesempatan yang langka,
ia mencoba memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Ia menyapanya.
Dan gadis itu hanya membalas dengan kata yang sama seperti yang di lontarkan
Arya tadi tanpa menambahkan kata lain dan tanpa berhenti sejenak. Tanpa pikir
panjang ia beranjak dari tempat duduknya lalu mengejar gadis itu yang sudah
agak jauh. Ia berharap dalam hatinya bisa tahu nama
sang pemilik senyuman itu. “hai” sapanya sekali lagi setelah ia sejajar dengan
gadis itu di sebelah kanannya.
Jingga
terkejut dengan suara Arya yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya “hai juga..”
jawabnya sambil menoleh ke arah Arya.
“boleh
gabung jogging ma kalian kan?”
“boleh
kok” jawabnya mengizinkan yang telah diperkuat
dengan senyuman kepada Arya.
Beberapa
menit sudah Arya jogging bersama Jingga, tapi tak ada
sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk memulai obrolan, seakan ada
gembok besar yang mengunci mulutnya. Ia berusaha sekuat tenaga melepas gembok
itu dengan kata-kata yang sudah di rancang dalam hatinya.
“kamu
apanya bu Lastri?” tanya Jingga tiba-tiba mendahului Arya yang baru saja ingin
menbuka mulutnya.
“aku
keponakannya” jawabnya langsung. Wajauhnya terlihat lega karena telah menemukan
bahan untuk memulai obrlannya. “kamu kenal sama budhe Lastri?” ia bertanya
balik
“ya
kenal lah, bu Lastri kan termasuk orang
terpandang di daerah sini, lagipula rumahku juga ndak jauh dari sini kok”
Memang
benar apa yang di katakana Jingga, budhe Lastri termasuk orang terpandang di
daerah ini karena suaminya adalah pegawai negeri walau hanya sebatas pegawai
kecamatan. Dan karena keramahannya juga kepada setiap orang yang bertemu dengan
beliau, membuat budhe Lastri tambah di segani di daerahnya.
“pantesan
sering lihat kamu lewat depan rumah”
Jingga
hanya tersenyum manis tanpa berkata-kata atau bertanya sesuatu lagi. Begitu
juga Arya tak tahu harus bertanya apa lagi, tapi kali ini ia paksa mulutnya untuk
menanyakan nama gadis itu selagi punya kesempatan pikirnya. “oh iya. nama kamu
siapa?”
Jingga
yang mendengar pertanyaan itu lalu menoleh dan mulai menjawab. Namun belum
sempat ia mengucap namanya, suaranya terhenti karena pandangannya beralih ke
arah anak kecil yang berlari di depan mereka dari tadi. Bayu adiknya itu
terjatuh tersandung batu dan membuat Jingga melupakan perkenalan tadi. Pikirannya
sekarang hanya kepada Bayu. Jingga bergegas menolong Bayu yang terjatuh.
Bayu
mencoba berdiri dengan di topang kakaknya yang wajahnya terlihat sangat
kawatir. Dan sepertinya Bayu tak kuat lagi untuk berjalan pulang karena kakinya
terkilir. Tanpa di minta, Arya segera saja mengendongnya setelah tadi berkata
“biar aku gendong saja adik kamu”. Karena ia tahu kalau kakaknya tidak akan
kuat menggendong adiknya yang gendut itu. Hanya sepuluh menit mereka sudah
sampai di rumah gadis itu. Tapi sudah cukup membuat pinggang Arya merasa pegal
oleh beban seberat itu.
“sudah
sampai sini saja, biar aku yang menggendongnya masuk” pintanya setelah di depan
rumahnya.
“udah
sekalian masuk aja nggak apa-apa”
“bener
ndak apa-apa? Aku kasihan sama kamu, keliatannya capek banget dari taman
gendong si Bayu”
“masih
kuat kok” ucap Arya yang sebenarnya sudah tidak kuat lagi.
“ya
sudah masuk yuk”
Arya
menurunkan anak itu di atas kursi sofa dengan motif bunga-bunga warna merah.
“aawww” rintih Bayu saat tanpa sengaja tangan Arya menyentuh kaki Bayu yang
terkilir tadi. Jingga langsung masuk ke ruang bagian tengah yang tertutup
dengan tirai tipis sehinnga masih terlihat samar-samar bagian dalamnya. Tak
lama kemudian wanita paruh baya yang pasti itu adalah ibunya karena wajahnya
sama dengan foto keluarga yang terpajang di tembok itu, keluar tanpa Jingga.
Wajahnya
terlihat kawatir dengan anak laki-lakinya. Dengan menggenggam sesuatu
ditangannya, lalu mendekati Bayu tanpa memperdulikan Arya yang duduk di sofa
yang lain. Tangannya langsung sibuk mengoleskan minyak ke kaki Bayu yang
terilir dan mengurutnya. Bayu hanya mengerang menahan sakit.
Saat
itu tidak ada pembicaraan diantara Arya dan ibu anak itu, hanya suara Bayu yang
terdengar mengerang kesakitan dari tadi. Hampir empat menit sudah ia
menyaksikan pemandangan ini dan hanya duduk terdian tanpa di ajak mengobrol
atau ada sebuah pertanyaan yang terlontar buat dirinya. “kalau begitu saya
pamit dulu bu” ucap Arya yang tiba-tiba dan membuat wanita itu tersadar dengan
keberadaan Arya di ruang yang sama lalu menghentikan pijatannya.
“oh
maaf ibu ndak sadar kalau ada nak” ucapnya berhenti saat ingin menyebut nama
Arya yang belum di ketahuinya.
“saya Arya bu” sahutnya cepet
memperkenalkan diri.
“iya
nak Arya. Maaf ya. tadi yang mengantar Bayu pulangnya?” ucapnya meneruskan apa
yang akan ia ucapkan tadi. “jangan buru-buru, ibu bikinin
minum dulu ya”
Arya
tersenyum. “nggak usah repot-repot bu” ucap Arya
sebelum ibu itu pergi ke dalam.
“sekali ibu minta maaf ya. Ibu terlalu kawatir
dengan Bayu, jadi ndak sadar kalau ada nak Arya di sini”
“nggak
apa-apa kok bu. ya sudah saya pamit dulu bu”
“sekali
terima kasih nak Arya sudah mau mengantar Bayu pulang”
“sama-sama
bu”. Arya beranjak dari kursi sofa tadi dan berjalan keluar.
Tepat
setelah Arya menghilang di balik pintu, Jingga datang dengan membawa segelas
air minum dingin yang di bawanya dari dalam.
“loh
mana dia bu?”
“sudah
pulang baru saja”
“yah.
padahal baru aja Jingga bikinin minum”
“kamu
kelamaan bikin minumnya”
“ya
tadi nyari sirupnya susah, biasanya ada di lemari tadi ndak ada”
“buat
aku saja ya kak, aku juga haus nih” pinta
Bayu
“enak
saja, kakak juga haus nih”
“sudah
jangan rebutan gitu, kamu juga ndak mau ngalah sama adiknya”
“iya
iya” Jingga dengan nada ketus dan menaruh minuman itu di meja
“itu
tadi teman kamu nduk?”
“bukan
sih bu?”
“bukan?”
dengan nada heran “kok bisa naganterin Bayu pulang?”
“tadi
ketemu di taman bu. Tapi sudah sering liat dia di sekitar sini”
“oh
gitu ya”
“ya
sudah Jingga masuk dulu bu”
ӝӝӝӝӝӝӝ
“kamu
kenapa Ar senyum-senyum gitu? habis lewat kuburan mana tadi?” tanya Heru yang
sedang asik dengan gitarnya yang sudah usang karena setiap hari gitar itu
selalu menemani Heru jika sedang senggan di rumah. Maklum saja heru adalah
gitaris di band kampusnya.
“enak aja. Kamu pikir aku lagi kesambet setan gitu?” dan Arya
duduk di samping heru “lagi seneng nih”
“seneng
atau emang udah gila kamu”
“kamu
tu yang gila” ucapnya kesal
“emang
seneng kenapa to kamu?”
“mau
tahu aja urusan orang”. Lalu Arya bergegas pergi ke dalam rumah meninggalkan
Heru.
“woo emang kesambet setan beneran
kamu Ar” ucapnya keras.
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar