Dulu kata eyang
buyutku, sungai disini ndak seperti ini, airnya ndak berwarna coklat, ndak ada
sampah-sampah yang hanyut. Bahkan kata eyang buyutku, beliau sering mandi di
sungai ini bersama teman-temannya dan banyak yang di lakukan enyang buyutku di
sungai ini. karena kono katanya, air sungai disini sangat jernih, bahkan tak
jarang enyang buyutku bisa melihat ikan yang berenang bebas di sungai. Tapi itu
dulu, sekarang, jangankan ikan, air jernih saja sudah ndak ada sejak pabrik itu
berdiri dengan sombongnya. Entah kenapa tak ada satupun yang bisa melihat
kesedihan ini, kesedihan yang di rasakan oleh sungai, andai dia bisa bicara,
dia akan berteriak agar kita semua mendengar jeritanya. Tapi seandainya bisa
pun, itu sudah terlambat, dia sudah mati sebelum kita sempat mendengar
jeritanya. Racun pabrik itu yang telah membunuh sungai ini dengan cepat dan
memperkosa jasadnya sebagai saluran hasratnya yang kotor dari pada kotoran
hewan.
Aku yakin, bukan hanya
sungai saja yang menangis, tapi enyang buyutku pun menangis di sana jika
melihat sungai yang dulu di jadikannya sebagai sumber kehidupan warga telah
menjadi seperti ini. jangankan manusia, ikan-ikanpun enggan berada disungai ini
lagi. dan sungaiku sudah terlalu mati. Mati di tangan penguasa yang hanya
mementingkan secuil nafsu belaka. Entah kenapa semua ini bisa terjadi, di
depanku tak ada yang dapat ku lihat selain hanya sebuah kenangan indah tentang
sungai ini yang terus mengalir entah kemana bersama pekatnya aliran sungai yang
menyengat hidungku.
Masih tak habis pikir
aku terpaku di sini, cerita enyang buyutku seakan terus membuatku penasaran
dengan asrinya sungaiku yang sama sekali tak bisa aku saksikan secara langsung.
Aku tidak butuh cerita, apalagi dongen, yang ku butuhkan hanyalah bisa
memanjakan mata dengan melihat asrinya sungai ini dan bisa merasakan segarnya
mandi di sungai ini seperti yang eyang buyutku selalu lakukan. Jika aku bisa
memutar waktu, apapun aku lakukan agar tak pernah ada cerita seperti ini,
cerita tentang keindahan sungai ini. dan aku, tak akan repot untuk bercerita
kepada anak cucuku kelak karena memang tak ada yang bisa ku ceritakan tentang
sungai ini, biar mereka sendiri menyaksikan betapa asrinya sungai ini sepanjang
jaman. Tapi apa daya, kenyataan tentang kekuatan penguasa terlalu besar untuk
di lawan, bahkan bermimpi saja aku tak mampu.
Kini sungai di depanku
sudah menjadi budak dari sang arogannya pabrik itu. entah sampai kapan pabrik
itu tetap berdiri kokoh merusak sungai, bahkan lingkungan-lingkungan lainya,
aku tak tahu, hanya Tuhan dan sang penguasa itu sendiri yang tahu. Aku terlalu
lemah untuk membinasakan keangkuhanya, merobohkan setiap dinding pabrik itu,
aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa bersedih melihat sungai ini tak sejernih
air mataku, aku hanya bisa... belasungkawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar