Di terik
panas yang menyengat, di siang yang enggan untuk melangkah, ia berdiri tepat di
bawahnya matahari. Wajahnya kesal, sorot matanya terus
melihat handphonenya, tangannya terus saja mengulang-ulang menekan keypad. Ia
benar-benar kesal dengan tingkah Ayu yang tak kunjung terlihat
batang hidungnya, bahkan susah untuk di hubungi. Padahal ia sudah janji untuk
mengantar Jingga pulang sekalian ingin meminjam tas milik Jingga.
Mobil
mewah warna putih yang tak asing lagi bagi Jingga,
berjalan pelan mendekatinya lalu berhenti tepat di hadapannya. Perlahan kaca
mobil sebelah kiri terbuka hingga terlihat wajah Dimas tersenyum dari dalam.
“ayo
aku antar pulang” suara Dimar menawarkan diri dari dalam mobil.
“ndak
usah, aku bareng sama si Ayu” tolaknya walau ia juga sudah kesal dengan Ayu yang
belum juga muncul untuk mengantar pulang.
Memang
dasar Dimas yang tidak mudah menyerah demi bisa berdua dengan
Jingga. Berulang kali ia mengeluarkan jurus rayuannya kepada Jingga dan akhirnya
rayuan itu bisa membuat Jingga tak bisa menolak
lagi. Tapi mungkin juga karena ia sudah terlalu kesal dengan Ayu, jadi ia terpaksa
mau saja menerima tawaran Dimas.
“nah
gitu dong” lalu Dimas tersenyum berbunga-bunga dan menyalakan mobilnya.
Akhirnya
Dimas punya kesempatan untuk bisa berduaan saja, walau sekedar mengantarkan
Jingga pulang. Dalam otaknya, ia terus saja memutar akal mencari alasan untuk
bisa berlama-lama dengan Jingga. Ia memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya.
Dalam
perjalanan pulang mereka habiskan dengan mengobrol ringan yang lama-kelamaan
mulai bercanda dan saling tertawa tidak
seperti tadi saat pertama. Sinar wajah Jingga sekarang bersinar terang
bercampur gelak tawa yang renyah dengan guyonan-guyonan kecil dari Dimas. Kini
Dimas telah menguasai suasana hati Jingga. Dan Dimas sengaja mengarahkan
mobilnya ke sebuah restoran yang sering ia datangi di kawasan Kota Baru. Ia ingin mengajak Jingga untuk makan
siang dulu sekalian untuk bisa beduaan lebih lama.
Jingga
yang sadar kalau mobil Dimas tak mengarah ke rumahnya mulai resah dan
menimbulkan tanda tanya untuknya. “kita mau kemana Dim?”
“kita makan dulu ya, aku udah laper.
Kamu juga laper kan?” jawab Dimas dan sebuah pertanyaan yang memaksa.
“tapi..”
“tapi di restoran ya?”
potong Dimas sok tau “udah kamu tenang aja, itu pasti. Nggak
mungkin gadis secantik kamu aku ajak ke angkringan”
“apaan sih Dim, bukan itu”
Dimas
tersenyum “udah nggak usah pake tapi-tapian. tinggal
bilang iya aja kok repot”
Jingga
terdiam sesaat, wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Antara iya atau
tidak, jika iya, ia malu karena belum terbiasa makan berdua dengan cowok di
luar kampus, tapi jika tidak, monster yang ada dalam perutnya sudah berontak.
“kalo diem aja berarti tanda setuju”
ucap Dimas sok tahu lagi.
“ya sudah terserah kamu saja” akhirnya dengan malu Jingga
menjawab. “tapi ndak usah lama-lama ya” lanjutnya cepat.
“yes. Gitu dong” teriak Dimas dengan
wajah senang karena rencananya berhasil.
“kamu apa-apan sih, kedengeran orang
malu kan?”
“mana ada yang bisa dengar Jingga”
Mereka
mulai lagi dengan obrolan yang tidak
tentu arah. Bercanda lagi, tertawa lagi sampai tanpa sengaja mata mereka beradu
tatap saling pandang saat mobil Dimas berhenti di trafic light. Tidak
berselang lama, mereka terkejut, pandangan itu terbuyarkan oleh klakson mobil
yang ada di belakangnya. Suasananya mulai aneh, mereka menjadi canggung,
membeku tidak secair tadi, terutama Jingga yang
terlihat jelas dari raut wajahnya. Kini ia banyak terdiam saja. Namun keadaan
itu tidak berlagsung lama karena mereka sudah
tiba di tempat yang Dimas tuju. Sebuah restoran jepang.
Entah
apa yang membuat Jingga mau di ajak makan siang oleh Dimas. Dan itu
adalah makan siangnya yang pertama dengan Dimas, berdua saja tanpa Ayu.
Dimas
menyadari keanehan yang ada di wajah Jingga. “kamu kenapa Ga? Nggak
suka sama makanannya ya?”
“ndak kok, aku suka” jawab Jingga jadi malu
karena Dimas ternyata mengetahuinya.
“tapi kok grogi gitu keliatannya?”
Jingga
tetap memberi jawaban yang sama dengan jawaban sebelumnya karena ia tidak
mungkin mau jujur kalau ia baru pertama kali makan berdua dengan Dimas di luar.
Walau memang mereka tanpa sengaja sudah sering bertemu di kantin kampus atau
kadang memang Dimas sengaja bergabung dengan Jingga yang sedang makan di kantin
dengan Ayu.
“oh gitu, ya
udah lanjutin makannya”
Jingga
mencoba tersenyum manis di depan Dimas walau dalam hatinya menyimpan sesuatu
yang mengganjal yang membuatnya tak nyaman, tapi ia tak mau Dimas
mengetahuinya. Dan setelah selesai makan nanti, ia meminta untuk langsung di
antar pulang karena ia masih belum terbiasa dengan suasana itu. Dimas hanya
bisa menuruti permintaan Jingga tanpa bisa menolaknya.“bener nih nggak
mau maen dulu” Dimas memastikan lagi yang akhirnya tetap mendapat jawaban sama.
“iya deh nanti kita langsung pulang aja. Takut juga kalo lama-lama malah di
sangka mau nyulik” Dimas tersenyum
Jingga
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Dimas tadi. “percuma nyulik aku”
Kini gantian Dimas yang mengerutkan
keningnya tak tau apa yang Jingga maksud. “kenapa percuma?”
“memang
siapa yang mau nebus aku? Orang tuaku bukan orang kaya, trus mau nebus pake
apa? Pasti orang goblok yang mau nyulik aku, ndak bisa lihat yang mana yang anak
orang kaya mana yang bukan”
“kalo aku yang nyulik kamu, brati aku
goblok dong?”
“ya begitulah kira-kira” jawab Jingga
santai. “memang buat apa kamu nyulik aku?”
“buat nakut-nakutin tikus di rumah” lalu
Dimas tertawa keras
“yeee”
“nggak
kok cuma bercanda, mana berani aku nyulik kamu” Dimas tersenyum lalu
melanjutkan dalam hati “tapi aku ingin
menculik hati Ga”
“kok malah bengong sambil senyum? mikirin
apa hayo?”
Dimas
masih tersenyum dan menjawab dalam hati “mikirin
kamu”
“di tanya malah senyum-senyum saja.
Jangan-jangan memang mikirin yang enggak-enggak ya?”
“nggak
kok. oh iya kamu…”
Tiba-tiba
handphone Jingga berdering di dalam tasnya membuat Dimas tak melanjutkan yang
akan ia tanyakan tadi.
“bentar ya Dim” ucap Jingga lalu
menjauh dari Dimas.
Dimas
merasa terganggu dengan telepon dari Ayu yang tiba-tiba tadi. Wajahnya sedikit
meredup melihat Jingga yang sedari tadi ngobrol lewat telepon. Entah apa yang
mereka bicarakan, Dimas tak tahu, yang jelas bukan sesuatu yang menyenangkan,
terlihat dari wajah Jingga yang kesal saat berbicara denagn Ayu. Tak lama
kemudian Jingga kembali lagi ke mejanya.
“maaf ya Dim, Ayu telpon tadi” Jingga
sambil menggeser kursi dan mulai duduk kembali seperti tadi.
“nggak
apa-apa. Tapi kok kayaknya lagi kesel ya ma dia? kenapa?” tanya Dimas sok tahu
”iya tuh, si Ayu nyebelin banget, kayak
ndak punya dosas aja” ucap Jingga ketus
“kenapa?”
“tadi sudah janji mau anter pulang aku,
ee di tunggu ndak dateng-dateng. Sudah gitu barusan telpon ndak minta maaf,
ngeselin kan?”
“oh tadi kamu lagi nungguin Ayu to?
Udah nggak usah kesal gitu, kan udah ada aku
yang anter kamu pulang, bahkan minta anter kemana aja aku siap kok”
“ah apa-apaan sih Dim?”
“ya siapa tau aja mau minta di anter
kemana aja”
“udah ah pulang yuk” setelah meneguk
habis minuman yang tersisa.
ӝӝӝӝӝ
“gang depan itu belok kanan ya”
telunjuk Jingga menunjuk ke jalan yang ada di depannya.
Mobil
Dimas belok ke gang yang Jingga maksud tadi dan berhenti di depan rumah yang
memang tak jauh, hanya berada di dua blok dari tikungan tadi.
“masuk dulu yuk” ucap basa-basi Jingga.
“nggak
usah deh lain kali aja”
“oh ya sudah kalo gitu. Aku turun dulu
ya. Makasih buat tumpangannya dan makan siangnya”
“iya sama-sama”
Ketika
Jingga hendak membuka pintu mobil tiba-tiba tangan Dimas memegang tangannya yang
membuat kaget dan malu. Sontak saja Jingga melepaskan genggaman tangan Dimas
dari tangannya.
“upss sorry” ucap Dimas yang berubah
jadi terbata-bata. “bentar dulu Ga”
“ada
apa?”
Tanpa basa-basi namun grogi Dimas
berusaha membuka mulutnya. “eee. dari pertama bertemu kamu di acara itu, aku
mulai…” Dimas tak melanjutkan ucapannya. Perasaanya mulai tak karuan. Ia salah
tingkah.
Dari
ucapan dan gelagatnya, Jingga sudah bisa menebak apa yang akan di katakan
Dimas. Tapi ia tetap mencoba berposotif thinking. “mulai apa Dim?” tanya Jingga
basa-basi seolah tak tahu apa yang akan Dimas ucapkan.
“mulai…” Dimas sedikit ragu “mulai suka
sama kamu” bicaranya masih tersendat-sendat
“trus?”
Sekuat
tenaga Dimas mengeluarkan kata yang
memang sulit tuk di ucapkan bagai ada yang mengikat erat di tengah
tenggorokannya. “eee.. kamu mau nggak
jadi pacar aku” suaranya terbata-bata seperti orang gagap.
“hah?” Jingga terkejut mendengar
kata-kata yang akhirnya keluar juga dari mulut Dimas “ndk
salah kamu Dim nembak aku? Bukanya banyak tu cewek-cewek yang lebih cantik yang
suka sama kamu? Kenapa kamu milih aku?”
“kamu
beda sama mereka. Mereka hanya mengincar
hartaku saja. Mungkin kalau aku bukan anak orang kaya, mereka nggak
mungkin ngejar-ngejar aku”
“tapi aku”
“tapi apa?” potong Dimas cepat.
Tak sepatah katapun keluar dari
mulut Jingga. Ia justru berkata dalam hatinya. “mungkin persyaratanku memang aneh seperti yang Ayu bilang beberapa
bulan lalu, tapi aku ingin di tembak dengan puisi atau minimal dengan hal yang romantis, gak kaya ini.
Andai kamu lakuin itu Dim…”
“kenapa Ga? Kamu nggak
suka sama aku?” Dimas bertanya sekali lagi
karena Jingga belum memberi alasan.
“ya aku belum bisa nerima kamu Dimas”
Jingga tak juga memberi alasannya. “sudah ya, aku turun dulu, ndak enak sama
ibuku kalau dia tau aku berlama-lama di dalam mobil” Jingga langsung membuka
pintu mobil dan bergegas masuk rumah tanpa mendengarkan Dimas yang
memanggil-manggil namanya.
Dimas
hanya bisa terdiam saja dalam mobil sambil melihat Jingga masuk rumahnya. Dalam
hatinya tak percaya ada cewek yang bisa menolaknya. Tapi justru ia tertantang
dan penasaran pada Jingga. apapun akan ia lakukan demi untuk mendapatkan
Jingga.
ӝӝӝӝӝ
“tadi itu siapa nduk?” tanya ibunya
yang melihat Jingga di antar mobil asing.
“temen bu”
“biasanya di anter Ayu, tumben di anter
temen yang laen”
“ndak tau dia pergi
kemana tadi. udah ya bu, Jingga
istirahat dulu ya, capek ni”
Dengan
wajah yang sedikit lusuh, Jingga menuju kamarnya, ia ingin cepat istirahat tuk
melupakan kejadian hari ini, mulai dari kesal dengan Ayu dan Dimas yang
tiba-tiba nembaknya di situasi yang jauh dari harapannya.
Tasnya
ia lemparkan begitu saja, ia duduk di ujung kasurnya dan hanya melepas sepatu.
Kepalanya terasa berat dengan sesuatu yang ia sendiri tak tau apa. Ia
menjatuhkan tubuhnya ke belakang di kasur dan mencoba memejamkan kedua matanya.
Tapi angannya justru melayang dan singgah ke kejadian itu,
ia teringat semua kejadian yang baru saja ia alami, mulai dari
Dimas memaksa untuk mengantarnya, waktu bercanda dengan Dimas, makan dengan
Dimas sampai kejadian yang tak pernah ia sangka sebelumnya. ia mulai tersenyum
mengingatnya. “andai tadi Dimas nembak
aku dengan cara yang romantis, mungkin aku bisa terima dia” Jingga
tersenyum sendiri membayangkan hal tadi yang jauh dari harapannya lalu memeluk
bonekanya. “ternyata omongannya Ayu
benar, hari gini cowok banyak yang to the point ngucapin cintanya. huft…” ia
mulai mengerutkan keningnya. “tapi aku
tetep teguh pada prinsipku dan aku yakin suatu saat ada yang menembakku dengan
cara yang sangat romantis dengan puisi” sekarang
wajahnya tak selusuh tadi.
ӝӝӝӝӝ
Jam
tujuh malam Ayu datang juga ke rumah Jingga. ia ingin meminjam tas kecil milik
Jingga yang seharusnya ia ambil tadi siang sekalian mengantar Jingga pulang,
tapi tidak jadi karena mendadak ada acara lain.
Ayu tahu pasti Jingga marah padanya karena
masalah itu.
Dengan
wajah yang di buat ceria seolah tak ada apa-apa, Ayu langsung masuk kamar
Jingga setelah bu Lastri memberi tahu kalau Jingga ada di kamarnya. Tapi dalam
hati Ayu tau kalau Jingga akan marah. “malem sayang” ucap Ayu di buat semanis
mungkin.
Ternyata
dugaan Ayu meleset. Jingga menjawab dengan manis juga. Wajahnya tak seperti apa
yang ada dalam bayangan Ayu. Wajahnya terlihat ceria dengan senyum yang tak
dibuat-buat dan seperti telah lupa dengan kejadian tadi siang. Hal itu justru
membuat Ayu bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengan Jingga. Entah apa
yang sedang Jingga perbuat dengan laptop yang ada di depannya yang belum sempat
Ayu melihatnya, Jingga langsung menutup laptopnya saat Ayu mulai mendekatinya.
Ayu tak begitu penasaran dengan itu, yang terpenting buatnya adalah Jingga tak
lagi marah dengannya. Ayu merasa lega melihatnya, jadi ia bisa meminjam tas
yang ia inginkan.
“kirain ndak jadi pinjem tas” tanya
Jingga setelah Ayu duduk di kasur di dekatnya
“ya jadi lah” tangannya meraih boneka
panda dan memeluknya. “kayaknya lagi ceria nih, ada apa Ga?”
“masak? Biasa aja kok” ucapnya
malu-malu yang tak bisa menyembunyikan rasa itu
“aku jadi teman kamu tu udah lama, jadi
aku tau betul raut wajah kamu kalo lagi sedih, kalo lagi seneng atau kalo lagi
ada masalah. Jadi kamu ndak bisa bohong sama
aku”
“bisa saja
kamu Yu. Oh ya.. apa yang pernah kamu bilang itu benar Yu”
“tentang
apa?”
“kalau
cowok sekarang memang to the point mengutarakan cintanya”
“jadi
kamu di tembak cowok ya? Siapa say?” ucap penasarannya menggebu-gebu
“Dimas”
“Dimas
nembak kamu? Wah selamat ya, akhirnya temenku yang satu ini punya pacar juga”
“kamu
ngomong apa to? Orang aku nolak dia kok”
“hah kamu tolak?” volume suaranya
mengeras. Ia tak percaya apa yang Jingga katakan. “kamu bercanda kan?” Ia yakin
Jingga hanya bercanda saja.
“beneran kok. Aku tolak dia”
“kenapa?” wajahnya mulai penasaran
“dia ndak memenuhi
syarat”
“syarat apaan?” Ayu dengan nada heran
“emang Dimas kurang apa? Udah cakep, kaya lagi. Kurang apa coba?” Ayu jadi
geregetan
“kurang romantis, bahkan ndak romantis
sama sekali”
“ya Allah.. tolong sadarkan hamba-Mu
yang satu ini ya Allah” Ayu menangkupkan kedua tangannya dengan pandangan
mengarah ke atas dan mengucap amin pada akhir kata-katanya. “Cuma gara-gara itu
kamu tolak dia? Ternyata syaratnyamu itu beneran ya? Kamu bener-bener sudah
ndak waras Ga. mana ada orang kayak gitu Jingga? Aku jadi geregatan sendiri
sama kamu. Kok ada ya orang aneh kayak kamu. Kesempatan ndak datang dua kali
loh. Emang kamu ndak nyesel nolak dia?”
“eeeenggak” jawab Jingga santai
“dasar aneh!!!” nadanya mengeras
mantap.
“biarin”
“emang kapan dia nembak kamu?”
“tadi siang”
“dimana?”
“di dalam mobil”
“kok bisa di dalam mobil?”
“kok jadi kamu yang penasaran. Udah ah
ndak usah di bahas itu, ndak penting tau”
“ah Jingga ayo
dong cerita. Kok kamu bisa di dalem mobilnya dia? Dia anter kamu ya? Trus
kemana aja tadi? Ndak mungkin kalo cuma nganter saja.
Iya kan? Ayo dong cerita”
“udah ndak ada yang harus di ceritakan Yu.
Cerita sudah selesai”
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar