Seperti
biasa Arya setiap bangun pagi selalu berolah-raga kecil sekedar menghirup udara
pagi yang segar. Tapi berbeda dengan biasanya, ia berniat
ingin berolah-raga keliling daerah sekitar rumah budhenya, mumpung ia
tak ada jadwal kuliah. Jadi ia bisa lebih lama untuk melakukan rutinitas pagi hari.
Jam
enam pagi ia sudah siap dengan kaos oblong, celana pendek, sepatu, handuk kecil
yang melilit di leher dan tak lupa juga earphone yang menempel di kedua
telinganya. Di iringi lagu-lagu dari linkin park yang begitu semangat, mulailah
ia berlari penuh semangat juga.
Baru
saja sampai di halaman rumahnya, ia terhenti, matanya terbelalak mengarah pada
gadis berambut panjang yang sedang lewat dengan sepeda birunya. Rambutnya
tersibak terurai terkena hembusan angin, membuat wajah manis itu terlihat
jelas. Dalam diam mematungnya, seakan ada sesuatu yang menganjal dalam
ingatannya. Raut wajahnya seperti mengenal gadis berambut panjang yang baru
saja ia lihat. “kayak cewek yang tadi malem, tapi masak dia?” Ia masih tak
percaya, dalam penasarannya ia ingin mengejarnya tapi sayang gadis itu sudah
keburu hilang di antara salah satu tikungan.
Di
sepanjang jalan Arya masih bertanya-tanya dalam hati yang membuatnya tak bisa
konsentrasi. Gadis tadi benar-benar membuatnya penasaran. “apa mungkin bener dia ya? Ah nggak
mungkin. Tapi kok bisa mirip ya? Apa memang rumahnya sekitar sini? Ah tau ah..”
Ia
jadi aneh sendiri di jalan. Lari paginya tidak
bisa fokus, wajah itu selalu mengganggunya. “kok
aku jadi penasaran ma gadis tadi ya? Kalo emang bener dia.. bisa sering ketemu
ni” ia lalu senyum-senyum sendiri. Lalu terdiam sesaat tak berkata-kata
lagi dalam hatinya. Namun dalam benaknya masih terbayang gadis itu. Dan
berharap bisa berjumpa lagi lain waktu. Ia terus menerus berharap.
Satu
jam sudah ia lari pagi keliling daerah itu. Dan saatnya
untuk pulang, ia hanya berjalan karena
tenaganya sudah habis. Keringatnya tak henti mengalir hingga membanjiri kaos
oblongnya. Matanya terlihat menoleh kanan kiri seperti elang yang sedang
mencari mangsa. Berharap ia melihat gadis tadi untuk memastikan gadis itu sama
dengan gadis yang bertemu di gramedia atau bukan. Hampir sampai di rumah, ia
masih tidak melihat gadis itu, justru ia bertemu
dengan budhenya di dekat rumah yang sepertinya pulang dari warung membeli lauk
tuk sarapan.
“dari olahraga
Ar?”
“iya nih budhe,
habis jogging muter daerah sini aja”
“wah rajin juga kamu olahraga”
“iya dong budhe, nggak
kayak Heru yang males olahraga”
“iya tuh. kerjanya cuma tidur saja, oh
ya, kamu ndak kuliah po hari ini? Kok olah-raganya sampai jam segini?”
“nggak
ada jadwal kuliah budhe, makanya aku olah raga aja”
“ya sudah mandi sana, habis itu
sarapan”
“oke budhe”
Kali ini harapannya pupus karena ia
tak bisa melihat gadis yang terus mengganggu pikirannya itu. Ia pasrah ketika
harus masuk kedalam rumah setelah terakhir kali ia menoleh ke belakang.
ӝӝӝӝӝ
Dua hari
berikutnya saat Arya sedang beli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumahnya,
tanpa sengaja matanya melihat gadis yang sama dengan gadis waktu itu.
Mungkin hari keberuntungan Arya, rupanya gadis
itu juga melihat Arya yang sedari tadi memperhatikan dari warung. Mereka saling
pandang dan saling lempar senyum. Hanya itu yang mereka bisa lakukan karena
jarak yang tidak memungkinkan tuk saling menyapa atau bertanya. Saat itu ia
yakin kalau gadis itu adalah gadis yang ia jumpai di gramedia beberapa hari
lalu. Dan sepertinya Jingga juga sadar bahwa orang yang ia lihat adalah sama dengan orang yang
memberi buku di gramedia waktu itu.
“mau beli apa mas?” tanya penjaga
warung.
Arya
masih saja melihat gadis itu dan tak mendengar suara penjaga warung.
“mas.. mas…” panggil penjaga warung itu
sekali lagi.
“oh iya… maaf bu”
“mau beli apa to mas?”
“mau beli sabunnya bu”
Arya
menoleh lagi ke arah jalan, tapi gadis itu sudah tak terlihat lagi disana. “kemana perginya ya?”
“nih mas”
“makasih”
Di depan warung mata Arya masih
clingak-clinguk mencari keberadaan gadis tadi.
“jan
cah saiki nek weroh cah wedok ayu, motone ra iso kedhep” gerutu penjaga warung
lirih yang menyadari apa yang di lihat Arya.
Arya
langsung pulang dengan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Dan
lagi-lagi ia di jalan berdialog sendiri dalam hati. “ternyata gadis itu bener dia. Rumahnya di sebelah mana ya kok udah
hampir empat bulan di sini gak pernah liat dia, malah pertama ketemu di toko
buku” wajahnya mulai bersinar senang.
“kira-kira rumahnya mana ya?”
Sepanjang
jalan Arya tidak henti-hentinya berdialaog sendiri
dalam hati. Andai bisa di gambarkan seperti dalam komik, mungkin sudah banyak
tulisan yang ada di atas kepalanya itu.
Sepertinya
memang hari keberuntungan Arya, saat ingin
memasuki halaman rumah, ia melihat lagi gadis itu baru saja keluar dari rumah
yang ada di depan rumah budhe Lastri. ia terhenti lalu menatap Jingga,
begitupun dengan Jingga yang melihat Arya hingga mereka saling melempar senyum
lagi tanpa sempat mengucapkan sepatah kata yang keluar dari mulut mereka
berdua. Lagi-lagi keadaan yang membuat mereka tak sempat saling sapa. Tiba-tiba
entah darimana Heru sudah ada di samping Arya yang mengalihkan pandangan Arya.
Selama
Ia di Jogja, baru sekali Arya menjadi
aneh hanya karena seorangg gadis. Kadang senyum sendiri, ketawa
sendiri, bicara sendiri, hingga Heru yang melihat tingkah laku Arya, menyangka
sepupunya itu sudah gila. Hanya karena satu senyuman itu pula Arya jadi rajin
mengirim puisi ke Dewi kecil. Dan karena hanya itu yang bisa Arya lakukan
dengan puisi-puisinya, menulis dan di kirim ke Dewi Kecil.
Bagi
Arya sejak bertemu gadis itu, gadis itu menjadi bahan bakar untuk sebuah mesin
inspirasi yang selalu memproduksi puisi tanpa henti yang bekerja di dalam otak
kiri. Dan dia adalah puisi.
Senyumnya seperti senja sore-sore
Untuk uraikan untaian-untaian ungu
Tanpa titik-titik temaram
Rasanya rangkum rinai-rinai rindu
Inilah indahnya imaji-imaji itu
Seperti senja sore-sore saja
Nikmat nyaman nuansa-nuansanya nian
Andai aku adalah aura-aura asanya…
ӝӝӝӝӝ
Begitu
juga dengan Jingga, ia jadi penasaran dengan lelaki tadi, tapi ia lebih
penasaran karena lelaki itu masuk ke rumah bu Lastri. Ia
tau benar kalau bu Lastri hanya punya dua anak yaitu Heru dan kakak
perempuannya yang ikut dengan suaminya. “ah mungkin sodaranya Heru” ia
merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur. “tapi kenapa aku jadi ngurusin dia ya?
Tau ah. mending mandi aja lah” Jingga beranjak lagi dari tempat tidurnya yang
baru saja sebentar merebahkan tubuhnya. Segera pergi mandi dan meninggalkan
pikiran tentang lelaki itu.
ӝӝӝӝӝ
Setelahnya,
hampir setiap hari meraka saling bertemu, saling tatap dan saling senyum walau
masih belum bisa saling menyapa karena sikon yang terus tak memberi kesempatan
buat mereka. Namun kebiasaan seperti itu sudah membuat Arya senang. Dan ia bisa
bernafas lega karena ia yakin bahwa gadis itu tinggal tidak
jauh dari rumah budhenya. Ingin sekali ia tau rumahnya atau sekedar tau namanya
saja.
Di
suatu sore, Arya yang duduk dan bermain gitar, tiba-tiba melihat gadis itu lagi
dengan sepedanya dan sedang memboncengkan anak laki-laki agak gendut. Lama ia
memperhatikan gadis itu hingga gadis itu merasa ada yang sedang mengawasi
dirinya, lalu ia pun menoleh ke arah rumah bu Lastri dan melihat Arya yang
sedang bermain gitar di teras depan. Tak berapa lama gadis itu hilang dari
pandangan Arya.
Selang
beberapa menit Heru datang dari arah yang sama. Arya yang dari kemarin ingin
tahu nama gadis itu mencoba bertanya kepada Heru. Tapi ia tak tahu gadis mana
yang Arya maksud. “gadis mana?” Heru balik bertanya setelah ia tak melihat ada
gadis di depan rumahnya.
“tadi yang lewat depan rumah naek
sepeda”
“yang mana ndak ada”
“ya udah lewat sih tadi sebelum kamu
dateng”
“kenapa ndak kamu panggil saja, trus
ajak kenalan, gampang to?”
“nggak
berani”
“jadi cowok kok ndak berani sama
cewek, pake rok saja sana”
“ni beda masalahnya”
Sepertinya Heru tak tertarik dengan
penasarannya Arya kepada gadis itu. Lalu Heru masuk rumah yang di ikuti Arya.
ӝӝӝӝӝ
Genap sebulan sudah pertemuan itu
terjadi berkali-kali, namun belum juga ada kesempatan tuk saling kenal, bahkan
sekedar untuk saling menyapa saja tidak ada waktu yang mempertemukan mereka di situasi yang
tepat. Hanya senyuman demi senyuman yang sudah terbiasa mereka lemparkan.
Sejak
bertemu gadis itu, walau ia belum sempat tahu namanya, namun gadis itu mampu
merubah hatinya menjadi lebih berbunga-bunga. Ia ingat betul waktu pertama kali
bertemu di toko buku, waktu pertama kali mendapat senyuman yang masih membekas di ingatannya. Ia juga ingat betul beberapa hari lalu saat di taman, waktu Jingga sedang olah-raga.
Dengan kaos putih cerah, celana jean biru selutut, rambutnya terurai terlihat
melambai saat angin menerpanya dan keringat yang membasahi wajah manisnya
hingga membuat Arya semakin terpana melihatnya. Ada hasrat yang begitu besar
dalam hatinya yang perlahan menjelma menjadi suatu perasaan aneh. Perasaan yang
memaksanya untuk selalu menemuinya, memaksanya untuk selalu memikirkannya.
Perasaan yang terlihat jelas pada setiap puisi yang ia buat.
Entah mengapa yang entah dari mana
Bunga cinta ini tumbuh dan berkembang di
taman hati yang bimbang
Mungkin benih-benih cinta itu tlah
tertabur tertanam
Saat kau datang dan bermain di taman
hati
Yang tanpa sengaja tlah bersemi menjadi
kuncup bunga cinta yang indah
Tapi akankah kuncup itu
Mampu mekar mewangi atau kan layu
sebelum sempat tebarkan aroma wanginya
Ataukah kau kan biarkan mekar
Dengan berjuta putik asmaranya menghiasi
Dengan putih kelopak sucinya menyelimuti
Dengan tebaran aroma surga cintanya
menyegarkan
Sebenarnya
puisi tak mampu untuk menggambarkan betapa sempurnanya
gadis itu di mata Arya atau bahkan penanya pun tak cukup untuk
melukiskan manisnya wajah dalam secarik putihnya kertas.
Namun
senyuman demi senyuman dalam setiap pertemuan, ia rangkum menjadi sebuah puisi
terindah tuk selalu menempati istana pikiran di otaknya. Mesin pencetak kata-kata
penuh makna nan romantis, terus bekerja lagi
setiap waktu setiap saat. Selalu terukir kata demi kata di secarik polosnya
kertas hingga perlahan terisi dengan tarian pena yang mengindahinya. Semua
tersirat disana, semua yang belum sempat terucapkan
kata.
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar