Rabu, 02 Oktober 2013

DIA ADALAH PUISI (bag.8 SHJ)



            Seperti biasa Arya setiap bangun pagi selalu berolah-raga kecil sekedar menghirup udara pagi yang segar. Tapi berbeda dengan biasanya, ia berniat ingin berolah-raga keliling daerah sekitar rumah budhenya, mumpung ia tak ada jadwal kuliah. Jadi ia bisa lebih lama untuk melakukan rutinitas pagi hari.
            Jam enam pagi ia sudah siap dengan kaos oblong, celana pendek, sepatu, handuk kecil yang melilit di leher dan tak lupa juga earphone yang menempel di kedua telinganya. Di iringi lagu-lagu dari linkin park yang begitu semangat, mulailah ia berlari penuh semangat juga.
            Baru saja sampai di halaman rumahnya, ia terhenti, matanya terbelalak mengarah pada gadis berambut panjang yang sedang lewat dengan sepeda birunya. Rambutnya tersibak terurai terkena hembusan angin, membuat wajah manis itu terlihat jelas. Dalam diam mematungnya, seakan ada sesuatu yang menganjal dalam ingatannya. Raut wajahnya seperti mengenal gadis berambut panjang yang baru saja ia lihat. “kayak cewek yang tadi malem, tapi masak dia?” Ia masih tak percaya, dalam penasarannya ia ingin mengejarnya tapi sayang gadis itu sudah keburu hilang di antara salah satu tikungan.
            Di sepanjang jalan Arya masih bertanya-tanya dalam hati yang membuatnya tak bisa konsentrasi. Gadis tadi benar-benar membuatnya penasaran. “apa mungkin bener dia ya? Ah nggak mungkin. Tapi kok bisa mirip ya? Apa memang rumahnya sekitar sini? Ah tau ah..” Ia jadi aneh sendiri di jalan. Lari paginya tidak bisa fokus, wajah itu selalu mengganggunya. “kok aku jadi penasaran ma gadis tadi ya? Kalo emang bener dia.. bisa sering ketemu ni” ia lalu senyum-senyum sendiri. Lalu terdiam sesaat tak berkata-kata lagi dalam hatinya. Namun dalam benaknya masih terbayang gadis itu. Dan berharap bisa berjumpa lagi lain waktu. Ia terus menerus berharap.
            Satu jam sudah ia lari pagi keliling daerah itu. Dan saatnya untuk pulang, ia hanya berjalan karena tenaganya sudah habis. Keringatnya tak henti mengalir hingga membanjiri kaos oblongnya. Matanya terlihat menoleh kanan kiri seperti elang yang sedang mencari mangsa. Berharap ia melihat gadis tadi untuk memastikan gadis itu sama dengan gadis yang bertemu di gramedia atau bukan. Hampir sampai di rumah, ia masih tidak melihat gadis itu, justru ia bertemu dengan budhenya di dekat rumah yang sepertinya pulang dari warung membeli lauk tuk sarapan.
             “dari olahraga Ar?”
             “iya nih budhe, habis jogging muter daerah sini aja”
            “wah rajin juga kamu olahraga”
            “iya dong budhe, nggak kayak Heru yang males olahraga”
            “iya tuh. kerjanya cuma tidur saja, oh ya, kamu ndak kuliah po hari ini? Kok olah-raganya sampai jam segini?”
            nggak ada jadwal kuliah budhe, makanya aku olah raga aja”
            “ya sudah mandi sana, habis itu sarapan”
            “oke budhe”
            Kali ini harapannya pupus karena ia tak bisa melihat gadis yang terus mengganggu pikirannya itu. Ia pasrah ketika harus masuk kedalam rumah setelah terakhir kali ia menoleh ke belakang.
ӝӝӝӝӝ

             Dua hari berikutnya saat Arya sedang beli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumahnya, tanpa sengaja matanya melihat gadis yang sama dengan gadis waktu itu. Mungkin hari keberuntungan Arya, rupanya gadis itu juga melihat Arya yang sedari tadi memperhatikan dari warung. Mereka saling pandang dan saling lempar senyum. Hanya itu yang mereka bisa lakukan karena jarak yang tidak memungkinkan tuk saling menyapa atau bertanya. Saat itu ia yakin kalau gadis itu adalah gadis yang ia jumpai di gramedia beberapa hari lalu. Dan sepertinya Jingga juga sadar bahwa orang  yang ia lihat adalah sama dengan orang yang memberi buku di gramedia waktu itu.
            “mau beli apa mas?” tanya penjaga warung.
            Arya masih saja melihat gadis itu dan tak mendengar suara penjaga warung.
            “mas.. mas…” panggil penjaga warung itu sekali lagi.
            “oh iya… maaf bu”
            “mau beli apa to mas?”
            “mau beli sabunnya bu”
            Arya menoleh lagi ke arah jalan, tapi gadis itu sudah tak terlihat lagi disana. “kemana perginya ya?”
            “nih mas”
            “makasih”
            Di depan warung mata Arya masih clingak-clinguk mencari keberadaan gadis tadi.
“jan cah saiki nek weroh cah wedok ayu, motone ra iso kedhep” gerutu penjaga warung lirih yang menyadari apa yang di lihat Arya.
            Arya langsung pulang dengan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Dan lagi-lagi ia di jalan berdialog sendiri dalam hati. “ternyata gadis itu bener dia. Rumahnya di sebelah mana ya kok udah hampir empat bulan di sini gak pernah liat dia, malah pertama ketemu di toko buku” wajahnya mulai bersinar senang. “kira-kira rumahnya mana ya?”
            Sepanjang jalan Arya tidak henti-hentinya berdialaog sendiri dalam hati. Andai bisa di gambarkan seperti dalam komik, mungkin sudah banyak tulisan yang ada di atas kepalanya itu.
            Sepertinya memang hari keberuntungan Arya, saat ingin memasuki halaman rumah, ia melihat lagi gadis itu baru saja keluar dari rumah yang ada di depan rumah budhe Lastri. ia terhenti lalu menatap Jingga, begitupun dengan Jingga yang melihat Arya hingga mereka saling melempar senyum lagi tanpa sempat mengucapkan sepatah kata yang keluar dari mulut mereka berdua. Lagi-lagi keadaan yang membuat mereka tak sempat saling sapa. Tiba-tiba entah darimana Heru sudah ada di samping Arya yang mengalihkan pandangan Arya.
            Selama Ia di Jogja, baru sekali Arya menjadi aneh hanya karena seorangg gadis. Kadang senyum sendiri, ketawa sendiri, bicara sendiri, hingga Heru yang melihat tingkah laku Arya, menyangka sepupunya itu sudah gila. Hanya karena satu senyuman itu pula Arya jadi rajin mengirim puisi ke Dewi kecil. Dan karena hanya itu yang bisa Arya lakukan dengan puisi-puisinya, menulis dan di kirim ke Dewi Kecil.
            Bagi Arya sejak bertemu gadis itu, gadis itu menjadi bahan bakar untuk sebuah mesin inspirasi yang selalu memproduksi puisi tanpa henti yang bekerja di dalam otak kiri. Dan dia adalah puisi.

Senyumnya seperti senja sore-sore
Untuk uraikan untaian-untaian ungu
Tanpa titik-titik temaram
Rasanya rangkum rinai-rinai rindu
Inilah indahnya imaji-imaji itu
Seperti senja sore-sore saja
Nikmat nyaman nuansa-nuansanya nian
Andai aku adalah aura-aura asanya…
ӝӝӝӝӝ

Begitu juga dengan Jingga, ia jadi penasaran dengan lelaki tadi, tapi ia lebih penasaran karena lelaki itu masuk ke rumah bu Lastri. Ia tau benar kalau bu Lastri hanya punya dua anak yaitu Heru dan kakak perempuannya yang ikut dengan suaminya. “ah mungkin sodaranya Heru” ia merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur. “tapi kenapa aku jadi ngurusin dia ya? Tau ah. mending mandi aja lah” Jingga beranjak lagi dari tempat tidurnya yang baru saja sebentar merebahkan tubuhnya. Segera pergi mandi dan meninggalkan pikiran tentang lelaki itu.
ӝӝӝӝӝ

            Setelahnya, hampir setiap hari meraka saling bertemu, saling tatap dan saling senyum walau masih belum bisa saling menyapa karena sikon yang terus tak memberi kesempatan buat mereka. Namun kebiasaan seperti itu sudah membuat Arya senang. Dan ia bisa bernafas lega karena ia yakin bahwa gadis itu tinggal tidak jauh dari rumah budhenya. Ingin sekali ia tau rumahnya atau sekedar tau namanya saja.
Di suatu sore, Arya yang duduk dan bermain gitar, tiba-tiba melihat gadis itu lagi dengan sepedanya dan sedang memboncengkan anak laki-laki agak gendut. Lama ia memperhatikan gadis itu hingga gadis itu merasa ada yang sedang mengawasi dirinya, lalu ia pun menoleh ke arah rumah bu Lastri dan melihat Arya yang sedang bermain gitar di teras depan. Tak berapa lama gadis itu hilang dari pandangan Arya.
            Selang beberapa menit Heru datang dari arah yang sama. Arya yang dari kemarin ingin tahu nama gadis itu mencoba bertanya kepada Heru. Tapi ia tak tahu gadis mana yang Arya maksud. “gadis mana?” Heru balik bertanya setelah ia tak melihat ada gadis di depan rumahnya.
            “tadi yang lewat depan rumah naek sepeda”
            “yang mana ndak ada”
            “ya udah lewat sih tadi sebelum kamu dateng”
            “kenapa ndak kamu panggil saja, trus ajak kenalan, gampang to?”
            nggak berani”
            “jadi cowok kok ndak berani sama cewek, pake rok saja sana”
            “ni beda masalahnya”
            Sepertinya Heru tak tertarik dengan penasarannya Arya kepada gadis itu. Lalu Heru masuk rumah yang di ikuti Arya.
ӝӝӝӝӝ

            Genap sebulan sudah pertemuan itu terjadi berkali-kali, namun belum juga ada kesempatan tuk saling kenal, bahkan sekedar untuk saling menyapa saja tidak ada waktu yang mempertemukan mereka di situasi yang tepat. Hanya senyuman demi senyuman yang sudah terbiasa mereka lemparkan.
            Sejak bertemu gadis itu, walau ia belum sempat tahu namanya, namun gadis itu mampu merubah hatinya menjadi lebih berbunga-bunga. Ia ingat betul waktu pertama kali bertemu di toko buku, waktu pertama kali mendapat senyuman  yang masih membekas di ingatannya. Ia  juga ingat betul beberapa hari lalu  saat di taman, waktu Jingga sedang olah-raga. Dengan kaos putih cerah, celana jean biru selutut, rambutnya terurai terlihat melambai saat angin menerpanya dan keringat yang membasahi wajah manisnya hingga membuat Arya semakin terpana melihatnya. Ada hasrat yang begitu besar dalam hatinya yang perlahan menjelma menjadi suatu perasaan aneh. Perasaan yang memaksanya untuk selalu menemuinya, memaksanya untuk selalu memikirkannya. Perasaan yang terlihat jelas pada setiap puisi yang ia buat.
Entah mengapa yang entah dari mana
Bunga cinta ini tumbuh dan berkembang di taman hati yang bimbang
Mungkin benih-benih cinta itu tlah tertabur tertanam
Saat kau datang dan bermain di taman hati
Yang tanpa sengaja tlah bersemi menjadi kuncup bunga cinta yang indah
Tapi akankah kuncup itu
Mampu mekar mewangi atau kan layu sebelum sempat tebarkan aroma wanginya
Ataukah kau kan biarkan mekar
Dengan berjuta putik asmaranya menghiasi
Dengan putih kelopak sucinya menyelimuti
Dengan tebaran aroma surga cintanya menyegarkan
           
Sebenarnya puisi tak mampu untuk menggambarkan betapa sempurnanya gadis itu di mata Arya atau bahkan penanya pun tak cukup untuk melukiskan manisnya wajah dalam secarik putihnya kertas.
            Namun senyuman demi senyuman dalam setiap pertemuan, ia rangkum menjadi sebuah puisi terindah tuk selalu menempati istana pikiran di otaknya. Mesin pencetak kata-kata penuh makna nan romantis, terus bekerja lagi setiap waktu setiap saat. Selalu terukir kata demi kata di secarik polosnya kertas hingga perlahan terisi dengan tarian pena yang mengindahinya. Semua tersirat disana, semua yang belum sempat terucapkan kata.
ΩΩΩΩΩ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar