Kamis, 31 Oktober 2013

INGIN SEMBUH...

    ini adalah sebuah curhatan kepada gitar dan camera di kala sakit. SAKIT, adalah hal yang tak pernah aku mau, bahkan pasti kalian juga, dimana aku tak pernah bisa berbuat apa-apa, entah mau apa, hanya bisa terkapar terbaring lemah di kamar. bingung mau apa lagi selain hanya obat dan obat yang menjadi rutinitas menjejaliku meskipun aku bosan. 
   dari kejenuhan terbaring lemah di kamar, terbesit satu pikiran yang merambat memalui kesenanganku bermain gitar. sebuah rutinitas di kala mood selalu datang mendendangkan nada-nadaku sendiri, tanpa pikir panjang, ku ambil gitar, ku mainkan nada demi nada yang entah pas atau tidak dengan suaraku yang terserang radang tenggorokan, aku tetap memainkan nada-nada itu sampai terlahirlah lirik yang bisa di sebut juga sebagai curhatan di kala sudah bosan menderita sakit, aku ingin cepat sembuh. aku ingin cepat menaklukan kembali dunia yang aku sebut kenyataan.


  

Selasa, 29 Oktober 2013

bukan berarti aku tidak mencintaimu lagi...

malam tiba bukan berarti aku sudah tidak mencintaimu lagi
ini hanya sebuah putaran waktu yang tersangkut pada malam
meski gelapnya dengan buas mencumbu aku
meski dinginnya memberi kenikmatan tersendiri
cintaku takkan hilang

malam tiba bukan berarti aku sudah puas dengan kamu
ini hanyalah jeda di antara apa yang kita perbuat sekarang
yang menjadikan nanti lebih dari sekedar awal
yang menjadikan kita semakin buas saja
karena cintaku takkan hilang di malam ini

malam ini, memang kita tak pernah tau apa yang terjadi
kita memang seperti dongeng cinderella
yang terpisah dari pangeran oleh dentingan lonceng di malam hari
tapi kita bukan mereka, kita hanya orang biasa
yang juga terpisah oleh malam

tapi tenang, malam ini, aku sudah menanamkan sebuah bunga sedap malam di hatimu
yang wanginya bisa kau nikmati sebagai pengganti wangi tubuhku
yang kelopaknya bisa kau remas-remas seperti ketika kamu gemas kepadaku
dan aku, juga sudah menyiapkan satu bunga untuk menamaniku juga
aku juga akan menikmatinya, meremas-remasnya
sampai benar-benar aku merasa itu adalah kamu

tapi, bukan berarti aku tidak mencintaimu lagi
karena memang malam yang membuat ini ada... sementara
dan bila pagi telah datang kepada kita
kita adalah cerita nyata
seperti sebuah balada embun dan ujung daun
yang selalu menari riang...

Selasa, 22 Oktober 2013

BELASUNGKAWA....

Dulu kata eyang buyutku, sungai disini ndak seperti ini, airnya ndak berwarna coklat, ndak ada sampah-sampah yang hanyut. Bahkan kata eyang buyutku, beliau sering mandi di sungai ini bersama teman-temannya dan banyak yang di lakukan enyang buyutku di sungai ini. karena kono katanya, air sungai disini sangat jernih, bahkan tak jarang enyang buyutku bisa melihat ikan yang berenang bebas di sungai. Tapi itu dulu, sekarang, jangankan ikan, air jernih saja sudah ndak ada sejak pabrik itu berdiri dengan sombongnya. Entah kenapa tak ada satupun yang bisa melihat kesedihan ini, kesedihan yang di rasakan oleh sungai, andai dia bisa bicara, dia akan berteriak agar kita semua mendengar jeritanya. Tapi seandainya bisa pun, itu sudah terlambat, dia sudah mati sebelum kita sempat mendengar jeritanya. Racun pabrik itu yang telah membunuh sungai ini dengan cepat dan memperkosa jasadnya sebagai saluran hasratnya yang kotor dari pada kotoran hewan.
Aku yakin, bukan hanya sungai saja yang menangis, tapi enyang buyutku pun menangis di sana jika melihat sungai yang dulu di jadikannya sebagai sumber kehidupan warga telah menjadi seperti ini. jangankan manusia, ikan-ikanpun enggan berada disungai ini lagi. dan sungaiku sudah terlalu mati. Mati di tangan penguasa yang hanya mementingkan secuil nafsu belaka. Entah kenapa semua ini bisa terjadi, di depanku tak ada yang dapat ku lihat selain hanya sebuah kenangan indah tentang sungai ini yang terus mengalir entah kemana bersama pekatnya aliran sungai yang menyengat hidungku.
Masih tak habis pikir aku terpaku di sini, cerita enyang buyutku seakan terus membuatku penasaran dengan asrinya sungaiku yang sama sekali tak bisa aku saksikan secara langsung. Aku tidak butuh cerita, apalagi dongen, yang ku butuhkan hanyalah bisa memanjakan mata dengan melihat asrinya sungai ini dan bisa merasakan segarnya mandi di sungai ini seperti yang eyang buyutku selalu lakukan. Jika aku bisa memutar waktu, apapun aku lakukan agar tak pernah ada cerita seperti ini, cerita tentang keindahan sungai ini. dan aku, tak akan repot untuk bercerita kepada anak cucuku kelak karena memang tak ada yang bisa ku ceritakan tentang sungai ini, biar mereka sendiri menyaksikan betapa asrinya sungai ini sepanjang jaman. Tapi apa daya, kenyataan tentang kekuatan penguasa terlalu besar untuk di lawan, bahkan bermimpi saja aku tak mampu.
Kini sungai di depanku sudah menjadi budak dari sang arogannya pabrik itu. entah sampai kapan pabrik itu tetap berdiri kokoh merusak sungai, bahkan lingkungan-lingkungan lainya, aku tak tahu, hanya Tuhan dan sang penguasa itu sendiri yang tahu. Aku terlalu lemah untuk membinasakan keangkuhanya, merobohkan setiap dinding pabrik itu, aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa bersedih melihat sungai ini tak sejernih air mataku, aku hanya bisa... belasungkawa.

PAGI DI TAMAN (bag.10 SHJ)



        Pagi yang cerah, embun masih setia menyelimuti dedaunan dan menyejukkan sekitar. Tersapa hembusan angin yang sepoi-sepoi membuat embun seakan menari gelisah di ujung daun yang runcing. Kupu-kupu kecil berwarna-warni berterbangan lalu hinggap tepat di tengah bunga itu, bercengkrama dan menghisap setiap putik-putik di benang sarinya.
            Arya yang duduk di dekatnya memandang setiap gerak-gerik ringannya di atas bunga tadi. Terlihat resah, seakan kupu-kupu tadi tahu ada yang sedang mengawasi, cepat dia terbang dan berlalu hinggap ke bunga yang lebih jauh.
            Sorotan mata Arya masih mengikuti kupu-kupu itu kemana pergi, hingga pandangannya beralih ke arah seorang gadis yang sedang jogging dengan anak kecil gemuk di sebelahnya, mereka menuju ke arah dimana ia sedang duduk santai setelah lelah berolah raga. Semakin dekat jaraknya, semakin jelas juga wajah yang mengkilat basah karena derasnya keringat yang mengalir dari wajanya. Dia adalah gadis berambut panjang yang memiliki senyuman manis itu.
Seperti biasa gadis itu hanya melemparkan senyum ketika lewat depan Arya. Senyuman yang memang sudah ia hafal betul karena ia kerap mendapatkannya dari gadis itu, gadis yang belum ia ketahui namanya.
            Di kesempatan yang langka, ia mencoba memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Ia menyapanya. Dan gadis itu hanya membalas dengan kata yang sama seperti yang di lontarkan Arya tadi tanpa menambahkan kata lain dan tanpa berhenti sejenak. Tanpa pikir panjang ia beranjak dari tempat duduknya lalu mengejar gadis itu yang sudah agak jauh. Ia berharap dalam hatinya bisa tahu nama sang pemilik senyuman itu. “hai” sapanya sekali lagi setelah ia sejajar dengan gadis itu di sebelah kanannya.
            Jingga terkejut dengan suara Arya yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya “hai juga..” jawabnya sambil menoleh ke arah Arya.
            “boleh gabung jogging ma kalian kan?”
            “boleh kok” jawabnya mengizinkan yang telah diperkuat  dengan senyuman kepada Arya.
            Beberapa menit sudah Arya jogging bersama Jingga, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk memulai obrolan, seakan ada gembok besar yang mengunci mulutnya. Ia berusaha sekuat tenaga melepas gembok itu dengan kata-kata yang sudah di rancang dalam hatinya.
            “kamu apanya bu Lastri?” tanya Jingga tiba-tiba mendahului Arya yang baru saja ingin menbuka mulutnya.
            “aku keponakannya” jawabnya langsung. Wajauhnya terlihat lega karena telah menemukan bahan untuk memulai obrlannya. “kamu kenal sama budhe Lastri?” ia bertanya balik
            “ya kenal lah, bu Lastri kan termasuk orang terpandang di daerah sini, lagipula rumahku juga ndak jauh dari sini kok”
            Memang benar apa yang di katakana Jingga, budhe Lastri termasuk orang terpandang di daerah ini karena suaminya adalah pegawai negeri walau hanya sebatas pegawai kecamatan. Dan karena keramahannya juga kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau, membuat budhe Lastri tambah di segani di daerahnya.
“pantesan sering lihat kamu lewat depan rumah”
            Jingga hanya tersenyum manis tanpa berkata-kata atau bertanya sesuatu lagi. Begitu juga Arya tak tahu harus bertanya apa lagi, tapi kali ini ia paksa mulutnya untuk menanyakan nama gadis itu selagi punya kesempatan pikirnya. “oh iya. nama kamu siapa?”
            Jingga yang mendengar pertanyaan itu lalu menoleh dan mulai menjawab. Namun belum sempat ia mengucap namanya, suaranya terhenti karena pandangannya beralih ke arah anak kecil yang berlari di depan mereka dari tadi. Bayu adiknya itu terjatuh tersandung batu dan membuat Jingga melupakan perkenalan tadi. Pikirannya sekarang hanya kepada Bayu. Jingga bergegas menolong Bayu yang terjatuh.
            Bayu mencoba berdiri dengan di topang kakaknya yang wajahnya terlihat sangat kawatir. Dan sepertinya Bayu tak kuat lagi untuk berjalan pulang karena kakinya terkilir. Tanpa di minta, Arya segera saja mengendongnya setelah tadi berkata “biar aku gendong saja adik kamu”. Karena ia tahu kalau kakaknya tidak akan kuat menggendong adiknya yang gendut itu. Hanya sepuluh menit mereka sudah sampai di rumah gadis itu. Tapi sudah cukup membuat pinggang Arya merasa pegal oleh beban seberat itu.
            “sudah sampai sini saja, biar aku yang menggendongnya masuk” pintanya setelah di depan rumahnya.
            “udah sekalian masuk aja nggak apa-apa”
            “bener ndak apa-apa? Aku kasihan sama kamu, keliatannya capek banget dari taman gendong si Bayu”
            “masih kuat kok” ucap Arya yang sebenarnya sudah tidak kuat lagi.
            “ya sudah masuk yuk”
            Arya menurunkan anak itu di atas kursi sofa dengan motif bunga-bunga warna merah. “aawww” rintih Bayu saat tanpa sengaja tangan Arya menyentuh kaki Bayu yang terkilir tadi. Jingga langsung masuk ke ruang bagian tengah yang tertutup dengan tirai tipis sehinnga masih terlihat samar-samar bagian dalamnya. Tak lama kemudian wanita paruh baya yang pasti itu adalah ibunya karena wajahnya sama dengan foto keluarga yang terpajang di tembok itu, keluar tanpa Jingga.
            Wajahnya terlihat kawatir dengan anak laki-lakinya. Dengan menggenggam sesuatu ditangannya, lalu mendekati Bayu tanpa memperdulikan Arya yang duduk di sofa yang lain. Tangannya langsung sibuk mengoleskan minyak ke kaki Bayu yang terilir dan mengurutnya. Bayu hanya mengerang menahan sakit.
            Saat itu tidak ada pembicaraan diantara Arya dan ibu anak itu, hanya suara Bayu yang terdengar mengerang kesakitan dari tadi. Hampir empat menit sudah ia menyaksikan pemandangan ini dan hanya duduk terdian tanpa di ajak mengobrol atau ada sebuah pertanyaan yang terlontar buat dirinya. “kalau begitu saya pamit dulu bu” ucap Arya yang tiba-tiba dan membuat wanita itu tersadar dengan keberadaan Arya di ruang yang sama lalu menghentikan pijatannya.
            “oh maaf ibu ndak sadar kalau ada nak” ucapnya berhenti saat ingin menyebut nama Arya yang belum di ketahuinya.
            “saya Arya bu” sahutnya cepet memperkenalkan diri.
            “iya nak Arya. Maaf ya. tadi yang mengantar Bayu pulangnya?” ucapnya meneruskan apa yang akan ia ucapkan tadi. “jangan buru-buru, ibu bikinin minum dulu ya”
            Arya tersenyum. “nggak usah repot-repot bu” ucap Arya sebelum ibu itu pergi ke dalam.
             “sekali ibu minta maaf ya. Ibu terlalu kawatir dengan Bayu, jadi ndak sadar kalau ada nak Arya di sini”
            nggak apa-apa kok bu. ya sudah saya pamit dulu bu”
            “sekali terima kasih nak Arya sudah mau mengantar Bayu pulang”
            “sama-sama bu”. Arya beranjak dari kursi sofa tadi dan berjalan keluar.
            Tepat setelah Arya menghilang di balik pintu, Jingga datang dengan membawa segelas air minum dingin yang di bawanya dari dalam.
            “loh mana dia bu?”
            “sudah pulang baru saja”
            “yah. padahal baru aja Jingga bikinin minum”
            “kamu kelamaan bikin minumnya”
            “ya tadi nyari sirupnya susah, biasanya ada di lemari tadi ndak ada”
            “buat aku saja ya kak, aku juga haus nih” pinta Bayu
            “enak saja, kakak juga haus nih”
            “sudah jangan rebutan gitu, kamu juga ndak mau ngalah sama adiknya”
            “iya iya” Jingga dengan nada ketus dan menaruh minuman itu di meja
            “itu tadi teman kamu nduk?”
            “bukan sih bu?”
            “bukan?” dengan nada heran “kok bisa naganterin Bayu pulang?”
            “tadi ketemu di taman bu. Tapi sudah sering liat dia di sekitar sini”
            “oh gitu ya”
            “ya sudah Jingga masuk dulu bu”
ӝӝӝӝӝӝӝ

            “kamu kenapa Ar senyum-senyum gitu? habis lewat kuburan mana tadi?” tanya Heru yang sedang asik dengan gitarnya yang sudah usang karena setiap hari gitar itu selalu menemani Heru jika sedang senggan di rumah. Maklum saja heru adalah gitaris di band kampusnya.
            “enak aja. Kamu pikir aku lagi kesambet setan gitu?” dan Arya duduk di samping heru “lagi seneng nih”
            “seneng atau emang udah gila kamu”
            “kamu tu yang gila” ucapnya kesal
            “emang seneng kenapa to kamu?”
            “mau tahu aja urusan orang”. Lalu Arya bergegas pergi ke dalam rumah meninggalkan Heru.
            “woo emang kesambet setan beneran kamu Ar” ucapnya keras.
ΩΩΩΩΩ

Minggu, 13 Oktober 2013

aku mencintaimu (bag.9 SHJ)



            Di terik panas yang menyengat, di siang yang enggan untuk melangkah, ia berdiri tepat di bawahnya matahari. Wajahnya kesal, sorot matanya terus melihat handphonenya, tangannya terus saja mengulang-ulang menekan keypad. Ia benar-benar kesal dengan tingkah Ayu yang tak kunjung terlihat batang hidungnya, bahkan susah untuk di hubungi. Padahal ia sudah janji untuk mengantar Jingga pulang sekalian ingin meminjam tas milik Jingga.
            Mobil mewah warna putih yang tak asing lagi bagi Jingga, berjalan pelan mendekatinya lalu berhenti tepat di hadapannya. Perlahan kaca mobil sebelah kiri terbuka hingga terlihat wajah Dimas tersenyum dari dalam.
“ayo aku antar pulang” suara Dimar menawarkan diri dari dalam mobil.
“ndak usah, aku bareng sama si Ayu” tolaknya walau ia juga sudah kesal dengan Ayu yang belum juga muncul untuk mengantar pulang.
            Memang dasar Dimas yang tidak mudah menyerah demi bisa berdua dengan Jingga. Berulang kali ia mengeluarkan jurus rayuannya kepada Jingga dan akhirnya rayuan itu bisa membuat Jingga tak bisa menolak lagi. Tapi mungkin juga karena ia sudah terlalu kesal dengan Ayu, jadi ia terpaksa mau saja menerima tawaran Dimas.
“nah gitu dong” lalu Dimas tersenyum berbunga-bunga dan menyalakan mobilnya.
            Akhirnya Dimas punya kesempatan untuk bisa berduaan saja, walau sekedar mengantarkan Jingga pulang. Dalam otaknya, ia terus saja memutar akal mencari alasan untuk bisa berlama-lama dengan Jingga. Ia memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya.
            Dalam perjalanan pulang mereka habiskan dengan mengobrol ringan yang lama-kelamaan mulai bercanda dan saling tertawa tidak seperti tadi saat pertama. Sinar wajah Jingga sekarang bersinar terang bercampur gelak tawa yang renyah dengan guyonan-guyonan kecil dari Dimas. Kini Dimas telah menguasai suasana hati Jingga. Dan Dimas sengaja mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran yang sering ia datangi di kawasan Kota Baru. Ia ingin mengajak Jingga untuk makan siang dulu sekalian untuk bisa beduaan lebih lama.
Jingga yang sadar kalau mobil Dimas tak mengarah ke rumahnya mulai resah dan menimbulkan tanda tanya untuknya. “kita mau kemana Dim?”
            “kita makan dulu ya, aku udah laper. Kamu juga laper kan?” jawab Dimas dan sebuah pertanyaan yang memaksa.
            “tapi..”
            “tapi di restoran ya?” potong Dimas sok tauudah kamu tenang aja, itu pasti. Nggak mungkin gadis secantik kamu aku ajak ke angkringan
            “apaan sih Dim, bukan itu”
Dimas tersenyum “udah nggak usah pake tapi-tapian. tinggal bilang iya aja kok repot”
            Jingga terdiam sesaat, wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Antara iya atau tidak, jika iya, ia malu karena belum terbiasa makan berdua dengan cowok di luar kampus, tapi jika tidak, monster yang ada dalam perutnya sudah berontak.
            “kalo diem aja berarti tanda setuju” ucap Dimas sok tahu lagi.
            “ya sudah terserah kamu saja” akhirnya dengan malu Jingga menjawab. “tapi ndak usah lama-lama ya” lanjutnya cepat.
            “yes. Gitu dong” teriak Dimas dengan wajah senang karena rencananya berhasil.
            “kamu apa-apan sih, kedengeran orang malu kan?”
            “mana ada yang bisa dengar Jingga”
            Mereka mulai lagi dengan obrolan yang tidak tentu arah. Bercanda lagi, tertawa lagi sampai tanpa sengaja mata mereka beradu tatap saling pandang saat mobil Dimas berhenti di trafic light. Tidak berselang lama, mereka terkejut, pandangan itu terbuyarkan oleh klakson mobil yang ada di belakangnya. Suasananya mulai aneh, mereka menjadi canggung, membeku tidak secair tadi, terutama Jingga yang terlihat jelas dari raut wajahnya. Kini ia banyak terdiam saja. Namun keadaan itu tidak berlagsung lama karena mereka sudah tiba di tempat yang Dimas tuju. Sebuah restoran jepang.
            Entah apa yang membuat Jingga mau di ajak makan siang oleh Dimas. Dan itu adalah makan siangnya yang pertama dengan Dimas, berdua saja tanpa Ayu.
Dimas menyadari keanehan yang ada di wajah Jingga. “kamu kenapa Ga? Nggak suka sama makanannya ya?”
            “ndak kok, aku suka” jawab Jingga jadi malu karena Dimas ternyata mengetahuinya.
            “tapi kok grogi gitu keliatannya?”
            Jingga tetap memberi jawaban yang sama dengan jawaban sebelumnya karena ia tidak mungkin mau jujur kalau ia baru pertama kali makan berdua dengan Dimas di luar. Walau memang mereka tanpa sengaja sudah sering bertemu di kantin kampus atau kadang memang Dimas sengaja bergabung dengan Jingga yang sedang makan di kantin dengan Ayu.
            “oh gitu, ya udah lanjutin makannya”
            Jingga mencoba tersenyum manis di depan Dimas walau dalam hatinya menyimpan sesuatu yang mengganjal yang membuatnya tak nyaman, tapi ia tak mau Dimas mengetahuinya. Dan setelah selesai makan nanti, ia meminta untuk langsung di antar pulang karena ia masih belum terbiasa dengan suasana itu. Dimas hanya bisa menuruti permintaan Jingga tanpa bisa menolaknya.“bener nih nggak mau maen dulu” Dimas memastikan lagi yang akhirnya tetap mendapat jawaban sama. “iya deh nanti kita langsung pulang aja. Takut juga kalo lama-lama malah di sangka mau nyulik” Dimas tersenyum
            Jingga mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Dimas tadi. “percuma nyulik aku”
            Kini gantian Dimas yang mengerutkan keningnya tak tau apa yang Jingga maksud. “kenapa percuma?”
“memang siapa yang mau nebus aku? Orang tuaku bukan orang kaya, trus mau nebus pake apa? Pasti orang goblok yang mau nyulik aku, ndak bisa lihat yang mana yang anak orang kaya mana yang bukan”
            “kalo aku yang nyulik kamu, brati aku goblok dong?”
            “ya begitulah kira-kira” jawab Jingga santai. “memang buat apa kamu nyulik aku?”
            “buat nakut-nakutin tikus di rumah” lalu Dimas tertawa keras
            “yeee”
            nggak kok cuma bercanda, mana berani aku nyulik kamu” Dimas tersenyum lalu melanjutkan dalam hati “tapi aku ingin menculik hati Ga”
            “kok malah bengong sambil senyum? mikirin apa hayo?”
            Dimas masih tersenyum dan menjawab dalam hati “mikirin kamu”
            “di tanya malah senyum-senyum saja. Jangan-jangan memang mikirin yang enggak-enggak ya?”
            nggak kok. oh iya kamu…”
            Tiba-tiba handphone Jingga berdering di dalam tasnya membuat Dimas tak melanjutkan yang akan ia tanyakan tadi.
            “bentar ya Dim” ucap Jingga lalu menjauh dari Dimas.
            Dimas merasa terganggu dengan telepon dari Ayu yang tiba-tiba tadi. Wajahnya sedikit meredup melihat Jingga yang sedari tadi ngobrol lewat telepon. Entah apa yang mereka bicarakan, Dimas tak tahu, yang jelas bukan sesuatu yang menyenangkan, terlihat dari wajah Jingga yang kesal saat berbicara denagn Ayu. Tak lama kemudian Jingga kembali lagi ke mejanya.
            “maaf ya Dim, Ayu telpon tadi” Jingga sambil menggeser kursi dan mulai duduk kembali seperti tadi.
            nggak apa-apa. Tapi kok kayaknya lagi kesel ya ma dia? kenapa?” tanya Dimas sok tahu
            ”iya tuh, si Ayu nyebelin banget, kayak ndak punya dosas aja” ucap Jingga ketus
            “kenapa?”
            “tadi sudah janji mau anter pulang aku, ee di tunggu ndak dateng-dateng. Sudah gitu barusan telpon ndak minta maaf, ngeselin kan?”
            “oh tadi kamu lagi nungguin Ayu to? Udah nggak usah kesal gitu, kan udah ada aku yang anter kamu pulang, bahkan minta anter kemana aja aku siap kok”
            “ah apa-apaan sih Dim?”
            “ya siapa tau aja mau minta di anter kemana aja”
            “udah ah pulang yuk” setelah meneguk habis minuman yang tersisa.
ӝӝӝӝӝ

            “gang depan itu belok kanan ya” telunjuk Jingga menunjuk ke jalan yang ada di depannya.
            Mobil Dimas belok ke gang yang Jingga maksud tadi dan berhenti di depan rumah yang memang tak jauh, hanya berada di dua blok dari tikungan tadi.
            “masuk dulu yuk” ucap basa-basi Jingga.
            nggak usah deh lain kali aja”
            “oh ya sudah kalo gitu. Aku turun dulu ya. Makasih buat tumpangannya dan makan siangnya”
            “iya sama-sama”
            Ketika Jingga hendak membuka pintu mobil tiba-tiba tangan Dimas memegang tangannya yang membuat kaget dan malu. Sontak saja Jingga melepaskan genggaman tangan Dimas dari tangannya.
            “upss sorry” ucap Dimas yang berubah jadi terbata-bata. “bentar dulu Ga”
“ada apa?”
            Tanpa basa-basi namun grogi Dimas berusaha membuka mulutnya. “eee. dari pertama bertemu kamu di acara itu, aku mulai…” Dimas tak melanjutkan ucapannya. Perasaanya mulai tak karuan. Ia salah tingkah.
            Dari ucapan dan gelagatnya, Jingga sudah bisa menebak apa yang akan di katakan Dimas. Tapi ia tetap mencoba berposotif thinking. “mulai apa Dim?” tanya Jingga basa-basi seolah tak tahu apa yang akan Dimas ucapkan.
            “mulai…” Dimas sedikit ragu “mulai suka sama kamu” bicaranya masih tersendat-sendat
            “trus?”
            Sekuat tenaga Dimas mengeluarkan kata  yang memang sulit tuk di ucapkan bagai ada yang mengikat erat di tengah tenggorokannya. “eee.. kamu mau nggak jadi pacar aku” suaranya terbata-bata seperti orang gagap.
            “hah?” Jingga terkejut mendengar kata-kata yang akhirnya keluar juga dari mulut Dimas “ndk salah kamu Dim nembak aku? Bukanya banyak tu cewek-cewek yang lebih cantik yang suka sama kamu? Kenapa kamu milih aku?”
“kamu beda sama mereka. Mereka hanya mengincar hartaku saja. Mungkin kalau aku bukan anak orang kaya, mereka nggak mungkin ngejar-ngejar aku”
               “tapi aku
               “tapi apa?” potong Dimas cepat.
               Tak sepatah katapun keluar dari mulut Jingga. Ia justru berkata dalam hatinya. “mungkin persyaratanku memang aneh seperti yang Ayu bilang beberapa bulan lalu, tapi aku ingin di tembak dengan puisi atau minimal dengan hal yang romantis, gak kaya ini. Andai kamu lakuin itu Dim…”
            “kenapa Ga? Kamu nggak suka sama aku?” Dimas bertanya sekali lagi karena Jingga belum memberi alasan.
            “ya aku belum bisa nerima kamu Dimas” Jingga tak juga memberi alasannya. “sudah ya, aku turun dulu, ndak enak sama ibuku kalau dia tau aku berlama-lama di dalam mobil” Jingga langsung membuka pintu mobil dan bergegas masuk rumah tanpa mendengarkan Dimas yang memanggil-manggil namanya.
            Dimas hanya bisa terdiam saja dalam mobil sambil melihat Jingga masuk rumahnya. Dalam hatinya tak percaya ada cewek yang bisa menolaknya. Tapi justru ia tertantang dan penasaran pada Jingga. apapun akan ia lakukan demi untuk mendapatkan Jingga.
ӝӝӝӝӝ

            “tadi itu siapa nduk?” tanya ibunya yang melihat Jingga di antar mobil asing.
            “temen bu”
            “biasanya di anter Ayu, tumben di anter temen yang laen”
            “ndak tau dia pergi kemana tadi. udah ya bu, Jingga istirahat dulu ya, capek ni”
            Dengan wajah yang sedikit lusuh, Jingga menuju kamarnya, ia ingin cepat istirahat tuk melupakan kejadian hari ini, mulai dari kesal dengan Ayu dan Dimas yang tiba-tiba nembaknya di situasi yang jauh dari harapannya.
            Tasnya ia lemparkan begitu saja, ia duduk di ujung kasurnya dan hanya melepas sepatu. Kepalanya terasa berat dengan sesuatu yang ia sendiri tak tau apa. Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang di kasur dan mencoba memejamkan kedua matanya. Tapi angannya justru melayang dan singgah ke kejadian itu, ia teringat semua kejadian yang baru saja ia alami, mulai dari Dimas memaksa untuk mengantarnya, waktu bercanda dengan Dimas, makan dengan Dimas sampai kejadian yang tak pernah ia sangka sebelumnya. ia mulai tersenyum mengingatnya. “andai tadi Dimas nembak aku dengan cara yang romantis, mungkin aku bisa terima dia” Jingga tersenyum sendiri membayangkan hal tadi yang jauh dari harapannya lalu memeluk bonekanya. “ternyata omongannya Ayu benar, hari gini cowok banyak yang to the point ngucapin cintanya. huft…” ia mulai mengerutkan keningnya. “tapi aku tetep teguh pada prinsipku dan aku yakin suatu saat ada yang menembakku dengan cara yang sangat romantis dengan puisi”  sekarang wajahnya tak selusuh tadi.
ӝӝӝӝӝ

            Jam tujuh malam Ayu datang juga ke rumah Jingga. ia ingin meminjam tas kecil milik Jingga yang seharusnya ia ambil tadi siang sekalian mengantar Jingga pulang, tapi tidak jadi karena mendadak ada acara lain. Ayu tahu pasti Jingga marah padanya karena masalah itu.
            Dengan wajah yang di buat ceria seolah tak ada apa-apa, Ayu langsung masuk kamar Jingga setelah bu Lastri memberi tahu kalau Jingga ada di kamarnya. Tapi dalam hati Ayu tau kalau Jingga akan marah. “malem sayang” ucap Ayu di buat semanis mungkin.
            Ternyata dugaan Ayu meleset. Jingga menjawab dengan manis juga. Wajahnya tak seperti apa yang ada dalam bayangan Ayu. Wajahnya terlihat ceria dengan senyum yang tak dibuat-buat dan seperti telah lupa dengan kejadian tadi siang. Hal itu justru membuat Ayu bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengan Jingga. Entah apa yang sedang Jingga perbuat dengan laptop yang ada di depannya yang belum sempat Ayu melihatnya, Jingga langsung menutup laptopnya saat Ayu mulai mendekatinya. Ayu tak begitu penasaran dengan itu, yang terpenting buatnya adalah Jingga tak lagi marah dengannya. Ayu merasa lega melihatnya, jadi ia bisa meminjam tas yang ia inginkan.
            “kirain ndak jadi pinjem tas” tanya Jingga setelah Ayu duduk di kasur di dekatnya
            “ya jadi lah” tangannya meraih boneka panda dan memeluknya. “kayaknya lagi ceria nih, ada apa Ga?”
            “masak? Biasa aja kok” ucapnya malu-malu yang tak bisa menyembunyikan rasa itu
            “aku jadi teman kamu tu udah lama, jadi aku tau betul raut wajah kamu kalo lagi sedih, kalo lagi seneng atau kalo lagi ada masalah. Jadi kamu ndak bisa bohong sama aku”
             “bisa saja kamu Yu. Oh ya.. apa yang pernah kamu bilang itu benar Yu”
“tentang apa?”
“kalau cowok sekarang memang to the point mengutarakan cintanya”
“jadi kamu di tembak cowok ya? Siapa say?” ucap penasarannya menggebu-gebu
“Dimas”
“Dimas nembak kamu? Wah selamat ya, akhirnya temenku yang satu ini punya pacar juga”
“kamu ngomong apa to? Orang aku nolak dia kok”
            “hah kamu tolak?” volume suaranya mengeras. Ia tak percaya apa yang Jingga katakan. “kamu bercanda kan?” Ia yakin Jingga hanya bercanda saja.
            “beneran kok. Aku tolak dia”
            “kenapa?” wajahnya mulai penasaran
            “dia ndak memenuhi syarat”
            “syarat apaan?” Ayu dengan nada heran “emang Dimas kurang apa? Udah cakep, kaya lagi. Kurang apa coba?” Ayu jadi geregetan
            “kurang romantis, bahkan ndak romantis sama sekali”
            “ya Allah.. tolong sadarkan hamba-Mu yang satu ini ya Allah” Ayu menangkupkan kedua tangannya dengan pandangan mengarah ke atas dan mengucap amin pada akhir kata-katanya. “Cuma gara-gara itu kamu tolak dia? Ternyata syaratnyamu itu beneran ya? Kamu bener-bener sudah ndak waras Ga. mana ada orang kayak gitu Jingga? Aku jadi geregatan sendiri sama kamu. Kok ada ya orang aneh kayak kamu. Kesempatan ndak datang dua kali loh. Emang kamu ndak nyesel nolak dia?”
            “eeeenggak” jawab Jingga santai
            “dasar aneh!!!” nadanya mengeras mantap.
            “biarin”
            “emang kapan dia nembak kamu?”
            “tadi siang”
            “dimana?”
            “di dalam mobil”
            “kok bisa di dalam mobil?”
            “kok jadi kamu yang penasaran. Udah ah ndak usah di bahas itu, ndak penting tau”
            “ah Jingga ayo dong cerita. Kok kamu bisa di dalem mobilnya dia? Dia anter kamu ya? Trus kemana aja tadi? Ndak mungkin kalo cuma nganter saja. Iya kan? Ayo dong cerita”
             “udah ndak ada yang harus di ceritakan Yu. Cerita sudah selesai”
ΩΩΩΩΩ