Minggu, 22 September 2013

SPONTANITAS (bag7 SHJ)



            Sejak pertemuan tadi sampai ia di rumah, Arya masih terbayang-bayang senyuman itu. Di kamar, sedari tadi ia hanya tersenyum-senyum sendiri di depan laptopnya yang sudah menyala dari tadi. Dalam hatinya berharap bisa bertemu lagi dengan gadis pemilik senyuman itu. Namun entah apa ia bisa bertemu lagi atau tidak. Ia pun tak yakin. Mungkin itu adalah angan-angannya saja yang jauh dari kemungkinan. Tapi semua itu sudah bisa membuat Arya seperti kambing congek. Ia terus terpaku menatap layar laptop tanpa menyentuh sedikitpun dan membiarkan begitu saja. Tiba-tiba tanda hijau di layar laptopnya berkedip-kedip. Ia mendapat sapaan dari Dewi Kecil di chat roomnya. Sapaan yang bisa membuyarkan lamunannya.
<MK>: hai juga dewi kecil
            Tangannya mulai bekerja dengan keybord laptopnya, menggantikan lamunan tadi.
<DK>: maaf aku baru aja buka email nih. jadi baru aja baca puisimu”
<MK>: nggak apa-apa kok, baru tadi sore juga kirimnya.
<DK>: boleh komen nggak?
<MK>: ya boleh lah, kan tiap aku kirim puisi, aku suruh kamu kasih komen buat masukan, trus gimana komennya?
<DK>: bagus sih. tapi kalo di baca-baca terus ada kata yang nggak enak di dengar
<MK>: kata apa emangnya?
            Arya memasang wajah heran di depan laptopnya.
<DK>: membiarkan ku nikmati jingga
<MK>: emang ada apa dengan kata itu? Ada yang salah ya?
<DK>: kesannya gimana gitu. aku baca-baca terus jadi aneh aja, kayak menikmati makanan aja.
<MK>: emang yang bisa dinikmati cuma makanan aja? Kan aku melihat keindahan langit sore yang bisa ku nikmati keindahannya, bukan menikmati trus konotasinya di makan, ketahuan nih kalo suka makan.
            Dewi kecil hanya mengirim simbol orang tersenyum dan Arya mulai menulis lagi.
<MK>: itu menceritakan tentang keindahan sore di pantai dengan langit yang menjigga dan matahari mulai terbenam. Makanya aku menikmati suasana itu
<DK>: oh gitu ya. Iya iya deh. maaf ya soal yang tadi. Aku emang nggak ngerti bahasa-bahasa puisi yang penuh teka-teki dan makna yang selalu tersembunyi itu
<MK>: nggak apa-apa kok, aku hargai itu, malah bisa buat masukan aku
<DK>: by the way, banyak dong cewek yang naksir kamu?
<MK>:  kok kamu bisa bilang gitu, kenapa?
<DK>: kan biasanya gitu, cewek suka cowok yang romantis gitu, yang jago bikin puisi kaya kamu
<MK>: gitu ya, tapi aku nggak kok. Bahkan nggak banyak orang yang tau aku suka bikin puisi, apalagi cewek. Ya Cuma kamu itu yang tau. Dan aku juga nggak pernah ngrayu cewek, cari cewek atau nembak cewek pake puisi. Dan satu lagi yang perlu kamu tau, sebagian puisiku cuma aku tulis dan aku kirim ke kamu, nggak aku publikasikan ke orang-orang.
<DK>: yang sebagian lagi kemana? Dan kenapa nggak kamu publikasikan?
<MK>: sebagian lagi yang nggak sempet aku kirim ke kamu, ya aku simpen di buku. Dan pokoknya ada alasan untuk tak aku publikasikan
<DK>: pertanyaanku masuk dalam peraturan kita ya?
<MK>: nggak juga sih. Tapi nggak usah perlu alasannya lah.
            Arya tidak mau lagi menceritakan pengalaman yang memalukan itu kepada orang lain lagi. Cukup Dimas orang terakhir yang menertawainya.
<DK>: oke deh. Kalau nggak di publikasikan, kenapa kamu tetep suka bikin puisi
Dewi Kecil mulai seperti wartawan yang selalu melempar pertanyaan kepada Arya
<MK>: sebernanya aku ngak menyebut itu sebagai puisi. Aku hanya menulis apa yang aku pikirkan, apa yang aku lihat dan apa yang aku rasa, itu saja. Mungkin karena pemilihan kata yang kebetulan aku gunakan yang membuat itu menjadi seperti puisi
<DK>: sama aja itu
<MK>: beda
<DK>: emang bedanya dimana
<MK>: bedanya ya di niatnya
<DK>: maksudnya?
<MK>: niatku cuma menuliskan apa yang aku lihat, nggak niat bikin puisi, karna aku bukan pujangga yang pekerjaannya hanya buat puisi
<DK>: bukan pujangga tapi bisa bikin puisi, bagus-bagus lagi, banyak yang menyentuh lagi. Hmm keren
<MK>: puisi-puisi ku itu hanya sebuah hasil dari ketidak sengajaan aja. Kembali lagi, aku hanya menulis apa yang aku lihat dan tak ada niat tuk buat puisi dari awal
<DK>: tapi hebat juga tu, ketidak sengajaan yang menghasilkan sebuah karya puisi yang bagus. Dan kesan pertama dulu, aku kira kamu pujangga dan cowok yang romantis
<MK>: salah. Sebenernya aku tu orangnya pendiem dan pemalu, apalagi sama cewek, kalo nggak kenal banget jarang ngobrol, mungkin ngobrol juga seperlunya saja
<DK>: aku nggak nyuruh kamu tuk nyebutin ciri-ciri kamu loh
<MK>: kelepasan tadi
<DK>: walau kita udah sepakat untuk itu, aku masih nggak ngerti kenapa kita nggak berteman dalam dunia nyata saja, kan lebih asik?
<MK>: udah aku bilang aku tu pemalu. Aku lebih nyaman berteman seperti ini, aku lebih laluasa titip puisi di kamu. Ibaratkan kamu adalah box kayu tempat penyimpanan puis-puisi ku. Lagian belum tentu asik juga kan berteman di dunia nyata, karna pertemanan itu bisa ternodai oleh rasa cinta dan rawan sekali salah paham yang akhirnya malah jadi musuh yang paling berbahaya
<DK>: kok bisa jadi musuh paling berbahaya?
<MK>: ya bisa lah. Waktu berteman pasti semua rahasia kita bagi ke sahabat kita, apapun itu, bahkan kartu AS mu. Dan saat kalian sudah jadi musuh, semua rahasiamu akan terbongkar semua, kamu akan mati dengan kartu AS mu sendiri yang telah dia penggang
<DK>: oh gitu ya? Ngeri juga ya? Jadi takut nih membagi rahasia. Tapi ya udah lah aku juga masih pengen nikmati puisi-puisimu
<MK>: menikmati? Emang makanan di nikmati.
Arya tersenyum sendiri setelah menulis itu, menulis kata-kata yang sama dengan Dewi Kecil tadi.
<DK>: ah bisa saja kamu. Oke aku nyerah kalo ngomong sama kamu.
<MK>: kenapa?
<DK>: pasti kalah kalo harus debat sama kamu
<MK>: debat tu nggak ada istilah kalah atau menang. Debat itu sebenarnya hanya mempertahankan pendapat atau prinsip yang kita punya. Nggak ada kalah menang, bahkan nggak boleh ada yang kalah atau menang, yang penting jangan saling adu fisik, itu baru namanya debat yang sehat. Kalo harus ada kalah menang, itu namanya musyawarah mufakat atau berunding
<DK>: kamu sebenarnya siapa sih? kok selalu bisa menjelaskan tentang apa saja dan pengalamannya kayak banyak banget
<MK>: aku adalah binatang jalang dari kumpulanya terbuang
<DK>: udah deh. Itu kan puisinya Chairil Anwar. Aku tanya beneran nih
<MK>: aku ya aku, aku adalah aku, aku bukanlah kamu, apalagi mereka. Tapi aku bisa jadi antara mereka, bisa jadi antara malam yang dingin, bisa jadi antara angin yang berhembus dan bisa jadi antara air mengalir jauh. Tapi aku akan tetap aku dan aku ya aku.
<DK>: tu kan puisi lagi. Kamu nulis kaya gitu sadar nggak? apa udah kamu rencanain dari tadi?
<MK>: kan aku udah bilang tadi, disini aku hanya menulis apa yang ada dalam pikiranku saat ini. Lagian kalo aku rencanain, mana aku tau kalo kamu bakal tanya siapa aku. Jadi semua mengalir begitu aja
<DK>: jadi itu seperti spontanitas ya?
<MK>: bener banget
<DK>: tapi kok bisa sih bikin puisi dengan spontanitas gitu, apalagi di sela-sela obrolan kita, nggak ada 2 menit lagi tadi. Emang udah belajar berapa lama bikin puisi?
<MK>: yang namanya spontanitas ya nggak pake belajar, tapi mungkin bisa disebut kebiasaan. Kalo belajar itu namanya sudah terkonsep dan di rancang sedemikian rupa dan hasilnya pasti sesuai dengan apa yang telah di rancang. Contoh kamu mau buat yogurt, kamu harus belajar dulu lalu merancang dan memproses yang hasil akhirnya ya akan jadi yogurt seperti yang kamu mau. Dan jika kamu ulangi lagi, ya hasilnya akan tetap yogurt. Beda dengan spontanitas, kamu nggak ada niat bikin apa-apa, tapi tiba-tiba jadi suatu hasil yang belum tentu kamu bisa mengulanginya lagi
<DK>: oh gitu ya? Tapi kenapa ya kadang-kadang sesuatu yang spontanits biasanya lebih bagus dari yang terkonsep
<MK>: karna sesuatu yang spontanitas itu adalah reflek yang di berikan secara alami oleh alam, ggak di buat-buat. Makanya kebanyakan keindahan alam yang terbentuk secara alami, jauh lebih indah dari keindahan buatan.
<DK>: iya juga sih. lagi-lagi kamu bener
            Arya hanya mengirim tanda senyum.
            Dan mereka terlihat asik ngobrol lewat chat room, tak peduli status mereka yang maya. Tak ada habis-habisnya hal yang mereka bicarakan hingga larut malam. Hingga rasa kantuk dan lelah telah menyerang keduanya yang membuat mereka mengakhiri obrolannya.
ΩΩΩΩΩ

Senin, 16 September 2013

SENYUMAN ITU (bag.6 SHJ)




“kring kring kring” suara handphone Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih handphonenya yang tergeletak di kasur. Di lihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam panggilan ke handphone Jingga. “halo yu..” jawabnya sembari duduk di kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana saja to lama banget angkatnya” protes Ayu dalam telepon.
Dari suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima centimeter. “sorry sorry, lagi masak di dapur, ada apa pagi-pagi udah telepon?”
“hari ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
            “jam berapa?”
            “ntar siang jam satu ya”
            “wah kalo ntar siang aku ndak bisa, panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di gramedia”
            “kok malem sih?”
            “kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya iya deh”
“yes” ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu. “gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia berkata yang membuat Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya di kasur dan lari ke dapur.
            “halo halo Jingga” suara Ayu masih terdengar memanggil-manggil Jingga dalam telepon.
            Sampai di dapur ia menggumam sendiri ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?” tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
            “iya, tadi ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
            “makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti bisa di telepon balik kan atau kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana nduk?”
            “iya bu besok ndak gitu lagi” ucap Jingga merasa bersalah.
            “ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan terpaksa tetap membuka usaha menjahit di rumah.
ӝӝӝӝӝ

Siang yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas  fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa menyegarkan di siang itu.
   Di bawah matahari dengan langkah sedikit gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka kamu Ar?”
            “iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang dengan istirahat.
            Berpayung langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari, membuat semua begitu damai terasa. Ia  terduduk sendiri di atas gundukan pasir di bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
            Lalu tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang bernama Dewi Kecil.
            Hari sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir hilang di atas birunya air laut. Tidak ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
            Arya teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.
ӝӝӝӝӝ

            Mobil Ayu sudah terparkir di depan rumah Jingga. Mereka berdua sudah siap pergi sesuai rencana yang telah mereka buat pagi harinya. Jingga hanya ingin mencari buku yang ia butuhkan, beda dengan Ayu yang hanya ingin shoping dan shoping saja.      
“memang kamu mau cari apa di gramedia say?”
            “mau cari baju” ucap Jingga sinis. “ya cari buku lah”.
            “ini pertanyaanku yang salah atau yang jawab yang bodoh” sindir Ayu kepada Jingga dengan ucapanya. “anak kecil juga tau kali kalo ke toko buku ya pasti nyari buku. maksudku tu, cari buku apa sayangku. emang harus detail ya tanyanya?”
            Jingga tersenyum melihat Ayu sedikit kesal. “iya iya sayang, gitu aja manyun. jelek ah kayak kalkun tau” Jingga tersenyum lagi dan di ikuti Ayu. “aku mau cari bukunya Kahlil Gibran, sama apa saja ntar yang bagus”
            “dasar kutu buku kamu, kerjaanya cuma beli buku saja. sekali-kali mbok belanja yang laen gitu”
            “lah ini kan juga belanja to sayang”
            “tu kan? memangnya harus detail ya kalau Tanya sama kamu?”
            Jingga tersenyum manis melihat Ayu yang kesal.
“maksudnya belanja baju kek, sepatu kek, tas kek, tokek kek. jangan buku terus, memang buat apa to?”
            “kamu tu aneh ya? buku kok buat apa? ya di baca lah. buat nambah pengetahuan, ndak kayak kamu, ada sepatu model baru, beli… tas model baru, beli… trus buat apa coba?”
            “fashion dong” jawab Ayu cepat tak mau kalah. “secara wanita cantik seperti aku harus menjaga fashion, masak wanita cantik dandananya jadul ndak ikut trend, malu dong”
“cantik dari mana? dari hongkong?”
            Ayu mulai cemberut mendengar ucapan Jingga.
            “tu kan manyun lagi, udah di bilang jelek kalo manyun”
            “ya habisnya kamu gitu”
            “iya deh. temenku yang paling cantik sedunia. Ayu Larasati”
            Lama-lama obrolan itu mengarah ke masalah Jingga dan Dimas lagi. Kini Ayu semakin aktif dengan berondongan pertanyaan kepada Jingga yang membuatnya merasa risih.  “kamu sudah pacaran ya sama Dimas?” pertanyaan standar Ayu tak membuat Jingga menjawab. Tapi tampaknya Ayu tak menyerah begitu saja, ia tetap ingin mengorek info dari mulut Jingga sendiri.
            Jingga berdehem pasang muka serius bersiap menerengkan kriteria cowok yang diinginkannya setelah Ayu mendesak dengan segala pertanyaan. “aku pengennya cowok yang jadi pacarku tu cowok yang romantis, pinter bikin puisi, jadi tiap hari bisa buatin aku puisi, apalagi nembaknya pake puisi. hmmm so sweet” Jingga mulai melayang dengan kata-katanya sendiri “trus nembaknya di tempat yang romantis banyak bunga-bunga atau sambil candlelight dinner kayak di film-film itu Yu. hmmm romantis banget to” Jingga memejamkan mata dan menggenggam kedua tangannya di dadanya, seakan angannya melayang ke tempat yang baru saja ia katakan.
            “ngimpi kamu Ga, hari gini mana ada cowok yang romantis kayak gitu, apalagi pinter bikin puisi, ini jaman modern Ga, ndak kaya jaman…” ucapannya berhenti sejenak “siapa tu pujangga dulu?” Ayu malah bertanya.
            “Chairil Anwar atau WS Rendra”
            “iya itu Chairil Anwar atau siapa itu lah tadi. Sekarang tu jamannya to the point, ndak  usah pake basa-basi, kalo suka ya langsung bilang suka, ndak usah ribet pake puisi segala, yang ada malah di ketawain” Ayu menjelaskan sok paling berpengalaman. Padahal sampai sekarang dia juga masih sendiri.
            “terserah lah. yang penting aku cari cowok yang kayak tadi titik”
            “ya sudah tunggu saja sampai lebaran monyet juga ndak mungkin ada. Bisa-bisa jadi perawan tua kamu nanti”
            “halah. jaman to the point saja kamu juga belum punya cowok to? Hayo mau alasan apa?” Jingga seakan memojokkan Ayu dengan pertanyaanya.
            Wajah Ayu berubah dan yang ada dalam pikiranya hanya mencari alasan apa yang akan ia katakan kepada Jingga tuk menjawab pertanyaan tadi. “karena cowok-cowok itu goblok sama katarak tu, ndak bisa liat ada cewek secantik aku” jawabnya membanggakan diri yang seketika membuat Jingga tertawa keras dalam mobil mendengar jawaban tadi. “ah malah ketawa” Ayu kesal melihat Jingga tertawa tak ada habis-habisnya. “sudah yuk turun, sudah nyampe ni”
            “oh sudah naympe ya?” ucap Jingga masih tertawa.
ӝӝӝӝӝ

            Ayu yang sedari tadi hanya menjadi buntut Jingga mulai merasa bete setengah mati melihat Jingga hanya mondar-mandir diantara rak-rak buku dan belum ada satupun  buku yang sepertinya ingin dia beli. Daripada ia merasa tambah bete, ia memisahkan diri dari Jingga dan hanya duduk saja di kursi yang tersedia disana.
             Jingga terhenti di rak buku dengan papan bertuliskan SASTRA di atasnya. Matanya  langsung tertuju pada buku Khalil Gibran. Saat tangannya ingin meraih buku itu, ternyata ia kalah cepat dengan tangan seorang pria yang sudah lebih dulu ada di sana. Wajahnya sedikit kecewa karena ia melihat buku itu tinggal satu dan sudah pindah di tangan seorang pria tadi.
 “mbak juga mau ambil ini?” ucapnya yang sadar kalau gadis di sebelahnya itu juga mau mengambil buku yang ada di tangannya.
            “iya mas” jawab Jingga malu-malu. “tapi kalo mas juga mau beli buku itu, ya sudah buat mas aja, kan mas duluan yang ambil buku itu”
            “suka bukunya Khalil Gibran ya?” ia malah bertanya pada Jingga.
            “iya mas”
            “ya udah buat kamu aja nih” tangannya menyodorkan buku yang sudah di bawanya.
            “tapi ntar masnya?”
            nggak apa-apa, aku cuma liat-liat aja kok” ucapnya sambil tersenyum kepada Jingga.
            Jingga meraih buku yang disodorkan pria dan membalas senyuman pria itu dengan senyuman termanisnya.
            Arya terdiam terpana sesaat, seperti ada rasa kagum dengan wajah Jingga yang manis saat tersenyum tadi. Alunan instrumen musik yang terdengar sayup-sayup disana pun pas rasanya untuk menjadi backsound rasa kagum Arya yang berjalan beberapa menit saja. Dari semua wanita di Jogjakarta yang pernah ia temui, baru sekali itu ia melihat senyum paling manis.
            “sudah yuk say. bete ni disini” suara Ayu terdengar dari belakang Jingga.
            Jingga menoleh ke belakang. “iya. Bentar dulu” lalu pandangannya kembali melihat Arya. “makasih ya buat bukunya” sebelum pergi ia sempat menghadiahi Arya dengan senyum manis lagi.
            “sama-sama”.
Mereka beranjak pergi meninggalkan Arya sendiri yang masih tetap berdiri di tempat itu. Ia terus memandang Jingga dari belakang hingga tak terlihat lagi.
            “siapa tadi bu?” tanya Ayu setelah mereka sampai di kasir.
            “ndak tau”
            “kok tadi kamu bilang terima kasih buat bukunya?”
            “tadi kayaknya dia mau beli buku ini, tapi trus di kasih ke aku karena dia tau aku juga mau beli buku ini, ya sudah aku ambil saja, lagian di rak tinggal ini saja”
            “oh gitu. kirain kenal”
“kenapa memangnya?”
“anaknya manis juga tuh, lumayan lah”
“kamu tu ya, siapa-siapa di bilang manis, siapa-siapa di bilang keren. Mungkin kambing kalau di pakein baju juga kamu bilang keren ya?”
“enak saja. Aku masih waras ya. Ya sudah, sekarang gantian anterin aku shoping di mall yuk”
            “tapi jangan lama-lama ya”
ΩΩΩΩΩ