Kamis, 24 Maret 2016

ANTARA AKU, KAU DAN HUJAN

Ketika malam hujan turun lagi
Ada sebuah rindu yang bertanya
Kapan akan bertemu
Berbagi lagi sebuah rahasia
Antara aku, kau dan hujan
Seperti waktu dulu kita selalu
Kau bagi rahasiamu
Kubagi rahasiaku
Dan kita, melahirkan satu rahasia baru
Yang kita simpan tepat di celah hujan
Dan biarkan hanyut menjadi kenangan

Rabu, 09 Maret 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.7



Suara telepon genggam Jingga berdering berulang-ulang dan terdengar sampai ke dapur, ia langsung berlari ke kamar yang hanya bersebelahan dengan dapur. Ia meraih telepon genggamnya yang tergeletak di kasur. Dilihatnya sebuah nama yang hampir tiap hari nama itu muncul dalam panggilan ke telepon genggam Jingga. “halo Yu..” jawabnya sembari duduk di kasurnya dan tanpa sadar ternyata solet masih ada dalam genggamannya.
“kemana saja to lama banget angkatnya” protes Ayu dalam telepon.
Dari suaranya, Jingga sudah bisa menebak kalau mulut Ayu sudah monyong lima centimeter. “sorry sorry, lagi masak di dapur, ada apa pagi-pagi udah telepon?”
“hari ini ndak ada kuliah to? temenin aku jalan-jalan yuk”
            “jam berapa?”
            “ntar siang jam satu ya”
            “wah kalo ntar siang aku ndak bisa, panas, lagipula ada acara sama ibu. Gimana kalo ntar habis magrib saja, sekalian aku mau cari buku di gramedia”
            “kok malem sih?”
            “kamu tu ya, kayak ndak pernah pergi malem saja. Ya sudah kalo ndak mau, aku pergi sendiri saja” ancamnya sembari berharap Ayu akan menjawab pasrah ikut dengan keinginannya.
“iya iya deh”
“yes” ucapnya lirih. Jawaban yang di harapkan Jingga ternyata terlontar juga dari mulut Ayu dan membuat Jingga tersenyum senang karena dengan begitu ia akan mendapat tumpangan gratis dan santai duduk di sebelah Ayu. “gitu dong. Ntar jemput aku ya” Jingga tertawa kecil sekarang. Dan tiba-tiba ia berkata yang membuat Ayu kaget. “astagfirullah. masakanku gosong” ia spontan melempar handphonenya di kasur dan lari ke dapur.
            “halo halo Jingga” suara Ayu masih terdengar memanggil-manggil Jingga dalam telepon.
            Sampai di dapur ia menggumam sendiri ketika melihat tempe yang di goreng benar-benar gosong. Ibunya yang sedang menjahit sampai medengar dan lansung menuju ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. “ada apa nduk?” tanya ibunya dari kejauhan. Namun Jingga tak menjawab, masih sibuk mengangkat tempenya. “kok bisa gosong tadi kenapa to? kamu tinggal pergi ya tadi” lanjut ibunya bertanya.
            “iya, tadi ada telepon dari Ayu. trus lupa” mimik mukanya mulai memelas sedikit takut dan merasa bersalah.
            “makanya, besok lagi jangan gitu. Kalo lagi masak mbok jangan di tinggal, kalo ada telepon biarain saja dulu, nanti bisa di telepon balik kan atau kalau penting, kompornya yang matikan dulu kan juga bisa. untung cuma tempenya yang gosong, la kalau dapurnya ikut gosong gimana nduk?”
            “iya bu besok ndak gitu lagi” ucap Jingga merasa bersalah.
            “ya sudah di lanjut lagi masaknya. ibu mau lanjutin jahitnya” Ibunya pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan beberapa pakaian yang harus jadi hari ini. Karena ibunya adalah penjahit yang terkenal dengan kerapian dan ketepatan waktu di daerahnya itu. Maka tidak sedikit orang yang datang kerumah Jingga untuk membuat kebaya atau sekedar buat seragam sekolah. Bahkan sewaktu ayah Jingga masih ada, ibunya juga berencana membuat butik kecil-kecilan di luar rumah untuk memperluas usaha ibunya, tapi rencananya di urungkan karena kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya dan terpaksa tetap membuka usaha menjahit di rumah.
ӝӝӝӝӝ

Siang yang terik membakar suasana, hingga terlihat jelas  fatamorgana di mana-mana. Angin pun terasa panas berhembus menyentuh kulit. Rasanya hanya sebuah oase yang bisa menyegarkan di siang itu.
   Di bawah matahari dengan langkah sedikit gontai, wajah kusut penuh debu, Arya pulang sendiri setelah tak ada lagi jam kuliah. Ia melangkah masuk dan di sambut oleh budhenya yang sedang santai di teras rumah dengan majalah di tangannya. “kusut sekali muka kamu Ar?”
            “iya ni budhe, panas, banyak debu di jalan” Arya meneruskan langkahnya menuju kamar dan tidur untuk memulihkan tenaganya yang sudah menguap terbakar panas matahari di luar. Ia lemparkan begitu saja tas dari tangannya, berjalan terus menuju jendela untuk membuka sedikit jendela agar angin bisa berhembus masuk dan menina-bobokan dirinya. Ia ingin tertidur pulas.
Jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Ia terbangun dan tak melihat satupun penghuni rumah ini, entah kemana para penghuni itu. Budhe yang biasa tiap sore aktif di depan televisi tak terlihat, pakdhe yang selalu asik dengan koleksi burung peliharaannya di waktu pulang kerja juga tak ada dan sepertinya Heru belum pulang dari tadi. Daripada suntuk di rumah sendirian, Arya berinisiatif pergi kepantai sekedar melepas penatnya siang tadi yang ternyata belum hilang dengan istirahat.
            Berpayung langit cerah, gemuruh deburan ombak memecah karang, suara hembusan angin yang menyapa pohon cemara pantai, matahari yang mulai terbenam di ufuk barat dan awan senja mulai menjingga, sungguh elok langit disore hari, membuat semua begitu damai terasa. Ia  terduduk sendiri di atas gundukan pasir di bawah pohon cemara yang rimbun. Perlahan tangannya reflek bergerak menuliskan puisi di laptopnya yang selalu setia menemani kemana saja.
Di sore ini ku duduk sendiri
Di atas pasir yang berbisik mesra
Mengatakan ada yang berbeda pada langit sore ini
Langit senja kini mulai sahaja
Membias warna hadirkan jingga
Langit senja kini mulai sahabat
Membiarkan ku nikmati jingga
Indah langitmu, aku nikmati
Indah warnamu, aku kagumi
Aku disini memandang terpana dengan rasa yang terlalu cepat
Seperti senja memeluk sang surya
Seperti itu ku ingin dekat
Dengan kamu. . .
            Lalu tanganya menakan tombol send. Yang pasti puisi itu ia kirim ke temannya yang bernama Dewi Kecil.
            Hari sudah mulai gelap, mataharipun sudah hampir hilang di atas birunya air laut. Tidak ada lagi langit jingga menemani di sana, burung camar putih sudah kembali ke sarangnya, bulan perlahan siap menggantikan hari dengan sinarnya.
            Arya teringat ada yang harus ia beli di toko buku, langsung saja ia meluncur ke toko buku dengan motor CB milik ayah Heru yang jarang di pakai.

Senin, 07 Maret 2016

SENJA HADIRKAN JINGGA part.6



         Hari itu adalah hari yang tidak disangka-sangka bagi meraka, setelah sekian lama terpisah tanpa komunikasi lagi akhirnya bertemu lagi di kota ini, di kampus yang sama pula. Seakan teman yang hilang telah kembali lagi.
            “gimana ni kabar teman-teman SMP sejak gua pindah?”
             “wah tenang banget” wajahnya seperti lega “pokoknya damai, tentram, nggak ada keributan lagi” ucapnya tersenyum menyindir Dimas yang dijuluki sebagai trouble maker di sekolahnanya.
            “sial lo. lo kata gua biang keributan?” Dimas menyangkal.
            “ya begitulah kira-kira” Arya tersenyum lagi.
            “iya iya deh” Dimas agak sinis mengakui “o ya gimana bu Wati sekarang?
            ”bu Wati yang gendut  itu? Terakhir liat dia masih aja gendut. o ya lo paling suka kan ngerjain dia?”
            Dimas tertawa lebar mengingat saat-saat masih SMP, saat tiap hari selalu mengerjain bu Wati wali kelasnya itu. Bagi dia tiada hari tanpa mengerjain bu Wati yang galak, hingga tidak terhitung lagi sudah berapa kali Dimas kena hukuman dari bu Wati mulai dari lari keliling lapangan, ngepel kamar mandi atau berdiri di depan kelas dengan kaki kiri dilipat keatas dan tangan kanan memegang telinga kiri, tapi tetap saja dia tak jera untuk mengerjai bu Wati. “gatel tangan gua kalo nggak ngerjain dia” Dimas melanjutkan tertawanya membuat Arya juga ikut tertawa kecil. “o ya trus gimana tu si, emm siapa tu namanya yang lo taksir dulu?” Dimas melanjutkan.
            “Devi”
            “iya si Devi, bukannya waktu gua mau pindah lo punya rencana buat nembak dia?”
             Arya tak menjawab, malah sinar wajahnya tiba-tiba mendadak perlahan meredup mendengar pertanyaan Dimas tentang masalalu itu, tentang kejadian yang membuatnya malu yang tidak terlupakan sampai ia beranjak dewasa.
            “kenapa lo Ar?” Dimas yang sadar dengan perubahan di wajah Arya. “ada yang salah ya ma pertanyaan gua?” Dimas yang sibuk menyetir menoleh sekali lagi ke arah Arya yang masih terdiam dari tadi “gua tau ni, pasti ditolak kan?” ucap sok tahu Dimas dan akhirnya tertawa keras walau tak tahu itu benar atau salah.
            Arya dengan wajah murungnya terpaksa menjawab pertanyaan itu. “sebenernya gua belum sempet nembak dia Dim, waktu itu gua…” Arya berhenti bicara sejenak
            “kenapa Ar?” Tanya Dimas mulai penasaran.
            “waktu itu gua…” dan pikirannya melayang kembali ke masa itu.
            “Aryaa!!!” panggil bu Wati. “sedang sibuk nulis apa kamu?” bentak bu Wati yang merasa Arya cuekin ketika sedang menjelaskan pelajarannya.
             tidak nulis apa-apa kok bu” jawabnya gemetar sambil ia tutup perlahan buku di depannya itu.
             “ibu perhatikan tadi kamu asik nulis sesuatu waktu ibu menerangkan, sini coba lihat?” ibu Wati mendekatinya dengan wajah garang yang menbuat Arya semakin gemetar ketakutan dan mengambil buku tulis di depannya. Ia  mulai takut bercampur malu kalau puisi itu sampai dibaca depan teman-teman.
            “apa ini Arya?” tanya bu Wati dengan nada marah setelah melihat tulisan itu. “sini maju kedepan”
            Dengan gugup ia melangkah berjalan kedepan dengan kepala menunduk dan berhenti tepat disamping bu Wati.
            “cepat kamu baca ini di depan teman-teman kamu” bu Wati memberikan buku itu kepadanya.
            Dengan keadaan masih tertunduk ia mencoba melirik ke arah teman-teman yang terdiam, mungkin juga takut melihat bu Wati yang sedang marah kepadanya.
Dengan terbata-bata ia mulai membaca tulisannya sendiri di buku itu. Baru saja bebera bait ia baca, satu demi satu teman-temannya mulai melepaskan tawanya karena sudah tak tahan untuk menahan tawanya setelah  mendengar puisi yang ia bacakan di depan kelas. Dalam beberapa menit saja, semua yang ada di kelas akhirnya tertawa keras menertawainya, mereka sudah tak perduli dengan wajah bu Wati yang masih garang seperti macan ingin menangkap mangsanya.
“hahahaha…” tawa lepas Dimas juga menertawainya yang sedari tadi mendengarkan cerita Arya.untung gua nggak ada disana, coba kalo ada, gua anak yang paling keras ketawa” Dimas masih meneruskan tawanya dan semakin keras dari sebelumnya, seakan itu adalah lelucon paling lucu dalam hidupnya. “lucu..lucu”
            “lucu apanya?” tanya Arya yang wajah bertolak belakang dengan wajah Dimas.
            “lucu aja, ada anak SMP mau nembak cewek pake puisi. lo kira anak SMP bisa klepek-klepek cuma dengan puisi? yang ada malah muntah kali Ar. malu-maluin aja lo” Dimas masih saja tak berhenti tertawa. “lagian lo tu ada-ada aja ya, nembak cewek pake puisi, cemen banget tau, nggak gentle, lebay, kemayu kata orang jawa”
             “udah deh jangan tertawa mulu. suatu saat lo yang ngalamin kayak gitu, baru tau rasa lo”
            “apa?” Dimas seolah-olah kaget “gua nembak cewek pake puisi? sorry ya, anti, nggak bakalan Ar” dengan wajah sombong seakan-akan tak akan pernah terjadi “gua masih punya harga diri buat nggak nglakuin hal yang malu-maluin kayak gitu”.
            “liat aja ntar, kalo itu terjadi, gua yang akan tertawa paling keras di depan lo” ucapnya seperti mendoakan hal itu akan terjadi kelak.
            “oke kita liat aja ntar” dengan nada optimis tak akan pernah terjadi.
            Mereka terdiam sesaat dan sampailah mereka di depan halaman rumah Dimas.
            “turun yuk” ajak Dimas.