Rabu, 24 September 2014

CERPEN ORION Part1



            Jam digital di meja menunjukkan angka 0:00 dan di bawahnya 10.12.2009, Ori terbangun dari tidurnya yang sedari tadi memang terlihat tak nyenyak. Seperti biasa, ia menyalakan laptopnya dan tanpa aba-aba lansung menulis sesuatu. Sebuah kebiasaan yang memang kerap ia lakukan, terbangun di tengah malam dan menulis. Memang seperti itulah hobbynya, disaat semua tidur terlelap, ia malah terbangun hanya untuk menulis.
            SELINGKUH, kata yang tiba-tiba keluar dalam benak Ori untuk sebuah tulisannya kali ini. Sepertinya semua sudah tergambar jelas dalam benaknya, tanpa banyak berpikir, tangannya sedari tadi seakan tak pernah berhenti menulis.
            “Tino dikejutkan oleh suara ponselnya yang membuyarkan konsentrasinya saat sedang mengikuti kelas musik di kampusnya. Tapi Tino tak menghiraukannya, ah Cuma pesan masuk saja, bisa dibuka nanti setelah ia menyelesaikan kelasnya, pikirnya tak mau tahu siapa yang mengirim pesan tadi. Lagi pula tanggung sekali untuk berhenti sekadar membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Sedangkan lima menit lagi kelas musik yang diikutinya selesai.
Kini lima menit telah berlalu, Tino bergegas mengambil ponselnya dari dalam tas hitam yang berada di samping kakinya. “Rina” gumamnya setelah melihat nama yang tertera di layar ponsel Sony Ericson tipe J200i kesayanganya. Tino tersenyum, dalam pikirannya, Rina pasti berhasil membujuk Icha untuk datang ke tempat yang sudah ia tentukan untuk ia meminta maaf kepada Icha yang sudah seminggu ini marah kepadanya hanya karena soal sepele, Tino tak bisa menepati janji untuk mengantarkan Icha, pacarnya untuk pergi ke salon pada hari sabtu, seminggu yang lalu. Tino memang terkenal sebagai tukang tidur, kalau sudah tidur susah sekali dibangunkan, bahkan gempapun tak mampu membangunkannya, apalagi hanya sebuah jam beker kecil yang ada di kamarnya. Tapi kali ini pikirannya meleset, bukan kabar gembira itu yang tertulis di pesan yang Rina kirimkan, melainkan sebuah pesan yang berbunyi “sorry No, Icha menolak aku ajak ke kantin”. Dengan rasa penasaran Tino membalas singkat “kenapa?”. Betapa ia terkejut oleh pesan balasan dari Rina. “katanya dia mau pergi sama Dewi ke mall”.
“tut.. tut..” nada tanda telponnya di reject oleh Icha. Semakin kesal Tino dibuatnya. Entah dari mana ia selalu peka dan bisa membaca tanda-tanda dari tingkah laku pacarnya. “aku yakin dia tidak pergi dengan Dewi”. Setelah usaha menelpon pacarnya gagal, ia mencoba untuk mengirim pesan kepada Icha.”
Ori menyalakan sebatang rokok beraorma menthol untuk sejenak menyegarkan pikirannya dan bergegas menuju dapur untuk membuat segelas kopi untuk melawan rasa kantuk yang bersarang di matanya. Dan merekalah teman setia Ori saat ia menulis di malam hari.
Segelas kopi sudah tersaji di mejanya, ia pun sudah siap kembali untuk melanjutkan menulis cerpennya yang tadi sempat tertunda. Posisi duduknya pun ia rubah tak seperti tadi, kedua kakinya pun ikut naik ke atas kursi yang sedang didudukinya. Untuk sedikit mengurangi rasa dingin yang mulai dirasakannya. Sambil dua jarinya mengapit sebatang rokok, ia mulai menulis kembali.
“sudah jangan ganggu aku, aku sedang sibuk” balasan yang diterimanya dari Icha. Tino pun masih ingin tahu apa yang sedang dilakukan pacarnya. “iya aku lagi sama cowok, lagi pacaran, PUAS” jawaban kesal dari Icha setelah Tino mengirim sebuah pesan “lagi sama cowok lain ya?”. Entah itu disengaja oleh Icha atau memang ia terlalu kesal oleh pertanyaan dari Tino yang sedikit tanpa basa-basi. Yang jelas jawaban itu membuat Tino langsung pergi ke mall untuk melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri.
Tino pun bergegas pergi tanpa memperdulikan kelas yang sebentar lagi seharusnya ia masuki. Kebetulan ia tahu benar mall mana  yang sering Icha datangi. Berbekal keyakinan itu, ia mencari Icha di sana.
Sambil berjalan, matanya terus clingak-clinguk mencari Icha di sana-sini. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, ia belum melihat Icha berada di mall itu. Saat di tengah-tengah eskalator yang membawanya naik ke lantai tiga, ia melihat Icha yang sedang berada di eskalator kebalikannya, menuju lantai dua dengan tangannya yang melingkar di tangah seorang cowok di sebelah kanannya. Tino tak mau kehilangan jejaknya, ia berlari menaiki eskalator yang berjalan sangat lambat. Ia terus berlari menuju eskalator yang berjalan ke bawah untuk menyusul Icha.”
Kopi yang sudah mulai dingin sangat cepat oleh hawa malam ini, ia teguk dua kali. Mungkin di otaknya juga sudah mulai buntu apa yang akan ia tulis. Ia menurunkan kedua kakinya dari atas kursi tadi, sejenak ia angkat kembali dengan posisi bersila. Matanya sesekali melihat ke sudut-sudut ruangan seperti mencari sesuatu. Dan memang disanalah biasanya inspirasinya bersemayam. Disudut-sudut ruangan, di benda-benda tak bergerak, radio, botol parfum, ponsel, lampu dan juga tembok-tembok. Tapi dalam pandangan matanya, mereka seolah berbicara, mengatakan apa yang harus ia tulis. Memang sesuatu hal yang tidak mungkin karena sebenarnya otaknya lah yang membuat itu terjadi, melahirkan apa yang memang harus ia tulis. Ia meneguk kembali kopinya sampai tersisa setengah gelas.
“Tino menarik tangan kiri Icha yang mengayun senada dengan langkah kakinya yang membuat Icha sedikit terkejut. Dan memang benar Icha terkejut setelah tahu yang menarik tangannya adalah Tino, pacarnya sendiri. “o jadi benar kamu lagi pacaran di sini”. Bergegas tangan kanan Icha yang melingkar di tangan Rendi dilepaskannya. “kamu ngapain di sini?” ucap Icha reflek. “seharusnya aku yang tanya. Ngapain kamu di sini?”. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari Tino, Icha berusaha melepas tangannya dari erat genggaman tangan Tino yang membuatnya merasa kesakitan. “lepasin dong No, sakit tau’ tanganku”. Icha terus berontak berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman tangan Tino yang sedari tadi tak juga mau melepaskannya.
“kamu dengar tidak Icha bilang apa” akhirnya Rendi ikut angkat bicara.
“ooo berani ngomong juga kamu” ucap Tino sambil melepaskan genggaman tangannya dan bergerak maju mendekati Rendi.
Kini giliran tangan Icha yang menggenggam tangan Tino karena dia tahu apa yang akan terjadi dan menarik Tino menjauh dari Rendi. “udah deh jangan ribut di sini, bikin malu aja” ucap Icha sembari terus menarik Tino keluar.”
Ternyata segelas kopi yang hampir habis tak membuat rasa kantuk di matanya hilang. Rasa kantuk yang selalu tak bisa ia tahan meski oleh bantuan segelas kopi itu pula yang menyuruhnya untuk menyudahi sebuah cerpen yang memang belum selesai. Padahal dalam benaknya masih ada yang harus ia tulis untuk mengakhiri cerita dala cerpennya yang sedang ia tulis.
Hal ini yang selalu ia benci setiap kali menulis cerpen, menyudahi tanpa menyelesaikan cerita dalam cerpen yang ia tulis. Tapi apa boleh buat, memang ia tak bisa menahan rasa kantuk yang teramat sangat itu.
Walaupun begitu, ia selalu menyimpan cerpennya ke dalam blogger miliknya.
(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar