Jam digital di meja menunjukkan angka 0:00 dan di
bawahnya 10.12.2009, Ori terbangun dari tidurnya yang sedari tadi memang
terlihat tak nyenyak. Seperti biasa, ia menyalakan laptopnya dan tanpa aba-aba
lansung menulis sesuatu. Sebuah kebiasaan yang memang kerap ia lakukan,
terbangun di tengah malam dan menulis. Memang seperti itulah hobbynya, disaat
semua tidur terlelap, ia malah terbangun hanya untuk menulis.
SELINGKUH, kata yang tiba-tiba keluar dalam benak Ori
untuk sebuah tulisannya kali ini. Sepertinya semua sudah tergambar jelas dalam
benaknya, tanpa banyak berpikir, tangannya sedari tadi seakan tak pernah
berhenti menulis.
“Tino dikejutkan oleh suara ponselnya yang membuyarkan
konsentrasinya saat sedang mengikuti kelas musik di kampusnya. Tapi Tino tak
menghiraukannya, ah Cuma pesan masuk saja, bisa dibuka nanti setelah ia
menyelesaikan kelasnya, pikirnya tak mau tahu siapa yang mengirim pesan tadi.
Lagi pula tanggung sekali untuk berhenti sekadar membaca pesan yang masuk ke
ponselnya. Sedangkan lima menit lagi kelas musik yang diikutinya selesai.
Kini
lima menit telah berlalu, Tino bergegas mengambil ponselnya dari dalam tas
hitam yang berada di samping kakinya. “Rina” gumamnya setelah melihat nama yang
tertera di layar ponsel Sony Ericson tipe J200i kesayanganya. Tino tersenyum,
dalam pikirannya, Rina pasti berhasil membujuk Icha untuk datang ke tempat yang
sudah ia tentukan untuk ia meminta maaf kepada Icha yang sudah seminggu ini
marah kepadanya hanya karena soal sepele, Tino tak bisa menepati janji untuk
mengantarkan Icha, pacarnya untuk pergi ke salon pada hari sabtu, seminggu yang
lalu. Tino memang terkenal sebagai tukang tidur, kalau sudah tidur susah sekali
dibangunkan, bahkan gempapun tak mampu membangunkannya, apalagi hanya sebuah
jam beker kecil yang ada di kamarnya. Tapi kali ini pikirannya meleset, bukan
kabar gembira itu yang tertulis di pesan yang Rina kirimkan, melainkan sebuah
pesan yang berbunyi “sorry No, Icha menolak aku ajak ke kantin”. Dengan rasa
penasaran Tino membalas singkat “kenapa?”. Betapa ia terkejut oleh pesan
balasan dari Rina. “katanya dia mau pergi sama Dewi ke mall”.
“tut..
tut..” nada tanda telponnya di reject oleh Icha. Semakin kesal Tino dibuatnya.
Entah dari mana ia selalu peka dan bisa membaca tanda-tanda dari tingkah laku
pacarnya. “aku yakin dia tidak pergi dengan Dewi”. Setelah usaha menelpon
pacarnya gagal, ia mencoba untuk mengirim pesan kepada Icha.”
Ori
menyalakan sebatang rokok beraorma menthol untuk sejenak menyegarkan pikirannya
dan bergegas menuju dapur untuk membuat segelas kopi untuk melawan rasa kantuk
yang bersarang di matanya. Dan merekalah teman setia Ori saat ia menulis di
malam hari.
Segelas
kopi sudah tersaji di mejanya, ia pun sudah siap kembali untuk melanjutkan
menulis cerpennya yang tadi sempat tertunda. Posisi duduknya pun ia rubah tak
seperti tadi, kedua kakinya pun ikut naik ke atas kursi yang sedang
didudukinya. Untuk sedikit mengurangi rasa dingin yang mulai dirasakannya.
Sambil dua jarinya mengapit sebatang rokok, ia mulai menulis kembali.
“sudah
jangan ganggu aku, aku sedang sibuk” balasan yang diterimanya dari Icha. Tino
pun masih ingin tahu apa yang sedang dilakukan pacarnya. “iya aku lagi sama
cowok, lagi pacaran, PUAS” jawaban kesal dari Icha setelah Tino mengirim sebuah
pesan “lagi sama cowok lain ya?”. Entah itu disengaja oleh Icha atau memang ia
terlalu kesal oleh pertanyaan dari Tino yang sedikit tanpa basa-basi. Yang
jelas jawaban itu membuat Tino langsung pergi ke mall untuk melihat langsung
dengan mata kepalanya sendiri.
Tino
pun bergegas pergi tanpa memperdulikan kelas yang sebentar lagi seharusnya ia
masuki. Kebetulan ia tahu benar mall mana
yang sering Icha datangi. Berbekal keyakinan itu, ia mencari Icha di
sana.
Sambil
berjalan, matanya terus clingak-clinguk mencari Icha di sana-sini. Sudah hampir
tiga puluh menit berlalu, ia belum melihat Icha berada di mall itu. Saat di
tengah-tengah eskalator yang membawanya naik ke lantai tiga, ia melihat Icha
yang sedang berada di eskalator kebalikannya, menuju lantai dua dengan
tangannya yang melingkar di tangah seorang cowok di sebelah kanannya. Tino tak
mau kehilangan jejaknya, ia berlari menaiki eskalator yang berjalan sangat
lambat. Ia terus berlari menuju eskalator yang berjalan ke bawah untuk menyusul
Icha.”
Kopi
yang sudah mulai dingin sangat cepat oleh hawa malam ini, ia teguk dua kali.
Mungkin di otaknya juga sudah mulai buntu apa yang akan ia tulis. Ia menurunkan
kedua kakinya dari atas kursi tadi, sejenak ia angkat kembali dengan posisi
bersila. Matanya sesekali melihat ke sudut-sudut ruangan seperti mencari
sesuatu. Dan memang disanalah biasanya inspirasinya bersemayam. Disudut-sudut
ruangan, di benda-benda tak bergerak, radio, botol parfum, ponsel, lampu dan
juga tembok-tembok. Tapi dalam pandangan matanya, mereka seolah berbicara,
mengatakan apa yang harus ia tulis. Memang sesuatu hal yang tidak mungkin
karena sebenarnya otaknya lah yang membuat itu terjadi, melahirkan apa yang
memang harus ia tulis. Ia meneguk kembali kopinya sampai tersisa setengah
gelas.
“Tino
menarik tangan kiri Icha yang mengayun senada dengan langkah kakinya yang
membuat Icha sedikit terkejut. Dan memang benar Icha terkejut setelah tahu yang
menarik tangannya adalah Tino, pacarnya sendiri. “o jadi benar kamu lagi
pacaran di sini”. Bergegas tangan kanan Icha yang melingkar di tangan Rendi
dilepaskannya. “kamu ngapain di sini?” ucap Icha reflek. “seharusnya aku yang
tanya. Ngapain kamu di sini?”. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari Tino, Icha
berusaha melepas tangannya dari erat genggaman tangan Tino yang membuatnya
merasa kesakitan. “lepasin dong No, sakit tau’ tanganku”. Icha terus berontak
berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman tangan Tino yang sedari tadi
tak juga mau melepaskannya.
“kamu
dengar tidak Icha bilang apa” akhirnya Rendi ikut angkat bicara.
“ooo
berani ngomong juga kamu” ucap Tino sambil melepaskan genggaman tangannya dan
bergerak maju mendekati Rendi.
Kini
giliran tangan Icha yang menggenggam tangan Tino karena dia tahu apa yang akan
terjadi dan menarik Tino menjauh dari Rendi. “udah deh jangan ribut di sini,
bikin malu aja” ucap Icha sembari terus menarik Tino keluar.”
Ternyata
segelas kopi yang hampir habis tak membuat rasa kantuk di matanya hilang. Rasa
kantuk yang selalu tak bisa ia tahan meski oleh bantuan segelas kopi itu pula
yang menyuruhnya untuk menyudahi sebuah cerpen yang memang belum selesai.
Padahal dalam benaknya masih ada yang harus ia tulis untuk mengakhiri cerita
dala cerpennya yang sedang ia tulis.
Hal
ini yang selalu ia benci setiap kali menulis cerpen, menyudahi tanpa
menyelesaikan cerita dalam cerpen yang ia tulis. Tapi apa boleh buat, memang ia
tak bisa menahan rasa kantuk yang teramat sangat itu.
Walaupun
begitu, ia selalu menyimpan cerpennya ke dalam blogger miliknya.
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar