Senin, 08 September 2014

RATAPAN SEORANG PEMBUNUH



            Mungkin sebagian orang mampu menolak dan mengelak garis Tuhan yang diberikan kepada mereka, tapi tidak denganku. Sekuat apapun kesadaranku akan hal itu, tidak membuatku keluar dari garis ini.
            Aku adalah seorang pembunuh meski aku tahu membunuh adalah salah satu hal yang membuat dosa dan bukanlah pekerjaan yang aku cita-citakan sejak kecil. Lagi pula, tidak ada satupun anak kecil di dunia ini yang bercita-cita ingin menjadi seorang pembunuh saat dewasa nanti. Tapi entah kenapa sepertinya aku sudah digariskan menjadi seorang pembunuh. Aku selalu sadar saat melakukannya.
            Aku mencoba kembali kemasa kecil dulu, mencari apa yang salah dalam diriku. Kenangan demi kenangan aku putar kembali hingga aku terhenti di titik nol yang mungkin inilah awal apa akhirnya terjadi dalam diriku.
            Waktu itu aku masih berumur sekitar 5 tahun. Aku melihat kedua orang tuaku bertengkar hebat, itu kali pertama aku melihat ayah menampar keras pipi ibuku, aku hanya terdiam di sudut ruang yang tidak disadari oleh kedua orang tuaku. Aku lihat ibu hanya menangis meronta kesakitan tapi tak sedikitpun membuat ayahku berhenti berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan jarinya ke wajah ibuku. Itulah kekerasan pertama yang aku lihat tanpa sedikitpun aku meneteskan air mata. Padahal aku adalah anak kecil yang manja yang selalu menangis jika permintaanku tak dituruti.
            Sejak kejadian itu, aku semakin sering melihat kedua orang tuaku bertengkar hebat, tak jarang ibuku selalu berakhir di rumah sakit dengan luka-luka di tubuhnya. Anehnya, aku selalu saja tak bisa menangis saat melihatnya, saat air mata ini akan tumpah, seperti ada bisikan di hatiku yang berkata, “jangan menangis, itulah dirimu kelak”. Hingga pada suatu hari yang membuat aku kehilangan ayahku untuk selamanya.
            “aku tu muak melihatmu selalu saja menyalahkanku, aku ini istrimu, ibu dari anakmu” teriak ibu setelah tamparan mendarat di pipinya. Tak sedikitpun ayah menghiraukan kata-kata ibuku yang diiringi rintih kesakitan. Ayah masih saja terlihat murka. Aku lihat ibu berlari ke arah dapur menahan sakit di pipi dan darah yang mulai keluar dari sudut bibirnya. Tak lama kemudian ibu kembali lagi dengan sebilah pisau dapur di tangannya, tanpa banyak bicara ibu langsung menusukkan pisau itu tepat di perut ayahku. Ibu yang melihat keberadaanku langsung menghampiriku meski di tangannya masih berlumuran darah ayahku. Seperti biasa, aku hanya terdiam tanpa air mata. Mataku seakan merekan semua kejadian demi kejadian itu. Kejadian itu benar-benar melekat dalam otakku.
            Tanpa disadari aku tumbuh dewasa oleh belaian kekerasan yang diciptakan kedua orang tuaku sendiri yang sepertinya membuat kepribadianku seolah terpecah menjadi dua. Di sisi lain aku masih menjadi seorang anak yang manja, anak yang terlihat polos dan pendiam. Sampai pada akhirnya aku benar-benar menyadarinya oleh perbuatanku sendiri.
            Selayaknya remaja kebanyakan, di sekolah saat aku SMP aku mempunyai pacar. Aku sangat menyanyangi dia meski aku sadar banyak lelaki yang selalu saja berlomba-lomba mendekati dia. Saat itu hari sabtu malam, entah aku lupa tepatnya jam berapa. Aku gaagal menemui pacarku di rumahnya. Aku lantas pergi, tak pulang, jalan-jalan mencari suasana pikirku. Aku pergi menyusuri jalanan, tanpa sengaja aku melihat dua sepasang remaja yang sepertinya aku kenal. Tak salah lagi, gadis itu adalah pacarku yang sedang asik bercengkrama bersama seorang lelaki yang tak ku kenal. Mereka terkejut saat tiba-tiba aku sudah berdiri di belakang mereka.
            “kamu. Kenapa ada di sini?” ucap pacarku terkejut.
            Tanpa basa-basi aku langsung menhajar lelaki itu sampai jatuh tersungkur, belum puas dengan itu, aku ambil bongkahan batu sebesar kepalan tangan dan mendaratkan batu itu tepat di kepalanya berulang-ulang sampai ku lihat lelaki itu tak bergerak. Pacarku berteriak histeris tanpa henti yang membuatku akhirnya melakukan hal yang sama kepada pacarku. Entah kenapa sedikitpun aku tak merasa takut dengan apa yang kulakukan tadi. Aku buang mayat mereka ke sungai. Aku pulang dengan sikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.
            Satu tahun kemudian, hal serupa terjadi lagi. Lagi-lagi aku membunuh seorang lelaki yang terlihat mendekati pacar baruku. Dari kedua kejadian itu, aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku melakukannya tanpa rasa takut sedikitpun, justru ada sesuatu kelegaan di hatiku dan seperti ada rasa ketagihan yang sangat menyenangkan untuk melakukannya lagi dan lagi.
Usiaku beranjak semakin dewasa, semakin aneh yang terjadi dalam diriku. Aku selalu saja membunuh siapa saja yang membuat masalah denganku tak terkecuali orang yang membuatku merasa marah. Entah itu lelaki, wanita, orang tua bahkan aku juga pernah membunuh salah satu guruku yang pernah melempar kepalaku dengan penghapus papan tulis.
Sampai saat ini, aku masih bertanya dalam hati, mengapa aku seperti ini, menjadi seorang pembunuh yang jelas-jelas bukan cita-citaku sejak kecil. Aku hanya berpikir, apa ini sudah jalan hidupku terlahir menjadi seorang pembunuh, terlahir tanpa bisa mengelak jalan hidup yang sudah di gariskan meski sekuat tenaga mencoba keluar dari kebiasaan itu. Aku sangat sadar atas apa yang kulakukan itu. Tapi aku benar-benar tak bisa mengelaknya. Bukan berarti aku tak punya cita-cita, seperti anak kebanyakan, cita-citaku menjadi pilot seperti ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar