Mungkin sebagian orang mampu menolak dan mengelak garis
Tuhan yang diberikan kepada mereka, tapi tidak denganku. Sekuat apapun
kesadaranku akan hal itu, tidak membuatku keluar dari garis ini.
Aku adalah seorang pembunuh meski aku tahu membunuh adalah
salah satu hal yang membuat dosa dan bukanlah pekerjaan yang aku cita-citakan
sejak kecil. Lagi pula, tidak ada satupun anak kecil di dunia ini yang
bercita-cita ingin menjadi seorang pembunuh saat dewasa nanti. Tapi entah
kenapa sepertinya aku sudah digariskan menjadi seorang pembunuh. Aku selalu
sadar saat melakukannya.
Aku mencoba kembali kemasa kecil dulu, mencari apa yang
salah dalam diriku. Kenangan demi kenangan aku putar kembali hingga aku
terhenti di titik nol yang mungkin inilah awal apa akhirnya terjadi dalam
diriku.
Waktu itu aku masih berumur sekitar 5 tahun. Aku melihat
kedua orang tuaku bertengkar hebat, itu kali pertama aku melihat ayah menampar
keras pipi ibuku, aku hanya terdiam di sudut ruang yang tidak disadari oleh
kedua orang tuaku. Aku lihat ibu hanya menangis meronta kesakitan tapi tak
sedikitpun membuat ayahku berhenti berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan
jarinya ke wajah ibuku. Itulah kekerasan pertama yang aku lihat tanpa
sedikitpun aku meneteskan air mata. Padahal aku adalah anak kecil yang manja
yang selalu menangis jika permintaanku tak dituruti.
Sejak kejadian itu, aku semakin sering melihat kedua
orang tuaku bertengkar hebat, tak jarang ibuku selalu berakhir di rumah sakit
dengan luka-luka di tubuhnya. Anehnya, aku selalu saja tak bisa menangis saat
melihatnya, saat air mata ini akan tumpah, seperti ada bisikan di hatiku yang
berkata, “jangan menangis, itulah dirimu kelak”. Hingga pada suatu hari yang
membuat aku kehilangan ayahku untuk selamanya.
“aku tu muak melihatmu selalu saja menyalahkanku, aku ini
istrimu, ibu dari anakmu” teriak ibu setelah tamparan mendarat di pipinya. Tak sedikitpun
ayah menghiraukan kata-kata ibuku yang diiringi rintih kesakitan. Ayah masih
saja terlihat murka. Aku lihat ibu berlari ke arah dapur menahan sakit di pipi
dan darah yang mulai keluar dari sudut bibirnya. Tak lama kemudian ibu kembali
lagi dengan sebilah pisau dapur di tangannya, tanpa banyak bicara ibu langsung
menusukkan pisau itu tepat di perut ayahku. Ibu yang melihat keberadaanku
langsung menghampiriku meski di tangannya masih berlumuran darah ayahku. Seperti
biasa, aku hanya terdiam tanpa air mata. Mataku seakan merekan semua kejadian
demi kejadian itu. Kejadian itu benar-benar melekat dalam otakku.
Tanpa disadari aku tumbuh dewasa oleh belaian kekerasan
yang diciptakan kedua orang tuaku sendiri yang sepertinya membuat kepribadianku
seolah terpecah menjadi dua. Di sisi lain aku masih menjadi seorang anak yang manja,
anak yang terlihat polos dan pendiam. Sampai pada akhirnya aku benar-benar
menyadarinya oleh perbuatanku sendiri.
Selayaknya remaja kebanyakan, di sekolah saat aku SMP aku
mempunyai pacar. Aku sangat menyanyangi dia meski aku sadar banyak lelaki yang
selalu saja berlomba-lomba mendekati dia. Saat itu hari sabtu malam, entah aku
lupa tepatnya jam berapa. Aku gaagal menemui pacarku di rumahnya. Aku lantas
pergi, tak pulang, jalan-jalan mencari suasana pikirku. Aku pergi menyusuri
jalanan, tanpa sengaja aku melihat dua sepasang remaja yang sepertinya aku
kenal. Tak salah lagi, gadis itu adalah pacarku yang sedang asik bercengkrama
bersama seorang lelaki yang tak ku kenal. Mereka terkejut saat tiba-tiba aku
sudah berdiri di belakang mereka.
“kamu. Kenapa ada di sini?” ucap pacarku terkejut.
Tanpa basa-basi aku langsung menhajar lelaki itu sampai
jatuh tersungkur, belum puas dengan itu, aku ambil bongkahan batu sebesar
kepalan tangan dan mendaratkan batu itu tepat di kepalanya berulang-ulang
sampai ku lihat lelaki itu tak bergerak. Pacarku berteriak histeris tanpa henti
yang membuatku akhirnya melakukan hal yang sama kepada pacarku. Entah kenapa
sedikitpun aku tak merasa takut dengan apa yang kulakukan tadi. Aku buang mayat
mereka ke sungai. Aku pulang dengan sikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Satu tahun kemudian, hal serupa terjadi lagi. Lagi-lagi
aku membunuh seorang lelaki yang terlihat mendekati pacar baruku. Dari kedua
kejadian itu, aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku
melakukannya tanpa rasa takut sedikitpun, justru ada sesuatu kelegaan di hatiku
dan seperti ada rasa ketagihan yang sangat menyenangkan untuk melakukannya lagi
dan lagi.
Usiaku
beranjak semakin dewasa, semakin aneh yang terjadi dalam diriku. Aku selalu
saja membunuh siapa saja yang membuat masalah denganku tak terkecuali orang
yang membuatku merasa marah. Entah itu lelaki, wanita, orang tua bahkan aku
juga pernah membunuh salah satu guruku yang pernah melempar kepalaku dengan
penghapus papan tulis.
Sampai
saat ini, aku masih bertanya dalam hati, mengapa aku seperti ini, menjadi
seorang pembunuh yang jelas-jelas bukan cita-citaku sejak kecil. Aku hanya
berpikir, apa ini sudah jalan hidupku terlahir menjadi seorang pembunuh,
terlahir tanpa bisa mengelak jalan hidup yang sudah di gariskan meski sekuat
tenaga mencoba keluar dari kebiasaan itu. Aku sangat sadar atas apa yang
kulakukan itu. Tapi aku benar-benar tak bisa mengelaknya. Bukan berarti aku tak
punya cita-cita, seperti anak kebanyakan, cita-citaku menjadi pilot seperti
ayahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar