Kamis, 29 Mei 2014

DIALOG ANTARA AKU DAN AKU



“hai pria menyedihkan?. Iya kamu, kamu pikir siapa lagi? Kamu pikir kamu orang yang bahagia sampai kau tak menoleh saat ku sapa. Kamu pikir aku tak bisa melihat meski aku tak bermata? kamu pikir aku tak bisa merasa meski aku tak berhati? Aku jauh lebih bisa melihat dari orang-orang yang bermata, aku lebih bisa merasa dari orang-orang yang berhati”
Aku tersentak mendengar siapa yang berkata kepadaku. Aku garuk kepalaku yang tak gatal, sekedar mencari sebuah jawab atas apa yang ku lihat dan ku dengar.
“sudahlah tak perlu seperti itu, seakan kau itu bodoh dan gila. Tenang kau masih begitu waras untuk mendengarkan aku”
Aku masih terdiam melihatnya, tak mengerti lebih tepatnya.
“oke oke... terserah kamu menyebut dirimu itu gila atau apalah, yang jelas kau kini bisa mendengarkan suaraku kan?. Dan kau, aku yakinkan kalau kau tak sedang melihat hantu, karena aku bukan hantu. Aku hanya muak saja melihat pria menyedihkan sepertimu, duduk sendiri dengan sebuah minuman yang hanya tinggal setengah di botol itu dan beberapa batang rokok yang sudah habis kau hisap tiada henti tadi”.
“lalu apa maksudmu? Kau datang dan tiba-tiba bicara kepadaku layaknya hantu”
“sudah aku bilang, aku muak melihat pria menyedihkan sepertimu. Seakan-akan apa yang kau lakukan ini adalah jalan terakhir untuk menghibur diri. Salah besar kau ini. Asalh kau tahu, hanya kamu yang kulihat seperti ini, bertindak bodoh. Apa memang kau bodoh? Ya, aku rasa kau hanyalah manusia bodoh, bahkan terbodoh yang pernah aku lihat”
“so what gitu? Kamu pikir kamu siapa? Berani-benari menilai aku sedemikian rupa, sedang kamu tak mengerti apa yang aku rasa. Apa kamu tahu?”
“cinta”
Aku terdiam kembali tanpa kata.
“kenapa diam? Kamu pikir aku bodoh? Aku tak seperti kau yang memang bodoh”
“shut up your fucking mouth”
“hahahaha... “
“pyarrrr” suara itu tak juga menghentikan tawa yang aku benci setelah sebuah botol di sampingku ku lempar kepadanya. Aku hujani dengan kata-kata sumpah serapah kepadanya dan berharap tawa itu terdiam.
“kamu mencintai dia?”
Justru aku yang terdiam oleh pertanyaannya.
“Semudah inikah kau terluka jika kau benar-benar mencintai dia? Lalu kamu pikir dia akan mengasihani kamu dengan berbuat seperti ini?”
“aku hanya...”
“menghibur diri?” ucapnya sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. “salah besar. Kau hanya berpura-pura mencintai dia”
“shut up!!! Kamu tahu apa tentang cintaku kepadanya? Kamu yang salah besar. Asal kamu tahu, aku mencintai dia lebih dari aku mencintai diriku sendiri, dia adalah segalanya bagiku” gantian aku yang angkat bicara sebelum dia menyelesaikan ucapannya.
“hahahaha...”
“sudah aku bilang aku benci ditertawakan seperti itu”
“aku tahu, kau memang sangat bersungguh-sungguh mencintai dia. Aku hanya ingin kau sadar, bukan seperti ini caranya jika kau benar-benar mencintai dia”
“lalu?”
“percuma aku beri tahu, kau takan sanggup menjalani”
“apapun akan aku lakukan demi mendapatkan dia”
“yakin?”
“sudahlah, cepat katakan sebelum aku benar-benar muak denganmu”
“kau lihat lilin itu?” seolah-olah dia menunjuk ke arah lilin yang ada di meja, lilin yang aku nyalakan sedari tadi sejak padamnya listrik yang memaksaku akhirnya berbuat seperti ini.
“ya aku lihat, lalu apa hubungannya?”
“apa kamu mencintai lilin itu?”
“bastard, kamu sengaja mempermainkan aku? oke aku memang bodoh, tapi ternyata kau jauh lebih dari itu, kamu tak ada otaknya sama sekali, aku masih waras untuk tidak mencintai sebatang lilin”.
“sudah jawab saja pertanyaanku”
“oke dengar baik-baik, akuuu tidakkkk mencintaiii lilinnn ituuu. puassss!!!”
“tapi dia mencintai kamu”
“sebenarnya apa mau mu haaa?”
“kau memang terlalu bodoh untuk bisa melihat apa yang aku katakan. Kau tau apa yang di lakukan lilin itu untukmu? Kau bisa merasakannya? Tidak kan? Karena kau memang bodoh, di hatimu Cuma cinta cinta dan cinta, tanpa kau tahu harus berbuat apa untuk seseorang yang kau cintai”
“maksudmu? Aku masih tak mengerti apa yang kau maksud. Apa aku harus menjadi lilin untuknya? Sedang kan kau pun sudah tahu dia tak mencintaiku. Apa itu maksudmu?”
“ikhlas”
“ikhlas? Apa lagi ini? Aku benar-benar tak mengerti apa yang kau maksud. Sudahlah katakan saja bagaimana cara aku bisa mendapatkannya. Sudah itu saja cukup. Lantas akan aku lakukan apa yang kamu katakan demi mendapatkan dia”
“dengarkan baik-baik, lihat kembali lilin itu, dia mencintaimu, dia rela mengorbankan seluruh tubuhnya untuk menerangimu tanpa dia berharap kau pun mencintai dia. Jika kamu bisa melihat jauh kedalam, dia ikhlas demi kamu yang tak pernah mencintai dia. Dia ikhlas menerangi kamu walau dia sadar dia tak akan pernah mendapatkan cintamu, bahkan sedikit perhatianmu pun tidak ketika akhirnya listrik menyala dan kau meninggalkannya. Aku ingin kau seperti dia, ikhlas mencintai seseorang yang kamu cintai, meski dia tak pernah mencintaimu. Ikhlaskan saja jika akhirnya dia memilih orang lain, seperti kamu akhirnya memilih lampu daripada lilin tadi setelah listrik menyala. Dengan mengikhlaskan dia, kau akan lebih tenang. Mengerti?”
“Bukannya kamu tadi akan bilang bagaimana cara mendapatkan dia, bukan mengikhlaskan dia memilih orang lain”
“aku tak pernah bilang seperti itu, aku hanya bilang cara mencintai dia, bukan mendapatkan dia. Karena aku pun tak tahu bagaimana caranya mendapatkan dia jika yang di atas sudah menuliskan seperti itu. biar waktu saja yang menjawabnya, jika yang di atas menuliskan dia adalah jodohmu, dia akan menjadi milikmu seutuhnya, tapi jika tidak, ya sudahlah, ikhlaskan saja, karena seberapapun kau berusaha untuk mendapatkan dia, jika dia bukan jodohmu, hanya luka yang teramat dalam yang kau dapat”
Aku hanya terdiam, seakan tamparan itu membuatku benar-benar diam melebihi diam-diamku sebelum-sebelumnya. Betapa aku malu akan diriku yang ternyata memang bodoh, yang tak tahu bagaimana mencintai dia dengan cara yang benar. Ya, mungkin dengan ikhlas mencintai dia, itu jauh lebih baik daripada aku mencintai dia dengan cara egoku sendiri.
Aku lihat dia tersenyum menatapku, sesosok bayangan yang tak ku kenali. “sebenarnya kau ini siapa?” aku beranikan bertanya, sekedar ingin mengingat dia dari sebuah namanya. Walau kenyataannya mungkin dia hanyalah hantu atau apalah.
“aku adalah kamu. Aku adalah jiwa realitismu yang kau taruh di dasar hati dengan penuh tumpukan cintamu”
Untuk kesekian kalinya aku terdiam kembali, bukan karena aku tak percaya, tapi karena benar-benar malu dengan diriku sendiri yang telah dibutakan oleh cintaku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar