Sabtu, 31 Mei 2014

TENTANG AKU DAN IBUKU


Waktu itu kau peluk aku mesra
Kau seakan menangis saat aku pun menangis keras
Kau maki, kau lempar batu yang membuatku terjatuh
Kau elus terus menerus lebamku bak pesulap
Aku masih mengingatnya ibu
Bagaimana dengan kau di sana ibu?

Aku ingat betul bagaimana kau bercerita tentang si kancil
Tanganmu kau buat seolah menjadi telinganya
Lalu berjingkrak berputar di depanku, aku pun tersenyum
Dalam senyum “aku tayang ibu” ucapku kala itu dengan celat
Kau pun tak kalah tersenyumnya, bahkan malah tertawa melebihi aku
Kau ingat itu bu?

Pernah juga waktu itu, kau tertawa geli melihat kepolosanku
Ribuan pertanyaan tentang dedek kecilku ku lontarkan begitu saja
Kok dedek kecil ada di dalam pelut ibu?
Telus kapan kelualnya bu?
Dan pertanyaan bla bla bla lainnya
Aku yakin ibu masih tersenyum mengingatnya di sana

Ibu, kesepian ini yang mengingatkan aku tentang kita
Kesepian yang melahirkan kerinduan dari benih-benih waktu dan kenangan
Kesepian ini yang juga mengajarkan aku tentang apa yang pernah kau katakan
Kata yang belum mampu ku pahami dengan umurku kala itu
Tapi kini, kesepian ini yang mengejawantahkannya untukku
Seolah-olah ia menjadi sosok sepertimu ibu

Kerinduan ini pula yang membuatku membiarkannya
Kerinduan ini pula yang membuatku terpaksa menangis lagi
Namun pelangi bahagia yang terlukis dari hujan air mata ini
Yang membuatku ingin dan ingin menangis lagi mengingatmu
Biar kau tahu satu hal yang belum sempat ku ucap dengan jelas ibu
“aku sayang ibu” kini aku bisa mengucapkannya dengan jelas bukan?

Ah sudahlah, aku pun tak bisa menunjukkan kepadamu langsung
Biar malaikat-malaikat saja yang menunjukkan kepadamu ibu
Setelah aku titipkan di tiap doaku dalam sujudku kepadaNya
Seperti dulu kau terus menyakinkan aku tentang Mereka
Bekal itulah yang tak pernah habis untuk menjalani hidupku kini
Terima kasih ibu, terima kasih telah mengajarkan aku tentang Mereka

Aku tulis sebuah tulisan ini tentang kita ibu
Sekedar pelepas rinduku yang tak pernah pudar
Seperti kasihmu kepadaku
Sekali lagi, sebelum tulisan ini berakhir
aku pastikan untuk kesejuta kalinya
aku sayang ibu, aku rindu ibu di sana...

Kamis, 29 Mei 2014

DIALOG ANTARA AKU DAN AKU



“hai pria menyedihkan?. Iya kamu, kamu pikir siapa lagi? Kamu pikir kamu orang yang bahagia sampai kau tak menoleh saat ku sapa. Kamu pikir aku tak bisa melihat meski aku tak bermata? kamu pikir aku tak bisa merasa meski aku tak berhati? Aku jauh lebih bisa melihat dari orang-orang yang bermata, aku lebih bisa merasa dari orang-orang yang berhati”
Aku tersentak mendengar siapa yang berkata kepadaku. Aku garuk kepalaku yang tak gatal, sekedar mencari sebuah jawab atas apa yang ku lihat dan ku dengar.
“sudahlah tak perlu seperti itu, seakan kau itu bodoh dan gila. Tenang kau masih begitu waras untuk mendengarkan aku”
Aku masih terdiam melihatnya, tak mengerti lebih tepatnya.
“oke oke... terserah kamu menyebut dirimu itu gila atau apalah, yang jelas kau kini bisa mendengarkan suaraku kan?. Dan kau, aku yakinkan kalau kau tak sedang melihat hantu, karena aku bukan hantu. Aku hanya muak saja melihat pria menyedihkan sepertimu, duduk sendiri dengan sebuah minuman yang hanya tinggal setengah di botol itu dan beberapa batang rokok yang sudah habis kau hisap tiada henti tadi”.
“lalu apa maksudmu? Kau datang dan tiba-tiba bicara kepadaku layaknya hantu”
“sudah aku bilang, aku muak melihat pria menyedihkan sepertimu. Seakan-akan apa yang kau lakukan ini adalah jalan terakhir untuk menghibur diri. Salah besar kau ini. Asalh kau tahu, hanya kamu yang kulihat seperti ini, bertindak bodoh. Apa memang kau bodoh? Ya, aku rasa kau hanyalah manusia bodoh, bahkan terbodoh yang pernah aku lihat”
“so what gitu? Kamu pikir kamu siapa? Berani-benari menilai aku sedemikian rupa, sedang kamu tak mengerti apa yang aku rasa. Apa kamu tahu?”
“cinta”
Aku terdiam kembali tanpa kata.
“kenapa diam? Kamu pikir aku bodoh? Aku tak seperti kau yang memang bodoh”
“shut up your fucking mouth”
“hahahaha... “
“pyarrrr” suara itu tak juga menghentikan tawa yang aku benci setelah sebuah botol di sampingku ku lempar kepadanya. Aku hujani dengan kata-kata sumpah serapah kepadanya dan berharap tawa itu terdiam.
“kamu mencintai dia?”
Justru aku yang terdiam oleh pertanyaannya.
“Semudah inikah kau terluka jika kau benar-benar mencintai dia? Lalu kamu pikir dia akan mengasihani kamu dengan berbuat seperti ini?”
“aku hanya...”
“menghibur diri?” ucapnya sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. “salah besar. Kau hanya berpura-pura mencintai dia”
“shut up!!! Kamu tahu apa tentang cintaku kepadanya? Kamu yang salah besar. Asal kamu tahu, aku mencintai dia lebih dari aku mencintai diriku sendiri, dia adalah segalanya bagiku” gantian aku yang angkat bicara sebelum dia menyelesaikan ucapannya.
“hahahaha...”
“sudah aku bilang aku benci ditertawakan seperti itu”
“aku tahu, kau memang sangat bersungguh-sungguh mencintai dia. Aku hanya ingin kau sadar, bukan seperti ini caranya jika kau benar-benar mencintai dia”
“lalu?”
“percuma aku beri tahu, kau takan sanggup menjalani”
“apapun akan aku lakukan demi mendapatkan dia”
“yakin?”
“sudahlah, cepat katakan sebelum aku benar-benar muak denganmu”
“kau lihat lilin itu?” seolah-olah dia menunjuk ke arah lilin yang ada di meja, lilin yang aku nyalakan sedari tadi sejak padamnya listrik yang memaksaku akhirnya berbuat seperti ini.
“ya aku lihat, lalu apa hubungannya?”
“apa kamu mencintai lilin itu?”
“bastard, kamu sengaja mempermainkan aku? oke aku memang bodoh, tapi ternyata kau jauh lebih dari itu, kamu tak ada otaknya sama sekali, aku masih waras untuk tidak mencintai sebatang lilin”.
“sudah jawab saja pertanyaanku”
“oke dengar baik-baik, akuuu tidakkkk mencintaiii lilinnn ituuu. puassss!!!”
“tapi dia mencintai kamu”
“sebenarnya apa mau mu haaa?”
“kau memang terlalu bodoh untuk bisa melihat apa yang aku katakan. Kau tau apa yang di lakukan lilin itu untukmu? Kau bisa merasakannya? Tidak kan? Karena kau memang bodoh, di hatimu Cuma cinta cinta dan cinta, tanpa kau tahu harus berbuat apa untuk seseorang yang kau cintai”
“maksudmu? Aku masih tak mengerti apa yang kau maksud. Apa aku harus menjadi lilin untuknya? Sedang kan kau pun sudah tahu dia tak mencintaiku. Apa itu maksudmu?”
“ikhlas”
“ikhlas? Apa lagi ini? Aku benar-benar tak mengerti apa yang kau maksud. Sudahlah katakan saja bagaimana cara aku bisa mendapatkannya. Sudah itu saja cukup. Lantas akan aku lakukan apa yang kamu katakan demi mendapatkan dia”
“dengarkan baik-baik, lihat kembali lilin itu, dia mencintaimu, dia rela mengorbankan seluruh tubuhnya untuk menerangimu tanpa dia berharap kau pun mencintai dia. Jika kamu bisa melihat jauh kedalam, dia ikhlas demi kamu yang tak pernah mencintai dia. Dia ikhlas menerangi kamu walau dia sadar dia tak akan pernah mendapatkan cintamu, bahkan sedikit perhatianmu pun tidak ketika akhirnya listrik menyala dan kau meninggalkannya. Aku ingin kau seperti dia, ikhlas mencintai seseorang yang kamu cintai, meski dia tak pernah mencintaimu. Ikhlaskan saja jika akhirnya dia memilih orang lain, seperti kamu akhirnya memilih lampu daripada lilin tadi setelah listrik menyala. Dengan mengikhlaskan dia, kau akan lebih tenang. Mengerti?”
“Bukannya kamu tadi akan bilang bagaimana cara mendapatkan dia, bukan mengikhlaskan dia memilih orang lain”
“aku tak pernah bilang seperti itu, aku hanya bilang cara mencintai dia, bukan mendapatkan dia. Karena aku pun tak tahu bagaimana caranya mendapatkan dia jika yang di atas sudah menuliskan seperti itu. biar waktu saja yang menjawabnya, jika yang di atas menuliskan dia adalah jodohmu, dia akan menjadi milikmu seutuhnya, tapi jika tidak, ya sudahlah, ikhlaskan saja, karena seberapapun kau berusaha untuk mendapatkan dia, jika dia bukan jodohmu, hanya luka yang teramat dalam yang kau dapat”
Aku hanya terdiam, seakan tamparan itu membuatku benar-benar diam melebihi diam-diamku sebelum-sebelumnya. Betapa aku malu akan diriku yang ternyata memang bodoh, yang tak tahu bagaimana mencintai dia dengan cara yang benar. Ya, mungkin dengan ikhlas mencintai dia, itu jauh lebih baik daripada aku mencintai dia dengan cara egoku sendiri.
Aku lihat dia tersenyum menatapku, sesosok bayangan yang tak ku kenali. “sebenarnya kau ini siapa?” aku beranikan bertanya, sekedar ingin mengingat dia dari sebuah namanya. Walau kenyataannya mungkin dia hanyalah hantu atau apalah.
“aku adalah kamu. Aku adalah jiwa realitismu yang kau taruh di dasar hati dengan penuh tumpukan cintamu”
Untuk kesekian kalinya aku terdiam kembali, bukan karena aku tak percaya, tapi karena benar-benar malu dengan diriku sendiri yang telah dibutakan oleh cintaku sendiri.

Senin, 26 Mei 2014

IBU, AKU MERINDUMU

Teruntai kata ini tak mampu membasuh rinduku padamu
Saat aku merindu jauh keberadaanmu
Di sana, aku tahu kau pun terharu melihatku menangis rindu
Menatapi satu lembar foto usang yang tersisa darimu

Kini berlinang air mataku menatap semuanya
Teringat masa kecil kau belai mesra tubuhku
Kau peluk erat hangati dingin di tubuh mungilku
Mengusap tangis manjaku dengan air susumu

Ibu, aku ingin di dekatmu lagi
Mendengarkan dongen demi dongen
Yang kau ceritakan tiap malam tidurku
Mengusir lelahku sehabis bermain seharian

Ibu, aku ingin dimanjamu lagi
Menyandarkan segala resahku seharian
Mengusap tangisku yang tederai lagi tanpa ku minta
Merasakan lagi belai kasih yang terlahir dalam setiap kata-katamu

Ibu, aku ingin tidur di pelukmu lagi
Seperti dulu ibu

Minggu, 25 Mei 2014

KITA SEPASANG BINTANG

Tangan-tangan mungil itu seperti memanggil
Mengajakku bermain, menggenggam satu sama lain
Kau warnai puas tubuhku seperti dalam buku
Dan aku, tersenyum puas melihatmu terbebas lepas
Dan kita, adalah sepasang bintang yang tiada usang
Terpasang kekal dalam setiap jengkal demi jengkal

Sabtu, 24 Mei 2014

RINDU TAK BERTUAN

Pada dia yang tak mampu ku genggam tanganya
Aku beranikan diri menaruh rindu segenggam
Meski sakit yang terlahir pada ujungnya
Terkelupas bagai luka yang menganga
Aku tak peduli, aku tetap merindunya

Kamis, 22 Mei 2014

CINTA YANG SEMESTINYA (SHJ bag.38)




            Meski sudah mendapat penjelasan dari temanya soal cinta, hampir sebulan ternyata Arya masih merasa galau, ternyata soal cinta tak semudah membalikkan telapak tangan, bingung apa yang harus ia lakukan. Seandainya dirinya tak bertemu Senja, hatinya mungkin tak seperti itu lagi dan kepalanya di penuhi oleh bayang-banyang Jingga lagi. Begitupun dengan Jingga, hatinya terus berteriak, meronta, dan menuntut untuk memilih apa yang ia katakan dan rasakan. Namun mereka berdua sama-sama tak mampu untuk saling mengungkapkannya. Sedang perilaku Arya di depan Senja sudah mulai sedikit beda, tak sehangat dulu walau mereka masih dalam status sahabat dan perilaku Jingga terhadap Dimas juga sudah mulai beda kembali seperti dulu saat Jingga marah dengan Dimas.
Dalam satu kesempatan, mereka tanpa sengaja di pertemukan berdua. Sebuah bangku yang menghadap ke taman dan beberapa pilar besar di belakangnya, mereka duduk berdua tanpa ada siapapun disana, suasana yang justru membuat meraka merasa canggung, seakan mereka baru saja kenal satu sama lain. Sejak sapaan tadi, tak ada lagi obrolan yang terdengar dari mereka, padahal sudah berlangsung hampir lima menit.
“kenapa kamu sendirian disini Ga?”
“kamu gimana to Ar, kan tadi sudah tanya dan aku sudah jawab”
“o iya lupa. Maaf” seakan-akan pertanyaan itu ia sengaja untuk memulai pembicaraan.
“kamu aneh”
Mata mereka saling menatap hingga tajam dan menghentikan gelak tawa yang tadi sempat tercipta dan keheningan terlahir kembali.
“o iya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku”
“apa itu Ar”
“entah  harus aku mulai dari mana, yang pasti ada perasaan yang sulit aku hilangkan di hati ini karena kamu. Apalagi semenjak kehadiran Senja, perasaan itu semakin bertambah kuat, tapi bukan ke Senja, tetap ke kamu. Entah kenapa saat aku berdua dengan dia, justru yang mucul hanya bayang-banyangmu”
“kamu sudah jadian dengan dia?”
“belum Ga. Justru ini yang membuat aku nggak bisa dengan dia. Jika aku paksakan, yang ada hanya kebohongan. Dan aku putuskan untuk tetap berteman saja dengan dia. Dan satu lagi, aku mengatakan semua ini bukan berarti aku menembakmu, aku hanya mengutarakan apa yang aku rasakan yang membuatku jadi seperti ini dan nggak bermaksud untuk merebutmu dari Dimas, aku sudah putuskan sejak lama untuk mengikhlaskan kamu bersamanya. Aku harap setelah aku mengatakan semua ini, aku bisa lega, bisa lagi tersenyum melihat kalian bahagia”
“aku juga Ar, sebenarnya aku juga sayang sama kamu”
“apa karena kamu tau puisi-puisi itu milikku?”
“bukan Ar, jauh sebelum itu, bahkan sebelum aku jadian dengan Dimas, tapi akhirnya Dimas yang lebih dulu menembakku dengan puisi-puisi itu yang aku syaratkan. Dan aku ndak ingin mengingkari janjiku sendiri, siapa saja yang bisa meluluhkan hatiku dengan puisi, aku mau menerimanya. Tapi jauh kesini, ternyata aku salah, ternyata cinta bukan dari sebuah puisi, cinta itu dari hati itu sendiri. Dan hati ini lebih memilih kamu Ar. Tapi semua itu sudah terlambat, aku ndak mungkin meninggalkan Dimas, aku ndak mau menghancurkan persahabatan kalian jika aku meninggalkan dia hanya demi untuk bisa bersama kamu dan aku juga ndak mau nyakitin hati dia yang sudah mencintai aku”
“cinta memang aneh, tapi alangkah bijaknya jika kita mau berfikir apa yang terjadi setelah cinta itu tercipta. Cinta tercipta bukan untuk menyakiti hati orang lain, cinta tercipta bukan untuk menghancurkan hubungan orang lain. Dan kita tau apa yang harus kita lakukan”
“dan cinta itu anugrah yang di atas, dan Dialah yang lebih tau”
“meski kita tak bisa saling memiliki, setidaknya kita masih bisa berteman. Aku selalu berdoa agar Dimas bisa membahagiakan kamu selamanya. Aku kenal dia sudah lama, dan dia sudah berubah hanya karena kamu. Dan ijinkan aku melihat kamu kalian bahagia bersama”
Kata-kata yang membuat Jingga hanya bisa menitikan air mata, ia tak sanggup berkata-kata lagi.
Sebuah curahan hati mereka masing-masing yang berakhir dengan senyuman di wajah mereka. Senyuman yang menjadi simbol atas kelegaan hati yang bergejolak, hati yang galau. Meski mereka tak dapat bersama, paling tidak hati mereka menjadi benar-benar lega, tak ada wajah murung atau bingung, tak ada lagi beban berat yang di timbulkan karena perasaan yang terus menghantui hati meraka.
Tiba-tiba dari belakang, Senja yang ternyata sudah sedari tadi berada di balik pilar itu dan sempat mendengar semua pembicaraan tadi, berjalan mendekat ke arah Jingga dan Arya dengan berkata setelah jaraknya tak jauh dari mereka. “dan aku juga akan lebih bijak jika aku tak ikut merebut Arya dari cinta kalian. Mungkin aku bisa memiliki tubuh Arya, tapi sekarang aku tau, aku tak mungkin bisa memiliki cintanya. Dan aku juga lebih memilih persaudaraan dan persahabatan. Aku nggak mau kehilangan saudaraku lagi, aku sayang kamu adekku” lalu ia memeluk erat Jingga yang sudah menghadap ke belakang sejak mendengar suara Senja. “dan kita tetap berteman kan Ar?”
“itu pasti”
“dan aku akan menjadi yang paling bijak jika aku tak memaksakan apa yang tak ada dalam hati dan mau mengembalikan kepada yang semestinya apa yang tanpa sengaja sudah aku ambil. Kamu memang semestinya dengan Arya, dan kamu Ar, kamu yang lebih bisa membahagiakan Jingga” ucapnya juga setelah keluar dari balik pilar yang satunya lagi dan yang jelas ia juga sudah sempat mendengarkan apa yang Jingga dan Arya bicarakan.
Bukan suatu kebetulan semata jika mereka berempat di pertemukan disana dan di sadarkan oleh suatu keputusan yang bijak, tapi semua itu karena sudah ada yang mengaturnya. Suatu pertemuan yang tak pernah mereka sangka akan menjadi seperti itu akhirnya, terutama Jingga dan Arya. Keputusan untuk saling ikhlas melepas satu sama lain demi sebuah persahabatan dan tak ingin melukai hati orang lain dan mencoba lebih bijak dalam mengambil keputusan justru mampu mengembalikan apa yang semestinya ia dapatkan dan ia miliki, cinta yang semestinya.
ΩΩΩΩΩ


Sabtu, 17 Mei 2014

SIMBOL DALAM SENYUM SIMPUL

Nikmati senyum yang terlahirkan sesejuk embuN
Ubah menjadi waktu yang selalu ditunggU
Rasanya takmau  lagi menjauhkan rasa sadaR
Untaikan saja, seperti merajut mimpi bersama waktU
Lalu simpan dalam hati dengan rapi sebagai simboL

Kata-kata tak perlu lagi tertulis dengan sajaK
Untuk uraikan satu keindahan dalam senyum itU
Rangkum saja bersama hari baru yang terlahiR
Nikmati saja tiap jengkalnya keindahan yang perlahaN
Indah itu tetap ada bersama senyum simpul lagI
Alasi waktu, alasi hari, alasi asa yang tertera di jiwA