Hari
yang cerah hingga nampak jelas terlihat
dari balik kaca jendela kereta. Sawah, pemandangan, perkotaan, pedesaan dan
pemukiman warga tampak indah berbaris rapi bagai parade, seolah-olah berlari
menghampiri lalu hilang lagi dalam sekejap mata dari pandangannya, dan begitu
seterusnya.
Suara
deru nafas mesin terus melaju memacu laju kereta tanpa lelah. Arya menggeser
posisi duduknya ke kanan dan menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Ia layangkan
pandangnya jauh keluar menikmati perjalanannya,
menikmati segala apa yang tertangkap oleh kedua matanya yang terus terjaga
tanpa lelah.
Jendela
kereta api itu
bagai layar televisi yang
mempertontonkan keindahan alam yang begitu indah. Serasa ada penyegaran dalam otaknya
setelah sekian lama terkontaminasi oleh hiruk pikuk kota tempat tinggalnya dan
masalah-masalah yang memaksanya untuk meninggalkan semua itu. Di tempat duduk bernomor 105
ia bisa merasakan nyaman, bagai tertidur di atas kebun bunga penuh warna-warni,
penuh kupu-kupu berterbangan di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi yang
meniupnya mesra. Begitu tenang ia rasakan.
Indah…
hamparan hijaunya sawah membentang
bak permadani menari tertiup angin
awan putih seakan berkejar-kejaran di atasnya
memeriahkan cerahnya biru langit yang luas
dan semua terlihat jelas
terlukis dalam bingkai hati yang merindu
Tak
terasa hampir seharian Arya dalam kereta itu. Menempuh perjalanan panjang,
melewati tempat-tempat yang indah,
pemandangan yang dulu pernah ia nikmati juga saat ia masih berumur 10 tahun.
Dan sekitar pukul 15:30
kereta pun terhenti di stasiun Tugu,
memaksanya untuk mengakhiri
perjalanannya,
perjalanan yang sungguh menyenangkan baginya.
Begitu
ia menginjakkan kaki keluar kereta, terlihat para pedagang berjajar rapi
menggelar dagangannya, seakan menyambut kedatangannya. Senyum mereka, keramahan
mereka dan keakraban mereka begitu hangat ia rasakan. “monggo mas jajanannya”. Ucap para pedangan
itu seakan saling berlomba mendapatkan pembeli, namun Arya tetap berlalu dengan meninggalkan senyum ke tiap para pedagang
itu. Tetapi wanita paruh baya yang berada paling ujung di antara pedagan
lainnya seakan mampu membuat Arya terhenti dan membeli beberapa cemilan pada
wanita paruh baya itu.
Setelah
membawa cemilan yang baru saja di belinya, ia langsung menuju ruang tunggu karena ia yakin
Heru sudah berada disana untuk
menjemputnya. Ia mendekati Heru begitu ia melihat sepupunya itu sedang duduk di
kursi yang sepertinya memang sudah dari tadi, terlihat jelas dari lekuk
wajahnya yang kusut seperti pakaian belum di setrika.
“hai
Ru…” sapanya setelah jaraknya beberapa langkah dari tempat Heru duduk. ”udah
dari tadi?” lanjutnya lagi.
”udah
dari kemaren malahan” jawabnya kesal
dengan logat orang Jogja
yang khas. Memang sepupunya
seperti itu orangnya, kalau bercanda selalu hiperbola. Selalu
melebih-lebihkan sesuatu kalau sedang kesal. ”yee, malah ikut duduk” lanjut Heru setelah melihat Arya ikut duduk di sebelahnya.
”duduk
bentar Ru. capek ni.” keluh Arya.
”nanti
saja istirahatnya di rumah. sudah bosen aku kelamaan nunggu kamu disini” ucapnya sambil berdiri hendak pergi.
”iya iya deh” Arya berdiri
dan berjalan mengikuti Heru yang sudah berjalan keluar. ”tunggu Ru” tangan Arya sambil
membenahi tas ransel di punggungnya.
Matahari
masih terik walau hari sudah menjelang sore. Seakan masih kuat membakar kulit
dan membuat lelah semakin menjadi. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah budhe
Lastri.
”naek
motor Ru?” Tanya Arya yang dalam pikirannya ia akan di jemput memakai mobil dan
bisa menyandarkan kepalanya dan merasakan sejuknya AC mobil karena perjalanan
tadi telah merenggut tenaga yang hanya menyisakan lelah di dirinya.
”ndak. Kita naek pesawat.” tangan Heru menyodorkan helm kepada Arya. “ya iya lah. Sudah tau punyanya cuma motor, pake nanya segala. Sudah ayo cepet naek”
”iya
iya” Arya meraih helm yang di sodorkan Heru tadi.
жжжжж
”Assalamualaikum
budhe” setelah Arya melihat budhenya sedang asik di depan televisi yang
membuatnya tak tau akan kedatangan Arya yang
sudah berada di ruang tamu.
”waalaikumsalam”
jawabnya terkejut dan melihat ke arah suara itu berasal ”eh kamu to Ar. sudah
dari tadi datangnya? Maaf budhe ndak tau, keasikan nonton sinetron nih, sampai
ndak tau kamu masuk Ar”
”kalo
udah lihat sinetron aja, jadi lupa semuanya, ampe nggak tau ada orang
masuk, kalo maling yang masuk gimana budhe?” ucap Arya sambil mencium tangan
budhenya lalu ikut duduk disebelahnya yang tak beranjak dari sofa panjang.
”ah
kamu Ar, ada-ada saja”
”Cuma
sekedar ngingetin aja kok budhe, nggak
ada salahnya kan hati-hati dan waspada. nggak
ada yang nggak
mungkin lo budhe”
”iya
deh. Kamu tu persis ibumu,
pinter kalau ngomong”
”masak
sih budhe? Tapi kata temen-temenku, aku tu pendiem lo budhe”
”iya
pendiem. Tapi sekali ngomong nrocos terus kaya burung beo” budhe tersenyum
setelah mengatakan Arya seperti burung beo.
Dan
Arya hanya ikut tersenyum saja mendengar ucapan budhenya tadi.
”ya
sudah kamu istirahat saja dulu di kamar, sudah budhe siapin kamarnya”
”yang
mana?”
”yang
itu Ar” tangan budhe menunjuk arah samping bagian depan.
”oke.
Aku istirahat dulu ya budhe”
Kamar
yang lumayan bagus dengan jendela menghadap ke taman lalu terus ke jalan,
sehingga dapat terlihat dari jauh jika
ada yang lewat depan rumah.
Ia
berdiri sejenak tepat di tengah jendela itu melihat keluar memandangi taman. Ia
buka sedikit jendelanya dan hembusan angin tanpa permisi cepat masuk hingga
mengenai wajahnya. Sejuknya terasa sampai ke seluruh tubuh, perlahan membasuh
dahaga tubuhnya yang kekeringan. Menjadikan matanya kini mulai terasa kantuk.
Dengan
belaian angin yang berhembus mesra,
ia rebahkan tubuh lelahnya di atas tumpukan kasur. Dan seketika matanya
terpejam.
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar