Sinar
mentari yang jatuh hingga menembus sampai ke dalam kamar, suara gaduh yang
datang dari luar pun ikut membangunkannya di pagi hari, tapi rasanya ia masih
malas baranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Hanya membuka mata, melihat jam di mejanya
yang samar-samar terlihat mata yang masih sayu. Tiba-tiba ia tersentak dan
teringat ia harus berangkat dengan kereta Argo Dwipangga pukul
08:00, matanya terbuka penuh ketika melihat
angka di jam itu sudah menunjukkan
06:45. Sontak ia segera bangun
dan bergegas pergi ke kamar mandi. ”ah
sial kesiangan” gerutunya dalam hati saat berlari terburu-buru ke kamar
mandi. Ia lihat dari kejauhan pintu kamar mandi tertutup rapat tanda ada yang
sedang memakainya dan ia
gedor-gedor pintu itu setelah sampai di depan kamar mandi.
”bentar!!!!..”
teriak keras suara adiknya dari dalam.
Ia tak peduli, ia gedor sekali lagi pintu itu berulang-ulang, tapi justru tak
ada respon sedikitpun dari dalam begitu Dian
tahu yang ada di luar adalah kakaknya.
Sepuluh menit sudah ia
duduk di depan pintu dengan gelisah, entah sengaja atau tidak, adiknya tak
kunjung keluar dari dalam. Ia
mulai kesal, untuk ketiga kalinya ia gedor pintu itu agak keras dari sebelumnya
yang membuat gadis kecil yang imut itu
hanya senyum-senyum begitu keluar dengan sedikit mengejek, yang terlihat jelas dari nada bicaranya.
Ia memang tak pernah akur dengan adiknya, bagai tikus dan kucing. Banyak alasan yang membuat mereka
berkelahi, dan ada-ada saja hal yang mereka rebutkan, mulai dari chanel televisi,
makanan, uang jajan, dan hal-hal kecil lainnya.
”sengaja
ya nggak keluar-keluar?”
”kenapa?
Buru-buru ya? Duh kasian..” ejek adiknya dan terus berlari ketika kakaknya
mengangkat tangan kanannya seperti mau memukul untuk menakut-nakutinya. ”mamah…
kak Arya nakal…” dan sayup-sayup suara adiknya hilang dibalik tembok.
Tidak banyak waktu yang ia habiskan untuk bermanja-manja
di dalam kamar mandi, tak seperti para wanita yang sedang bertemu pacar
keduanya yaitu kamar mandi, yang bisa berjam-jam berada di dalam, entah apa
yang mereka lakukan di sana. Tapi ia hanya butuh waktu sepuluh menit saja di
dalam.
ӝӝӝӝӝ
Semua keluarganya sudah lebih dulu berada di meja makan dan
menikmati sarapan pagi, termasuk adik satu-satunya yang baru saja selesai mandi
sebelum dirinya. Belum juga ia sampai di meja makan, ibunya langsung
menyambut dengan pertanyaan yang seakan tak percaya dengan
niatnya untuk pindah kuliah di tempat budhenya.
”kamu sudah yakin mau pindah kesana
Ar?” nadanya datar namun nampak jelas
keraguan di dalamnya.
”ya
udah dong bu”. Ia menggeser kursi dan duduk di sebelah ibunya. ”ni udah siap
semua, tinggal berangkat”. Lalu pandangannya
fokus pada apa yang ada di meja dan
tangannya pun sibuk mangambil makanan yang tersisa di depannya.
”tapi
inget jangan bikin masalah di rumah budhemu” nasehat ibunya setelah meneguk
habis air minum yang tadi tinggal
setengah gelas, tanda sudah selesai dengan sarapannya lebih dulu dari yang
lainnya.
”tenang
aja bu. aku kan anak baek-baek”
”baek
dari hongkong?” ucap ketus tiba-tiba adiknya yang duduk tepat berhadapan
dengannya.
”udah
diem aja anak kecil. Anak masih ingusan aja mau ikut campur. Di lap dulu tu
ingus” perintahnya walau ia tau Dian tidak sedang flu, dan sambil melempar lap yang ada di meja ke arah adiknya
yang mengenai tepat di wajahnya. Dian hanya membalas dengan melempar kembali ke
arah kakaknya.
“kalian
tu ya. Berantem terus kerjaannya” ibunya lalu
melihat ke arah Arya “kamu juga Ar, udah gede nggak mau ngalah sama
adiknya”
Ia hanya cuek mendengar omongan dari ibunya dan tetap menyantap
sarapan paginya sebelum ia ketinggalan kereta.
Tiba-tiba terdengar suara ayahnya bertanya tentang kesiapan
selama di tempat budhenya nanti.
”udah semua kok yah’’ jawab ia singkat.
“kamu juga sudah bilang budhemu kalau mau kuliah dan tinggal disana?” ibunya tak mau kalah dengan memberi
pertanyaan lagi kepada Arya.
”udah
juga”. Ia menelan sisa makanan yang masih ada di dalam mulutnya. ”pokoknya udah
beres semuanya”. dalam keadaan sambil makan, dengan santai ia menjelaskan semua
persiapannya untuk meyakinkan kedua orang tuanya yang terlihat kurang yakin
dengan niat anaknya tadi. Dan sepertinya mereka mulai lega setelah mendengar
penjelasannya tadi, terlihat dari raut wajah yang perlahan mulai cerah tak
seperti mendung sebelumnya.
”kalau
begitu aku pamit dulu ya” setelah ia menghabiskan sarapannya itu.
Ia
beranjak dari kursi dan satu per satu ia cium tangan kedua orang tuanya secara
bergantian, kecuali adiknya, Dian. Karena ia tau Dian pasti akan menolak bersalaman dengannya. Ia melihat
air mata ibunya yang sudah terkumpul penuh di kedua matanya, perlahan akhirnya
tumpah ke pipi seperti air bah yang tak bisa di bendung lagi. Pikirnya, dari
pada ia ikut larut dalam kesedihan ini, segera ia maelangkahkan kaki menuju
pintu.
Tapi
tiba-tiba dari arah depan, Dian memeluknya, entah ada setan mana yang membuat Dian bisa melakukan itu. Ia
bingung melihatnya, dan mulai terharu dengan pelukan Dian yang jarang dan
bahkan tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelukannya begitu erat seperti takut kehilagan dan tak
rela melihat kakaknya pergi, mungkin dalam benaknya akan ada sesuatu yang akan hilang dari dirinya,
yaitu seorang kakak sekaligus musuh dalam bermainnya.
Tak
pernah ia sangka Dian mau memeluknya seperti itu. Kini ia benar-benar larut
dalam keadaan itu. Dan masih dalam keadaan memeluk Arya, keluar suara lirih
dari mulut Dian yang terpenggal-penggal bercampur tangis ”kalo kakak pergi.
trus musuh Dian bermain siapa?”
Kata-kata
itu seperti meluluhkan hati Arya yang sekeras batu. Kata-katanya begitu polos,
begitu lugu dan begitu menyentuh. Ada sesuatu yang beda saat itu. Arya merasa
benar-benar ada kasih sayang antara ia dengan adiknya. Arya menarik nafas panjang
dan mulai berbicara pada adiknya. ”adik” suara Arya lirih dan ia lepas perlahan
pelukannya mencoba mensejajarkan tingginya dengan Dian agar ia bisa menatap
wajah adiknya yang sudah basah dengan air mata.
”kakak
pergi dulu ya. kakak mau kuliah disana dan kakak pasti pulang”
”kapan?”
”ya
kalo libur kan kakak bisa pulang”
”bener?”
”iya
kakak janji”
”awas
kalo boong”
”iyaaa..”
Sebelum
ia mendengar kata-kata keluar lagi dari mulut adiknya, ia langsung pamitan.
”kakak berangkat dulu ya.. jangan nakal ya di rumah, jangan bikin ayah ibu
marah”
Arya
melihat Dian hanya tersenyum manis padanya.
Ia
berbalik arah, menghela nafas panjang. Dengan langkah kaki yang pasti dan sudah tak terasa berat, ia
berjalan menjauh dari mereka dan hilang di balik pintu dan meninggalkan pagi yang mengharukan ini.
ΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar