Kamis, 29 Agustus 2013

AKU BERHAK UNTUK TERLAHIR KE DUNIA...



Aku mendengar percakapan itu dari balik rahim yang membungkusku. Entah siapa mereka, yang jelas percakapan mereka membuat hatiku berdetak semakin kencang.
“kamu harus menggugurkan bayimu itu. ibu tidak sudi melihat bayi haram itu lahir ke dunia ini. memalukan saja” aku dengar suara itu penuh kemarahan. Entah suara siapa itu, yang jelas dia tak pernah mengharapkan aku terlahir ke dunia.
“tapi bu?”
“sudahlah tidak usah pake tapi-tapian” suara itu semakin keras memotong suara ibu yang bergetar.
Aku semakin yakin itu adalah suara nenekku yang tak pernah mengaharapkan aku lahir ke dunia ini. oh ibu, jangan kau dengar apa yang di katakan nenek kepadamu ibu, aku ingin terlahir di dunia, aku ingin melihat terangnya dunia setelah sekian lama aku terbungkus rahimmu yang gelap gulita, aku mohon jangan ibu.
“sekarang kamu minum ini” entah apa yang di sodorkan nenek kepada ibuku.
“apa ini bu? Ayu tidak mau bu? Ayu pengen merawat bayi ini bu”
“sudah nurut apa kata ibu, jangan banyak bicara kamu. Kamu tahu kan kita dari keluarga terpandang. Bagaimana kalau semua tahu bahwa kamu hamil di luar nikah, mau di taruh mana muka ayah dan ibu mu ini?”
“Ayu tahu bu, Ayu salah, Ayu minta maaf, tapi bukan gini caranya. Ayu juga tahu perbuatan Ayu ini dosa, tapi lebih dosa jika Ayu harus membunuh bayi yang tak berdosa ini bu”
“kalau tahu itu dosa, kenapa kamu lakuin itu?”
Kali ini aku hanya mendengar ibu menangis, seakan tak sanggup lagi menjawab. Aku mulai merasakan tangan halusnya mengusap perutnya, aku bisa menrasakan itu, begitu lembut dan hangat. Tapi semakin lama yang kurasakan bukan seperti tadi, sekarang mulai terasa guncangan-guncangan yang kasar. Ada denganmu ibu? Apakah ibu pendirian ibu mulai goyah? Jangan lakukan itu ibu, aku mohon demi aku anakmu ibu, apapun yang ibu lakukan hingga aku ada, aku masih berhak untuk terlahir kedunia ibu, adakah ibu mendengar suaraku?
Aku tak lagi mendengar suara yang saling beradu argumen. Entah apa yang terjadi di luar sana. Hatiku mulai bergetar kembali, apa lagi dengan tiba-tiba ada rasa hangat yang berubah semakin panas yang mengalir bercampur air ketuban yang melindungiku. Apakah ini yang nenek berikan tadi kepada ibu? Sebenarnya apa yang nenek berikan tadi?. Aku mulai tak tahan dengan panas ini, seakan danging lembutku mulai hancur bersama mendidihnya darah yang mengalir di tubuhku. Tolong ibu!!!! Tolong!!!
Guncangan itu semakin keras, sepertinya ibu juga merasakan sakit akibat dari cairan yang ia minum. Dan lagi-lagi aku mendengar suara nenek yang menyuruh ibuku agar terus meminum cairan itu sampai habis, hingga aku tak lagi bisa mendengar.
Beberapa jam kemudian...
“Ayu dimana bu? Kenapa kepala Ayu rasanya berat sekali?”
“sudah tidak apa-apa, kamu istirahat saja, nanti juga baikan kok”
“ini darah apa bu? Tidak!!! Tidak!!! Kenapa ibu membunuh anakku bu?
“itu demi kebaikanmu dan keluarga ini”
“tapi dia tidak berdosa bu”
“tapi dia anak haram!!!”
“tidak bu, tidak. Dia bukan anak haram bu, perbuatan kamilah yang haram. Seharusnya ibu menghukum aku, asal jangan membunuh anakku yang tak berdosa. Dia berhak untuk hidup di dunia bu, apapun alasannya. Anak adalah titipan yang di atas bu, dan ibu tidak punya hak untuk membunuhnya”
“ooo coba nyeramahinn ibu?”
“bu.. bu.. jangan pergi bu, Ayu belum selesai bicara bu. Maafkan aku anakku, ibu tidak bisa melindungi kamu, ibu tidak bisa menjaga kamu sampai kamu terlahir kedunia, maafkan ibu anakku”
Kali ini aku bisa melihat langsung dua wanita yang sedari tadi bercakap. Aku bisa melihat wajah murka nenek yang begitu menakutkan, aku bisa melihat wajah cantik ibuku, wajah yang terus di banjiri oleh air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Dan kini aku bisa melihat dunia yang indah, kini aku bisa melihat cahaya yang selama ini aku impikan, tapi bukan untuk selamanya.
Andai ibu bisa melihat aku, betapa aku aku cantik seperti mu ibu, lihat mata indah ini bu, bulat seperti mata ibu, bulu matanya pun lentik, dan bibir ini, mungil seperti bibir ibu. Andai ibu bisa melihat semuanya, betapa miripnya aku dengan ibu dan cantik seperti ibu.
Terima kasih ibu, telah membuatku ada walau hanya sementara, meski aku tak sempat menikmati manisnya air susumu, meski aku tak sempat merasakan hangatnya pelukanmu. Tapi aku beruntung telah tercipta dari mu ibu, darah dagingmu, ibu yang sangat mencintaiku. Terima kasih untuk segalanya ibu.

(andai kalian semua bisa mendengar suara hati dari benih cinta yang kalian sia-siakan, betapa malunya kalian, betapa meruginya kalian. Betapa tak marahnya kami, meski tercipta dari perbuatan haram. Kami masih ingin tetap terlahir kedunia, menikmati manisnya air susu, hangatnya pelukan, indahnya dunia dan terangnya cahaya. Dan kami, masih berhak untuk hidup. Salam hangat dari kami yang tak sempat terlahir ke dunia)

aku harus pergi...

aku seperti bintang
bintang yang slalu takut oleh sengatan sang mentari
yang menjadikanku tiada
maka bukan tempatku disini
aku harus pergi
bukan menghilang
hanya bersembunyi pada malam yang membuatku slalu ada....
2014...
 

Senin, 26 Agustus 2013

PERJALANAN (bag3 SHJ)




Hari yang cerah hingga nampak jelas  terlihat dari balik kaca jendela kereta. Sawah, pemandangan, perkotaan, pedesaan dan pemukiman warga tampak indah berbaris rapi bagai parade, seolah-olah berlari menghampiri lalu hilang lagi dalam sekejap mata dari pandangannya, dan begitu seterusnya.
Suara deru nafas mesin terus melaju memacu laju kereta tanpa lelah. Arya menggeser posisi duduknya ke kanan dan menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Ia layangkan pandangnya jauh keluar menikmati perjalanannya, menikmati segala apa yang tertangkap oleh kedua matanya yang terus terjaga tanpa lelah.
Jendela kereta api itu bagai layar televisi yang mempertontonkan keindahan alam yang begitu indah. Serasa ada penyegaran dalam otaknya setelah sekian lama terkontaminasi oleh hiruk pikuk kota tempat tinggalnya dan masalah-masalah yang memaksanya untuk meninggalkan semua itu. Di tempat duduk bernomor 105 ia bisa merasakan nyaman, bagai tertidur di atas kebun bunga penuh warna-warni, penuh kupu-kupu berterbangan di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi yang meniupnya mesra. Begitu tenang ia rasakan.
Indah…
hamparan hijaunya sawah membentang
bak permadani menari tertiup angin
awan putih seakan berkejar-kejaran di atasnya
memeriahkan cerahnya biru langit yang luas
dan semua terlihat jelas
terlukis dalam bingkai hati yang merindu

Tak terasa hampir seharian Arya dalam kereta itu. Menempuh perjalanan panjang, melewati tempat-tempat yang indah, pemandangan yang dulu pernah ia nikmati juga saat ia masih berumur 10 tahun. Dan sekitar pukul 15:30 kereta pun terhenti di stasiun Tugu, memaksanya untuk mengakhiri perjalanannya, perjalanan yang sungguh menyenangkan baginya.
Begitu ia menginjakkan kaki keluar kereta, terlihat para pedagang berjajar rapi menggelar dagangannya, seakan menyambut kedatangannya. Senyum mereka, keramahan mereka dan keakraban mereka begitu hangat ia rasakan. “monggo mas jajanannya”. Ucap para pedangan itu seakan saling berlomba mendapatkan pembeli, namun Arya tetap berlalu dengan meninggalkan senyum ke tiap para pedagang itu. Tetapi wanita paruh baya yang berada paling ujung di antara pedagan lainnya seakan mampu membuat Arya terhenti dan membeli beberapa cemilan pada wanita paruh baya itu.
Setelah membawa cemilan yang baru saja di belinya, ia  langsung menuju ruang tunggu karena ia yakin Heru sudah berada disana untuk menjemputnya. Ia mendekati Heru begitu ia melihat sepupunya itu sedang duduk di kursi yang sepertinya memang sudah dari tadi, terlihat jelas dari lekuk wajahnya yang kusut seperti pakaian belum di setrika.
“hai Ru…” sapanya setelah jaraknya beberapa langkah dari tempat Heru duduk. ”udah dari tadi?” lanjutnya lagi.
”udah dari kemaren malahan” jawabnya kesal dengan logat orang Jogja yang khas. Memang sepupunya seperti itu orangnya, kalau bercanda selalu hiperbola. Selalu melebih-lebihkan sesuatu kalau sedang kesal. ”yee, malah ikut duduk” lanjut Heru setelah melihat Arya ikut duduk di sebelahnya.
”duduk bentar Ru. capek ni.” keluh Arya.
”nanti saja istirahatnya di rumah. sudah bosen aku kelamaan nunggu kamu disini” ucapnya sambil berdiri hendak pergi.
”iya iya deh” Arya berdiri dan berjalan mengikuti Heru yang sudah berjalan keluar. ”tunggu Ru” tangan Arya sambil membenahi tas ransel di punggungnya.
Matahari masih terik walau hari sudah menjelang sore. Seakan masih kuat membakar kulit dan membuat lelah semakin menjadi. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah budhe Lastri.
”naek motor Ru?” Tanya Arya yang dalam pikirannya ia akan di jemput memakai mobil dan bisa menyandarkan kepalanya dan merasakan sejuknya AC mobil karena perjalanan tadi telah merenggut tenaga yang hanya menyisakan lelah di dirinya.
”ndak. Kita naek pesawat.tangan Heru menyodorkan helm kepada Arya. ya iya lah. Sudah tau punyanya cuma motor, pake nanya segala. Sudah ayo cepet naek”
”iya iya” Arya meraih helm yang di sodorkan Heru tadi.
жжжжж

”Assalamualaikum budhe” setelah Arya melihat budhenya sedang asik di depan televisi yang membuatnya  tak tau akan kedatangan Arya yang sudah berada di ruang tamu.
”waalaikumsalam” jawabnya terkejut dan melihat ke arah suara itu berasal ”eh kamu to Ar. sudah dari tadi datangnya? Maaf budhe ndak tau, keasikan nonton sinetron nih, sampai ndak tau kamu masuk Ar”
”kalo udah lihat sinetron aja, jadi lupa semuanya, ampe nggak tau ada orang masuk, kalo maling yang masuk gimana budhe?” ucap Arya sambil mencium tangan budhenya lalu ikut duduk disebelahnya yang tak beranjak dari sofa panjang.
”ah kamu Ar, ada-ada saja”
”Cuma sekedar ngingetin aja kok budhe, nggak ada salahnya kan hati-hati dan waspada. nggak ada yang nggak mungkin lo budhe”
”iya deh. Kamu tu persis ibumu, pinter kalau ngomong”
”masak sih budhe? Tapi kata temen-temenku, aku tu pendiem lo budhe”
”iya pendiem. Tapi sekali ngomong nrocos terus kaya burung beo” budhe tersenyum setelah mengatakan Arya seperti burung beo.
Dan Arya hanya ikut tersenyum saja mendengar ucapan budhenya tadi.
”ya sudah kamu istirahat saja dulu di kamar, sudah budhe siapin kamarnya”
”yang mana?”
”yang itu Ar” tangan budhe menunjuk arah samping bagian depan.
”oke. Aku istirahat dulu ya budhe”
Kamar yang lumayan bagus dengan jendela menghadap ke taman lalu terus ke jalan, sehingga dapat terlihat dari jauh  jika ada yang lewat depan rumah.
Ia berdiri sejenak tepat di tengah jendela itu melihat keluar memandangi taman. Ia buka sedikit jendelanya dan hembusan angin tanpa permisi cepat masuk hingga mengenai wajahnya. Sejuknya terasa sampai ke seluruh tubuh, perlahan membasuh dahaga tubuhnya yang kekeringan. Menjadikan matanya kini mulai terasa kantuk.
Dengan belaian angin yang berhembus mesra, ia rebahkan tubuh lelahnya di atas tumpukan kasur. Dan seketika matanya terpejam.
ΩΩΩΩΩ

Senin, 19 Agustus 2013

PAGI YANG MENGHARUKAN (bag.2 SHJ)




Sinar mentari yang jatuh hingga menembus sampai ke dalam kamar, suara gaduh yang datang dari luar pun ikut membangunkannya di pagi hari, tapi rasanya ia masih malas baranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Hanya membuka mata, melihat jam di mejanya yang samar-samar terlihat mata yang masih sayu. Tiba-tiba ia tersentak dan teringat ia harus berangkat dengan kereta Argo Dwipangga pukul 08:00, matanya terbuka penuh ketika melihat angka di jam itu sudah menunjukkan 06:45. Sontak ia segera bangun dan bergegas pergi ke kamar mandi. ”ah sial kesiangan” gerutunya dalam hati saat berlari terburu-buru ke kamar mandi. Ia lihat dari kejauhan pintu kamar mandi tertutup rapat tanda ada yang sedang memakainya dan ia gedor-gedor pintu itu setelah sampai di depan kamar mandi.
”bentar!!!!..” teriak keras suara adiknya dari dalam. Ia tak peduli, ia gedor sekali lagi pintu itu berulang-ulang, tapi justru tak ada respon sedikitpun dari dalam begitu Dian tahu yang ada di luar adalah kakaknya.
Sepuluh menit sudah ia duduk di depan pintu dengan gelisah, entah sengaja atau tidak, adiknya tak kunjung keluar dari dalam. Ia mulai kesal, untuk ketiga kalinya ia gedor pintu itu agak keras dari sebelumnya yang membuat gadis kecil yang imut itu hanya senyum-senyum begitu keluar  dengan sedikit mengejek, yang terlihat jelas dari nada bicaranya. Ia memang tak pernah akur dengan adiknya, bagai tikus dan kucing. Banyak alasan yang membuat mereka berkelahi, dan ada-ada saja hal yang mereka rebutkan, mulai dari chanel televisi, makanan, uang jajan, dan hal-hal kecil lainnya.
”sengaja ya nggak keluar-keluar?”
”kenapa? Buru-buru ya? Duh kasian..” ejek adiknya dan terus berlari ketika kakaknya mengangkat tangan kanannya seperti mau memukul untuk menakut-nakutinya. ”mamah… kak Arya nakal…” dan sayup-sayup suara adiknya hilang dibalik tembok.
Tidak banyak waktu yang ia habiskan untuk bermanja-manja di dalam kamar mandi, tak seperti para wanita yang sedang bertemu pacar keduanya yaitu kamar mandi, yang bisa berjam-jam berada di dalam, entah apa yang mereka lakukan di sana. Tapi ia hanya butuh waktu sepuluh menit saja di dalam.
ӝӝӝӝӝ
Semua keluarganya sudah lebih dulu berada di meja makan dan menikmati sarapan pagi, termasuk adik satu-satunya yang baru saja selesai mandi sebelum dirinya. Belum juga ia sampai di meja makan, ibunya langsung menyambut dengan pertanyaan yang seakan tak percaya dengan niatnya untuk pindah kuliah di tempat budhenya.
”kamu sudah yakin mau pindah kesana Ar?” nadanya datar namun nampak jelas keraguan di dalamnya.
”ya udah dong bu”. Ia menggeser kursi dan duduk di sebelah ibunya. ”ni udah siap semua, tinggal berangkat”. Lalu pandangannya fokus pada apa yang ada di meja dan tangannya pun sibuk mangambil makanan yang tersisa di depannya.
”tapi inget jangan bikin masalah di rumah budhemu” nasehat ibunya setelah meneguk habis air minum yang tadi tinggal setengah gelas, tanda sudah selesai dengan sarapannya lebih dulu dari yang lainnya.
”tenang aja bu. aku kan anak baek-baek”
”baek dari hongkong?” ucap ketus tiba-tiba adiknya yang duduk tepat berhadapan dengannya.
”udah diem aja anak kecil. Anak masih ingusan aja mau ikut campur. Di lap dulu tu ingus” perintahnya walau ia tau Dian tidak sedang flu, dan sambil  melempar lap yang ada di meja ke arah adiknya yang mengenai tepat di wajahnya. Dian hanya membalas dengan melempar kembali ke arah kakaknya.
“kalian tu ya. Berantem terus kerjaannya” ibunya lalu  melihat ke arah Arya “kamu juga Ar, udah gede nggak mau ngalah sama adiknya”
Ia hanya cuek mendengar omongan dari ibunya dan tetap menyantap sarapan paginya sebelum ia ketinggalan kereta.
Tiba-tiba terdengar suara ayahnya bertanya tentang kesiapan selama di tempat budhenya nanti.
”udah semua kok yah’’ jawab ia singkat.
“kamu juga sudah bilang budhemu kalau mau kuliah dan tinggal disana?” ibunya tak mau kalah dengan memberi pertanyaan lagi kepada Arya.
”udah juga”. Ia menelan sisa makanan yang masih ada di dalam mulutnya. ”pokoknya udah beres semuanya”. dalam keadaan sambil makan, dengan santai ia menjelaskan semua persiapannya untuk meyakinkan kedua orang tuanya yang terlihat kurang yakin dengan niat anaknya tadi. Dan sepertinya mereka mulai lega setelah mendengar penjelasannya tadi, terlihat dari raut wajah yang perlahan mulai cerah tak seperti mendung sebelumnya.
”kalau begitu aku pamit dulu ya” setelah ia menghabiskan sarapannya itu.
Ia beranjak dari kursi dan satu per satu ia cium tangan kedua orang tuanya secara bergantian, kecuali adiknya, Dian. Karena ia tau Dian pasti akan menolak bersalaman dengannya. Ia melihat air mata ibunya yang sudah terkumpul penuh di kedua matanya, perlahan akhirnya tumpah ke pipi seperti air bah yang tak bisa di bendung lagi. Pikirnya, dari pada ia ikut larut dalam kesedihan ini, segera ia maelangkahkan kaki menuju pintu.
Tapi tiba-tiba dari arah depan, Dian memeluknya, entah ada setan mana yang membuat Dian bisa melakukan itu. Ia bingung melihatnya, dan mulai terharu dengan pelukan Dian yang jarang dan bahkan tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelukannya  begitu erat seperti takut kehilagan dan tak rela melihat kakaknya pergi, mungkin dalam benaknya akan ada sesuatu yang akan hilang dari dirinya, yaitu seorang kakak sekaligus musuh dalam bermainnya.
Tak pernah ia sangka Dian mau memeluknya seperti itu. Kini ia benar-benar larut dalam keadaan itu. Dan masih dalam keadaan memeluk Arya, keluar suara lirih dari mulut Dian yang terpenggal-penggal bercampur tangis ”kalo kakak pergi. trus musuh Dian bermain siapa?”
Kata-kata itu seperti meluluhkan hati Arya yang sekeras batu. Kata-katanya begitu polos, begitu lugu dan begitu menyentuh. Ada sesuatu yang beda saat itu. Arya merasa benar-benar ada kasih sayang antara ia dengan adiknya. Arya menarik nafas panjang dan mulai berbicara pada adiknya. ”adik” suara Arya lirih dan ia lepas perlahan pelukannya mencoba mensejajarkan tingginya dengan Dian agar ia bisa menatap wajah adiknya yang sudah basah dengan air mata.
”kakak pergi dulu ya. kakak mau kuliah disana dan kakak pasti pulang”
”kapan?”
”ya kalo libur kan kakak bisa pulang”
”bener?”
”iya kakak janji”
”awas kalo boong”
”iyaaa..”
Sebelum ia mendengar kata-kata keluar lagi dari mulut adiknya, ia langsung pamitan. ”kakak berangkat dulu ya.. jangan nakal ya di rumah, jangan bikin ayah ibu marah”
Arya melihat Dian hanya tersenyum manis padanya.
Ia berbalik arah, menghela nafas panjang. Dengan langkah kaki yang pasti dan sudah tak terasa berat, ia berjalan menjauh dari mereka dan hilang di balik pintu dan meninggalkan pagi yang mengharukan ini.
ΩΩΩΩΩ

Senin, 12 Agustus 2013

DEWI KECIL DAN MALAIKAT KECIL (bag.1 SHJ)




Jam digital berbentuk kotak yang ada di atas meja menunjukkan angka 20:14 tapi hujan deras yang mengguyur bumi dari tadi sore belum juga berhenti. Ribuan rintiknya bersautan menciptakan melodi indah yang terdengar di atas genteng. Hawa dingin mulai terasa menyelinap bagai sekawanan serangga malam yang masuk dari celah-celah jendela kamar dan menyerang, membuat malam semakin dingin terasa di ruangan yang tak begitu besar. Sesekali juga terlihat dari jendela kamar, langit malam mengeluarkan kilatan-kilatan api yang tampak menari indah bersama iringan melodi sang hujan yang turun.
Namun semua itu tak mampu mengurung seorang lelaki muda dalam ke-diam-an, semangatnya masih mengalir walau tak  sederas hujan di luar. Tas rancel biru sudah siap untuk di jejali pakaiannya. Sebagian pakaian yang tersimpan dalam lemarinya ia pilih dan satu per satu ia pindahkan ke dalam ranselnya. Tapi ia masih saja terlihat mondar-mandir dengan raut wajah mengingat-ingat apa yang masih perlu ia bawa. Dan ia pastikan semua tak ada lagi yang terlupakan, semua sudah masuk dalam rancelnya. Ia lihat kembali tas rancelnya yang tadinya kosong kini sudah terisi penuh dengan pakaian-pakaiannya, sepenuh perutnya yang telah terisi makanan yang baru saja  disantap. Dan diletakkannya tas itu di sudut kamarnya.
Setelah semua di rasa beres, saatnya untuk bersantai dan istirahat untuk perjalanan jauh keesokan harinya. Ia raih laptop putih dari meja di depannya, ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya  dan bersiap untuk online, karena ia ingin mengobrol dengan teman dunia maya yang sudah lama tak di sapanya, sekedar bertukar pikiran, melepas lelah atau sekedar mengirim puisi kepadanya untuk dia simpan, karena memang terkadang ia malas untuk menyimpan puisi-puisi yang telah ia buat. Jadi ia selalu percayakan semuanya pada temannya, Dewi Kecil, begitu ia menyebut temannya yang ada di dunia maya.
<MK> : hai…
<DK> : hai juga malaikat kecil..
Belum sempat tangannya mengetik balasan, datang beberapa pertanyaan dari Dewi Kecil berturut-turut di layar laptopnya.
<DK> : pa kabar kamu? kemana aja nih? Kok udah lama nggak kirim puisi? Kenapa? Lagi sibuk ya? Atau nggak ada mood?
<MK> : satu-satu dong nanyanya..
Dewi kecil hanya mengirim simbol orang tersenyum padanya dan ia mulai menjawab semua pertanyaan yang datang bertubi-tubi seperti hujan di luar sana tanpa jeda.
<MK> : baek-baek saja kok dan aku nggak kemana-mana. ya maaf, habis belum ada mood buat bikin puisi, ntar deh aku kirimin.
<DK> : tapi tumben nggak ada mood? Biasanya hampir tiap malam kirim puisi.. sampai kualahan aku mau nyalin di buku
<MK> : emang udah berapa puisi yang aku kirim ke kamu?
<DK> : udah nggak kehitung lagi kali. udah habis dua jilid buku aku nyalinnya
<MK> : masa?
Lagi-lagi Dewi Kecil hanya kirim simbol orang tersenyum tanpa ia tau maksudnya. Tanpa pikir panjang ia pun hanya mengirim simbol yang sama padanya.
<DK> : tapi kok bisa nggak ada mood sih buat nulis puisi? Sibuk ya?
<MK> : nggak juga sih. Tapi namanya juga manusia, pasti ada kalanya akan kehilangan sesuatu dalam dirinya, termasuk mood itu tadi.
<DK> : iya juga sih ya..hehe
Tak terasa sudah hampir tiga jam ia ngobrol lewat chat room dengan Dewi Kecil. Rasanya semua cahaya yang ada di ruangan ini mulai  meredup, mungkin karena matanya kini seperti lilin yang perlahan kehabisan pendarnya, lalu mati.
Tapi sepertinya ia  masih saja ingin mengobrol dengan Dewi Kecil, masih banyak hal yang bisa di bicarakan disana, walau sebenarnya mereka belum saling mengenal dan bertemu di dunia yang nyata. Bukan mereka tak mau, tapi itu sudah menjadi kesepakatan mereka untuk tidak saling mengenal secara nyata sejak awal bertemu di dunia maya satu tahun lalu, bahkan sekedar nama pun mereka saling merahasiakan. Dan mereka lebih nyaman dengan sebutan Dewi Kecil dan Malaikat Kecil. Entah dari mana nama itu berasal, yang jelas tiba-tiba nama itu muncul dalam benak untuk saling memanggil satu sama lain dengan sebutan seperti itu.
<DK> : kenapa ya. Kalau kita ngobrol tu nggak ada habis-habisnya?
<MK> : mungkin karena kita belum saling mengenal secara nyata.
<DK> : loh kok bisa?
<MK> : ya bisa lah. Kadang sesuatu yang belum di ketahui atau yang masih merahasia itu akan terasa lebih indah. Dan seru untuk di bicarakan. Jadi, karena kita tidak saling kenal dan tidak saling bertatap muka, makanya kita bisa lancar ngobrol lewat chat, karena kita tidak saling kenal pula maka kita bisa bercerita banyak hal yang kita ketahui. Dengan kata lain, kita saling bertukar pikiran dan pengetahuan tanpa ada rasa terbatasi oleh rasa malu, segan, grogi atau apalah itu istilahnya.
<DK> : panjang banget nulisnya. tapi ada benernya juga sih kamu. ternyata kamu nggak aja pinter bikin puisi tapi ceramah juga bisa.
Kali ini gantian ia yang hanya mengirim gambar simbol orang tersenyum kepadanya tanpa menulis satu kata apapun.
Malam kian larut, mata itu mulai tak bisa di ajak kompromi lagi, rasanya berat, bagai ada berjuta ton pemberat tergantung di kedua kelopak matanya. Badan yang tadi segar bugar mulai terasa pegalnya, sendi-sendi pun seakan keram.
<DK> : udah ngantuk ni. Aku tidur dulu ya.
<MK> : ok. Aku juga udah ngantuk, besok mau pergi
<DK> : pergi kemana emangnya besok kamu?
<MK> : eitt.. nggak boleh tanya, masih inget kan perjanjian no dua kita?
<DK> : iya masih inget kok. nggak boleh tanya alamat, lokasi dan tempat
<MK> : itu inget. eeemm tapi gimana ya kalau suatu saat kita bertemu? apa jadinya ya? atau ternyata kamu sebenarnya adalah teman deketku, guruku, tetanggaku atau bahkan musuhku.
<DK> : ada-ada aja kamu tu ya..
<MK>: atau jangan-jangan emang bener kamu sebenarnya musuhku.
<DK> : mungkin juga ya..hahahaha..
<MK> : tapi siapapun kita, kalo suatu saat salah satu dari kita ada yang mengetahui, tolong jangan kasih tau, biar Dewi Kecil dan Malaikat Kecil menjadi rahasia selamanya dan hanya hidup dalam dunia maya saja
<DK> : oke deh.. tapi udah ah ngobrolnya, orang tadi udah pamit mau tidur juga, malah nggak jadi terus
<MK> : ya udah  kamu tidur gih sana.
<DK> : bye…
Namun tangan Malaikat Kecil masih sibuk bergerak mengetik untuk menulis sebuah puisi singkat sekedar ucapan selamat malam buat temannya itu. Sebuah puisi yang terlulis dalam chat roomnya yang berbunyi
tak perlu kau pikirkan kertas-kertas di atas meja kerjamu
atau omelan bos siang tadi
akhiri saja hari ini dengan pejamkan mata
lalu padamkan bara api semangat dalam diri
jangan lagi berkata
dan selamat tidur dewi kecil…

Dan lelahnya pun menjadi, seakan memaksa untuk mengakhiri harinya juga. Dengan berselimut  gelap dan dingin, di temani rintik hujan yang mulai reda, suara-suara katak yang bersautan di luar sana, yang menghasilkan simfoni merdu dan perlahan menina-bobokan matanya untuk terpejam. Dan bunga tidur seakan sudah setia menantinya di sana, di istananya dan mengajaknya bermain dengan semua mimpi-mimpi manis malam panjang. Menggantikan dunia yang melelahkan dengan semua hiruk pikuknya. Perlahan bara semangatnya semakin menyurut hingga mati. Dan Malaikat kecil pun tertidur lelap dalam dekapan malam yang menjaganya, meninggalkan sebuah laptop yang masih menyala.
ΩΩΩΩΩ