Kamis, 13 Juni 2013

aku bukan pujangga (bag. semua seperti mimpi)





            Akhirnya sampailah mereka di tempat budhe Lastri setelah beberapa menit perjalanan dengan menggunakan taxi dan betapa kagetnya budhe Lastri setelah melihat Arya bersama dengan seorang gadis yang di kira itu adalah Jingga. “jadi gadis yang kamu bilang akan kamu bawa dari Bali itu ternyata Jingga Ar?”. Arya hanya tertawa saja tanpa menjawab pertanyaan budhenya dan Senja hanya ikut tersenyum saja, senyum yang sama seperti milik Jingga. “kamu ngawur saja Ar, bawa anak orang ke Bali, sudah dapet ijin belum dari Bu Fitri?” lanjut lagi budhe Lastri yang belum tahu siapa gadis yang bersama Arya itu.
“budhe, boleh Arya masuk dulu, nanti di dalam Arya jelaskan semuanya” jawab Arya yang masih berada di teras dan berjalan menuju ruang tamu yang di ikikuti oleh Senja lalu budhe Lastri. Tas bawaannya ia letakkan di dekat sofa dan ia pun langsung duduk seperti orang yang telah selesai mengangkat beban berat di pundaknya. Dan budhe Lastri yang masih saja dengan wajah bingungnya bertanya kembali.
“gini lo budhe, dia ini bukan Jingga”
“trus siapa Ar kalau bukan Jingga. Orang wajahnya sama persis dengan Jingga” sela budhe Lastri.
“kan Arya baru mau jelasin, budhe main sela aja. Dia ini Senja, kenapa persis dengan Jingga? Karena dia ini kembaran Jingga. Ya walau Arya belum yakin 100% sih. Makanya dia kesini buat membuktikan apa benar Jingga itu kembaran Jingga. Budhe kan kenal dengan”
“tunggu bentar, tadi kamu bilang kembar?” sela lagi budhe Lastri yang sepertinya tahu sesuatu.
“itu baru kesimpulan Arya sih budhe. Memang kenapa budhe?”
“budhe jadi inget sesuatu. Dulu sekitar 21 tahun lalu, budhe pernah denger kalau keluarga bu Fitri menemukan bayi. Iya bener, budhe inget itu”
“trus budhe?” kali ini Senja ikut angkat bicara setelah sedari tadi hanya diam saja.
“budhe ndak tau persis ceritanya gimana, yang jelas kabar kalau keluarga bu Fitri menemukan bayi itu memang benar”
“jadi benar Ar Jingga itu kembaran aku” wajahnya bersinar bak mentari yang memiliki harapan. “ayo Ar kita temuin Jingga”. Lelahnya seakan sirna setelah mendengar apa yang di katakan budhe lastri. Dalam pikiranya hanya ingin bertemu dengan Jingga secepatnya untuk membuktikan rahasia yang telah tersimpan begitu lama.
“nanti saja, kalian kan baru sampai, istirahat saja dulu, pasti capek kan, nanti sore saja ke tempat Jingga nya”
“bener Ja apa kata budhe, sebaiknya kita istirahat dulu, nanti sore baru kita ke rumah Jingga”.
Akhirnya Senja mengiyakan saran budhe yang di tegaskan oleh Arya dan dengan di antar budhe Lastri, Senja menuju satu kamar yang tersisa di rumah itu untuk istirahat sebelum sore nanti waktu yang begitu di nanti Senja datang. Sekalian merumuskan apa saja yang akan ia lakukan nanti. Sekuat tenaga ia kumpulkan, sekuat hati ia lapangkan untuk menghadapi sesuatu yang ia sendiri tak tau seperti apa yang ia akan temui nanti, karena ia rasa bukan seperti dosen killer ataupun monster seram yang pernah ia temui, ia benar-benar tak bisa menggambarkan yang akan ia temui nanti.
Tetap saja perasaan hatinya yang ingin segera menemui Jingga terus mengusik dan membuatnya tak bisa memejamkan kedua matanya, ia terus saja terjaga dan gelisah bagai cacing kepanasan. Pekerjaannya hanyalah mondar mandir ke setiap sudut kamar, bingung apa yang ingin ia lakukan. Sesekali hanya duduk terdiam lalu berdiri di dekat jendela lalu duduk kembali di ujung kasurnya, begitu seterusnya hingga ia pun akhirnya merasa lelah dan mencoba merebahkan tubuhnya di atas kasur meski kedua matanya tak kunjung terpejam.
ӝӝӝӝӝ

            “gimana, udah siap untuk kerumah Jingga?”
“siap nggak siap aku harus siap Ar”
Dengan mengendarai motor milik pakdhenya yang sering ia pakai, Arya bersama Senja melaju pelan menuju rumah Jingga. Tak sampai 15 menit, merekapun sampai di depan rumah Jingga. Perasaan dalam hati Senja semakin tak menentu.
Tangan Arya yang ingin mengetuk pintu di depannya terhenti setelah Senja berkata “tunggu bentar Ar” dan Senja terlihat menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melemaskan ketegangannya yang menyerang segala ototnya. Setelah Senja memperbolehkan Arya untuk meneruskan yang ia tahan tadi, tangan Arya dengan pasti mengetuk pintu yang masih tertutup itu tiga kali.
“iya sebentar” suara ibu Fitri dari dalam. “eh nak Arya, monggo silahkan masuk” ucapnya yang belum menyadari seseorang yang berada di belakang Arya karena badan Arya yang memang tak begitu besar namun cukup untuk menghalangi objek yang ada di belakangnya. Arya melangkah masuk dan di ikuti Senja yang kedua tangannya mengenggam erat tangan kanan Arya. “oh sama kamu to nduk, kenapa pakai ketuk pintu segala, biasanya juga nyelonong saja” ucap Ibu Fitri yang sudah menyadari kehadiran Arya bersama anaknya, yang tentu dalam pikirannya. Mereka berdua duduk bersebelahan yang membuat bu Fitri bisa melihat sedikit kejanggalan pada mereka berdua “kok kamu kayak orang lain to nduk? Ada apa sebenarnya ini? tadi sepertinya pamit pergi sama Dimas, tapi pulang bareng Arya, ada apa?” bu Fitri masih mengira gadis itu adalah Jingga walau bu Fitri sudah merasakan keanehan pada gadis itu.
“maaf sebelumnya bu, saya dan teman saya ini datang kesini mau menanyakan sesuatu”. Ucapan Arya semakin membuat bu Fitri bingung, apa lagi tadi Arya menyebutnya dengan kata teman saya ini. kata-kata yang memang kurang tepat di ucapkan kalau gadis itu seandainya Jingga.
“tanya apa nak Arya?” wajahnya mulai panik, pikirannya sudah melayang kemana-mana takut jika memang terjadi apa-apa dengan Jingga.
Namun Arya susah membuka mulutnya untuk berkata, ia juga bingung mau memulai dari mana. Mulutnya hanya terdengar kata “eee” berulang-ulang.
“kok malah diem gitu nak Arya? Tadi mau tanya apa?” tanya ibu Fitri sekali lagi
“begini bu, tapi maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya soal ini kepada ibu Fitri”
“ndak apa-apa jika memang itu perlu”
Dan sebuah pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh bu Fitri akhirnya terdengar juga, Arya dengan sedikit takut kalau ia akan menyinggung hati bu Fitri, menanyakan apakah Jingga itu anak kandung bu Fitri atau bukan. Memang pertanyaan yang mengejutkan bu Fitri hingga ia terdiam sejenak mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Arya. Sebenarnya bu Fitri terkejut bukan karena takut Jingga akan marah setelah tahu yang sebenarnya, karena hal itu sudah mereka bicarakan saat Jingga beranjak dewasa, tapi terkejut karena Arya yang memang bukan anggota keluarganya dan termasuk orang baru dalam keluarga bu Fitri bisa menanyakan hal yang sudah bertahun-tahun terjadi.
“ibu ndak tau maksud nak Arya tanya begitu itu apa, tapi ibu akan cerita” lalau pandangannya mengarah ke gadis yang duduk di sebelah Arya yang memang terlihat berbeda dengan Jingga, yang sudah jelas dilihat dari sikapnya sedari tadi hanya diam saja seperti tak mengenalinya. “memang Jingga itu bukan anak kandung ibu”
“jadi semua itu benar Ar” akhirnya terdengar juga suara dari gadis yang duduk di sebelah Arya.
“maksdunya?” tanya bingung bu Fitri yang belum menemukan pokok permasalahan dari apa yang di lihatnya itu.
“lalu bagaimana ceritanya Jingga bisa menjadi anggota keluarga bu Fitri?” tanya Arya penuh penasaran juga.
Tanpa memperdulikan gadis di sebelah Arya itu siapa, bu Fitri akhirnya menceritakan semua kejadian yang ia alami 21 tahun silam. Sebuah cerita yang mengejutkan Arya dan Senja yang membuat Senja akhirnya menitikan air mata bahagia, yang sudah tentu bahagia karena akhirnya ia menemukan saudara kembarnya setelah selama hidupnya tak bertemu dan yang pasti amanah di pundaknya akan segera terangkat. Dan Arya pun menceritakan siapa sebenarnya gadis yang duduk di sebelahnya setelah bu Fitri ganti bertanya apa yang membuatnya bingung. Sungguh jawaban yang juga mengejutkan bu Fitri, sampai-sampai ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Bayi kecil mungil yang dulu ia temukan ternyata memiliki saudara kembar.
“setelah nak Senja tau, apa nak Senja akan membawa Jingga ke keluarga kalian? Walau dia bukan anak kandung ibu, dia sudah ibu anggap anak ibu sendiri” kata yang menggambarkan betapa takutnya bu Fitri kehilangan Jingga setelah 21 tahun merawatnya dengan penuh kasih sayang sampai Jingga tumbuh besar.
Air mata yang masih mengalir, senyum yang juga merekah dari bibir Senja, menghiasi gelengan kepala sebagai jawaban tidak. “saya tidak akan mengambil Jingga dari keluarga ini, karena orang tua saya sudah meninggal semua dan saya sekarang yatim piatu”. Tegasnya kembali dengan kata-kata.
Mendengar ucapan Senja, hati bu Fitri menjadi tenang, apa yang di takuti langsung terjawab sudah.
“saya bisa sampai kesini karena amanah yang di titipkan kedua orang tua saya sebelum meninggal untuk mencari putrinya yang hilang dan ingin meminta maaf karena kelalaiannya menjaga putrinya dulu”
Sejenak bu Fitri hanya terdiam mendengar bahwa orang tua Senja sudah meninggal. Senang ataukah sedih yang harus ia rasakan, ia tak tahu. “kalau begitu nak Senja tunggu saja, mungkin sebentar lagi Jingga pulang. Katanya tadi Cuma bentar perginya”. Dan belum ada satu menit suara mobil Dimas terdengar dari dalam. “nah itu mereka pulang” lanjut bu Fitri.
“aku kok jadi deg-degan lagi ya” ucap Senja setelah menoleh ke arah dimana mobil itu berhenti yang terlihat dari balik jendela. Sekali lagi tangannya menggenggam erat tangan Arya.
Jingga terlihat berjalan sendiri setelah mobil Dimas mulai pergi meninggalkan halaman rumah Jingga. “loh ini kan motornya pak Hardi, siapa yang pakai ya? Apa mungkin Arya?”. Tebak Jingga, namun ia tak bisa menebak dengan siapa ia datang. Seseorang yang pasti akan mengejutkan dirinya, bahkan ia akan menganggapnya semuanya seperti mimpi, ya seperti mimpi yang akan ia rasakan. Sama seperti yang dirasakan semuanya. Langkah Jingga terhenti di depan pintu setelah melihat siapa yang berada di ruang tamu bersama ibunya. Yang jelas bukan karena ia melihat Arya, tapi seorang gadis yang duduk di sebelah Arya. Wajahnya mulai bingung dengan apa yang ia lihat, ia menegaskan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi dan dalam keadaan 100% sadar. “sini nduk masuk dan duduk dulu” suruh ibunya. Ia berjalan gontai mendekati ibunya. Senja dan Jingga hanya bisa saling menatap muka tanpa saling berkata dan menyapa.
“ibu tau kamu pasti bingung nduk dengan apa yang kamu lihat sekarang” ucapan ibunya mengalihkan pandangan Jingga. “dia kembaran kamu nduk”. Masih saja Jingga hanya bisa terdiam dengan pandangan yang terus bingung. Dan perlahan ibunya menceritakan apa yang telah Arya katakan tentang semuanya. Penjelasan yang mampu membuat air mata Jingga keluar perlahan. Jingga berdiri, perlahan berjalan mendekati Senja yang juga sudah dalam keadaan berdiri. Tanpa ada aba-aba mereka saliang memeluk erat. Sebuah adegan yang mengharukan bagi Arya dan bu Fitri, termasuk Senja dan Jingga, dimana dua orang manusia yang memiliki hubungan darah bertemu untuk pertama kali setelah sekian lama terpisah, bahkan hal yang belum lama terungkap. Hingga hujan air mata yang tampak menghiasi ruangan itu. Lama mereka saling berpelukan, seakan rindu tebal yang tak kunjung luntur.
Setelah waktu berpelukan usai, mereka duduk kembali dalam satu sofa di sebelah Arya. Tangannya saling bergandengan, matanya masih saling memandang, masih saling berpikir semua seperti mimpi. Tak lagi memerlukan bantuan cermin untuk melihat wajah mereka sendiri seperti yang selalu mereka lakukan setiap hari, wajah itu sudah ada di depan mata, bahkan secara nyata karena mereka adalah dua orang manusia yang kembar identik, dari ujung rambut sampai kaki sama semua, bahkan tiap lekuk wajahnya pun tak ada yang beda.
“sebelum ayah meninggal, beliau menitipkan pesan padaku, orang tua kita meminta maaf karena telah lalai menjaga kamu sehingga kamu bisa lepas dari tangan mereka. Tapi bukan mereka tak bertanggung jawab. Selama bertahun-tahun, sudah banyak usaha yang mereka lakukan untuk mencarimu, sampai ibu meninggal saat kita masih kecil karena terlalu memikirkan kamu. Dan setelah itu tinggal ayah sendiri yang terus berusaha mencarimu, hingga akhirnya ayah pasrah menyerah juga, ayah hanya bisa berdoa terus agar kamu  baik-baik saja di manapun kamu berada”.
Dalam pelukan kembali, dengan lirih Jingga mengatakan kalau dirinya ingin melihat kedua orang tuanya yang asli walau ia tahu semuanya sudah tak mungkin terlaksana.
“aku bisa mengantarkan kamu ke makam mereka berdua di Bali”.
Mimpi apa semalam mereka sampai mengalami kejadian yang tak pernah sekalipun terbesit dalam benak mereka masing-masing. Tapi semua itu nyata terjadi di kehidupan mereka. Kejadian yang merubah hidup mereka, Senja yang tak lagi sendiri, masih ada seseorang yang memiliki hubungan darah yang masih tersisa dan Jingga yang sebelumnya sudah tahu bahwa dirinya bukan anak kandung dari orang tua yang telah merawatnya, akhirnya bisa bertemu juga dengan salah satu anggota keluarganya yang memilki hubungan darah. Semua seperti mimpi bagi mereka berdua.

(baca selengkapnya di Aku Bukan Pujangga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar