Senin, 13 Oktober 2014

diary Azahra



Langit malam ini begitu cerah, terlihat beberapa bintang dan bulan yang cukup terang meski belum begitu sempurna untuk menjadi purnama. Udara dingin pun terasa menusuk tubuh yang terlihat lelah setelah bekerja. Namun ia tak segera untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya, ada rasa yang mengganggu dalam hatinya, sesuatu yang ia pun tak mengerti.
Disambarnya buku diary yang tergeletak di meja belajarnya. Ia merasa apa yang baru saja ia alami tak boleh terlewatkan untuk diabadikan dalam bukunya. Baginya moment-moment tertentu tak boleh begitu saja hilang ditelan waktu, entah itu senang, sedih, lucu, memalukan bahkan sepahit apapun itu harus tersimpan dalam bukunya. Apalagi moment malam ini.
Dear diary
Seperti biasa, kamu harus tahu apa yang baru saja aku alami ry. Ah bukan, kali ini kamu meleset 180 derajat. Jika aku boleh menyebutnya ini rasa nano-nano. Kenapa aku bilang nano-nano, ups maaf aku lupa kalau kamu hanya sebuah buku ry, jadi pasti tak tahu apa itu rasa nano-nano. Oke kamu cukup mendengarkan saja. Entah aku mau mulai cerita ini dari mana ry, yang jelas ini adalah pengalamanku yang pertama, iya benar-benar yang pertama ry. Mungkin pengalaman ini tak akan pernah terjadi jika aku tak pernah menjalani on the job training ini.
Entah mimpi apa aku semalam, tiba-tiba dia menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang. Aku pikir dia hanya bercanda, tapi ternyata dia benar-benar serius untuk mengantarkan aku pulang begitu aku jawab mau dan sudah siap di atas motor di sampingku. Memang sudah lama aku ingin berkeliling kota pada malam hari dan entah dari mana tiba-tiba saja tanpa aku sadari aku mengucap keinginan itu padanya.
“kamu pernah ke tugu?” tanyanya kepadaku ry dan dengan tegas aku jawab saja belum. “tapi aku ta bawa helm” ucapku dengan sinar di wajahku sedikit meredup. Dengan cepat dia memberiku helmnya yang telah dia pakai.
Singkat cerita ry, kami berdua akhirnya berangkat menuju tugu. Tapi tenang saja ry, kami tak berada dalam satu motor, kami menaiki motor kami sendiri-sendiri. Pada trafic light yang pertama, tiba-tiba datang perasaan takut yang perlahan bersemayam dalam diriku, aku takut ketahuan pergi malam-malam dengan seorang cowok, apalagi motorku dipasangi stiker yang menyimbolkan tempat dimana aku tinggal. Aku benar-benar takut jika ada yang melihatku malam-malam pergi yang seharusnya aku langsung pulang ketika jam kerjaku selesai. Tapi ada rasa “ingin” yang membuatku melanjutkan perjalanan ini, menuju tugu. Semakin jauh jarak yang kutempuh, semakin besar rasa takut itu menghantui, namun rasa “ingin” dan sesuatu yang entah ini mampu membuatku untuk tetap pergi. Ingin sekali ry rasanya memutar waktu untuk lebih cepat berputar agar kami cepat sampai pada tujuan, cepat kembali pulang dan cepat pula rasa takut ini hilang, tapi jangan dengan rasa yang satunya.
Tak sampai 15 menit kami sampai sesuai dengan perhitungannya saat aku tanya waktu tempuh ke tugu sebelum kami berangkat. Sejenak aku benar-benar lupa dengan rasa takut yang tadi menghantuiku setelah aku berdiri di depan tugu yang menjadi ikon kota ini. Inilah pengalaman pertamaku selama dua tahun lebih aku berada di kota ini. Jauh dari pikiranku, ternyata tempat ini begitu ramai dikunjungi dimalam hari, beda pada siang hari yang tak ada satupun orang yang beraktifitas di sekeliling tugu di depanku ini. Aku lihat meraka yang berada di sini selain hanya duduk-duduk, sebagian besar dari mereka memanfaatkan tempat ini untuk bernarsis ria dengan mengabadikannya lewat foto.
“kamu tidak foto-foto juga seperti mereka” ucapnya kepadaku.
“tidak ah, takut ketahuan” jawabku yang sebenarnya sangat ingin mengabadikan moment ini lewat foto.
“oo gitu ya?”
“apa jadinya nanti kalau ada yang tahu aku kesini malam-malam”
“memangnya kenapa?”
“ada sangsinya lah. Aku harus membuat pernyataan di depan para santri. Iya kalau Cuma 5 santri, ini ada ratusan santri di pondok itu”
“hmmm... oya, kenapa kamu tidak mondok di gontor?”
“ah bisa mati aku jika di sana, menurutku di sana adalah pondok paling killer”
“di sana, pondok yang benar-benar tidak boleh membawa telpon seluler, bahkan keluar pondok pun diberi batas waktu”
“o ya?”
Sejenak kami saling diam, aku terus memandang tugu, sesekali melihat para pengunjung lain dan lalu lalang kendaraan yang lewat. Benar-benar malam yang begitu indah di tempat ini, suasana malam yang tak mati meski sudah selarut ini.
“aku tidak akan pernah ke sini jika aku tidak sedang OJT dan ketemu kamu”
“berarti aku menjadi orang pertama yang membawamu ke tempat ini di malam hari? Ah betapa berdosanya aku yang telah membawa anak pondok malam-malam ke sini. Kalau gitu pulang yuk”
Akhirnya kami pulang walau dalam hatiku masih ingin di sini bersama dia. Ini rasa yang aku sebut entah, sebuah rasa yang mengalahkan rasa takut oleh hukuman karena sudah melanggar peraturan pondok. Ya dia, entah kenapa aku senang bersama dia, padahal aku mengenalnya tak lebih dari dua bulan lalu dan mulai akrab baru beberapa minggu ini.  Apa ini cinta ya ry?. Mungkin sebagai santri di sebuah pondok, aku juga seorang manusia, seorang wanita yang bisa jatuh cinta.
Ah sudah ry, mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan kepadamu, mungkin nanti aku ceritakan lagi jika aku sudah tahu jelas dengan pasti nama rasa yang berada dalam hatiku ini. Dan aku yakin kamu tak sabar untuk mendengarkan itu kan? Begitu juga dengan aku ry, aku juga sudah tidak sabar ingin tahu nama rasa ini.
O ya ry, sebelum aku tidur, akan aku hadiahi kamu dengan sebuah puisi yang tercipta dari rasa ini. 
Terlalu kejam jika aku sebut ini sakit
Meski terkadang menyiksa hati
Membuatnya menjerit
Membuatku tak ingin menelan apapun

Terlalu dini jika aku namai ini cinta
Meski ada rasa ingin selalu dengannya
Melahirkan rasa rindu yang tak tertahan
Menjadikan diri seolah terbang

Ini memang rasa yang entah
Yang sedang bermain dengan hatiku
Rasa yang terlahir dari benih-benih waktu
Rasa yang belum sempat aku namai

Ia tutup buku diarynya, ia taruh di sebelah bantalnya. Jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lebih 30 menit memaksanya untuk segera tidur. Lagi-lagi rasa itu yang membuatnya tak langsung bisa memejamkan mata, ia hanya tersenyum-senyum sendiri, memeluk guling merah jambunya sambil matanya yang nanar menerawang jauh kemana-mana.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar