Langit
malam ini begitu cerah, terlihat beberapa bintang dan bulan yang cukup terang
meski belum begitu sempurna untuk menjadi purnama. Udara dingin pun terasa
menusuk tubuh yang terlihat lelah setelah bekerja. Namun ia tak segera untuk
mengistirahatkan tubuh lelahnya, ada rasa yang mengganggu dalam hatinya,
sesuatu yang ia pun tak mengerti.
Disambarnya
buku diary yang tergeletak di meja belajarnya. Ia merasa apa yang baru saja ia
alami tak boleh terlewatkan untuk diabadikan dalam bukunya. Baginya moment-moment
tertentu tak boleh begitu saja hilang ditelan waktu, entah itu senang, sedih,
lucu, memalukan bahkan sepahit apapun itu harus tersimpan dalam bukunya.
Apalagi moment malam ini.
Dear diary
Seperti biasa, kamu harus tahu apa
yang baru saja aku alami ry. Ah bukan, kali ini kamu meleset 180 derajat. Jika
aku boleh menyebutnya ini rasa nano-nano. Kenapa aku bilang nano-nano, ups maaf
aku lupa kalau kamu hanya sebuah buku ry, jadi pasti tak tahu apa itu rasa
nano-nano. Oke kamu cukup mendengarkan saja. Entah aku mau mulai cerita ini
dari mana ry, yang jelas ini adalah pengalamanku yang pertama, iya benar-benar
yang pertama ry. Mungkin pengalaman ini tak akan pernah terjadi jika aku tak
pernah menjalani on the job training ini.
Entah mimpi apa aku semalam, tiba-tiba
dia menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang. Aku pikir dia hanya
bercanda, tapi ternyata dia benar-benar serius untuk mengantarkan aku pulang
begitu aku jawab mau dan sudah siap di atas motor di sampingku. Memang sudah
lama aku ingin berkeliling kota pada malam hari dan entah dari mana tiba-tiba
saja tanpa aku sadari aku mengucap keinginan itu padanya.
“kamu pernah ke tugu?” tanyanya
kepadaku ry dan dengan tegas aku jawab saja belum. “tapi aku ta bawa helm”
ucapku dengan sinar di wajahku sedikit meredup. Dengan cepat dia memberiku
helmnya yang telah dia pakai.
Singkat cerita ry, kami berdua
akhirnya berangkat menuju tugu. Tapi tenang saja ry, kami tak berada dalam satu
motor, kami menaiki motor kami sendiri-sendiri. Pada trafic light yang pertama,
tiba-tiba datang perasaan takut yang perlahan bersemayam dalam diriku, aku
takut ketahuan pergi malam-malam dengan seorang cowok, apalagi motorku
dipasangi stiker yang menyimbolkan tempat dimana aku tinggal. Aku benar-benar
takut jika ada yang melihatku malam-malam pergi yang seharusnya aku langsung
pulang ketika jam kerjaku selesai. Tapi ada rasa “ingin” yang membuatku
melanjutkan perjalanan ini, menuju tugu. Semakin jauh jarak yang kutempuh,
semakin besar rasa takut itu menghantui, namun rasa “ingin” dan sesuatu yang
entah ini mampu membuatku untuk tetap pergi. Ingin sekali ry rasanya memutar
waktu untuk lebih cepat berputar agar kami cepat sampai pada tujuan, cepat
kembali pulang dan cepat pula rasa takut ini hilang, tapi jangan dengan rasa
yang satunya.
Tak sampai 15 menit kami sampai
sesuai dengan perhitungannya saat aku tanya waktu tempuh ke tugu sebelum kami
berangkat. Sejenak aku benar-benar lupa dengan rasa takut yang tadi
menghantuiku setelah aku berdiri di depan tugu yang menjadi ikon kota ini.
Inilah pengalaman pertamaku selama dua tahun lebih aku berada di kota ini. Jauh
dari pikiranku, ternyata tempat ini begitu ramai dikunjungi dimalam hari, beda
pada siang hari yang tak ada satupun orang yang beraktifitas di sekeliling tugu
di depanku ini. Aku lihat meraka yang berada di sini selain hanya duduk-duduk,
sebagian besar dari mereka memanfaatkan tempat ini untuk bernarsis ria dengan
mengabadikannya lewat foto.
“kamu tidak foto-foto juga seperti
mereka” ucapnya kepadaku.
“tidak ah, takut ketahuan” jawabku
yang sebenarnya sangat ingin mengabadikan moment ini lewat foto.
“oo gitu ya?”
“apa jadinya nanti kalau ada yang
tahu aku kesini malam-malam”
“memangnya kenapa?”
“ada sangsinya lah. Aku harus
membuat pernyataan di depan para santri. Iya kalau Cuma 5 santri, ini ada
ratusan santri di pondok itu”
“hmmm... oya, kenapa kamu tidak
mondok di gontor?”
“ah bisa mati aku jika di sana,
menurutku di sana adalah pondok paling killer”
“di sana, pondok yang benar-benar
tidak boleh membawa telpon seluler, bahkan keluar pondok pun diberi batas
waktu”
“o ya?”
Sejenak kami saling diam, aku terus
memandang tugu, sesekali melihat para pengunjung lain dan lalu lalang kendaraan
yang lewat. Benar-benar malam yang begitu indah di tempat ini, suasana malam
yang tak mati meski sudah selarut ini.
“aku tidak akan pernah ke sini jika
aku tidak sedang OJT dan ketemu kamu”
“berarti aku menjadi orang pertama
yang membawamu ke tempat ini di malam hari? Ah betapa berdosanya aku yang telah
membawa anak pondok malam-malam ke sini. Kalau gitu pulang yuk”
Akhirnya kami pulang walau dalam
hatiku masih ingin di sini bersama dia. Ini rasa yang aku sebut entah, sebuah
rasa yang mengalahkan rasa takut oleh hukuman karena sudah melanggar peraturan
pondok. Ya dia, entah kenapa aku senang bersama dia, padahal aku mengenalnya
tak lebih dari dua bulan lalu dan mulai akrab baru beberapa minggu ini. Apa ini cinta ya ry?. Mungkin sebagai santri
di sebuah pondok, aku juga seorang manusia, seorang wanita yang bisa jatuh
cinta.
Ah sudah ry, mungkin hanya ini yang
bisa aku ceritakan kepadamu, mungkin nanti aku ceritakan lagi jika aku sudah
tahu jelas dengan pasti nama rasa yang berada dalam hatiku ini. Dan aku yakin
kamu tak sabar untuk mendengarkan itu kan? Begitu juga dengan aku ry, aku juga
sudah tidak sabar ingin tahu nama rasa ini.
O ya ry, sebelum aku tidur, akan
aku hadiahi kamu dengan sebuah puisi yang tercipta dari rasa ini.
Terlalu kejam jika aku sebut ini
sakit
Meski terkadang menyiksa hati
Membuatnya menjerit
Membuatku tak ingin menelan apapun
Terlalu dini jika aku namai ini
cinta
Meski ada rasa ingin selalu
dengannya
Melahirkan rasa rindu yang tak
tertahan
Menjadikan diri seolah terbang
Ini memang rasa yang entah
Yang sedang bermain dengan hatiku
Rasa yang terlahir dari benih-benih
waktu
Rasa yang belum sempat aku namai
Ia
tutup buku diarynya, ia taruh di sebelah bantalnya. Jarum jam yang sudah
menunjukkan pukul 12 lebih 30 menit memaksanya untuk segera tidur. Lagi-lagi
rasa itu yang membuatnya tak langsung bisa memejamkan mata, ia hanya
tersenyum-senyum sendiri, memeluk guling merah jambunya sambil matanya yang
nanar menerawang jauh kemana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar