Senin, 27 Oktober 2014

MENENUN AWAN

...dan kutenun segumpal awan
Lalu kucoret dengan abu-abu
Biar menjadi mendung
Biar hujan yang turun

Kini hujan menjadi anakku
Anak dari ketidak-warasanku
Menenun awan
Menjadikannya mendung
Lalu hujan

Lihatlah dia
Yang tawanya terejawantah gemericik
Berloncatan, berhamburan, berlarian
Lalu menyapaku

Minggu, 26 Oktober 2014

NAMANYA JUGA CINTA



Kebahagiaan ini aku dapatkan setelah aku putus dengan Bagas, hubungan yang sudah aku jalani bersamanya selama lebih dari 5 tahun. Memang ada sesuatu yang akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya, sesuatu hal yang menurutku rasional untuk menjalani sebuah hubungan ke jenjang pernikahan. Hingga membuatku memilih Satya yang ku anggap sempurna di mataku, yang juga aku anggap mampu menjadi pendampingku selamanya. Walaupun aku tahu Bagas sangat mencintaiku lebih dari segalanya. Namun aku juga harus membuka mata, berpikir dengan rasional. Ini bukan tentang sekedar pacaran, sayang-sayangan atau cinta semata, tapi ini tentang masa depan, aku harus mengambil sikap itu dan mengkesampingkan kesenangan belaka, atau sekedar cinta belaka. Mungkin ini terdengar sadis, apalagi buat Bagas, tapi buatku inilah hidup, hidup yang penuh dengan pilihan meski harus melukai hati seseorang.
Hari-hari aku jalani dengan penuh kebahagiaan bersama Satya meski umur hubungan kami baru seumur jagung, tapi aku merasa dialah yang benar-benar pantas sebagai pendamping hidupku dengan segala yang ia punya. Aku sangat mencintainya, seolah semua hidup dan segala yang ku punya aku serahkan sepenuhnya untuk dia, termasuk kesucianku. Namanya juga cinta, lagi pula saat itu sudah menjelang pernikahan kami. Ya, pernikahan kami yang tinggal menghitung bulan saja, dan tak lebih dari dua bulan lagi.
Malam itu, angin malam terasa sangat dingin sekali meski jam di rumahku baru menunjukkan pukul 20:10 malam. Padahal tak ada hujan yang turun, tapi memang angin malam itu sudah bisa membuat kami berdua terlena oleh suasana dan akhirnya aku serahkan apa yang seharusnya aku berikan kepadanya saat kami sudah menikah nanti. Tapi mungkin aku sudah terlanjur cinta kepadanya dan tak ragu lagi untuk hidup bersama dia. Lagi pula sebentar lagi aku akan menikah dengannya dan dia akan menjadi bapak dari benih yang telah ia taruh dalam rahimku. Aku tak ragu lagi saat melakukannya. Aku terus saja menikmatinya.
Tiga minggu kini menjelang pernikahan aku dan dia. Aku merasakan ada kehidupan di dalam tubuhku. Aku positif hamil saat aku periksa kesehatan sebagai salah satu syarat pengajuan pernikahan kami. Aku merasa sangat bahagia, kini aku akan segera menikah dengan lelaki yang begitu sempurna di mataku dan aku akan segera menjadi seorang ibu. Begitu pun dengan dia, aku lihat dari wajahnya yang memang sudah siap dengan semua ini. Aku merasakan perhatiannya kepadaku semakin bertambah, aku semakin dimanja olehnya.
Ini saatnya kami harus pergi ke tempat percetakan untuk memesan undangan untuk pernikahan kami. Tapi dia melarangku untuk ikut, aku disuruh untuk tetap tinggal di rumah saja. “kamu istirahat saja sayang, biar aku saja yang pesan undangannya” ucapnya dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Kecupan yang tak biasa, aku justru merasakan ada yang aneh dalam kecupan ini. Baru kali ini aku merasakan kecupan yang begitu mesra darinya di keningku selama aku menjalani hubungan dengannya. Seharusnya aku merasakan senang, tapi entah kenapa justru perasaan aneh yang hinggap setelah kecupan itu mendarat di keningku. Aku terus melihatnya pergi dari depan pintu sampai dia benar-benar tak terlihat lagi, ada perasaan takut yang menyerang hatiku, ini memang tak seperti biasanya. Aku seperti bisa merasakan akan kehilangan dia dengan kepergiannya ke tempat percetakan itu. Segera aku tepiskan pikiran itu dengan mencoba melihat acara sinetron di salah satu stasiun televisi hingga tanpa sadar aku tertidur di depan televisi yang tadi aku lihat.
Aku terhentak terbangun oleh suara keras sebuah truk yang menghantam motor calon swamiku dalam mimpiku tadi. Aku terbangun. Badanku berkeringat deras, detak jantungkun berdetak kencang, pikiranku semakin tak karuan, apalagi aku lihat jam yang berada di dinding sudah menunjukkan pukul 17:21. Ternyata aku sudah tertidur selama kurang lebih 6 jam lamanya dan aku tak melihat Satya di rumahku. “apa dia langsung pulang ke rumahnya ya?” tanyaku lirih pada diriku sendiri. Aku segera saja mencoba untuk menhubunginya lewat telefon genggamku. Tak ada jawaban darinya meski sudah tiga kali aku mencoba menelefonnya. Sepertinya telefon genggamnya mati dan kali ini kekawatiranku semakin menjadi. Aku tak habisan akal, aku mencoba menghubungi rumahnya. “Satya belum pulang tu nduk. Ibu kira dia di situ” jawaban ibunya membuatku semakin lemas rasanya. Entah kemana lagi aku harus mencarinya.
“kamu kenapa nduk kok terlihat gelisah seperti itu?” tanya ibuku yang melihatku sedari tadi dari ruang tempatnya merenda, hobbynya setiap sore.
“ini bu, mas Satya belum pulang juga dari pesen undangan, padahal udah dari tadi jam 11. Aku coba hubungi dia ndak aktif, aku hubungi rumahnya katanya belum pulang” jawabku masih dengan kegelisahan akan keadaannya.
“sudah jangan gelisah gitu, mungkin dia mampir dulu ke tempat temannya atau kemana gitu” ucap ibuku mencoba sedikit menghiburku. Namun aku tak bisa tenang, ditambah lagi dengan mimpi burukku tadi.
Selang tak berapa lama ada telefon masuk dari bapaknya Satya ke telfon genggamku. Segara mungkin aku angkat dengan harapan ada kabar baik dari Satya yang sedang aku kwatirkan sedari tadi. “iya halo pak” ucapku dengan harapan akan mendapat kabar baik tentang Satya. “begini nak Jepara...” Pak Rahmat terdiam tak mampu menuruskan apa yang hendak ia katakan. Hal itu membuat aku semakin gelisah.
Bagai disambar petir. Seluruh tubuhku seketika lemas tak berdaya ketika akhirnya pak Rahmat dengan gugup melanjutkan kata-katanya. Semua seakan gelap. Hidupku hancur bersama mimpi yang terbawa oleh calon swamiku ke nirwana. Entah apa yang harus aku lakukan kini, apalagi ditambah dengan adanya janin yang kini bersemayam dalam rahimku. Punah sudah impianku menjadi orang yang bahagia.
Di pemakaman, aku tak henti menagisi kepergian kekasihku hingga serasa habis sudah air mata yang harus aku keluarkan. Berganti pekat gelap tak dapat melihat. Tak dapat aku menahan berat tubuhnku sendiri hingga akhirnya jatuh dan tak sadarkan diri.
                                                        *****
Selepas 40 hari kepergian Satya, aku masih terlihat murung dalam kamar. Tak tahu apa yang harus aku perbuat, sedang aku tahu perutku akan terus membesar. Aku tak sanggup untuk mengatakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku sudah mengandung benih dari Satya, aku tak sanggup jika harus melihat perutku tumbuh membesar dan melahirkan bayi tanpa ada swami,  aku juga tak sanggup jika harus membunuh bayi yang tak berdosa. Sebuah dilema besar buatku.
Telfon genggamku berbunyi tanda ada pesan singkat masuk. Aku buka, aku baca sepenggal pesan dari dia yang tak pernah terpikirkan lagi olehku. Pesan yang berbunyi “aku turut berduka cita atas meninggalnya pacarmu Ra. Aku sangat tahu bagaimana perasaanmu saat ditinggalkan dia yang sangat kamu cintai. Sudahlah, jangan terus larut dalam kesedihan. Inilah hidup, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi”
Belum sempat membalas pesan yang sebelumnya masuk, datang lagi pesan kedua yang berbunyi “jika kamu mau, aku masih mau menjadi tempat bersandarmu seperti dulu. Aku memang tak sehebat dia, tapi paling tidak pundakku masih kuat seperti dulu untuk kau jadikan tempat bersandar”
Dalam keadaanku yang masih dilanda kesedihan, aku benar-benar tak menangkap maksud dari pesan yang aku baca. Tapi aku merasakan ada sedikit angin segar yang masuk ke dalam ruang hampa yang selama ini aku tempati setelah kepergian kekasihku. Dan aku membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa bertanya sebuah pertanyaan yang menurutku bodoh setelah aku pikir-pikir lagi dan aku rasa tak ada gunanya menanyakan hal itu kepadanya. Tapi jawaban yang aku terima justru membuat hatiku tersentak kaget, seakan anganku terhipnotis dan kembali kemasa yang lalu. Aku merasa harus bicara langsung dengannya, bukan sekedar berbicara lewat pesan singkat. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubunginya.
“tapi kamu ndak tahu apa yang terjadi denganku kini Gas” ucapku yang kini sudah berpindah di saluran telefon.
“aku memang ndak tahu apa yang terjadi kini, bahkan sejak kau putuskan aku, tapi aku tahu, hati dan perasaan ini masih kepadamu” ucapnya yang terdengar tanpa ragu lagi. Lalu aku rebahkan tubuh ini, aku menghela nafas panjang dan mengeluarkannya kembali.
“andai kamu tahu Gas, pasti kamu akan mengurungkan niatmu untuk bisa bersamaku lagi”
“hamil?” ucapan Bagas yang begitu mengagetkanku. Entah dari mana dan entah bagaimana Bagas bisa dengan tepat menebak apa yang aku sembunyikan dan membuatku hanya bisa terdiam sejenak.
“kenapa kamu bisa berkata seperti itu?” ucapku masih berusaha menyembunyikan hal itu dari Bagas.
“aku membaca tanda-tanda” jawabnya santai.
“tanda-tanda?” aku merasa bingung dengan kata-kata itu.
“sudahlah lupakan hal itu, itu tidak penting. Yang terpenting, jika kamu mengijinkan aku dan memberi kesempatan untuk menjadi apa yang kamu mau, aku siap menerima kamu dengan segala keadaanmu”
Aku sadari ada sesuatu yang membasahi kedua pipiku. Aku menangis oleh kata-katanya yang terdengar begitu tulus mau menerimaku meski keadaannya seperti sekarang ini. Betapa aku malunya kepada diriku sendiri dengan tindakan bodoh yang telah meninggalkan Bagas hanya demi seseorang yang kuanggap sempurna di mataku. Melakukan tindakan yang ternyata hanya sia-sia.
Dulu aku yang begitu yakin bisa menikah dengan Satya akhirnya kandas sia-sia oleh ketetapan Tuhan. Memang sebagai manusia aku hanya bisa berharap, tapi tetap Tuhanlah yang akhirnya menentukan. Mungkin inilah ketentuan Tuhan yang telah diberikan kepadaku, akhirnya aku menikah dengan Bagas. Lagi-lagi ini terlihat sadis memang. Orang-orang pasti melihat aku mau menerimanya kembali hanya karena janin yang sudah bersemayam dalam rahimku. Tapi Bagas tak pernah mau ambil pusing dengan ocehan-ocehan para tetangga. Dia pernah bilang kepadaku saat aku bertanya kepadanya tentang ini. “aku tak pernah perduli apa kata mereka, bagiku yang terpenting, aku bisa hidup denganmu sayang”. Aku memeluk Bagas yang kini sudah menjadi swamiku dengan erat. Dalam hati aku hanya berkata “maafkan aku swamiku”.
Hari-hari aku lalui dengan sangat bahagia. Ternyata dulu aku salah menilai Bagas dari apa yang bisa aku lihat saja, tapi ternyata jauh dari dasar hatinya yang tak mampu aku lihat, dia orangnya sangat bertanggung jawab, perhatian dan sangat sayang. Setiap kali aku periksa kehamilanku, dia dengan siaga selalu ada untukku. Pekerjaan rumah yang berat-berat yang seharusnya menjadi pekerjaanku selalu saja ia yang lakukan.
Ini adalah bulan kesembilan, beberapa minggu lagi aku akan melahirkan.
Aku masih ingat betul saat itu hari kamis malam, tepatnya malam jum’at kliwon. Aku merasakan ada kontraksi yang hebat, aku benar-benar tak tahan. Jika HPL-nya, seharusnya masih empat hari lagi. Aku langsung dibawa kebidan yang tak jauh dari rumah dengan mengendarai motor. Mas Bagas sepertinya merasa kasihan oleh rintihan yang terus keluar dari mulutku, aku merasakan laju motornya semakin cepat, aku tahu dalam pikirannya hanya satu, agar kami cepat sampai. Saat hampir di tikungan, aku merasakan laju motornya tak melambat, ada rasa gugup dari tubuh mas Bagas yang merambat cepat. Ia tak bisa mengendalikan laju motornya dengan kecepatan yang sama, aku semakin erat melingkarkan tangan di perutnya. Dari arah berlawanan, aku lihat juga sepasang cahaya yang menyilaukan melaju dengan cepat. Saat itulah aku tak lagi tahu apa yang terjadi kepada kami. semuanya hitam pekat. Tubuh ini menjadi ringan. Hingga beberapa saat aku bisa melihat mas Bagas dan sesosok tubuh wanita yang ia pangku. Mas Bagas terus berteriak histeris, dan saat itulah aku baru menyadari bahwa aku sudah mati.

Senin, 13 Oktober 2014

diary Azahra



Langit malam ini begitu cerah, terlihat beberapa bintang dan bulan yang cukup terang meski belum begitu sempurna untuk menjadi purnama. Udara dingin pun terasa menusuk tubuh yang terlihat lelah setelah bekerja. Namun ia tak segera untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya, ada rasa yang mengganggu dalam hatinya, sesuatu yang ia pun tak mengerti.
Disambarnya buku diary yang tergeletak di meja belajarnya. Ia merasa apa yang baru saja ia alami tak boleh terlewatkan untuk diabadikan dalam bukunya. Baginya moment-moment tertentu tak boleh begitu saja hilang ditelan waktu, entah itu senang, sedih, lucu, memalukan bahkan sepahit apapun itu harus tersimpan dalam bukunya. Apalagi moment malam ini.
Dear diary
Seperti biasa, kamu harus tahu apa yang baru saja aku alami ry. Ah bukan, kali ini kamu meleset 180 derajat. Jika aku boleh menyebutnya ini rasa nano-nano. Kenapa aku bilang nano-nano, ups maaf aku lupa kalau kamu hanya sebuah buku ry, jadi pasti tak tahu apa itu rasa nano-nano. Oke kamu cukup mendengarkan saja. Entah aku mau mulai cerita ini dari mana ry, yang jelas ini adalah pengalamanku yang pertama, iya benar-benar yang pertama ry. Mungkin pengalaman ini tak akan pernah terjadi jika aku tak pernah menjalani on the job training ini.
Entah mimpi apa aku semalam, tiba-tiba dia menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang. Aku pikir dia hanya bercanda, tapi ternyata dia benar-benar serius untuk mengantarkan aku pulang begitu aku jawab mau dan sudah siap di atas motor di sampingku. Memang sudah lama aku ingin berkeliling kota pada malam hari dan entah dari mana tiba-tiba saja tanpa aku sadari aku mengucap keinginan itu padanya.
“kamu pernah ke tugu?” tanyanya kepadaku ry dan dengan tegas aku jawab saja belum. “tapi aku ta bawa helm” ucapku dengan sinar di wajahku sedikit meredup. Dengan cepat dia memberiku helmnya yang telah dia pakai.
Singkat cerita ry, kami berdua akhirnya berangkat menuju tugu. Tapi tenang saja ry, kami tak berada dalam satu motor, kami menaiki motor kami sendiri-sendiri. Pada trafic light yang pertama, tiba-tiba datang perasaan takut yang perlahan bersemayam dalam diriku, aku takut ketahuan pergi malam-malam dengan seorang cowok, apalagi motorku dipasangi stiker yang menyimbolkan tempat dimana aku tinggal. Aku benar-benar takut jika ada yang melihatku malam-malam pergi yang seharusnya aku langsung pulang ketika jam kerjaku selesai. Tapi ada rasa “ingin” yang membuatku melanjutkan perjalanan ini, menuju tugu. Semakin jauh jarak yang kutempuh, semakin besar rasa takut itu menghantui, namun rasa “ingin” dan sesuatu yang entah ini mampu membuatku untuk tetap pergi. Ingin sekali ry rasanya memutar waktu untuk lebih cepat berputar agar kami cepat sampai pada tujuan, cepat kembali pulang dan cepat pula rasa takut ini hilang, tapi jangan dengan rasa yang satunya.
Tak sampai 15 menit kami sampai sesuai dengan perhitungannya saat aku tanya waktu tempuh ke tugu sebelum kami berangkat. Sejenak aku benar-benar lupa dengan rasa takut yang tadi menghantuiku setelah aku berdiri di depan tugu yang menjadi ikon kota ini. Inilah pengalaman pertamaku selama dua tahun lebih aku berada di kota ini. Jauh dari pikiranku, ternyata tempat ini begitu ramai dikunjungi dimalam hari, beda pada siang hari yang tak ada satupun orang yang beraktifitas di sekeliling tugu di depanku ini. Aku lihat meraka yang berada di sini selain hanya duduk-duduk, sebagian besar dari mereka memanfaatkan tempat ini untuk bernarsis ria dengan mengabadikannya lewat foto.
“kamu tidak foto-foto juga seperti mereka” ucapnya kepadaku.
“tidak ah, takut ketahuan” jawabku yang sebenarnya sangat ingin mengabadikan moment ini lewat foto.
“oo gitu ya?”
“apa jadinya nanti kalau ada yang tahu aku kesini malam-malam”
“memangnya kenapa?”
“ada sangsinya lah. Aku harus membuat pernyataan di depan para santri. Iya kalau Cuma 5 santri, ini ada ratusan santri di pondok itu”
“hmmm... oya, kenapa kamu tidak mondok di gontor?”
“ah bisa mati aku jika di sana, menurutku di sana adalah pondok paling killer”
“di sana, pondok yang benar-benar tidak boleh membawa telpon seluler, bahkan keluar pondok pun diberi batas waktu”
“o ya?”
Sejenak kami saling diam, aku terus memandang tugu, sesekali melihat para pengunjung lain dan lalu lalang kendaraan yang lewat. Benar-benar malam yang begitu indah di tempat ini, suasana malam yang tak mati meski sudah selarut ini.
“aku tidak akan pernah ke sini jika aku tidak sedang OJT dan ketemu kamu”
“berarti aku menjadi orang pertama yang membawamu ke tempat ini di malam hari? Ah betapa berdosanya aku yang telah membawa anak pondok malam-malam ke sini. Kalau gitu pulang yuk”
Akhirnya kami pulang walau dalam hatiku masih ingin di sini bersama dia. Ini rasa yang aku sebut entah, sebuah rasa yang mengalahkan rasa takut oleh hukuman karena sudah melanggar peraturan pondok. Ya dia, entah kenapa aku senang bersama dia, padahal aku mengenalnya tak lebih dari dua bulan lalu dan mulai akrab baru beberapa minggu ini.  Apa ini cinta ya ry?. Mungkin sebagai santri di sebuah pondok, aku juga seorang manusia, seorang wanita yang bisa jatuh cinta.
Ah sudah ry, mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan kepadamu, mungkin nanti aku ceritakan lagi jika aku sudah tahu jelas dengan pasti nama rasa yang berada dalam hatiku ini. Dan aku yakin kamu tak sabar untuk mendengarkan itu kan? Begitu juga dengan aku ry, aku juga sudah tidak sabar ingin tahu nama rasa ini.
O ya ry, sebelum aku tidur, akan aku hadiahi kamu dengan sebuah puisi yang tercipta dari rasa ini. 
Terlalu kejam jika aku sebut ini sakit
Meski terkadang menyiksa hati
Membuatnya menjerit
Membuatku tak ingin menelan apapun

Terlalu dini jika aku namai ini cinta
Meski ada rasa ingin selalu dengannya
Melahirkan rasa rindu yang tak tertahan
Menjadikan diri seolah terbang

Ini memang rasa yang entah
Yang sedang bermain dengan hatiku
Rasa yang terlahir dari benih-benih waktu
Rasa yang belum sempat aku namai

Ia tutup buku diarynya, ia taruh di sebelah bantalnya. Jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lebih 30 menit memaksanya untuk segera tidur. Lagi-lagi rasa itu yang membuatnya tak langsung bisa memejamkan mata, ia hanya tersenyum-senyum sendiri, memeluk guling merah jambunya sambil matanya yang nanar menerawang jauh kemana-mana.




Senin, 06 Oktober 2014

jiwa mati...



Pernahkan kalian merasakan jiwamu mati untuk beberapa waktu yang tak lebih dari lima menit saja. Dimana kalian tak bisa merasakan apa-apa, pikiran tak bisa memikirkan apa-apa namun tak kosong, hati tak bisa merasakan apa-apa tapi tak mati rasa, raga tak bisa berbuat apa-apa tapi tak lumpuh, namun kalian masih tersadar dan masih bernapas. Sebuah keadaan yang melenyapkan segalanya, sebuah keadaan dimana semua indra berhenti bekerja namun masih memiliki nyawa dan detak. Ya,  jiwa mati aku menyebutnya, sebuah kematian yang tak mati, sebuah kematian yang lebih mengerikan dari mati suri, sebuah keadaan yang menjadikan segalanya tak ada, menjadi sunyi, menjadikan segalanya tak berarti, menjadi hampa.