Ini sudah kesekian kalinya, sampai
akupun lupa tepatnya. Kau terus mengucapkan kata yang sama, mengusirku dari
segala apa yang entah apa ini, tempat yang begitu nyaman buatku, walau seperti
di dalam negri antah berantah keadaan kita, keadaan yang sulit di cerna dengan
otak kanan yang rasional. Hanya otak gila kita yang dapat mencernanya menjadi
sebuah keadaan yang nyata, nyaman. tempat kita singgah selama ini.
Terlalu banyak alasan yang kau muntahkan
di pangkuanku yang membuatku tak nyaman. Alasanmu memang masuk akal, tapi
terlalu masuk akal oleh rasa kita yang tak masuk akal. Buat saja alasan yang
tak masuk akal juga, itu mungkin lebih nyaman buatku, walau tetap tak akan ku
amini. Aku akan tetap bertahan, hidup dalam negri antah berantah ini, negri
yang memang entah dengan perasaan yang tidak entah, tapi nyata ada.
Aku tak peduli lagi kini, meski sayapku
kau patahkan, meski kakiku kau lumpuhkan, rasa ini tetap akan bisa berjalan
menujumu, menjadikanku tak akan mati, apalagi sebatas pergi, tak akan. Rasa ini
telah menanamkan hatiku ke dalam tanah yang gembur dan kini sudah berakar
tunggang, kokoh.
Aku tak akan pergi, meninggalkan apa
yang disebut nyaman, menghancurkan semua bayang semu yang telah menjadi nyata.
kini aku sudah bisa memelukmu bukan? Dalam jarak kita yang bermil-mil jauhnya,
kini aku bisa melihatmu bukan? Dari keterbatasan panca indra, mata nyataku. Aku
kini bisa dengan jelas merasakan kehadiranmu, kau bercerita, kau tertawa, kau memelukku
hingga hangat kulit kita beradu bertukar dan berbicara.
Lalu apa harus ku amini? Sedang semua
itu masih terasa membekas di bagian kenikmatan kita.
Aku tak akan menginginkanmu lebih,
menjadikan milikku yang berwujud. Aku tak akan mengharapkanmu banyak, mewujudkanmu
yang bermilik. Aku hanya meminta satu hal, seperti bulan, ijinkan aku setia
pada malam. Walau terkadang juga kesiangan, maaf, itu tak sengaja. Jelas tak
sengaja, karena kau lah yang mampu membuatku terang benderang, tak memucatkan
aku seperti yang selalu dilakukan siang terhadapku. Ya, hanya kamu yang bisa
membuatku seperti itu, bukan dia.
Aku tahu, kau terlalu sayang,
menginginkanku yang terbaik, menganggapmu bukan yang terbaik, tapi semua ini
tak membuatku akan baik-baik saja, seperti yang kumau. Rubah saja keadaan kita sebagai,
aku menjadi bakiak butut bekas sang terluka dan kamu menjadi sepatu convers
yang masih mempunyai tuannya, yang terhanyut bersama di sebuah sungai panjang
hidup kita. Dan biarkan airnya yang membawa kita kepada muara takdir, karena di
muara takdir itulah kita tak akan pernah merasakan sakit akan jalanmu dan
jalanku, jalan kita yang memang beda, atau nasib lebih tepatnya. Entah aku akan
terus terombang ambing atau tersangkut pada jaring sang nelayan tua lalu
membuangnya lagi dan kau kembali kepada sang tuanmu.
Tapi sungai kita masih panjang, kita
belum sampai pada yang disebut muara takdir. Nikmati sajalah, atau aku yang
memang terlalu mengharapkan ini, sedang kau berkali-kali ingin pergi dariku,
terlepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar