Sepuluh tahun yang lalu, aku tak pernah
tahu apa maksud dari ucapan seorang lekaki tua itu. aku tak kenal dia, yang aku
tahu dia adalah orang gila yang sering seliwearan di depan rumahku setiap pagi.
Aku sering melihatnya tanpa sengaja dari balik jendela kamarku.
Mungkin usiaku masih terlalu kecil untuk
tahu maksud dari celotehnya waktu itu, hingga lambat laun seiring kejadian demi
kejadian ku alami, celotehnya seakan terus terngiang di telingaku. Celoteh yang
sangat menggangguku. “kamu adalah dewa kematian nak, jauhi teman-temanmu jika
tak ingin kehilagan mereka” ucapnya kala itu.
Seiring berjalannya waktu, akupun mulai
menyadari ada sesuatu yang memang aneh dalam diriku. Seakan celoteh orang gila
itu benar adanya. Aku sang dewa kematian.
Dari situ pula aku mulai mengerti kenapa
aku sedari kecil dikucilkan oleh kedua orang tuaku, dikurung dalam rumah. Dibutakan
dari kebenaran tentang diriku, atau mungkin tepatnya kutukanku.
*dalam kematian pertama
Saat itu usiaku menginjak 6 tahun. Mungkin
seperti anak seusiaku kebanyakan, aku juga iri melihat anak-anak kecil bermain
di bawah derasnya hujan. Kebetulan saat itu kedua orang tuaku sedang tak ada di
rumah, hanya nenek yang menemaniku di rumah.
Kulihat nenek sedang pulas tertidur di
sofa, entah karena hujan yang lebat atau memang kelelahan menjagaku seharian. Aku
mencuri waktu untuk keluar rumah. Ini pertama kalinya aku mulai keluar rumah
setelah beberapa tahun dikurung, sampai akupun lupa kapan terakhir kali aku
menghirup udara segar di luar rumah.
Aku bergabung dengan anak-anak yang ku
lihat sedang asik bermain di bawah hujan. Ku hampiri mereka meski aku tak kenal
dengan mereka. Dalam hitungan detik, aku sudah membaur dengan mereka. Berlarian,
bermain bola, bermandikan hujan yang menjadi pengalaman pertamaku. Ku habiskan
waktuku bersama mereka. Hingga tepat satu jam kebersamaan kami, sebuah
peristiwa itu terjadi. Sebuah kilatan cahaya terang seakan menukik jatuh tepat
di tubuh salah satu teman dari mereka. Semua histeris, termasuk aku. Aku lihat ia
terbujur kaku dengan tubuh menghitam. Ia tak bergerak lagi.
Seketika banyak orang berdatangan ke
tempat kami bermain, termasuk seorang nenek yang sangat kukenal, nenekku
sendiri. Ia memelukku, bergegas membawaku masuk ke dalam rumah kembali,
meninggalkan kerumunan orang-orang yang sepertinya dibuat sibuk oleh pemandangan
yang kulihat tadi. Nenek terlihat takut, entah karena apa.
Aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku
dengan alasan yang tak pernah aku tahu dan ibuku hanya bisa menangis disudut
ruangan.
*dalam kematian kedua
Beberapa minggu dari peristiwa itu, aku
mempunyai kesempatan lagi untuk lari dari rumah. Aku berjalan mengikuti kakiku
melangkah, aku ingin bermain. Langkahku terhenti di sebuah taman, di sana aku
lihat beberapa anak yang mungkin seusiaku, aku hampiri mereka, ikut bermain
bersama mereka. Lagi-lagi setelah satu jam kami bermain, aku lihat salah satu
dari kami, entah bagaimana bisa, tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh ke dalam
kolam yang ada di taman. Kami semua menjerit hingga beberapa orang dewasa
berkerumun mendekat. Kulihat mereka seakan berlomba-lomba untuk mengentaskan
temanku yang terjatuh ke dalam kolam. Tapi sayang, temanku sudah tak bergerak
lagi.
Lagi-lagi ayah memarahiku kembali, masih
dengan alasan yang tak pernah keluar dari mulutnya saat ku tanya mengapa. Apa aku
salah bermain dengan mereka, apa aku salah keluar rumah untuk bermain. Aku anak
kecil yang butuh bermain, ingin normal seperti anak-anak seusiaku.
*dalam kematian selanjutnya dan
seterusnya
Aku masih tak mengerti apa yang terjadi,
setiap kali aku bermain dengan anak-anak yang lain, selalu ada saja peristiwa
yang sama. Sebuah peristiwa yang akhirnya aku tahu itu, kematian. Namun aku tak
pernah tahu penyebab sesungguhnya. Aku tak pernah berpikir sedikitpun, akulah
penyebabnya. Setiap kali aku bermain dengan teman-temanku, selalu ada saja
kematian yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Entah apa yang terjadi
sebenarnya, kenapa banyak kematian demi kematian yang terjadi dengan berbagai
cara yang berbeda-beda di depanku. Kematian seorang teman setelah kami bermain.
Aku masih belum menyadarinya, aku anggap itu adalah kematian yang mungkin
itulah yang terjadi.
Sampai saat usiaku 7 tahun, aku tanpa
sengaja bertemu dengan lelaki yang sering ku lihat seliweran di depan rumahku. Saat
aku sedang duduk di bawah pohon dekat rumahku, seperti biasa, aku selalu bisa
mencuri waktu untuk keluar rumah. Saat itu aku memang sedang malas bermain, aku
hanya keluar rumah dan bersantai di bawah pohon. Tiba-tiba lekaki itu
menghampiriku dan meraih tanganku, aku sangat takut, ingin berlari namun
tangannya begitu kuat menggenggam tanganku hingga ku tak dapat berlari. Lalu tiba-tiba
ia berkata dengan wajah yang menakutkanku. “kamu adalah dewa kematian nak,
jauhi teman-temanmu jika tak ingin kehilangan mereka”. Aku terus meronta, tapi
kata-kata itu terekam jelas di telingaku. Aku berlari kencang masuk kerumah
ketika ia melepaskan tangannya dari tanganku setelah apa yang ia ucapkan
kepadaku.
Kini sepuluh tahun berlalu, sampai aku
benar-benar menyadari apa yang ada dalam diriku, aku sebut ini memang kutukan. Aku
telahir dengan sebuah kutukan yang bisa membunuh orang di dekatku tanpa aku
berbuat apa-apa. Mungkin benar apa yang diucapkan lekaki itu, aku adalah dewa
kematian.
*dalam kematian terakhir
Sebelum aku benar-benar percaya dengan
ucapan lekaki itu, aku sengaja membuktikan. Itupun setelah aku berperang dengan
jiwaku, aku tak ingin melihat kematian yang disebabkan olehku, namun kali ini
aku harus melakukan untuk sebuah pembuktian. Jika ini memang terjadi, aku
berjanji ini yang terakhir kali, dan tak akan kulihat kematian-kematian lagi
oleh ulahku yang masih tak ku mengerti sebenarnya.
Saat itu aku kembali berulah, mencoba
keluar rumah untuk mencari seseorang yang akan ku jadikan pembuktian terakhir. Mungkin
aku akan berdosa, tapi jika tidak aku lakukan, aku tak akan benar-benar tahu
dan yakin, dan masih akan kuanggap itu adalah kematian yang sewajarnya orang
hidup pasti mati.
Aku berhasil keluar rumah, aku terus
berjalan menjauh dari rumah, menuju entah kemana, mencari pembuktian yang
tepat, yang pantas aku jadikan pembuktian lebih tepatnya.
Aku mendengar teriakan seorang gadis tak
jauh dari tempatku berjalan, aku berlari mencari asal suara gadis tadi. Aku lihat
beberapa orang lelaki sedang mengerumini gadis itu, sontak aku mendekat. Sebenarnya
akupun tak tahu apa yang harus aku lakukan. Jelas aku yang bisa mati dikeroyok
mereka berlima. Berbekal sebuah pembuktian, tetap ku beranikan diri untuk
mendekat.
Benar apa yang aku pikirkan sebelumnya,
aku yang jadi bulan-bulanan atas bogem mentah kelima lelaki itu, mereka
mengeroyokku dengan mudah, aku tak bisa melawan sedikitpun. Aku sempat berpikir
tentang pembuktian itu dan gelar dewa kematian yang diberikan orang gila itu
salah besar, dan aku sempat tersenyum lega. Aku akan mati dikeroyok mereka kali
ini, pikirku lagi. Namun beberapa detik setelah aku berpikir begitu, aku
merasakan bumi berguncang dengan hebat. Aku dengar teriakan mereka mengucap
kata “gempa” berulang kali dan membuat mereka berlari kalang kabut. Belum ada
lima meter menjauh dariku, aku lihat sebuah tiang listrik roboh menghantam
tepat di kepala salah satu dengan mereka, seketika itu gempapun berhenti. Senyum
legaku yang tadi sempat tumbuh di bibirku seakan kembali sirna.
Kali ini aku benar-benar takut, bukan
pada mereka atau kematian yang aku lihat, tapi kepada diriku sendiri. “aku
benar-benar dewa kematian” ucapku dalam hati sambil terus berlari menuju rumah.
Kali ini tak kubiarkan ayahku
menghujaniku dengan kamarahan oleh ulahku yang mungkin sudah sekian ribu kali. Sebelum
sempat ayahku membuka mulut ketika melihatku dari luar rumah, aku hujani dengan
banyak pertanyaan tentangku. Tentang kenapa aku begini, tentang kutukan ini. Ayah
dan ibu hanya bisa diam dan terdiam, sedang aku masih menggebu-gebu menhujani
mereka dengan pertanyaan yang sama. “aku sebenarnya siapa? Apa yang terjadi
denganku? Kenapa semua orang yang ada di dekatku selalu mati? Kenapa aku selalu
melihat kematian di dekatku? Lalu kenapa kalian tak mati di dekatku? Aku terkena
kutukan apa? Tolong jelaskan padaku yah, katakan padaku bu”
“sudah saatnya dia harus tahu yah,
ceritakan saja apa yang terjadi 17tahun silam sebelum dia lahir” ucap ibuku
sedikit memaksa ayahku untuk bicara.
“baik bu”
“apa yang sebenarnya terjadi?” sekali
lagi dengan penuh penasaran
“saat itu, saat ibumu sedang hamil tua. Ayah
tanpa sengaja memfitnah seseorang dengan mengatakan sebagai pembunuh kakekmu. Saat
itu ayah, ibumu dan kakek nenekmu sedang makan malam di sebuah restoran. Kakekmu
pergi menuju mobil untuk mengambil sesuatu, belum ada lima menit, kami semua
mendengar teriakan kakekmu minta tolong, lekas ayah berlari menghampiri
kakekmu. Ayah lihat kakekmu sudah berlumuran darah di perutnya dan ayah melihat
seorang laki-laki dengan sebuah pisau di tangannya. Dalam pangkuan ayah,
kakekmu menghembuskan nafas yang terakhir kali. Sontak ayah meneriaki lelaki
itu dengan sebutan pembunuh dan membuat para masa akhirnya menghakimi lelaki
itu. Sebelum lelaki itu akhirnya tewas, seorang anak belasan tahun yang
ternyata adalah anak lelaki itu, berteriak histeris dan mengatakan kalau ayahnya justru ingin
menolong kakekmu dari perampokan. “bapak yang pembunuh, bapak yang pembunuh”
sambil menunjukkan jari ke arah ayah. Ayah lihat di matanya kemarahan atas
fitnah yang ayah lontarkan kepada bapaknya yang membuatnya akhirnya tewas. Ia terus
meneriakkan kata-kata itu. dan saat itulah ibumu merasakan kontraksi di
perutnya seiring suara petir yang menyambar-nyambar, dan singkat cerita, kau
lahir di sana, di depan kematian kakekmu dan lelaki yang ayah fitnah.
Mungkin hanya itu yang bisa ayah
ceritakan saat kelahiranmu. Tentang apa yang ada di dirimu, ayah sebenarnya tak
percaya, itu semua penyebab kamu menjadi seperti ini”
“lalu sejak kapan ayah menyadari tetang
apa yang ada di diriku, tentang kematian yang disebabkan oleh diriku?”
“sejak kamu berumur 2 tahun nak,
sebelumnya ayah dan ibumu tidak percaya melihat kematian demi kematian yang
terjadi di dekatmu. Ayah anggak itu takdir. Tapi setelah sekian banyak kematian
dan kembali teringat kejadian saat kamu lahir, ayah menyadari kematian-kematian
itu mungkin ada hubungannya dengan itu semua, dan sejak itulah mengapa ayah dan
ibumu mengurungmu di dalam rumah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar