Kala
itu, aku sedang terdiam tanpa kata menatap senja yang menjingga di langitku.
Aku coba melukisnya lewat kata-kata di dalam benakku, mencoba sok puitis
tepatnya. Tiba-tiba benakku terhenti merangkai kata-kata setelah segerombolan
awan mendung berkejar-kejaran, membuat senja menjadi temaram di langitku tadi.
Ah sial senjaku kini berganti gelap gulita. Aku pun mencoba mencari tempat
berteduh setelah beberapa tetesan air mulai berjuntai berjatuhan menerpaku.
Tanah kering kerontang yang terijak mulai basah sedikit demi sedikit terkena
air hujan yang sudah mulai ribuan jumlahnya dan mulai tercium oleh hidungku
sebuah aroma bau basah yang sangat ku kenal, petrichor, hatiku berkata.
Aromanya membuatku berlabuh pada sebuah tempat di mana hanya ada kedamaian yang
ku rasa.
“hei,
boleh aku ikut berteduh di sini” ucapku kepada seorang lelaki yang lebih dulu
berteduh di sini. Daripada tubuhku semakin basah kuyup, aku berteduh saja di
sampingnya walau dia belum sempat berkata apa-apa kepadaku.
“oh,
silahkan. Ini tempat umum, siapa saja boleh berteduh disini” jawabnya sambil
melempar senyum kepadaku dan ku balas dengan senyumanku juga yang tumbuh subur
di atas bibirku yang basah.
Beberapa
menit berlalu, tak ada percakapan diantara kita setelah itu. kami berdua seakan
asik menatap hujan yang terus membasahi bumi dan tempat kami berteduh, sebuah
emperan toko yang sudah tutup. Seakan kami saling asik dengan imaji kami
masing-masing tentang hujan ini.
“sepertinya
kamu butuh ini” ia sodorkan jaketnya kepadaku, entah apa yang membuatnya
akhirnya melakukan itu setelah kami beberapa waktu tak saling berkata. Atau
mungkin ia melihat pelukan kedua tanganku tak mampu menutupi rasa menggigil
yang kini tumbuh subur di tubuhku.
“nggak
usah mas, makasih” tolakku karena aku tak enak jika harus memakai jaketnya dan
menumbuhkan rasa menggigil juga di tubuhnya.
“tapi
aku lihat kamu sangat menggigil dan aku rasa kamu memang membutuhkan ini buat
menghangatkan tubuhmu” ucapnya begitu perhatian meski kami berdua belum saling
mengenal. Dia sodorkan kembali jaketnya kepadaku, ditambah lagi dengan sebuah
senyumnya kepadaku.
“bener nih nggak apa-apa”
Ia
kembali tersenyum, seakan sebuah jawaban ia selipkan diantara senyumnya. Aku
menyentuh tangannya yang ternyata sama dinginnya dengan tanganku ketika aku
mencoba meraih jaketnya.
“makasih
mas” ucapku setelah ku kenakan jaketku. Lagi-lagi sebuah senyum keluar lagi
dari bibirnya.
“nama kamu siapa?” ucap kami berdua yang
membuat kami saling senyum.
“namaku
Senja” ucapku setelah aku berhenti tersenyum.
“aku
Setiawan. Tapi kamu cukup memanggilku Awan saja, biar terdengar lebih keren”
Senyumku
kembali tumbuh, tapi kali ini lebih hangat, seakan aku lupa dengan rasa
dinginku yang membuat tubuhku menggigil.
“nama
kamu cantik, seperti warna langit tadi sebelum akhirnya hujan merubahnya”
Dari
situ, tanpa sadar kami di persatukan oleh obrolan yang membuat kita benar-benar
lupa kalau kita sama-sama sedang menunggu hujan reda. Celoteh-celotehnya
membuatku banyak melahirkan senyum. Ternyata dia orangnya konyol juga.
“oh
iya, kamu sakit? Atau gantian kamu yang kedinginan? Karena aku baru sadar kalau
bibir kamu terlihat pucat. Aku balikin jaketmu ya” tanganku seraya berusaha
menanggalkan jaketnya dari tubuhku.
“nggak..
nggak kok, nggak perlu, sudah pakai saja jaketku” ucapnya cepat seolah tak
setuju dengan aksiku tadi.
“tapi
bibirmu pucat sekali”
“tapi
aku baik-baik aja kok” elaknya.
“yakin
nggak apa-apa?”
Lagi-lagi
aku di beri sebuah jawaban melalui senyum dari bibir pucatnya.
Suara
gelegar setelah petir menyambar membuatku tersentak tersadar dan aku dapati aku
hanya seorang diri di sini, di tempat pertama kali dan terakhir kali aku
bertemu dengannya. Entah kenapa saat aku tanpa sengaja dan berteduh di sini,
bayangannya selalu hadir bersama aroma petrichor ini. Senyumnya, celotehnya dan
segala tentang dia yang ku dapat meski dalam waktu yang singkat, masih sangat
jelas ku ingat.
Satu
hal yang membuat aku selalu bertanya-tanya kenapa aku tak pernah melihatnya
kembali di sini atau di manapun meski waktu sudah berjalan selama hampir
sepuluh tahun adalah bibirnya yang pucat. “apa dia pergi selamanya setelah
hujan itu reda?” pertanyaan itu yang sampai kini tak pernah ku temukan
jawabannya.
Kau sebar benih-benih air dari
tanganmu
Kau hadirkan petrichor-petrichor
kecil di tanahku
Dan kita, bercanda, tertawa
sederhana seadanya
Berselimut petrichor yang terus
menyeruak temani kita
Tapi haruskah kau pergi secepat
itu?
Tanpa sepatah kata dimana, atau
sepenggal alasan mengapa
Sedangkan kehadiranmu yang
singkat
Mampu menumbuhkan petrichor-petrichor
kecil di ingatanku
Kini yang ku ingat
Petrichor kecil itu adalah
kamu...
Dariku, Senja.
Seperti biasa, ribuan sajak telah aku
tulis untuknya sebagai tanda, aku masih mengingatnya. Lalu aku hanyutkan
bersama air hujan, biar hujan ini yang membawakannya kepadanya yang entah di
mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar