Minggu, 01 Juni 2014

AWAN SENJA BERBALUT PETRICHOR KECIL



  Kala itu, aku sedang terdiam tanpa kata menatap senja yang menjingga di langitku. Aku coba melukisnya lewat kata-kata di dalam benakku, mencoba sok puitis tepatnya. Tiba-tiba benakku terhenti merangkai kata-kata setelah segerombolan awan mendung berkejar-kejaran, membuat senja menjadi temaram di langitku tadi. Ah sial senjaku kini berganti gelap gulita. Aku pun mencoba mencari tempat berteduh setelah beberapa tetesan air mulai berjuntai berjatuhan menerpaku. Tanah kering kerontang yang terijak mulai basah sedikit demi sedikit terkena air hujan yang sudah mulai ribuan jumlahnya dan mulai tercium oleh hidungku sebuah aroma bau basah yang sangat ku kenal, petrichor, hatiku berkata. Aromanya membuatku berlabuh pada sebuah tempat di mana hanya ada kedamaian yang ku rasa.
“hei, boleh aku ikut berteduh di sini” ucapku kepada seorang lelaki yang lebih dulu berteduh di sini. Daripada tubuhku semakin basah kuyup, aku berteduh saja di sampingnya walau dia belum sempat berkata apa-apa kepadaku.
“oh, silahkan. Ini tempat umum, siapa saja boleh berteduh disini” jawabnya sambil melempar senyum kepadaku dan ku balas dengan senyumanku juga yang tumbuh subur di atas bibirku yang basah.
Beberapa menit berlalu, tak ada percakapan diantara kita setelah itu. kami berdua seakan asik menatap hujan yang terus membasahi bumi dan tempat kami berteduh, sebuah emperan toko yang sudah tutup. Seakan kami saling asik dengan imaji kami masing-masing tentang hujan ini.
“sepertinya kamu butuh ini” ia sodorkan jaketnya kepadaku, entah apa yang membuatnya akhirnya melakukan itu setelah kami beberapa waktu tak saling berkata. Atau mungkin ia melihat pelukan kedua tanganku tak mampu menutupi rasa menggigil yang kini tumbuh subur di tubuhku.
“nggak usah mas, makasih” tolakku karena aku tak enak jika harus memakai jaketnya dan menumbuhkan rasa menggigil juga di tubuhnya.
“tapi aku lihat kamu sangat menggigil dan aku rasa kamu memang membutuhkan ini buat menghangatkan tubuhmu” ucapnya begitu perhatian meski kami berdua belum saling mengenal. Dia sodorkan kembali jaketnya kepadaku, ditambah lagi dengan sebuah senyumnya kepadaku.
 “bener nih nggak apa-apa”
Ia kembali tersenyum, seakan sebuah jawaban ia selipkan diantara senyumnya. Aku menyentuh tangannya yang ternyata sama dinginnya dengan tanganku ketika aku mencoba meraih jaketnya.
“makasih mas” ucapku setelah ku kenakan jaketku. Lagi-lagi sebuah senyum keluar lagi dari bibirnya.
 “nama kamu siapa?” ucap kami berdua yang membuat kami saling senyum.
“namaku Senja” ucapku setelah aku berhenti tersenyum.
“aku Setiawan. Tapi kamu cukup memanggilku Awan saja, biar terdengar lebih keren”
Senyumku kembali tumbuh, tapi kali ini lebih hangat, seakan aku lupa dengan rasa dinginku yang membuat tubuhku menggigil.
“nama kamu cantik, seperti warna langit tadi sebelum akhirnya hujan merubahnya”
Dari situ, tanpa sadar kami di persatukan oleh obrolan yang membuat kita benar-benar lupa kalau kita sama-sama sedang menunggu hujan reda. Celoteh-celotehnya membuatku banyak melahirkan senyum. Ternyata dia orangnya konyol juga.
“oh iya, kamu sakit? Atau gantian kamu yang kedinginan? Karena aku baru sadar kalau bibir kamu terlihat pucat. Aku balikin jaketmu ya” tanganku seraya berusaha menanggalkan jaketnya dari tubuhku.
“nggak.. nggak kok, nggak perlu, sudah pakai saja jaketku” ucapnya cepat seolah tak setuju dengan aksiku tadi.
“tapi bibirmu pucat sekali”
“tapi aku baik-baik aja kok” elaknya.
“yakin nggak apa-apa?”
Lagi-lagi aku di beri sebuah jawaban melalui senyum dari bibir pucatnya.
Suara gelegar setelah petir menyambar membuatku tersentak tersadar dan aku dapati aku hanya seorang diri di sini, di tempat pertama kali dan terakhir kali aku bertemu dengannya. Entah kenapa saat aku tanpa sengaja dan berteduh di sini, bayangannya selalu hadir bersama aroma petrichor ini. Senyumnya, celotehnya dan segala tentang dia yang ku dapat meski dalam waktu yang singkat, masih sangat jelas ku ingat.
Satu hal yang membuat aku selalu bertanya-tanya kenapa aku tak pernah melihatnya kembali di sini atau di manapun meski waktu sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun adalah bibirnya yang pucat. “apa dia pergi selamanya setelah hujan itu reda?” pertanyaan itu yang sampai kini tak pernah ku temukan jawabannya.


Kau sebar benih-benih air dari tanganmu
Kau hadirkan petrichor-petrichor kecil di tanahku
Dan kita, bercanda, tertawa sederhana seadanya
Berselimut petrichor yang terus menyeruak temani kita

Tapi haruskah kau pergi secepat itu?
Tanpa sepatah kata dimana, atau sepenggal alasan mengapa
Sedangkan kehadiranmu yang singkat
Mampu menumbuhkan petrichor-petrichor kecil di ingatanku

Kini yang ku ingat
Petrichor kecil itu adalah kamu...

Dariku, Senja.

Seperti biasa, ribuan sajak telah aku tulis untuknya sebagai tanda, aku masih mengingatnya. Lalu aku hanyutkan bersama air hujan, biar hujan ini yang membawakannya kepadanya yang entah di mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar