........................................
“seperti
dalam cerita saja”
“ini
bukan sebuah cerita dalam cerpen atau novel, aku sedang tidak menulis, kawan.
Ini kenyataan, kenyataan tentang apa yang kurasa dalam hati. Kenyataan yang
membuat aku seperti ini, terpenjara oleh perasaan yang kubuat sendiri, dulu
saat masih bersama dia. Mungkin kau lelah mendengar celotehku tentang ini
kawan, tapi aku akan tetap mengeluh. Entah sampai kapan aku akan mencintai dia,
seseorang yang telah bisa menjadi detak dalam jantungku, menjadi nafas dalam
tubuhku. Seseorang yang telah pergi meninggalkan aku. Sampai kini aku
benar-benar tak bisa lagi mencintai orang lain lagi, sedang di luar sana banyak
lelaki yang datang silih berganti menawarkan cinta dengan berbagai macam. Tapi
entah sedikitpun aku tak bisa, apa aku terlalu dalam mencintai masa laluku? Apa
aku memang tak bisa move on? Atau aku memang bodoh? Ah aku rasa bukan, tapi
memang entahlah yang jelas aku tak bisa menerima salah satu dari mereka. Aku
tetap mencintai masalaluku meski dia telah melakukan yang menyakitkan
kepadaku”. Bibirnya terus berucap tanpa henti seperti cintanya yang tanpa henti
mengalir kepada sang pangerannya yang entah di mana sekarang. Terasa jelas
memang saat Dira melihat sorot mata sahabatnya itu yang masih mencintai
pangerannya, bahkan sangat.
“iya
aku ngerti kok. Sepertinya kamu memang butuh waktu untuk itu, untuk menerima
takdirmu, atau memang seperti inilah suratan takdirmu kawan. Akupun tak
mengerti, baru kali ini aku lihat ada orang sepertimu yang benar-benar mencintai
seseorang sebegitu dalamnya, walau dia telah pergi. Andai dia bisa lihat
dirimu, aku yakin dia pasti sangat menyesal meninggalkanmu, mungkin jika bisa,
aku yakin dia pasti ingin kembali kepadamu”. Dira seperti memberi sebuah
semangat kepada sahabatnya itu.
“ah
sudahlah, tak pernah terpikirkan olehku hal itu, walau sebenarnya aku
menginginkan hal itu”. tanggapan yang sangat biasa saja dengan wajah yang tak
begitu sumringah. Memang hanya raut wajah yang biasa, tak ada binar cahaya yang
keluar.
“tapi
bagaimana menurutmu tentang mereka-mereka yang mencintamu?”. Lontar Dira
tiba-tiba.
“emmmm,
berbagai macam Dir. Ada yang hanya datang lalu pergi, ada yang tetap setia
berdiri, ada yang Cuma menyapa, ada yang sekedar penasaran, yang pura-pura
jatuh pun ada. Dan aku hanya tersenyum melihat mereka yang begitu”
“sebenarnya
apa yang membuat kamu tak bisa menerima salah satu dari mereka? Sedang katamu
ada yang masih setia berdiri? Kenapa tak kau coba saja menerima dia?”
“aku
tetap tak bisa” jawabnya datar
“sudah
kau coba?”
“coba
apa?”
“mencoba
menerima dia”
“aku
takut melukai hatinya Dir. Sedang hatiku benar-benar tak bisa bohong Dir”
“mungkin
kau hanya takut saja. Pelan-pelanlah”
“tak
tahu lah Dir. Sepertinya aku lebih nyaman seperti ini”
“apa
kau tak merasa kesepian sendiri”
“masih
banyak teman-temanku Dir, seperti kamu salah satunya”
“tapi
bukankah hidup pasti butuh seseorang pendamping suatu saat? bukan sekedar teman
atau sahabat?”
“itu
suatu saat Dir bukan sekarang dan aku sekarang masih merasa nyaman seperti ini,
hidup dengan teman-temanku”
“ya
ya ya, up to you lah”
“tenang
saja, aku percaya takdir kok. Suatu saat akan aku terima takdirku, terlahir
menjadi seorang istri, bahkan menjadi seorang ibu dari takdirku kelak Dir,
meski dengan cinta atau tanpa cinta Dir. Karena aku tak yakin bisa mencintai
orang lain lagi selain dia, meski aku bisa menerima takdirku” ucapannya
ditimpal dengan senyum yang penuh tanda tanya.
“tapi
itu kapan?” ekspresi Dira benar-benar penuh tanda tanya besar. “lihat usiamu
sekarang? Ingat, 5 hari lagi kamu sudah genap berapa tahun coba? Kamu tak muda
lagi. Apa kamu tak ingin seperti aku? Punya sebuah keluarga”
“aku
ingin Dir, tapi Tuhan memang belum memberiku takdir itu Dir”
“kamu
saja yang tak melihat takdir itu, lihat berapa banyak lelaki yang mendatangimu,
mungkin Tuhan memberimu takdir dari salah satu dari mereka, kamu saja yang tak
mencoba menerimanya”
“takdir
Tuhan itu tak seperti itu Dir. Takdir Tuhan pasti punya jalannya sendiri,
takdir pasti bisa datang kepadaku meski kututup rapat hati ini Dir, tapi lihat,
sampai sekarang memang belum ada takdir itu”
“ah
memang susah bicara denganmu soal ini” Dira mulai kesal melihat temannya.
“ah
kamu, yang menjalani kan aku, aku saja santai gini, kenapa malah kamu yang
ribet?” ikut-ikutan kesal melihat Dira
“ya
salah sendiri, setiap aku datang ke sini kamu pasti mengeluh soal itu-itu saja,
tapi tak pernah mau untuk berusaha. Sudahlah aku mau pulang dulu, aku harus
jemput anakku dulu. Selamat menikmati kesendiriamu teman”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar