Senin, 30 Juni 2014

WANITA SETIA



........................................
“seperti dalam cerita saja”
“ini bukan sebuah cerita dalam cerpen atau novel, aku sedang tidak menulis, kawan. Ini kenyataan, kenyataan tentang apa yang kurasa dalam hati. Kenyataan yang membuat aku seperti ini, terpenjara oleh perasaan yang kubuat sendiri, dulu saat masih bersama dia. Mungkin kau lelah mendengar celotehku tentang ini kawan, tapi aku akan tetap mengeluh. Entah sampai kapan aku akan mencintai dia, seseorang yang telah bisa menjadi detak dalam jantungku, menjadi nafas dalam tubuhku. Seseorang yang telah pergi meninggalkan aku. Sampai kini aku benar-benar tak bisa lagi mencintai orang lain lagi, sedang di luar sana banyak lelaki yang datang silih berganti menawarkan cinta dengan berbagai macam. Tapi entah sedikitpun aku tak bisa, apa aku terlalu dalam mencintai masa laluku? Apa aku memang tak bisa move on? Atau aku memang bodoh? Ah aku rasa bukan, tapi memang entahlah yang jelas aku tak bisa menerima salah satu dari mereka. Aku tetap mencintai masalaluku meski dia telah melakukan yang menyakitkan kepadaku”. Bibirnya terus berucap tanpa henti seperti cintanya yang tanpa henti mengalir kepada sang pangerannya yang entah di mana sekarang. Terasa jelas memang saat Dira melihat sorot mata sahabatnya itu yang masih mencintai pangerannya, bahkan sangat.
“iya aku ngerti kok. Sepertinya kamu memang butuh waktu untuk itu, untuk menerima takdirmu, atau memang seperti inilah suratan takdirmu kawan. Akupun tak mengerti, baru kali ini aku lihat ada orang sepertimu yang benar-benar mencintai seseorang sebegitu dalamnya, walau dia telah pergi. Andai dia bisa lihat dirimu, aku yakin dia pasti sangat menyesal meninggalkanmu, mungkin jika bisa, aku yakin dia pasti ingin kembali kepadamu”. Dira seperti memberi sebuah semangat kepada sahabatnya itu.
“ah sudahlah, tak pernah terpikirkan olehku hal itu, walau sebenarnya aku menginginkan hal itu”. tanggapan yang sangat biasa saja dengan wajah yang tak begitu sumringah. Memang hanya raut wajah yang biasa, tak ada binar cahaya yang keluar.
“tapi bagaimana menurutmu tentang mereka-mereka yang mencintamu?”. Lontar Dira tiba-tiba.
“emmmm, berbagai macam Dir. Ada yang hanya datang lalu pergi, ada yang tetap setia berdiri, ada yang Cuma menyapa, ada yang sekedar penasaran, yang pura-pura jatuh pun ada. Dan aku hanya tersenyum melihat mereka yang begitu”
“sebenarnya apa yang membuat kamu tak bisa menerima salah satu dari mereka? Sedang katamu ada yang masih setia berdiri? Kenapa tak kau coba saja menerima dia?”
“aku tetap tak bisa” jawabnya datar
“sudah kau coba?”
“coba apa?”
“mencoba menerima dia”
“aku takut melukai hatinya Dir. Sedang hatiku benar-benar tak bisa bohong Dir”
“mungkin kau hanya takut saja. Pelan-pelanlah”
“tak tahu lah Dir. Sepertinya aku lebih nyaman seperti ini”
“apa kau tak merasa kesepian sendiri”
“masih banyak teman-temanku Dir, seperti kamu salah satunya”
“tapi bukankah hidup pasti butuh seseorang pendamping suatu saat? bukan sekedar teman atau sahabat?”
“itu suatu saat Dir bukan sekarang dan aku sekarang masih merasa nyaman seperti ini, hidup dengan teman-temanku”
“ya ya ya, up to you lah”
“tenang saja, aku percaya takdir kok. Suatu saat akan aku terima takdirku, terlahir menjadi seorang istri, bahkan menjadi seorang ibu dari takdirku kelak Dir, meski dengan cinta atau tanpa cinta Dir. Karena aku tak yakin bisa mencintai orang lain lagi selain dia, meski aku bisa menerima takdirku” ucapannya ditimpal dengan senyum yang penuh tanda tanya.
“tapi itu kapan?” ekspresi Dira benar-benar penuh tanda tanya besar. “lihat usiamu sekarang? Ingat, 5 hari lagi kamu sudah genap berapa tahun coba? Kamu tak muda lagi. Apa kamu tak ingin seperti aku? Punya sebuah keluarga”
“aku ingin Dir, tapi Tuhan memang belum memberiku takdir itu Dir”
“kamu saja yang tak melihat takdir itu, lihat berapa banyak lelaki yang mendatangimu, mungkin Tuhan memberimu takdir dari salah satu dari mereka, kamu saja yang tak mencoba menerimanya”
“takdir Tuhan itu tak seperti itu Dir. Takdir Tuhan pasti punya jalannya sendiri, takdir pasti bisa datang kepadaku meski kututup rapat hati ini Dir, tapi lihat, sampai sekarang memang belum ada takdir itu”
“ah memang susah bicara denganmu soal ini” Dira mulai kesal melihat temannya.
“ah kamu, yang menjalani kan aku, aku saja santai gini, kenapa malah kamu yang ribet?” ikut-ikutan kesal melihat Dira
“ya salah sendiri, setiap aku datang ke sini kamu pasti mengeluh soal itu-itu saja, tapi tak pernah mau untuk berusaha. Sudahlah aku mau pulang dulu, aku harus jemput anakku dulu. Selamat menikmati kesendiriamu teman”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar