Senin, 14 April 2014

BOCAH KECIL SANG PENGAMEN...



Oh Tuhan, selarut ini ia masih bekerja di jalan melawan dingin tanpa selimut tebal di tubuh mungilnya.
Oh Tuhan, selarut ini ia masih mengejar mimpinya yang katanya tersangkut di langit bersama bintang-bintang
Oh Tuhan, di mana keadilan ini yang seharusnya ia sudah terlelap dalam dekapan hangat tubuh ibunya
Oh Tuhan, mengapa aku hanya bisa melihat dari kenyataan yang sedikit lebih memihakku dari pada dia
Oh Tuhan, ijinkan aku merasakan ganasnya dingin angin malam ini bersamanya agar aku tahu memang betapa ganasnya dingin angin malam ini
Oh Tuhan, tidakkah Kau lihat ia, bocah sekecil itu masih dipaksa bergelut dengan waktu, mencari sesuap nasi atau secuil impian yang ku lihat ia dipaksa keterpaksaan yang jelas itu bukan maunya
Oh Tuhan, tidakkah Kau merasa iba, selarut ini ia masih terjaga
Oh Tuhan, ijinkan uluran tanganku ini menutup harinya di malam ini dan untuk hari-hari berikutnya, jadikan uluran tanganku ini sebagai tongkat kecil penopang mimpi yang ia kejar...

Kamis, 10 April 2014

LELAKI TUA DI TERAS RUMAH...

Aku terhanyut dalam tarian asap kopi panas pagi ini yang memaksaku bermain hati ke masa lalu.
Pada sruputan pertama. Aku tak mengerti, mengapa ini terjadi. “Ah sudahlah...” suara lirih dari dasar hati yang memang samar terdengar. Diakah aku? Lalu.. siapa aku?
Pada sruputan kedua, kopiku mulai hangat, sehangat otak di kepala yang tadinya beku oleh entah-entah tak karuan. Tapi aku masih tak mengerti, mengapa ini terjadi, mengapa aku masih seperti ini. “ah sudahlah...” lagi-lagi suara itu terdengar agak mengeras, aku tersentak, seperti mengajakku bicara. Tapi siapa disana? Diakah aku? Lalu siapa aku?
Pada sruputan ketiga, sebelum kopiku benar-benar dingin disruput pagi. Ku kejar waktu yang mulai merambat kepada asap-asap kopi yang mulai tak ada lagi, sebelum aku kehabisannya. Sepertinya aku memang ketagihan adiktif masa lalu. Terus ku biarkan saja, terserahlah, aku pun menikmatinya.
Kopiku benar-benar dingin, tak ku sruput lagi, tapi ku tenggak habis penuh dahaga, sedahaga aku akan masa lalu yang menbuatku begini.
Sepertinya sang peracik tak lagi mau mengerti apa yang terjadi kini. “ah sudahlah..” kini aku yang bicara sebelum suara dari dasar hati bicara lagi, yang sepertinya akan semakin lantang mengatakannya. Dan kini aku mengerti, mengapa ini terjadi. Aku tau siapa dia, aku tahu siapa aku... dan kita hanyalah sisa-sisa dari masa lalu yang sia-sia.


‪#‎dAN‬, Jogja 07.04.14 pagi tadi di teras rumah...

Minggu, 06 April 2014

SURAT TAK BERTUAN (2)



 Truntuk sayangku
Di entah

Malam ini... hujan turun di bumiku sayang. Bagaimana di bumimu? Apakah hujan turun juga di bumimu? Aku hanya bisa berharap iya. Agar kita bisa meihat bersama meski kini entah memisahkan kita. Ingatkah engkau sayang, saat pertama aku mengatakan aku mencintaimu. Hujan sedang memeluk kita mesra, dan aku pun selalu ingat, saat kau mengatakan hal yang sama. Lagi-lagi hujan sedang memeluk kita, mesra seperti kemarin.
Malam ini... aku hanya bisa berharap, hujan juga sedang turun di bumimu, agar kau pun tahu, aku merindukanmu sederas hujan kita ini.

Dariku sayangmu
Masih di sini

(selembar kertas yang bertuliskan ini seketika berubah menjadi origami pesawat. Ia terbangkan bebas dari atas gedung, membiarkan pesawat kertas itu terbang melayang bebas ke kekasihnya yang kini entah di mana)