Jumat, 27 Desember 2013

embun pagi dan ilalang kering...



            Pagi ini masih seperti pagi-pagi sebelumnya. Embun itu menyapa dan membelaiku walau tak secara langsung, tapi aku begitu merasakan kesejukan itu. Aku tahu, Embun itu bukan milikku lagi seperti dulu ketika aku masih menjadi ilalang yang segar, ilalang yang selalu menjadi tumpuan mimpi sang Embun untuk menari riang di setiap inchiku. Namun kini hanya sapaan-sapaan kecil yang masih terlontar kepadaku meski aku tahu sulit untukku bisa membalasnya. Kini aku adalah ilalang kering yang tergeletak bersama rumput-rumput kering lainnya di sudut.
            Namun aku masih patut bersyukur, Embun itu masih mengingatku dengan sapaan-sapaan kecil meski hanya sebuah angin yang bersuara menyampaikannya kepadaku. Aku sudah cukup senang.
            “hai mas, pa kabar?” sapaannya pertama kali yang masih aku ingat begitu aku sudah tergeletak lama disini.
            “hai juga, kabarku baik-baik saja disini” jawabku meski kenyataannya tak seperti itu.
            Sepertinya memang ia tak mengetahui keadaanku yang sebenarnya, karena ia sama sekali tak bisa melihatku lagi yang tergeletak disini, meski tak jauh dari tempat ia selalu ada. Ladang luas yang telah membutakan pandangannya dengan menjanjikan seribu ilalang baru. Dan janji yang telah bisa merayu sang Embun. Tapi biarlah, mungkin ini sudah menjadi nasibku, menjadi kering dan tak di butuhkannya lagi, tinggal menunggu sang api yang akan membutuhkanku ketika aku benar-benar kering nanti.
            Tanpa aku sadari, sapaan-sapaan kecil itu justru yang menjadikan aku setengah segar kembali, bagai separuh jiwaku kembali. Meski aku sadar tak benar-benar kembali jika keadaannya memang begini. Tapi aku sudah cukup senang dengan keadaan seperti ini. Meski kelak aku tahu, aku tak akan pernah lagi bisa merasakan kesejukan sapaannya yang aku dapatkan hampir setiap hari disini. Aku nikmati saja semuanya selagi aku masih punya waktu, sebelum api yang mencumbuku, menjadikanku sang pengantin atas kodratnya.
            Aku tak pernah meminta dan berharap sang Embun selalu menyapaku setiap hari, namun kali ini sudah hampir satu bulan sejak terakhir ia memintaku untuk meminjamkan pagiku yang dulu pernah aku miliki tak terlihat lagi, aku lihat di hembusan angin pun tak ada. Aku tak tahu kemana perginya Embun. Pikiranku pun secara otomatis bekerja mencari kemana perginya, paling tidak mencari ada apa sebenarnya dengannya karena aku selalu peka terhadap apa yang ia alami. Aku selalu melihat tanda-tanda darinya, dari mana pun datangnya, aku selalu bisa melihatnya.
            “thek” pikiranku yang mengalir begitu saja tiba-tiba berhenti pada sesuatu yang tak aku inginkan, bahkan aku takutkan. Pikiranku mengatakan ada dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama, ia di tahan oleh pagi di dalam dunianya yang baru, kemungkinan yang kedua, ia sakit, terjatuh dari ujung daun yang tak mampu menangkapnya. Namun pikiranku tak berhenti disitu, aku terus mengolah kemungkinan mana yang paling tepat. Entah kemana, pikiranku mengatakan, kemungkinan yang kedualah yang paling mungkin terjadi. Ya, tak berselang berapa lama, beberapa angin utara berhembus menerpaku berkali-kali, membawa sebuah kabar kalau Embun yang dulu selalu menemaniku itu sedang sakit.
            Ah kabar yang tak pernah aku inginkan akhirnya terdengar juga sebagai penegar apa yang aku pikirkan. Andai aku tak pernah melihat tanda itu, mungkin pikiranku tak pernah mengatakan itu.
           “tak perlu bicara seperti itu. Itu terjadi sudah kehendakNYA. Siapapun akan sakit, terlepas dari kamu memiliki pikiran seperti itu atau tidak. Yang sudah seharusnya terjadi, maka terjadilah. Dan itu yang sedang di alaminya”
            “kamu siapa?” aku bertanya kepada pemilik suara itu yang tiba-tiba terdengar.
            “aku hanyalah malam yang selalu menikmati apa yang seharusnya terjadi. Seperti malam yang tak selalu berbintang, aku menerimanya, seperti malam yang tak selalu di temani bulan, aku menerimannya, seperti malam yang tak selalu di puja oleh para pendoa di tengah malam, aku pun menerimanya. Karena memang itulah yang terjadi, dan aku harus menerimanya dan menjalaninya”
            “tapi ini tentang Embun yang terkapar sakit disana, bukan aku”
            “aku tahu. Lalu kenapa tak kau jenguk saja dia?”
            “aku tak pernah sanggup untuk kesana”
            “karena matahari yang selalu membakarmu?”
            “bagaimana kamu tahu, sedang kamu hanyalah malam yang tak pernah tahu matahari yang selalu membakarku, bahkan kalian berdua adalah musuh abadi”
            Tiba-tiba malam itu lenyap tanpa memberi banyak lagi jawaban, seperti tadi ketika ia tiba-tiba datang. Lalu pada siapa lagi aku harus bicara? Aku sudah tidak bisa lagi berbicara dengan tembok yang selalu mengelilingiku, sudah tak bisa lagi berbicara dengan bayanganku sendiri atau kepada angin yang kadang-kadang selalu aku butuhkan sebagai teman. Lebih tepatnya, karena aku sudah tahu, mereka bosan dengan ceritaku yang itu-itu saja.
            Tapi sudahlah, itu tak penting buatku, yang terpenting adalah Embun yang kini sedang terkapar sakit. Entah kenapa pikiranku terperangkap disana, seakan terus dan terus berada disana.
            Aku memang sudah tak layak bersanding dengannya lagi, aku hanyalah ilalang kering yang terkapar bagai seonggok sampah yang tak berfungsi lagi, tapi aku berharap dalam doa malam ini, dia di beri kesembuhan agar kembali lagi menjadi Embun yang selalu menyejuki pagi, menari-nari lagi bersama daun yang telah ia pilih, dan aku hanya bisa berdoa dari sini, dari persembunyianku melawan panasnya sengatan mentari yang entah sampai kapan akan sirna. “cepat sembuh Embun pagi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar