Jumat, 27 Desember 2013

embun pagi dan ilalang kering...



            Pagi ini masih seperti pagi-pagi sebelumnya. Embun itu menyapa dan membelaiku walau tak secara langsung, tapi aku begitu merasakan kesejukan itu. Aku tahu, Embun itu bukan milikku lagi seperti dulu ketika aku masih menjadi ilalang yang segar, ilalang yang selalu menjadi tumpuan mimpi sang Embun untuk menari riang di setiap inchiku. Namun kini hanya sapaan-sapaan kecil yang masih terlontar kepadaku meski aku tahu sulit untukku bisa membalasnya. Kini aku adalah ilalang kering yang tergeletak bersama rumput-rumput kering lainnya di sudut.
            Namun aku masih patut bersyukur, Embun itu masih mengingatku dengan sapaan-sapaan kecil meski hanya sebuah angin yang bersuara menyampaikannya kepadaku. Aku sudah cukup senang.
            “hai mas, pa kabar?” sapaannya pertama kali yang masih aku ingat begitu aku sudah tergeletak lama disini.
            “hai juga, kabarku baik-baik saja disini” jawabku meski kenyataannya tak seperti itu.
            Sepertinya memang ia tak mengetahui keadaanku yang sebenarnya, karena ia sama sekali tak bisa melihatku lagi yang tergeletak disini, meski tak jauh dari tempat ia selalu ada. Ladang luas yang telah membutakan pandangannya dengan menjanjikan seribu ilalang baru. Dan janji yang telah bisa merayu sang Embun. Tapi biarlah, mungkin ini sudah menjadi nasibku, menjadi kering dan tak di butuhkannya lagi, tinggal menunggu sang api yang akan membutuhkanku ketika aku benar-benar kering nanti.
            Tanpa aku sadari, sapaan-sapaan kecil itu justru yang menjadikan aku setengah segar kembali, bagai separuh jiwaku kembali. Meski aku sadar tak benar-benar kembali jika keadaannya memang begini. Tapi aku sudah cukup senang dengan keadaan seperti ini. Meski kelak aku tahu, aku tak akan pernah lagi bisa merasakan kesejukan sapaannya yang aku dapatkan hampir setiap hari disini. Aku nikmati saja semuanya selagi aku masih punya waktu, sebelum api yang mencumbuku, menjadikanku sang pengantin atas kodratnya.
            Aku tak pernah meminta dan berharap sang Embun selalu menyapaku setiap hari, namun kali ini sudah hampir satu bulan sejak terakhir ia memintaku untuk meminjamkan pagiku yang dulu pernah aku miliki tak terlihat lagi, aku lihat di hembusan angin pun tak ada. Aku tak tahu kemana perginya Embun. Pikiranku pun secara otomatis bekerja mencari kemana perginya, paling tidak mencari ada apa sebenarnya dengannya karena aku selalu peka terhadap apa yang ia alami. Aku selalu melihat tanda-tanda darinya, dari mana pun datangnya, aku selalu bisa melihatnya.
            “thek” pikiranku yang mengalir begitu saja tiba-tiba berhenti pada sesuatu yang tak aku inginkan, bahkan aku takutkan. Pikiranku mengatakan ada dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama, ia di tahan oleh pagi di dalam dunianya yang baru, kemungkinan yang kedua, ia sakit, terjatuh dari ujung daun yang tak mampu menangkapnya. Namun pikiranku tak berhenti disitu, aku terus mengolah kemungkinan mana yang paling tepat. Entah kemana, pikiranku mengatakan, kemungkinan yang kedualah yang paling mungkin terjadi. Ya, tak berselang berapa lama, beberapa angin utara berhembus menerpaku berkali-kali, membawa sebuah kabar kalau Embun yang dulu selalu menemaniku itu sedang sakit.
            Ah kabar yang tak pernah aku inginkan akhirnya terdengar juga sebagai penegar apa yang aku pikirkan. Andai aku tak pernah melihat tanda itu, mungkin pikiranku tak pernah mengatakan itu.
           “tak perlu bicara seperti itu. Itu terjadi sudah kehendakNYA. Siapapun akan sakit, terlepas dari kamu memiliki pikiran seperti itu atau tidak. Yang sudah seharusnya terjadi, maka terjadilah. Dan itu yang sedang di alaminya”
            “kamu siapa?” aku bertanya kepada pemilik suara itu yang tiba-tiba terdengar.
            “aku hanyalah malam yang selalu menikmati apa yang seharusnya terjadi. Seperti malam yang tak selalu berbintang, aku menerimanya, seperti malam yang tak selalu di temani bulan, aku menerimannya, seperti malam yang tak selalu di puja oleh para pendoa di tengah malam, aku pun menerimanya. Karena memang itulah yang terjadi, dan aku harus menerimanya dan menjalaninya”
            “tapi ini tentang Embun yang terkapar sakit disana, bukan aku”
            “aku tahu. Lalu kenapa tak kau jenguk saja dia?”
            “aku tak pernah sanggup untuk kesana”
            “karena matahari yang selalu membakarmu?”
            “bagaimana kamu tahu, sedang kamu hanyalah malam yang tak pernah tahu matahari yang selalu membakarku, bahkan kalian berdua adalah musuh abadi”
            Tiba-tiba malam itu lenyap tanpa memberi banyak lagi jawaban, seperti tadi ketika ia tiba-tiba datang. Lalu pada siapa lagi aku harus bicara? Aku sudah tidak bisa lagi berbicara dengan tembok yang selalu mengelilingiku, sudah tak bisa lagi berbicara dengan bayanganku sendiri atau kepada angin yang kadang-kadang selalu aku butuhkan sebagai teman. Lebih tepatnya, karena aku sudah tahu, mereka bosan dengan ceritaku yang itu-itu saja.
            Tapi sudahlah, itu tak penting buatku, yang terpenting adalah Embun yang kini sedang terkapar sakit. Entah kenapa pikiranku terperangkap disana, seakan terus dan terus berada disana.
            Aku memang sudah tak layak bersanding dengannya lagi, aku hanyalah ilalang kering yang terkapar bagai seonggok sampah yang tak berfungsi lagi, tapi aku berharap dalam doa malam ini, dia di beri kesembuhan agar kembali lagi menjadi Embun yang selalu menyejuki pagi, menari-nari lagi bersama daun yang telah ia pilih, dan aku hanya bisa berdoa dari sini, dari persembunyianku melawan panasnya sengatan mentari yang entah sampai kapan akan sirna. “cepat sembuh Embun pagi”

Minggu, 24 November 2013

(belum ada judul)



Malam ini tak seperti malam-malam kemarin, mungkin di karenakan hujan yang turun tak kunjung berhenti yang membuat suasanan tak seramai kemarin. Ori dan Dria Cuma bisa duduk di teras berdua dan masih belum banyak yang mereka perbuat, hanya saling sibuk sendiri dengan handphonenya masing-masing.
“sepi gini enaknya ngapain ya?” celoteh Ori tiba-tiba membuka obrolan. Mungkin juga karena bosan dengan apa yang dia perbuat dengan handphonenya.
“apa ya mas?” Dria balik bertanya.
“cerita-cerita lagi aja Dri” usul Ori yang memang dirinya senang mendengar banyak cerita dari Dria, entah soal cerita ahantu atau curhatan Dria. “terserah mau cerita apa, hantu lagi boleh, cinta boleh atau apalah terserah kamu” lanjut Ori sebelum Dria mengucap kata.
“cerita cinta aja ya” Dria memberikan topik.
“oke deh”
“tapi sebenarnya ini secret” ucapnya ragu-ragu antara ingin di ceritakan atau tidak.
“ya kalau emang rahasia, nggak usah aja, ganti topik lain aja yang umum, bukan rahasia” sahut Ori.
“tapi gak apa-apalah. Aku kalau udah deket dengan seseorang, apapun pasti aku ceritakan. Nggak seperti dulu, dulu setiap ada masalah aku selalu simpen sendiri, tapi sekarang beda dan rasanya lebih enteng saat aku bercerita”
“iya sih. Tapi yakin mau cerita tentang tadi?” ucapnya meyakinkan Dria kembali.
“iya mas” jawab Dria yakin.
“oke deh”
“tapi aku udah pernah cerita soal aku suka sama temen kampusku belum to mas?” tanya Dria kepada Ori.
“kayaknya belum Dri” jawabnya masih santai.
“jadi gini, dulu kan pas makrab di kampus ada juri malam. Jadi satu kelompok tu ada 10 orang, lalu kita harus berjalan berpasang-pasang. Waktu itu aku pas dapet sama seorang cowok yang sebelumnya aku nggak pernah kenal dia. jadi kita harus berjalan dengan di beri bekal satu sarung, lilin dan 5biji korek api kayu, padahal jarak yang harus kita tempuh itu sangat jauh. Gimana caranya kita harus menjaga lilin itu agar tidak mati. Jadi waktu itu rasanya sangat romantis, dimana kita berjalan Cuma berdua dengan satu sarung sambil bawa lilin. Dari situ aku mulai suka dengan dia”
“itu sebelum kamu sama dafi atau?” tanya Ori menyela.
“aku udah pacaran dengan Dafi. Tapi waktu itu aku udah putus”
“putus? Jadi kamu sama Dafi pernah putus? Jadi selama 8 bulan itu kamu putus nyambung ma Dafi?” tanya lagi Ori.
“iya” jawab singkat Dria yang membuat Ori hanya berkata “ooo..”. “oya balik lagi ke topik, dia juga tahu kalau aku sudah punya pacar. Emang sejak itu hubunganku dengan dia jadi deket, aku juga sering curhat ke dia, termasuk kalau aku sudah punya pacar, tapi sejak dia tahu aku punya pacar dia terus menghilang, sms pun tidak.
Aku sukanya dari dia tuh, dia orangnya pinter bergaul, baik ma semua temen-temen, pinter ngomong di depan umum, makanya dia di jadikan ketua. Oya namanya Luki, di FB ku namanya Luki Halim. Dia tu di sukai banyak cewek-cewek di kampus, padahal wajahnya tuh nggak cakep-cakep amat, tapi karismanya itu yang membuat di sukai banyak cewek dikelasku. Tiap hari kalau pada cerita, yang di ceritakan Cuma Luki, Luki dan Luki. Sebenernya aku juga pengen bilang ke mereka kalau aku juga suka Luki”
Wajah Ori perlahan mulai berubah setelah berkali-kali Dria mengatakan kalau dirinya suka dengan Luki. “lalau kenapa kamu nggak bilang saja” lalau tanya Ori kepada Dria.
“aku nggak enak ma Tiki. Tiki itu temen deketku yang suka banget dengan Luki. Dia banyak curhat dengan aku soal Luki, jadi nggak mungkin aku bilang kalau aku juga suka dia. aku udah deket banget ma Tiki, pernah dia nyium pipiku Cuma gara-gara dia paginya ketemu dengan Luki”
“sampai segitunya?” ucap Ori dengan nada heran.
“nggak tahu tuh, pokoknya dia seneng banget kalau ketemu Luki. Sampai bukunya tuh banyak tulisan nama Luki. Itulah yang membuatku galau, disisi lain aku juga suka dengan Luki. Pernah waktu itu tiba-tiba Luki inbok aku di FB nanyain aku kok jarang terlihat di kampus, aku seneng banget dapet inbok dari dia. ternyata dia masih memperhatikan aku, apalagi dia ternyata juga ngomong kalau dia lebih nyaman ma aku. Lalau aku tanya kenapa dia lebih nyaman ma aku, padahal banyak cewek-cewek cantik yang suka ma dia”
“trus dia jawab apa?” sela Ori cepat.
“aduh aku lupa dia bilang apa, yang pasti katanya aku tu beda atau apa gitu” ucapanya terhenti sebentar. “itu yang buat aku galau” lanjut lagi.
“kenapa galau, bukanya kamu juga udah putus ma Dafi sekarang? Kamu nggak nyambung lagi kan ma dia?”
“kalau sekarang nggak, walau aku udah mutusin dia, tapi dia belum mau aku putusin. Sebenarnya kalau cinta, aku masih milih Dafi, tapi kasarnya itu yang nggak bisa aku terima, andai Dafi bisa merubah sifatnya, mungkij aku udah cocok banget”
“itu baru pacaran, apalagi kalau udah nikah? Berapa banyak perabot yang akan hancur di bantingin ma dia”
“tapi dia berjanji akan berubah. tapi aku egois nggak sih kalau mentingin perasaanku sendiri, nggak mentingin perasaan Dafi?”
“ya nggak lah. Bukanya kamu juga udah pernah cerita ma aku kalau dia dulu juga pernah janji. Tapi lihta sekarang? Apa dia bisa nepatin janjinya?” ucap Ori yang sebenarnya juga nggak tahu dengan hal ini dia senang atau sedih. Satu sisi, dia senang karena Dria nggak bisa dengan orang sekasar Dafi yang akhirnya dia memutus Dafi, tapi di satu sisi lagi ternyata Dria sangat suka dengan Luki yang menjadi idola para temannya, apalagi sekarang Luki merespon Dria dan bisa di katakan Luki sudah memilih Dria. Dengan begitu Ori jadi tahu kalau Dria sedikitpun tak ada rasa dengan Ori meski perlakuannya kepada Dria sangatlah terlihat. Ori hanya bisa  menahan hatinya yang mulai kacau balau dengan perasaanya. Apalagi Ori sudah mencium gelagat teman kerjanya yang suka dengan Dria. Ori sekarang menyadari bahwa keadaan ini mulai kusut. Dimana teman kerjanya juga suka dengan Dria, sedang Dria suka dengan teman kuliahnya yang juga disukai banyak temannya bahkan teman dekatnya sendiri, Tiki.
“iya sih. Dia Cuma janji-janji aja”
“trus sampai sekarang Tiki nggak tahu kalau kamu juga suka ma Luki?” tanya Ori
“sepertinya sudah tahu, aku kan juga sering curhat dengan teman kuliahku yang lain tentang ini”
“trus reaksi Tiki setelah tahu kalau kamu juga suka ma Luki gimana?” sela Ori lagi
“ya masih baik, kami masih deket”
“ya sekarang kalau kamu benar-benar suka ma Luki, kalian bersaing secara sportif aja. Bilanag baik-baik ma temenmu. Lagian menurutku dengan Tiki udah tahu kalau kamu juga suka Luki dan reaksinya dia ke kamu nggak berubah, itu artinya Tiki sportif. Kalau orang nggak sportif, kalau tahu ada orang lain yang juga suka dengan yang dia suka, apalagi temennya sendiri, dia pasti udah menjauh. Tapi kenyataanya nggak kan?”
“tapi aku tetep nggak enak ma Tiki. Luki juga pernah bilang sesuatu ma aku, kalau aku nggak menerimanya, aku berarti nggak memperdulikan perasaannya. Ah.. aku jadi bingung, kalau aku terima Luki, akan ada sat orang yang terluka, tapi kalau aku nggak terima Luki, akan ada tiga orang yang terluka?”
“tiga orang?” ucap Ori heran dengan tiga orang yang di maksud.
“iya, kalau nggak terima Luki, akan ada tiga orang yang terluka yaitu aku, Luki dan Tiki. Tapi kalau aku terima Luki, Cuma sati orang yang akan terluka yaitu Tiki”
“bukan hanya Tiki Dri, tapi aku juga akan patah hati” ucap Ori dalam hati di sela kata-kata Dria.
“karena Luki pernah bilang, kalau aku nggak terima dirinya, apa Tiki akan bahagia? Karena Luki juga nggak akan ma Tiki. Aku juga pernah tanya ke dia kenapa dia nggak mau milih Tiki, aku juga bilang kalau Tiki itu orangnya cantik. Tapi dia jawab kalau Tiki emang cantik, tapi centil, kalau ngobrol juga nggak nyambung”.
“aku tahu, karena kamu dulu juga pernah berada di posisi Tiki kan waktu SMA, dimana kamu pernah cerita kalau dulu kamu pernah suka ma cowok, tapi cowok itu justru milih temenmu. Jadi kamu pasti tahu gimana rasanya jika ini semua terjadi”
“iya mas” Dria terdiam sejenak menhela nafas dan terlihat sedang mencari sesuatau hal lagi yang akan di katakannya. “tapi entah kenapa sejak itu, perhatian Luki semakin berlebihan ke aku. Pernah waktu aku lagi sama Tiki, tiba-tiba Luki lewat dan yang di panggil namaku, padahal di sebelahku adalah Tiki, aku jadi nggak enak dengan Tiki. Pernah juga waktu aku jalan bergandengan dengan Tiki, kita sama-sama jatuh, tapi Luki seketika menarik tanganku, aku yang sadar di sampingku adalah Tiki sontak tanganku aku lepaskan dari genggaman tangan Luki dan Tiki hanya bisa manyun saja. Pernah lagi waktu aku ma Tiki sedang jajan bakso di kantin, aku tersendak, tiba-tiba Luki mengelus-elus kapalaku bagian atas, padahal jelas-jelas di depanku ada Tiki. Padahal aku juga udah sering bilang kalau ada Tiki jangan bersikap seperti itu kepadaku. bahkan aku sempat marah dengan perlakuan dia, aku bilang saja, aku ini siapanya kamu, kalau seperti itu kamu tidak sopan dengan aku. Langsung dia minta maaf ke aku dan berjanji nggak mengulanginya lagi”
“kalau aku lihat dari ceritamu, Luki itu orangnya aneh, susah di tebak”
“bener mas, susah di tebak. Apalagi terakhir, dia pernah bilang TUNGGU AKU. Dan aku nggak tahu apa maksud dari kata-kata itu”
“mungkin dia ingin menyelesaikan suatu masalah lalu baru datang ke kamu, entah itu apa, mungkin urusan dengan teman-temanmu atau apa gitu”
“nggak tahu mas. Oya ada lagi cowok, temen kuliah juga sih, temen ngeband Luki juga, dia suka aku. Ngebet banget, pernah dia nawarin untuk jemput aku di rumah. tapi aku selalu nolak, eh dia malah bilang “emang aku kurang apa?” wah pede banget tu orang”
“dia bilang gitu? Aku kurang apa? Gila tu orang, pede banget. Sebenarnya itu kata-kata yang membunuh dirinya sendiri”
“aku jawab aja, kurangmu Cuma satu, kurang ajar” Dria dan Ori tersenyum. “sampai akhirnya aku tahu kalau dia udah punya pacar di daerah asalnya, dia kan dari sumatra. Untung aku nggak nerima dia, gimana kalau aku kemarin aku terima dia. langsung aja aku bilang ke dia “pacar secantik dia, kamu masih aja ngejar-ngejar aku?” setelah itu dia nggak pernah ngejar-ngejar aku lagi. Tapi nggak tahu kenapa banyak yang perhatian ma aku mas, mas Dani, mas Anang, apalagi mas Ori, over banget”
“ternyata kamu sadar juga dengan perlakuanku yang over. Itu karena aku suka sama kamu Dri. Tapi aku nggak tahu apakah kamu tahu tentang perasaan ini atau nggak” ucapnya dalam hati. “over Dri?” ucapnya seolah-olah belaga bego. “biasa aja kok” lanjutnya.
“iya iya mas, bercanda. Oya mas Anang kemarin sempet ngajak aku main”
“Anang? kemana?” ucapnya kaget. sebenarnya bukan kaget karena Anang berani mengajak main Dria, tapi lebih tepatnya kaget karena dia takut jika kalau apa yang Ori takutkan itu akan terjadi. Sebenarnya Ori memang sudah tahu kalau Anang juga suka dengan Dria, tapi Ori tak pernah rela jika Anang sampai berhasil mengajak main Dria dan memperlakukan Dria seperti apa yang sering Anang ceritakan kepada teman-teman kerjannya termasuk dengan Ori. Ori sangat rela jika Dria tak memilih Ori dan memilih orang lain, asal jangan dengan Anang, karena Ori benar-benar tahu bagaimana Anang orangnya. Yang jelas dia bukan orang yang baik buat Dria.
“iya, tapi nggak jadi kok”
“nggak jadi? Syukur eh kalau gitu” ucapnya lega seperti ikan yang di lepas kembali ke dalam air setelah beberapa lama berada di daratan.
“emang kenapa mas?” tanya Dria heran melihat kelegaan Ori.
“dia..” ucapan Ori terhenti
“kenapa mas?” tanya Dria cepat
“sebenarnya aku nggak enak harus ngomong ini ma kamu, karena bagaimanapun juga dia teman aku, tapi aku juga lebih nggak rela kalau kamu sampai main ma dia”
“kenapa to mas?” nadanya semakin penasaran.
“pokoknya kamu jangan sampai main ma dia, dia bukan cowok yang bener, dia emang sering ngajak cewek main ke pantai trus nginep”
“tapi nggak ngapa-ngapain kan?” ucapnya lugu.
“ya banyangin aja, ada dua orang cowok cewek main sampai nginep. Kalau nggak melakukan trus mau ngapain lagi. aku tahu dia begitu karena dia sering cerita hal seperti itu. tapi bener ya kamu jangan bilang dia”
“iya mas. Pantesan kemari ngajaknya juga ke pantai. Waktu aku bilang nggak mau, trus dia bilang terserah kemana aja aku mau. Untung aja kemarin nggak jadi main. Padahal aku udah mandi segala”
“ya udah, besok lagi kalau di ajak lagi, cari alasan apa lah gitu buat nolak, yang penting jangan sampai main ma dia”
“iya mas, apa lagi aku udah tahu dia seperti itu...”
“sial aku malah mengatakan apa yang seharusnya tak ku katakan dalam persaingan, seharusnya aku tak mengatakan kejelekan orang yang jadi sainganku. Seharusnya aku sportif, tapi bagaimana lagi, aku harus mengatakan itu. aku tak rela jika dia sampai main dengan temanku, aku tak mau temanku berbuat hal seperti itu. ah sudahlah.. mungkin emang aku harus mundur saja. Ya mundur saja karena setiap mendengar curhatnya, aku tahu dia tak pernah ada rasa denganku dan yang parah lagi aku tak mau dia beranggapan aku bohong tentang temanku karena sebenarnya aku juga suka dia, aku tak mau di bilang licik dengan menjelek-jelekkan temanku di depannya. Biarlah aku mundur, biar aku simpan rasa ini sebelum tumbuh semakin besar, toh sebentar lagi aku akan pergi dari kota ini. setelah itu aku yakin perasaan hati ini akan luntur dengan sendirinya”
“benar nggak mas” ucapannya terhenti karena melihat wajah Ori yang sepertinya tak mendengarkan apa yang di ucapkannya. “mas!!! Ye malah ngelamun” lanjutnya lagi.
“eh iya Dri. Apa tadi?” ucapnya sembari nyengir-nyengir kuda.
“ah tu kan malah nggak di dengerin” nadanya ngambek.
“iya deh maaf. Ya sudah yang penting bener ya, jangan bilang ke Anang dan jangan pernah main ma dia” terdiam sejenak. “udah yuk kerja lagi”
Curhatan yang tak membuahkan hasil manis, Dria pun masih merasa galau dengan apa yang dirasakan, antara harus meilih cinta atau teman, sedang jika memilih cinta dan egonya, dia tahu bagaimana sakitnya karena dia pernah mengalami posisi itu. apalagi Difa sebenarnya belum mau putus darinya dan berjanji untuk merubah sifatnya. Begitupun dengan Ori, obrolan yang membuahkan sakit hati. Galau juga yang akhirnya di rasakan oleh Ori, antara patah hati karena Dria tak ada sedikitpun perasaan kepadanya meski sepertinya Dria tau perlakuan Ori kepadanya, tak rela jika temannya sampai berhasil mengajaknya main dan harus meundur karena kesalahannya sendiri dengan mengatakan apa yang seharusnya tak boleh di katakan karena hal itu bisa di bilang licik menurutnya dan dia tak mau jika di bilang berbuat licik untuk mendapatkan Dria.


Kamis, 21 November 2013

BICARA...



Entah kenapa Rora mulai kesal dengan kondisi persahabatannya yang semakin rumit. Pasalnya, hubungan persahabatanya mulai hancur sejak kehadiran Dani. Seorang laki-laki yang membuat dua sahabatnya saling bermusuhan dan di tambah lagi satu sahabatnya tiba-tiba menghilang setelah sempat curhat kepadanya.
Pagi itu hari sabtu, Rora mengumpulkan semua sahabatnya di rumah Marsha. Rora merasa semua ini harus di bicarakan bersama karena Rora menginginkan hubungan persahabatannya kembali membaik seperti semula yang utuh.
“kita harus tunggu Shopie karena sebelum menghilang, dia sempat curhat sesuatu yang menyangkut masalah ini” ucap Rora
“tapi apa dia sudah tahu kalau kumpul di rumahku?” tanya Marsha.
“aku tadi sudah telpon dia dan aku sempat cerita sedikit tentang ini” jawab Rora
“terus jawabannya?” tanya lagi Marsha
“iya, dia akan kesini” jawab singkat Rora.
“ah sudahlah, percuma dia datang karena aku rasa dia tidak tahu apa-apa.emang dasar Tashanya aja yang keganjenan godain Dani, udah tahu dia milik aku, masih aja di deketin” ucap Devi kesal.
“enak aja kamu bilang, pacarmu tu yang playboy” bantah Tasha
“kenapa kamu jadi ngatain pacarku playboy? Jelas-jelas kamu yang godain dia duluan. Dia juga pernah bilang kalau kamu pernah maksa dia untuk nganter kamu cari buku, iya kan?” ucap Devi dengan nada keras.
“apa?? Nggak salah denger nih aku? Justru dia yang...” kata-kata Tasha terhenti oleh ucapan Rora yang menyela.
“sudah.. sudah.. kalian berdua bisa diem nggak sih? Aku bilang tunggu Shopie”  suara Rora tak kalah kerasnya.
Devi dan Tasha hanya bisa terdiam dan saling membuang muka.
“coba deh kamu telpon dia lagi Ra” suruh Marsha
Segera saja Rora mengambil handphonenya dan langsung menelpon kembali Shopie.
“halo Shop... kamu udah nyampe mana? Oo ya sudah, kami tunggu ya”
“gimana Ra, dia sudah nyampe mana?” tanya Marsha.
“udah di jalan, bentar lagi nyampe katanya” jawab Rora
“kalau gitu aku buatin minum dulu ya” ucap Marsha lalu pergi ke dapur.
Seketika suasana menjadi sepi, tak ada yang bicara, semua hanya terdiam. Pandangan Devi dan Tasha masih tetap sama, tak berubah sedikitpun. Rora yang melihat pemandangan itu mulai kesal kembali dan kembali angkat bicara.
“aku tuh nggak habis pikir dengan kalian. Kita sudah berteman sejak SMA, bahkan kita sudah seperti saudara, sekarang Cuma gara-gara satu cowok saja kalian jadi musuhan. Kamu juga Tas, apa kamu pikir masalah ini akan selesai dengan kamu memutuskan untuk pindah kuliah? Enggak Tas. Justru masalah ini akan semakin rumit”
“sudah... nih minum dulu. Sepertinya kamu juga mulai emosi Ra. Kan kamu sendiri yang bilang, kita harus tunggu Sophie” ucap Marhsa yang sudah berada di antara mereka sembari tangannya menaruh gelas-gelas di meja. “tuh sepertinya Shopie sudah datang” lanjut Marsha yang mendengar suara mobilnya.
“hai semuanya, apa kabar? Maaf aku terlambat, tadi masih ada urusan yang harus aku selesaikan di rumah”  ucap Shopie tiba-tiba yang masih berjalan menuju ke mereka. “aduh-aduh kok wajahnya pada mendung gitu” lanjutnya setelah sampai dan tangannya tanpa basa basi menyambar gelas yang berada di meja tadi.
“sebaiknya kamu duduk dulu biar kita bisa mulai pembicaraannya” suruh Rora.
Dan Shopie pun menuruti apa kata Rora termasuk Marsha yang tadi masih saja berdiri di dekat Rora.
“sekarang pokok permasalahannya ada pada Dani yang membuat kalian berdua jadi musuhan. Dan sekarang coba kamu ceritakan Shop apa yang kamu ketahui tentang Dani seperti kamu pernah cerita kepadaku” ucap Rora lanjut.
Raut wajah Shopie yang tadi terlihat bercanda seketika berubah dengan raut wajah yang serius.
“jadi begini, asal kalian tahu, Dani itu tak sebaik yang kalian kira. Dani itu bukan hanya playboy, tapi lebih dari itu. Rendi itu penjahat kelamin” ucap Shopie dengan  nada yang benar-benar serius, beda dengan raut wajah seperti saat pertama dia datang.
“maksud kamu?” tanya Tasha dengan wajah bingung
“iya, apa maksud kamu dengan kata-kata itu?” wajah Devi tak kalah bingung.
Begitupun dengan Marsha yang tak tahu apa-apa tentang Dani. Tapi dia hanya diam karena sebenarnya dia tak begitu ambil pusing tentang Dani meski wajahnya juga menunggu kepastian tentang kata-kata yang keluar dari mulut Shopie tadi.
“kalian berdua nggak tahu kan kelakuan Dani di belakang kalian dan sudah berapa banyak ceweek yang jadi korbannya” lanjut Shopie
“sudah jangan bertele-tele. Langsung saja katakan apa maksud kamu dengan bicara seperti itu tentang Dani” ucap kesal Devi.
“makanya dengerin dulu sampai selesai kalau ada orang ngomong. Oya sebelum aku lanjutin, asal kamu tahu Dev, aku nggak punya maksud apa-apa seperti yang pernah kamu tuduhkan ke aku dulu. Tapi sudahlah, itu nggak penting. Sekarang yang penting adalah, kalian salah merebutkan cowok. Dani itu hipersex, dia pacaran nggak pernah serius, dia Cuma ngincer keperawanan setiap cewek yang jadi pacarnya. Dan korbannya, udah nggak bisa di hitung lagi” tutur Shopie.
“pantes dia ngejar-ngejar aku juga” imbuh Tasha.
“nggak mungkin dia seperti itu. kamu Cuma mengada-ada kan? Apa buktinya?” ucap Devi masih tak percaya.
“aku pernah tanpa sengaja mendengar pembicaraan Dani dengan temannya di kampus mengenai hal itu” ucap Shopie.
“buatku itu bukan bukti kongkrit. Bisa saja kamu mengarang cerita agar aku bubar dengan Dani, iya kan?” tuduh Devi.
“nggak ada untungnya aku mengarang cerita ini” lalu tangan Shopie meraih handphonenya yang ada di dalam tas. “ini buktinya, aku merekam semua percakapan antara mereka”
Mereka semua terdiam mendengarkan rekaman yang di putar Shopie.
“sebenarnya waktu itu aku ingin memberikan rekaman ini ke kamu Dev, tapi justru apa yang kamu bilang? Kamu justru menuduh aku ingin merebut Dani dari kamu. Lalu kamu pergi begitu saja tanpa mendengarkan apa yang ingin aku sampaikan ke kamu. Jujur saja, saat itu aku sempat marah atas tuduhan itu. tapi dari situ aku mulai mencari tahu info tentang Dani lebih jauh, termasuk siapa saja korbannya. Bukan karena seperti yang kamu tuduh ke aku, tapi karena aku nggak rela melihat sahabatku menjadi salah satu korban Dani, apalagi dia juga mendekati Tasha sekaligus yang akhirnya membuat kalian musuhan. Aku Cuma nggak ingin lihat kalian musuhan, aku ingin persahabatan ini tetap utuh, itu saja” ucap Shopie yang mulai membuat Devi dan Tasha tertunduk.
“sekarang kalian mengerti kan bagaimana bejatnya Dani? Apa sekarang kalian masih mau merebutkan cowok yang benar-benar nggak pantas untuk kalian apalagi harus mengorbankan persahabatan kita yang sudah terjalin selama 6 tahun lebih? Ayo buka mata kalian, dia nggak pantas untuk kalian” tandas Rora.
“aku nggak tahu harus bilang apa sekarang. Aku hanya bisa menyesal dan menyesal. Aku benar-benar minta maaf sama kamu Shop telah menuduhmu yang bukan-bukan”  ucap Devi lirih penuh penyesalan.
“ah sudahlan, aku juga nggak benar-benar marah sama kamu Dev. Sekarang yang aku minta ke kalian Cuma satu. Lupain Dani, karena persahabatan ini jauh lebih berharga dari seorang Dani” tutur Shopie penuh bijak.
Wajah-wajah penuh emosi dan mendung tadi pun sirna, berubah dengan senyum yang merekah bak mentari sedang merangkak naik menyinari bumi di pagi hari. Mereka berlima pun berdiri dan saling merapat, saling berpelukan erat dengan di warnai air mata penuh haru.
Akhirnya permasalahan yang membuat hancurnya persahabtan di antara mereka berlima bisa terselesaikan juga hanya dengan bicara bersama.
Sepertinya hari itu menjadi awal kembalinya persahabatan mereka yang sempat hancur oleh kesalah pahaman dan seseorang yang memang tak pantas untuk diperebutkan.