Selasa, 25 Desember 2012

sebut aku "IZRAIL"

kamu selalu bilang..
kita terlahir dari rahim indonesia yang sama
nyatanya aku tertindas di tengah kata saudaramu
kamu selalu bilang...
kita makan dari satu piring agraria yang sama
nyatanya aku masih kelaparan di dalam panen rayamu

di mana kamu yang dulu selalu bilang
apa kau terlalu asik bersembunyi di sela payudara negaramu?
kau hisap sendiri air susunya yang tak habis di telan waktu
hingga lupa dengan apa yang di sebut janji
inikah yang namanya saudara?

membusuklah di sela payudaranya
tenggelamlah di kolam susunya
dan jangan lagi kau panggil aku saudara
sebut saja aku "IZRAIL"

Senin, 24 Desember 2012

22 desember...

             Pagi-pagi benar Yanto sudah terbangun dari tidurnya yang memang tak pernah nyaman karena hanya beralas tikar di bale bambunya. Maklum saja keluarga Yanto tergolong keluarga tidak mampu di kampungnya, apalagi saat ayahnya meninggal 3 tahun lalu. Dan kini ia harus menjadi tulang punggung keluarganya. Sedang ibunya sekarang juga sedang sakit sudah 2 minggu.
“pagi begini mau kemana le?” Tanya ibunya dengan suara yang bertarung dengan batuknya.
Tangannya meraih gitar mininya dan memakai topi siap untuk berangkat ngemen di tiap perempatan, karena dengan ngemenlah ia bisa meringkankan beban ekonomi keluarganya. “ya mau berangkat ngamen to mbok”
“tapi kok tumben sepagi ini sudah berangkat le?”
“iya mbok.. mumpung pagi, takut rejekinya keduluan di patuk ayam” jawabnya dengan sedikit bercanda. Dan memang sengaja bangun lebih awal dari biasanya.
“ya sudah. Kalau begitu kamu hati-hati yo le. Trus pulangnya jangan terlalu malam”
“siap laksanakan” tangan kanannya ia naikkan memberi hormat.
Baru pukul 05:30 Yanto sudah mangkal di perempatan Gondomanan. Memang di situlah tiap harinya Yanto menunggu para dermawan yang sudi menukar uang recehnya dengan suara cempreng Yanto
Lampu merah menyala, saatnya ia mulai beraksi. Satu demi satu mobil ia hampiri. Dengan suara cemprengnya ia membawakan lagu dari peterpan yang sering ia nyanyikan.
“mungkinkah bila ku bertanya pada bintang-bintang…. Makasih pak” ucapnya sebelum menyelesaikan lagunya.
Tak jarang orang yang enggan memberi uang kepada Yanto, bahkan kadang justru celaan yag ia dapatkan. Tapi ia tak pernah mengeluh, ia terima dengan ikhlas. Namun ada juga yang merasa iba melihat keringat yag bercucuran di lehernya karena terik matahari yang membakarnya. Lampu hijau telah menyala dan ia pun menepi untuk menunggu lampu menyala merah brikutnya dan sekedar untuk beristirahat. Sambil duduk di atas pot besar, ia menghitung tiap receh yang terkumpul. Dan sejenak wajahnya teringat harga benda yang ingin ia beli. Belum usai, ia tiba-tiba di kejutkan oleh suara orang yang sudah sangat ia kenal karena tiap hari ia harus berurusan dengan dua lelaki itu. Dua lelaki yang selalu meminta uang jatah dengan dalih keamanan. Tapi justru merekalah yang sebenarnya membuat semua tak aman.
“duit keamanan ayo cepet” pinta salah satu preman yang bernama Kudil.
“belum dapet duit mas” jawabnya sambil perlahan menyembunyikan uang yang ada di tangannya tadi.
“mas mas, mas mbahmu apa. Udah mana cepet sini. Tak antemi baru tau rasa kamu” ucap preman yang satunya lagi.
“udah sikat aja bos” provakator kudil kepada Japrak.
“halah ngapusi..itu apa di tanganmu?” sepertinya Japrak sadar dengan gerak gerik tangan Yanto yang menggenggam uang tadi.
“iya. Itu apa?” ucap Kudil ikut-ikutan.
“bukan apa-apa kok”
“rupanya pilih di hajar ini anak”
“udah lansung aja bosh ajar” semakin semangat Kudil memprovokatori Japrak.
“ampun mas. Ampun mas”
“PRIITTT!!!!!” suara peluit itu menghentikan Japrak yang sudah siap dengan tangannya. Dan membuat kedua preman itu pergi meninggalkan Yanto disana setelah mengucap ancaman.
“kamu ndak apa-apa le?”
“ndak apa-apa kok pak. Makasih ya pak tadi”
Akhirnya ia turun kejalan lagi untuk menukarkan suaranya itu. Ia tak peduli dengan teriknya mentari yang sedari tadi membakar kulitnya yang hitam legam. Yang ada dalam pikirannya ia harus berusaha keras sampai ia mendapatkan uang dengan sejumlah harga barang yang ia inginkan.
“sudah sana pergi. Suara fals aja jadi pengamen” ucap ketus lelaki berkumis tebal dari dalam mobil mewahnya.
“kuping bapak yang fals mungkin”
“apa kamu bilang?”
“yang namanya pengamen jalanan ya begini suaranya. Kalo suaraku bagus, aku udah jadi penyanyi di tivi” jawabnya tak kalah ketus. “bilang aja ndak punya duit” lanjutnya Ynato.
Dan segera pergi menuju mobil putih yang ada di belakangnya, berharap kali ini yang ada di dalam mobil itu baik hati yang sudi memberi sedikit rejekinya. Dan ternyata ia benar, uang selembar dengan angka 5000 disodorkannya dari jendela mobil itu. Senyumnya pun merekah senang.
“trima kasih pak” ucapnya berkali-kali.
Beberapa mobil sudah ia hampiri, beberapa receh juga sudah terkumpul disakunya. Ia menepi ke tempat peristirahatannya dan berkata dalam hati “lumayan dapet banyak. Kalau begini terus, bisa cepet-cepet beli baju buat simbok ni”.
“woi” teriak Supri yang tiba-tiba datang dari belakang.
“eh kamu to pri. Ngagetin aja kamu”
“gimana hari ini?” Tanya Supri setelah duduk di samping Yanto.
“lumayan Pri, banyak yang ndak pelit hari ini. Ada yang kasih lima ribu juga Pri”
“wah beruntung banget kamu To. La aku dari tadi Cuma dapet dikit”
“ya sudah. Rejekimu baru segitu, di syukuri saja. Kalau pengen banyak ya jadi aparat Negara saja sana”
“ndak mau ah, takut godaanya”
“apa godaanya?”
“korupsi” lalu Supri tertawa renyah dan di ikuti oleh Yanto. “ya sudah, kita makan dulu yuk”
“ok. Mari kita serbu warung mbok Jum” suaranya semangat sekali.
Dan mereka menuju warung mbok Jum yang sudah jadi langganan setiap harinya. Sampai sudah seperti rumah sendiri bagi mereka berdua. Sesampainya disana mereka langsung duduk di kursi paling pojok, karena memang disanalah kursi yang tersisa untuk mereka. Memang di warung mbok Jum selalu dipadati para pengunjung, apalagi di jam-jam makan siang seperti ini. Banyak yang merasa cocok dengan masakan mbok Jum, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Jadi tak heran kalau di depan warung mbok Jum terparkir mobil-mobil mewah.
“mbok maem seperti biasa nggeh” ucap Supri lantang hingga beberapa pengunjung spontan menoleh ke tempat mereka duduk.
“aku juga mbok”
“gimana tadi si Japrak sama Kudil dating lagi ndak”
“ya pasti lah. Tapi untung mereka segera kabur denger sempritan”
“jadi mereka takut sama sempritan?”
“ya tergantung siapa dulu yang nyemprit. Kalo kamu yang nyemprit ya sama saja”
Akhirnya makanan mereka datang juga.
“makasih mbok” ucap mereka kompak.
Tanpa aba-aba, mereka langsung menyantap makanan yang ada di depannya karena cacing-cacing di perut mereka sudah tak sabar mendapat asupan makanan. Dan sayur gudeg berlauk tempe bacem sudah terasa nikmat sekali bagi mereka. Di tengah lahapnya, tanpa rasa malu sedikitpun Supri bersendawa dengan keras.
“ihh ndak sopan kamu Pri” tegur Yanto.
“biarin” jawab santai Supri sambil terus mengunyah makanannya.
“kalau makan mbok ya pelan-pelan to Pri biar ndak keselak”
Supri Cuma bisa cuek mendengar saran Yanto. Selang dua menit Supri pun keselak seperti apa yag di katakan Yanto. Dan tangan Supri lansung menyambar es teh milik Yanto.
“aku bilang juga apa, keselek to kamu. Mana ambil es teh ku lagi” berusaha merebut kembali es teh yang sudah hampir habis di minum Supri.
“ah pelit kamu To”
*************************************************

Terlihat mereka berjalan lagi menuju tempat mereka mangkal. Belum sampai disana, mereka bertemu lagi dengan dua preman yang tadi belum berhasil meminta uang Yanto.
“wah gawat ni To” ucap Supri lirih
“nah sekarang ndak ada lagi yang bakal nolongin kamu” ucap Kudil sambil merentakan kedua tangannya seolah-olah ingin menangkap ayam.
Dalam hitungan ketiga, mereka serempak untuk menyelamatkan diri. Hanya itulah jurus satu-satunya yang mereka punya. Jika tidak, mereka akan menjadi santapan bagi kedua preman itu. Uang yang sudah terkumpul bisa sia-sia di rampas preman-preman itu. Yanto tak ingin hal itu terjadi karena ia tak punya waktu lagi untuk mengumpulkan uang untuk membelikan hadiah di  hari ini. Tapi hari ini menjadi hari naas buat Yanto, ia tertangkap oleh Japrak. Kudil lalu berusaha untuk meraih uang yang ada di saku celana Yanto.
“jangan mas”
“minta dikit aja buat makan, pelit banget kamu”
“tapi duitnya mau aku pake…”
“halah di pake buat apa? Nih lima ribu aja cukup. Anak kecil ndak usah banyak-banyak”
Yanto hanya terdiam saja tak berdaya melihat perlakuan mereka kepada dirinya. Namun tak setetespun air matanya tertumpah karena ia selalu teringat nasehat ibunya kalau kehilangan sesuatu, di ikhlaskan saja, mungkin itu bukan rejeki kita dan pasti jika kita ikhlas, kita akan mendapat gantinya suatu hari nanti, bahkan akan lebih banyak lagi. Dengan nasehat itu, ia terus semangat. Lagi pula ia masih menyimpan sebagian uangnya di tempat lain yang tak di ketahui dua preman tadi. Tapi tetap saja jumlahnya belum sesuai dengan harga barang yang ingin ia beli. Dan ia melanjutkan lagi untuk mencari kekurangannya.
                           ########################

            Di rumah Yanto terlihat kerumunan warga. Ternyata penyakit yang di derita ibunya semakin parah dan harus segera di bawa kerumah sakit. dengan mobil pak RT dan beberapa warga, ikut mengantar ke rumah sakit terdekat dan beberapa lagi ada yang bertugas mencari Yanto karena ibunya sedari tadi hanya memanggil nama Yanto dan ingin bertemu.
                                  ######################

            “sudah jam tiga lewat, uangnya juga belum cukup ni” gerutunya dalam hati setelah menghitung memastikan uang yang sudah terkumpul. “keburu tutup ni” lanjutnya
            Tiga puluh menit pun telah berlalu, tapi uangnya Cuma bertambah sedikit dan belum juga cukup untuk membeli kebaya yang ia sudah lama menginginkannya. Tapi ia tak mudah menyerah, ia terus berjuang dan berdoa.
“niat baek pasti ada jalan keluarnya. Apalagi ini buat seorang ibu yang telah melahirkan aku. Bismillah..”
Ia mulai mengadu nasib pada tiap mobil yang berhenti di lampu merah. Ia menghampiri mobil putih yang terlihat mewah semewah hati yang sudi bersedekah member sedikit rejeki, harapannya.
“kok banyak banget to pah ngasihnya” ucap seorang istri yang melihat suaminya yang ingin memberi uang sepuluh ribu kepada Yanto.
“udah gak apa-apa, kasihan kan. Lihat badannya udah kurus kering gitu” jawabnya sang suami lalu membuka kaca mobilnya dan menyodorkannya kepada Yanto.
“ndak ada kembaliannya pak”
“itu buat kamu semua nak”
“ini semua pak? Makasih banget ya pak” ucapnya sumringah dan langsung berlari ke pasar bringharjo untuk membeli kebaya itu.
Tapi sayang, sesampainya disana ia melihat kios penjual kebaya itu sudah tutup.
“mbok, kios di sebelah situ sudah tutup ya?”
“iyo le, baru saja tutup. La itu orangnya”
“makasih mbok” ucapnya keburu-buru untuk mengejar pemilik kios itu.
ia terlihat kelelahan setelah berlari mengejar pemilik kios yang sudah mau pergi dengan becak.
“tunggu dulu bu”
“ada apa le?”
“ibu yang jual kebaya itu ya?”
“iya betul”
“bu saya mau beli kebaya warna biru itu”
“tapi sudah saya tutup le”
“tolong bu.. ni buat kado simbok saya di hari ibu ini”
Mendengar alasan anak itu, si penjual itu justru pikirannya melayang kepada anak laki-lakinya yang dulu juga selalu memberi hadiah di setiap hari ibu. Hatinya juga mulai terketuk melihat niat baek anak yang ada di depannya itu.
“ya sudah ayo kita ke kios lagi”
“trima kasih bu”
Dan mereka berdua berjalan menuju kios untuk mengambil kebaya yang Yanto inginkan.
“mau pilih yang mana le?”
“kebaya yang warna biru yang disitu kemana ya bu?”
“yang ini..” sambil mengambil baju itu dari tumpukan.
“iya bu” wajahnya terlihat senang melihat kebaya itu masih ada. “harganya berapa bu”
“yang itu lima puluh lima”
Kemudian Yanto mengeluarkan uangnya dan menghitung kembali.
“wah uangnya kurang seribu bu”
“ya sudah ndak apa-apa”
                           ############################

            Ia pulang dengan hati yang mungkin tak bisa di ungkapkan dengan kata-katanya. Berharap bisa segera memberikan kebaya yang baru saja ia beli kepada ibunya. namun kegembiraan itu sedikit memudar ketika ia tak melihat ibunya di rumah. Setelah ia tak juga menemukan ibunya di rumah, ia lalu bertanya kepada pak Herman yang kebetulan sedang lewat depan rumahnya.
            “pak lihat simbok saya ndak?”
            “o simbok mu tadi di bawa kerumah sakit To”
            “la simbok saya kenapa?”
            “tadi penyakit simbok mu makin parah. Trus pak RT yang mengantar ke rumah sakit”
            Tanpa pikir panjang, Yanto lansung berlari menuju ke rumah sakit dengan tas kresek yag masih di tangannya. Ia terus berlari tanpa menghiraukan sekitarnya karena yang ada dalam pikirannya hanya ibunya saja. Sampai ia tak melihat ada mobil yang melaju kencang ke arahnya, dan tak dapat menghindar lagi, mobil itu menabraknya hingga terpentah beberapa meter. Seketika tempat itu di padati orang-orang yang berada tak jauh dari tempat kejadian. Sebelum ia tak sadarkan diri, ia sempat menitipkan tas kresek itu kepada seseorang dalam kerumunan yang ia kenal.
            Kemudian Yanto di bawa kerumah sakit dimana ibunya juga dirawat disana. Pak RT yang sedang mengurusi ibunya Yanto pun melihat Yanto yang sedag di bawa ke ruang ICU.
            “maaf kenapa dengan Yanto” Tanya pak RT
            “tadi ketabrak mobil pak. Dan tadi sempat menitipkan ini untuk ibunya”
                           #############################

            “bagaimaa dok keadaan Yanto?”
            “anda bapaknya?” balik Tanya sang dokter
            “bukan, saya tetangganya. Kebetulan ibunya juga dirawat disini dan saya yang mengurusnya. Lalau bagaimana keadaan Yanto dok?” tanyanya sekali lagi.
            Dengan lesuh dokter itu meminta maaf. Dan seakan kata itu sudah mewakili semuanya. “dia kehilangan banyak darahnya dan saya sudah berusaha sebisa saya. Tapi yang di atas berkehendak lain”
            “jadi Yanto..” pak RT tak mampu meneruskan kata-katanya.
            “iya. Dia meninggal pak”
            “innalillahi wa innailaihi rojiun”
            “tolong sampaikan pada keluarganya pak”
            “baik dok”
                          #################################

            Begitu siuman, pertama kali yang ia panggil adalah nama anaknya, ia terus memangil nama anaknya. Walau pak RT menyuruhnya untuk istirahat dulu, ia tetap saja ingin bertemu anaknya sekarang juga.
Pak RT tak tahu lagi harus berkata apa untuk menjawab pertannyaannya yang terus tentang Yanto anak semata wayangnya. Pak RT hanya bisa berbohong untuk segara mencari Yanto. Di luar ruangan itu, lagi-lagi ia terdiam mencari cara untuk memberi kabar yang sudah pasti akan menganggu keadaan ibu Ynato yang baru saja siuman. Sepuluh menit kemudian dengan langkah ragu ia masuk kembali. Mulutnya benar-benar tak kuasa untuk bicara yang sebenarnya tentang keadaan Yanto.
“ibu istirahat saja dulu, si Kirman sudah saya suruh untuk mencari Yanto” ucapnya berbohong lagi.
Tiga puluh menit berlalu, ibu Yanto semakin tak tenang, seolah tahu dengan keadaan Yanto sekarang. Namun pikirannya tak sejauh kenyataan. Ia terus memaksa pak RT untuk mencarinya juga. Melihat keadaan ibu Yanto yang terus memaksa, akhirnya pak RT memberanikan diri untuk menyampaikan dan memberi titipan dari Yato sebelum meninggal.
“o iya, ini ada titipan dari Yanto bu”
“makasih ya pak. Tapi kenapa Yanto ndak memberikannya sendiri? Memangnya Ynato kemana pak?”
Hanya kata yang terbata-bata yang bisa keluar dari mulut pak RT.
“Yanto kenapa pak?” ibunya semakin cemas.
“Yanto.. dia..”
“iya Yanto kenapa pak? Cepat katakan”
Pak RT menarik nafas untuk mengumpulkan seluruh keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Yanto meninggal kecelakaan saat mau kesini bu”
“meninggal?” hanya itu yang terucap dari mulut ibu Yanto sebelum ia terdiam dan air matanya mulai membanjiri pipinya lalu hanya bisa terbaring lemas. Kondisinya menurun drastis.
Pak RT langsung keluar untuk memanggil perawat untuk mengecek keadaannya.
                                         ##################

            Di pamakaman, orang-orang tertunduk pilu. Taburan bunga, tetesan air mata yang berbaur iringan doa mengantar kepergian Yanto. Awan terlihat meredup seakan tahu dan mewakili apa yang sedang ibu Yanto rasakan saat ini.
            Satu per satu orang sudah mulai meninggalkan pemakamanan itu. Tapi ibu Yanto tetap tinggal dan terus menatap nama Yanto di papan yang berdiri tertancap di gundukan tanah itu. Air matanya terus berlinang membanjiri tanah. 
        

             
               

Senin, 17 Desember 2012

ketika...

ketika bangsa indonesia kehilangan indonesianya...
semua sudah berganti british...
dimana pemudamu yang dulu selalu teriak...
kami putra dan putri indonesia berbangsa satu, bangsa indonesia...
tentu bukan salah mereka yang tak lagi berteriak...
kemana indonesia ketika semua meraja lela...
kemana indonesia ketika semua tak terbatas...
kemana indonesia ketika semua butuh tindakan tegas...
banggakah dirimu menyebut indonesia ketika yang ada hanya kemunafikan?
indonesiakah dirimu saat rumahmu hanya di huni para ular-ular berbisa?
dan ketika bangsa indonesia sudah kehilangan indonesianya...
yang tersisa hanyalah ego...

Minggu, 16 Desember 2012

penyesalanku...

   aku duduk di sebelah tidurnya yang pulas. pelan-pelan aku tarik ke atas selimutnya yang hanya menutupi kakinya. aku terdiam memandang lama wajahnya yang pulas tertidur, begitu damai begitu polos, seperti tak ada beban yang terlihat dari wajahnya. hela nafaasnya pun begitu tenang. ku rapikan rambutnya yang mulai menutupi setengah wajahnya. dengan lembut ku cium keningnya. aku merasakan detak jantungku ini semakin kencang memompa darahku. ada sesuatu yang beda sedang menghantam hatiku ketika ku lepas ciumanku dari keningnya.
   mataki kian nanar memandang dalam polosnya wajah itu. tak sadar air mataku membuncah dan akhirnya tertumpah ke pipiku hingga menetes membasahi selimutnya.
   "maafin mamah sayang. kamu terpaksa harus ikut menanggung beban ini, beban yang seharusnya mamah yang menanggungnya sendiri"
   air mataku semakin deras mengalir di pipiku. suaraku yang tersendat-sendat pun akhirnya membuatnya terbangun.
   "mamah kenapa kok menangis?'
   cepat ku usap seluruh iar mataku yang masih tersisa dipipi. aku dekatkan wajahku ke wajahnya.
   "mamah tidak apa-apa sayang. kamu tidur lagi ya sayang"
   lalu ku kecup sekali lagi keningnya sebagai pengantar tidurnya.
   ku tahan sekuat tenaga agar air mata ini tak terjatuh lagi, namun tetap saja tak tertahan ketika aku sadar malam ini adalah malam terakhir aku melihatnya tertidur, bahkan tak bisa melihatnya terbangun di pagi hari dan tak bisa mendengar suaranya memanggil namaku setiap pagi.
   aku benar-benar merasa hati ini hancur ketika harus berpisah dengan buah hatiku yang mash berusia empat tahun ini.
   andai perceraian ini tak pernah ada, pasti semua tak seperti ini. tapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerima semua konsekwensi atas apa yang kulakukan.
   belum puas aku memandang wajahnya, mas wahyu sudah menarikku keluar dari kamar anakku dan tak menghiraukan suaraku yang memohon agar aku di ijinkan lebih lama menemani tidur anakku. setelah sampai di ruang tamu, ia kembali emosi dan kasar, sepertinya sudah begitu bencinya padaku. walau aku tahu semua ini juga salahku. cintanya yang tulus, kelembutannya yang dalam, perhatiannya yang tinggi dan kesetiaannya yang tak diragukan lagi, tapi aku sia-siakan dengan perselingkuhanku dengan mantan pacarku waktu SMA dulu yang kini pergi entah kemana setelah puas mendapatkan semua yang ia mau.
   aku tahu bagaimana rasanya di hianati, dan aku maklumi sikapnya yang begitu kasar sekarang. aku menyesal sudah melakukan ini semua. tapi inilah yang harus aku tanggung atas apa yang sudah aku lakukan yang sepantasnya tak ku lakukan setelah aku bersuami.
   "ya sudahlah, semua ini sudah jadi hukuman buatku.  maafkan aku mas, maafkan aku nak"
   dengan lesu aku langkahkan kaki ini keluar meninggalkan semua yang telah aku bina selama lima tahn bersama mas Wahyu. sekitar empat meter dari rumah itu, aku berhenti dan menoleh lagi untuk terakhir kalinya. pintu itu sudah tertutup rapat, seolah tak ada lagi pintu untukku, untuk permintaan maafku.
   lagi-lagi air mata ini tertumpah sejadi-jadinya, entah kemana aku harus melangkahkan kaki ini.


#jogjakarta malam#

Selasa, 04 Desember 2012

selembar foto...

   suara hujan kini mengalahkan lagu waltz muram yang di bawakan oleh tika and the dessident lagu kesukaannya. dari duduknya yang termangu, matanya terus menatap keluar dari kaca jendela yang ada di sampingnya. menatap tiap tetesan hujan yang mengenai barisan bunga matahari. hujan pula yang sudah mengurungnya di restoran ini selama hampir tiga jam.
   tatapan matanya kian nanar, membuatnya teringat pada satu wajah yang masih melekat erat pada ingatannya. wajah yang hampir tiap hari hadir menemani alam mimpinya, tak terkecuali tadi malam. seseorang yang sampai kini masih ia harapkan, masih ia rindukan dan masih ia cintai.
   perlahan tatapan itu menjelma menjadi lamunan, lamunan yang  mengajaknya kembali kemasa dua tahun silam. tepat di tanggal ini dan di tempat ini pula. sebuah perayaan kecil bersama pacarnya yang sedang berulang tahun, dengan kue tart kecil yang hanya cukup di tempati angka satu dan angka tujuh. itu merupakan moment terindah yang terakhir dengan pacarnya sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi.
   abu rokoknya terjatuh dari tangannya, rokok yang tak terhisap selama tiga menit. ia pun tersentak tersadar dari lamunannya dan kembali kedunia nyatanya. matanya tak lagi nanar menatap hujan di luar sana, melainkan ke arah meja di depannya. seorang gadis berkerudung yang duduk menghadap ketimur sama dengannya hingga ia tak bisa melihat wajah gadis itu. ia baru sadar kalau gadis itu sudah duduk disana lebih dulu darinya. duduk terdiam tanpa banyak aktifitas yang dia lakukan, hanya terkadang tangannya yang sesekali terlihat mengibaskan ujung kerudungnya ke belakang.
   dan entah mengapa gadis itu justru mengusik dirinya. rasa itu kian tumbuh subur dalam otaknya yang kini berbuah rasa penasaran yang sangat. kepalanya ia julurkan keatas sedikit ke kanan mencoba mengintip apa yang sedang gadis itu lakukan. ia melihat gelas yang isinya tinggal beberapa teguk saja dan sepiring pizza yang tersisa dua potong di sebelah kanannya. namun ia tak berhasil melihat apa yang sedang gadis itu lakukan, bahkan wajahnya pun tak terlihat. tapi sepertinya gadis itu sedang menatap sesuatu yang ada di hadapannya, tangannya pun tak banyak bergerak hanya gerakan bahu yang naik turun. tak lama setelah itu, tangannya mulai bergerak ke arah wajahnya dan mengusap sesuatu yang ada di wajahnya. sepertinya gadis itu menangis. ia semakin penasaran di buatnya. sebenarnya apa yang ada di hadapanya itu yang membuat gadis itu diam terpatung dan tiba-tiba menangis kini tanpa sebab yang pasti.
   ingin sekali ia menghampirinya, tapi apa daya, ia tak punya alasan tepat untuk mendekatinya, bahkan kenal saja tidak. dan meski ia hanya bisa melihat dari belakang, ia tahu bahwa gadis itu kini tangisnya semakin menjadi dan semakin pula hal itu mengusik hatinya. ingin peduli tapi ia tak mengenalnya, ingin cuek tapi terus mengganggu pikirannya. dan lamunan dalam kesendiriannya sekarang benar-benar terusik oleh rasa penasaran itu. tapi tetap saja tak banyak yang ia bisa lakukan selain hanya memperhatikan gadis itu dari belakang.
   menjelang jam sepuluh malam, ia melihat para waiter sudah bersiap-siap untuk tutup. ia pun berkemas bersiap untuk pulang karena sudah terusir secara halus oleh lampu-lampu yang sebagian sudah padam. ia sengaja melewati meja itu yang sudah di tinggalkan oleh gadis tadi, lima menit lebih dulu darinya. ia tehenti, ia terhenyak ketika yang di lihat di atas meja itu adalah sepotong kue tart yang sudah terpotong satu porsi. "jadi... dia sedang merayakan sesuatu sendirian". ucapnya dalam hati setelah mendeskripsikan apa yang ia lihat di meja itu. ia juga tak sengaja melihat sesuatu seperti kertas foto namun terbalik yang terjatuh di bawah meja. tanpa sebab yang pasti tangannya tergerak untuk mengambil kertas itu. kini ia hanya bisa terdiam dan duduk kembali setelah apa yang ia lihat dari foto yang kini di tangannya. untuk beberapa menit ia terlupa pada tujuan utamanya untuk pulang.
   "maaf mas, kita sudah mau tutup" akhirnya ada ucapan yang mengusirnya dari tempat itu.
   ia pun segera beranjak dari tempat itu dan membawa foto tadi. sebuah foto perayaan ulang tahun yang di ambil dua tahun lalu, tepat di tanggal ini dan tempat ini pula.

#jogja 04-12-12 malam#