Kebahagiaan
ini aku dapatkan setelah aku putus dengan Bagas, hubungan yang sudah aku jalani
bersamanya selama lebih dari 5 tahun. Memang ada sesuatu yang akhirnya aku
memutuskan untuk berpisah dengannya, sesuatu hal yang menurutku rasional untuk
menjalani sebuah hubungan ke jenjang pernikahan. Hingga membuatku memilih Satya
yang ku anggap sempurna di mataku, yang juga aku anggap mampu menjadi
pendampingku selamanya. Walaupun aku tahu Bagas sangat mencintaiku lebih dari
segalanya. Namun aku juga harus membuka mata, berpikir dengan rasional. Ini
bukan tentang sekedar pacaran, sayang-sayangan atau cinta semata, tapi ini
tentang masa depan, aku harus mengambil sikap itu dan mengkesampingkan
kesenangan belaka, atau sekedar cinta belaka. Mungkin ini terdengar sadis,
apalagi buat Bagas, tapi buatku inilah hidup, hidup yang penuh dengan pilihan
meski harus melukai hati seseorang.
Hari-hari
aku jalani dengan penuh kebahagiaan bersama Satya meski umur hubungan kami baru
seumur jagung, tapi aku merasa dialah yang benar-benar pantas sebagai
pendamping hidupku dengan segala yang ia punya. Aku sangat mencintainya, seolah
semua hidup dan segala yang ku punya aku serahkan sepenuhnya untuk dia,
termasuk kesucianku. Namanya juga cinta, lagi pula saat itu sudah menjelang
pernikahan kami. Ya, pernikahan kami yang tinggal menghitung bulan saja, dan
tak lebih dari dua bulan lagi.
Malam
itu, angin malam terasa sangat dingin sekali meski jam di rumahku baru
menunjukkan pukul 20:10 malam. Padahal tak ada hujan yang turun, tapi memang
angin malam itu sudah bisa membuat kami berdua terlena oleh suasana dan
akhirnya aku serahkan apa yang seharusnya aku berikan kepadanya saat kami sudah
menikah nanti. Tapi mungkin aku sudah terlanjur cinta kepadanya dan tak ragu
lagi untuk hidup bersama dia. Lagi pula sebentar lagi aku akan menikah
dengannya dan dia akan menjadi bapak dari benih yang telah ia taruh dalam
rahimku. Aku tak ragu lagi saat melakukannya. Aku terus saja menikmatinya.
Tiga
minggu kini menjelang pernikahan aku dan dia. Aku merasakan ada kehidupan di
dalam tubuhku. Aku positif hamil saat aku periksa kesehatan sebagai salah satu
syarat pengajuan pernikahan kami. Aku merasa sangat bahagia, kini aku akan
segera menikah dengan lelaki yang begitu sempurna di mataku dan aku akan segera
menjadi seorang ibu. Begitu pun dengan dia, aku lihat dari wajahnya yang memang
sudah siap dengan semua ini. Aku merasakan perhatiannya kepadaku semakin
bertambah, aku semakin dimanja olehnya.
Ini
saatnya kami harus pergi ke tempat percetakan untuk memesan undangan untuk
pernikahan kami. Tapi dia melarangku untuk ikut, aku disuruh untuk tetap
tinggal di rumah saja. “kamu istirahat saja sayang, biar aku saja yang pesan
undangannya” ucapnya dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Kecupan yang
tak biasa, aku justru merasakan ada yang aneh dalam kecupan ini. Baru kali ini
aku merasakan kecupan yang begitu mesra darinya di keningku selama aku
menjalani hubungan dengannya. Seharusnya aku merasakan senang, tapi entah
kenapa justru perasaan aneh yang hinggap setelah kecupan itu mendarat di
keningku. Aku terus melihatnya pergi dari depan pintu sampai dia benar-benar
tak terlihat lagi, ada perasaan takut yang menyerang hatiku, ini memang tak
seperti biasanya. Aku seperti bisa merasakan akan kehilangan dia dengan
kepergiannya ke tempat percetakan itu. Segera aku tepiskan pikiran itu dengan
mencoba melihat acara sinetron di salah satu stasiun televisi hingga tanpa
sadar aku tertidur di depan televisi yang tadi aku lihat.
Aku
terhentak terbangun oleh suara keras sebuah truk yang menghantam motor calon
swamiku dalam mimpiku tadi. Aku terbangun. Badanku berkeringat deras, detak
jantungkun berdetak kencang, pikiranku semakin tak karuan, apalagi aku lihat
jam yang berada di dinding sudah menunjukkan pukul 17:21. Ternyata aku sudah tertidur
selama kurang lebih 6 jam lamanya dan aku tak melihat Satya di rumahku. “apa
dia langsung pulang ke rumahnya ya?” tanyaku lirih pada diriku sendiri. Aku
segera saja mencoba untuk menhubunginya lewat telefon genggamku. Tak ada
jawaban darinya meski sudah tiga kali aku mencoba menelefonnya. Sepertinya
telefon genggamnya mati dan kali ini kekawatiranku semakin menjadi. Aku tak
habisan akal, aku mencoba menghubungi rumahnya. “Satya belum pulang tu nduk.
Ibu kira dia di situ” jawaban ibunya membuatku semakin lemas rasanya. Entah
kemana lagi aku harus mencarinya.
“kamu
kenapa nduk kok terlihat gelisah seperti itu?” tanya ibuku yang melihatku
sedari tadi dari ruang tempatnya merenda, hobbynya setiap sore.
“ini
bu, mas Satya belum pulang juga dari pesen undangan, padahal udah dari tadi jam
11. Aku coba hubungi dia ndak aktif, aku hubungi rumahnya katanya belum pulang”
jawabku masih dengan kegelisahan akan keadaannya.
“sudah
jangan gelisah gitu, mungkin dia mampir dulu ke tempat temannya atau kemana
gitu” ucap ibuku mencoba sedikit menghiburku. Namun aku tak bisa tenang,
ditambah lagi dengan mimpi burukku tadi.
Selang
tak berapa lama ada telefon masuk dari bapaknya Satya ke telfon genggamku.
Segara mungkin aku angkat dengan harapan ada kabar baik dari Satya yang sedang aku
kwatirkan sedari tadi. “iya halo pak” ucapku dengan harapan akan mendapat kabar
baik tentang Satya. “begini nak Jepara...” Pak Rahmat terdiam tak mampu
menuruskan apa yang hendak ia katakan. Hal itu membuat aku semakin gelisah.
Bagai
disambar petir. Seluruh tubuhku seketika lemas tak berdaya ketika akhirnya pak
Rahmat dengan gugup melanjutkan kata-katanya. Semua seakan gelap. Hidupku
hancur bersama mimpi yang terbawa oleh calon swamiku ke nirwana. Entah apa yang
harus aku lakukan kini, apalagi ditambah dengan adanya janin yang kini
bersemayam dalam rahimku. Punah sudah impianku menjadi orang yang bahagia.
Di
pemakaman, aku tak henti menagisi kepergian kekasihku hingga serasa habis sudah
air mata yang harus aku keluarkan. Berganti pekat gelap tak dapat melihat. Tak
dapat aku menahan berat tubuhnku sendiri hingga akhirnya jatuh dan tak sadarkan
diri.
*****
Selepas
40 hari kepergian Satya, aku masih terlihat murung dalam kamar. Tak tahu apa
yang harus aku perbuat, sedang aku tahu perutku akan terus membesar. Aku tak
sanggup untuk mengatakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku sudah mengandung
benih dari Satya, aku tak sanggup jika harus melihat perutku tumbuh membesar
dan melahirkan bayi tanpa ada swami, aku
juga tak sanggup jika harus membunuh bayi yang tak berdosa. Sebuah dilema besar
buatku.
Telfon
genggamku berbunyi tanda ada pesan singkat masuk. Aku buka, aku baca sepenggal
pesan dari dia yang tak pernah terpikirkan lagi olehku. Pesan yang berbunyi
“aku turut berduka cita atas meninggalnya pacarmu Ra. Aku sangat tahu bagaimana
perasaanmu saat ditinggalkan dia yang sangat kamu cintai. Sudahlah, jangan
terus larut dalam kesedihan. Inilah hidup, kita tak pernah tahu apa yang akan
terjadi”
Belum
sempat membalas pesan yang sebelumnya masuk, datang lagi pesan kedua yang
berbunyi “jika kamu mau, aku masih mau menjadi tempat bersandarmu seperti dulu.
Aku memang tak sehebat dia, tapi paling tidak pundakku masih kuat seperti dulu
untuk kau jadikan tempat bersandar”
Dalam
keadaanku yang masih dilanda kesedihan, aku benar-benar tak menangkap maksud
dari pesan yang aku baca. Tapi aku merasakan ada sedikit angin segar yang masuk
ke dalam ruang hampa yang selama ini aku tempati setelah kepergian kekasihku.
Dan aku membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang aku sendiri tak tahu kenapa
aku bisa bertanya sebuah pertanyaan yang menurutku bodoh setelah aku
pikir-pikir lagi dan aku rasa tak ada gunanya menanyakan hal itu kepadanya.
Tapi jawaban yang aku terima justru membuat hatiku tersentak kaget, seakan
anganku terhipnotis dan kembali kemasa yang lalu. Aku merasa harus bicara
langsung dengannya, bukan sekedar berbicara lewat pesan singkat. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk menghubunginya.
“tapi
kamu ndak tahu apa yang terjadi denganku kini Gas” ucapku yang kini sudah
berpindah di saluran telefon.
“aku
memang ndak tahu apa yang terjadi kini, bahkan sejak kau putuskan aku, tapi aku
tahu, hati dan perasaan ini masih kepadamu” ucapnya yang terdengar tanpa ragu
lagi. Lalu aku rebahkan tubuh ini, aku menghela nafas panjang dan
mengeluarkannya kembali.
“andai
kamu tahu Gas, pasti kamu akan mengurungkan niatmu untuk bisa bersamaku lagi”
“hamil?”
ucapan Bagas yang begitu mengagetkanku. Entah dari mana dan entah bagaimana Bagas
bisa dengan tepat menebak apa yang aku sembunyikan dan membuatku hanya bisa
terdiam sejenak.
“kenapa
kamu bisa berkata seperti itu?” ucapku masih berusaha menyembunyikan hal itu
dari Bagas.
“aku
membaca tanda-tanda” jawabnya santai.
“tanda-tanda?”
aku merasa bingung dengan kata-kata itu.
“sudahlah
lupakan hal itu, itu tidak penting. Yang terpenting, jika kamu mengijinkan aku
dan memberi kesempatan untuk menjadi apa yang kamu mau, aku siap menerima kamu
dengan segala keadaanmu”
Aku
sadari ada sesuatu yang membasahi kedua pipiku. Aku menangis oleh kata-katanya
yang terdengar begitu tulus mau menerimaku meski keadaannya seperti sekarang
ini. Betapa aku malunya kepada diriku sendiri dengan tindakan bodoh yang telah
meninggalkan Bagas hanya demi seseorang yang kuanggap sempurna di mataku.
Melakukan tindakan yang ternyata hanya sia-sia.
Dulu
aku yang begitu yakin bisa menikah dengan Satya akhirnya kandas sia-sia oleh
ketetapan Tuhan. Memang sebagai manusia aku hanya bisa berharap, tapi tetap
Tuhanlah yang akhirnya menentukan. Mungkin inilah ketentuan Tuhan yang telah
diberikan kepadaku, akhirnya aku menikah dengan Bagas. Lagi-lagi ini terlihat
sadis memang. Orang-orang pasti melihat aku mau menerimanya kembali hanya
karena janin yang sudah bersemayam dalam rahimku. Tapi Bagas tak pernah mau
ambil pusing dengan ocehan-ocehan para tetangga. Dia pernah bilang kepadaku
saat aku bertanya kepadanya tentang ini. “aku tak pernah perduli apa kata
mereka, bagiku yang terpenting, aku bisa hidup denganmu sayang”. Aku memeluk
Bagas yang kini sudah menjadi swamiku dengan erat. Dalam hati aku hanya berkata
“maafkan aku swamiku”.
Hari-hari
aku lalui dengan sangat bahagia. Ternyata dulu aku salah menilai Bagas dari apa
yang bisa aku lihat saja, tapi ternyata jauh dari dasar hatinya yang tak mampu
aku lihat, dia orangnya sangat bertanggung jawab, perhatian dan sangat sayang.
Setiap kali aku periksa kehamilanku, dia dengan siaga selalu ada untukku.
Pekerjaan rumah yang berat-berat yang seharusnya menjadi pekerjaanku selalu
saja ia yang lakukan.
Ini
adalah bulan kesembilan, beberapa minggu lagi aku akan melahirkan.
Aku
masih ingat betul saat itu hari kamis malam, tepatnya malam jum’at kliwon. Aku
merasakan ada kontraksi yang hebat, aku benar-benar tak tahan. Jika HPL-nya,
seharusnya masih empat hari lagi. Aku langsung dibawa kebidan yang tak jauh
dari rumah dengan mengendarai motor. Mas Bagas sepertinya merasa kasihan oleh
rintihan yang terus keluar dari mulutku, aku merasakan laju motornya semakin
cepat, aku tahu dalam pikirannya hanya satu, agar kami cepat sampai. Saat
hampir di tikungan, aku merasakan laju motornya tak melambat, ada rasa gugup
dari tubuh mas Bagas yang merambat cepat. Ia tak bisa mengendalikan laju
motornya dengan kecepatan yang sama, aku semakin erat melingkarkan tangan di
perutnya. Dari arah berlawanan, aku lihat juga sepasang cahaya yang menyilaukan
melaju dengan cepat. Saat itulah aku tak lagi tahu apa yang terjadi kepada
kami. semuanya hitam pekat. Tubuh ini menjadi ringan. Hingga beberapa saat aku
bisa melihat mas Bagas dan sesosok tubuh wanita yang ia pangku. Mas Bagas terus
berteriak histeris, dan saat itulah aku baru menyadari bahwa aku sudah mati.