Pagi ini masih seperti pagi-pagi
sebelumnya. Embun itu menyapa dan membelaiku walau tak secara langsung, tapi
aku begitu merasakan kesejukan itu. Aku tahu, Embun itu bukan milikku lagi
seperti dulu ketika aku masih menjadi ilalang yang segar, ilalang yang selalu
menjadi tumpuan mimpi sang Embun untuk menari riang di setiap inchiku. Namun
kini hanya sapaan-sapaan kecil yang masih terlontar kepadaku meski aku tahu
sulit untukku bisa membalasnya. Kini aku adalah ilalang kering yang tergeletak
bersama rumput-rumput kering lainnya di sudut.
Namun aku masih patut bersyukur,
Embun itu masih mengingatku dengan sapaan-sapaan kecil meski hanya sebuah angin
yang bersuara menyampaikannya kepadaku. Aku sudah cukup senang.
“hai mas, pa kabar?” sapaannya
pertama kali yang masih aku ingat begitu aku sudah tergeletak lama disini.
“hai juga, kabarku baik-baik saja
disini” jawabku meski kenyataannya tak seperti itu.
Sepertinya memang ia tak mengetahui
keadaanku yang sebenarnya, karena ia sama sekali tak bisa melihatku lagi yang
tergeletak disini, meski tak jauh dari tempat ia selalu ada. Ladang luas yang
telah membutakan pandangannya dengan menjanjikan seribu ilalang baru. Dan janji
yang telah bisa merayu sang Embun. Tapi biarlah, mungkin ini sudah menjadi
nasibku, menjadi kering dan tak di butuhkannya lagi, tinggal menunggu sang api
yang akan membutuhkanku ketika aku benar-benar kering nanti.
Tanpa aku sadari, sapaan-sapaan
kecil itu justru yang menjadikan aku setengah segar kembali, bagai separuh
jiwaku kembali. Meski aku sadar tak benar-benar kembali jika keadaannya memang
begini. Tapi aku sudah cukup senang dengan keadaan seperti ini. Meski kelak aku
tahu, aku tak akan pernah lagi bisa merasakan kesejukan sapaannya yang aku
dapatkan hampir setiap hari disini. Aku nikmati saja semuanya selagi aku masih
punya waktu, sebelum api yang mencumbuku, menjadikanku sang pengantin atas
kodratnya.
Aku tak pernah meminta dan berharap sang
Embun selalu menyapaku setiap hari, namun kali ini sudah hampir satu bulan
sejak terakhir ia memintaku untuk meminjamkan pagiku yang dulu pernah aku
miliki tak terlihat lagi, aku lihat di hembusan angin pun tak ada. Aku tak tahu
kemana perginya Embun. Pikiranku pun secara otomatis bekerja mencari kemana
perginya, paling tidak mencari ada apa sebenarnya dengannya karena aku selalu
peka terhadap apa yang ia alami. Aku selalu melihat tanda-tanda darinya, dari
mana pun datangnya, aku selalu bisa melihatnya.
“thek” pikiranku yang mengalir
begitu saja tiba-tiba berhenti pada sesuatu yang tak aku inginkan, bahkan aku
takutkan. Pikiranku mengatakan ada dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama,
ia di tahan oleh pagi di dalam dunianya yang baru, kemungkinan yang kedua, ia
sakit, terjatuh dari ujung daun yang tak mampu menangkapnya. Namun pikiranku
tak berhenti disitu, aku terus mengolah kemungkinan mana yang paling tepat.
Entah kemana, pikiranku mengatakan, kemungkinan yang kedualah yang paling
mungkin terjadi. Ya, tak berselang berapa lama, beberapa angin utara berhembus
menerpaku berkali-kali, membawa sebuah kabar kalau Embun yang dulu selalu
menemaniku itu sedang sakit.
Ah kabar yang tak pernah aku
inginkan akhirnya terdengar juga sebagai penegar apa yang aku pikirkan. Andai
aku tak pernah melihat tanda itu, mungkin pikiranku tak pernah mengatakan itu.
“tak perlu bicara seperti itu. Itu
terjadi sudah kehendakNYA. Siapapun akan sakit, terlepas dari kamu memiliki
pikiran seperti itu atau tidak. Yang sudah seharusnya terjadi, maka terjadilah.
Dan itu yang sedang di alaminya”
“kamu siapa?” aku bertanya kepada
pemilik suara itu yang tiba-tiba terdengar.
“aku hanyalah malam yang selalu
menikmati apa yang seharusnya terjadi. Seperti malam yang tak selalu
berbintang, aku menerimanya, seperti malam yang tak selalu di temani bulan, aku
menerimannya, seperti malam yang tak selalu di puja oleh para pendoa di tengah
malam, aku pun menerimanya. Karena memang itulah yang terjadi, dan aku harus
menerimanya dan menjalaninya”
“tapi ini tentang Embun yang
terkapar sakit disana, bukan aku”
“aku tahu. Lalu kenapa tak kau
jenguk saja dia?”
“aku tak pernah sanggup untuk
kesana”
“karena matahari yang selalu
membakarmu?”
“bagaimana kamu tahu, sedang kamu
hanyalah malam yang tak pernah tahu matahari yang selalu membakarku, bahkan
kalian berdua adalah musuh abadi”
Tiba-tiba malam itu lenyap tanpa
memberi banyak lagi jawaban, seperti tadi ketika ia tiba-tiba datang. Lalu pada
siapa lagi aku harus bicara? Aku sudah tidak bisa lagi berbicara dengan tembok
yang selalu mengelilingiku, sudah tak bisa lagi berbicara dengan bayanganku
sendiri atau kepada angin yang kadang-kadang selalu aku butuhkan sebagai teman.
Lebih tepatnya, karena aku sudah tahu, mereka bosan dengan ceritaku yang
itu-itu saja.
Tapi sudahlah, itu tak penting
buatku, yang terpenting adalah Embun yang kini sedang terkapar sakit. Entah kenapa
pikiranku terperangkap disana, seakan terus dan terus berada disana.
Aku memang sudah tak layak
bersanding dengannya lagi, aku hanyalah ilalang kering yang terkapar bagai
seonggok sampah yang tak berfungsi lagi, tapi aku berharap dalam doa malam ini,
dia di beri kesembuhan agar kembali lagi menjadi Embun yang selalu menyejuki
pagi, menari-nari lagi bersama daun yang telah ia pilih, dan aku hanya bisa
berdoa dari sini, dari persembunyianku melawan panasnya sengatan mentari yang
entah sampai kapan akan sirna. “cepat sembuh Embun pagi”