Minggu, 14 Juli 2013

cinta yang semestinya





            Meski sudah mendapat penjelasan dari temanya soal cinta, hampir sebulan ternyata Arya masih merasa galau, ternyata soal cinta tak semudah membalikkan telapak tangan, bingung apa yang harus ia lakukan. Seandainya dirinya tak bertemu Senja, hatinya mungkin tak seperti itu lagi dan kepalanya di penuhi oleh bayang-banyang Jingga lagi. Begitupun dengan Jingga, hatinya terus berteriak, meronta, dan menuntut untuk memilih apa yang ia katakan dan rasakan. Namun mereka berdua sama-sama tak mampu untuk saling mengungkapkannya. Sedang perilaku Arya di depan Senja sudah mulai sedikit beda, tak sehangat dulu walau mereka masih dalam status sahabat dan perilaku Jingga terhadap Dimas juga sudah mulai beda kembali seperti dulu saat Jingga marah dengan Dimas.
Dalam satu kesempatan, mereka tanpa sengaja di pertemukan berdua. Sebuah bangku yang menghadap ke taman dan beberapa pilar besar di belakangnya, mereka duduk berdua tanpa ada siapapun disana, suasana yang justru membuat meraka merasa canggung, seakan mereka baru saja kenal satu sama lain. Sejak sapaan tadi, tak ada lagi obrolan yang terdengar dari mereka, padahal sudah berlangsung hampir lima menit.
“kenapa kamu sendirian disini Ga?”
“kamu gimana to Ar, kan tadi sudah tanya dan aku sudah jawab”
“o iya lupa. Maaf” seakan-akan pertanyaan itu ia sengaja untuk memulai pembicaraan.
“kamu aneh”
Mata mereka saling menatap hingga tajam dan menghentikan gelak tawa yang tadi sempat tercipta dan keheningan terlahir kembali.
“o iya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku”
“apa itu Ar”
“entah  harus aku mulai dari mana, yang pasti ada perasaan yang sulit aku hilangkan di hati ini karena kamu. Apalagi semenjak kehadiran Senja, perasaan itu semakin bertambah kuat, tapi bukan ke Senja, tetap ke kamu. Entah kenapa saat aku berdua dengan dia, justru yang mucul hanya bayang-banyangmu”
“kamu sudah jadian dengan dia?”
“belum Ga. Justru ini yang membuat aku nggak bisa dengan dia. Jika aku paksakan, yang ada hanya kebohongan. Dan aku putuskan untuk tetap berteman saja dengan dia. Dan satu lagi, aku mengatakan semua ini bukan berarti aku menembakmu, aku hanya mengutarakan apa yang aku rasakan yang membuatku jadi seperti ini dan nggak bermaksud untuk merebutmu dari Dimas, aku sudah putuskan sejak lama untuk mengikhlaskan kamu bersamanya. Aku harap setelah aku mengatakan semua ini, aku bisa lega, bisa lagi tersenyum melihat kalian bahagia”
“aku juga Ar, sebenarnya aku juga sayang sama kamu”
“apa karena kamu tau puisi-puisi itu milikku?”
“bukan Ar, jauh sebelum itu, bahkan sebelum aku jadian dengan Dimas, tapi akhirnya Dimas yang lebih dulu menembakku dengan puisi-puisi itu yang aku syaratkan. Dan aku ndak ingin mengingkari janjiku sendiri, siapa saja yang bisa meluluhkan hatiku dengan puisi, aku mau menerimanya. Tapi jauh kesini, ternyata aku salah, ternyata cinta bukan dari sebuah puisi, cinta itu dari hati itu sendiri. Dan hati ini lebih memilih kamu Ar. Tapi semua itu sudah terlambat, aku ndak mungkin meninggalkan Dimas, aku ndak mau menghancurkan persahabatan kalian jika aku meninggalkan dia hanya demi untuk bisa bersama kamu dan aku juga ndak mau nyakitin hati dia yang sudah mencintai aku”
“cinta memang aneh, tapi alangkah bijaknya jika kita mau berfikir apa yang terjadi setelah cinta itu tercipta. Cinta tercipta bukan untuk menyakiti hati orang lain, cinta tercipta bukan untuk menghancurkan hubungan orang lain. Dan kita tau apa yang harus kita lakukan”
“dan cinta itu anugrah yang di atas, dan Dialah yang lebih tau”
“meski kita tak bisa saling memiliki, setidaknya kita masih bisa berteman. Aku selalu berdoa agar Dimas bisa membahagiakan kamu selamanya. Aku kenal dia sudah lama, dan dia sudah berubah hanya karena kamu. Dan ijinkan aku melihat kamu kalian bahagia bersama”
Kata-kata yang membuat Jingga hanya bisa menitikan air mata, ia tak sanggup berkata-kata lagi.
Sebuah curahan hati mereka masing-masing yang berakhir dengan senyuman di wajah mereka. Senyuman yang menjadi simbol atas kelegaan hati yang bergejolak, hati yang galau. Meski mereka tak dapat bersama, paling tidak hati mereka menjadi benar-benar lega, tak ada wajah murung atau bingung, tak ada lagi beban berat yang di timbulkan karena perasaan yang terus menghantui hati meraka.
Tiba-tiba dari belakang, Senja yang ternyata sudah sedari tadi berada di balik pilar itu dan sempat mendengar semua pembicaraan tadi, berjalan mendekat ke arah Jingga dan Arya dengan berkata setelah jaraknya tak jauh dari mereka. “dan aku juga akan lebih bijak jika aku tak ikut merebut Arya dari cinta kalian. Mungkin aku bisa memiliki tubuh Arya, tapi sekarang aku tau, aku tak mungkin bisa memiliki cintanya. Dan aku juga lebih memilih persaudaraan dan persahabatan. Aku nggak mau kehilangan saudaraku lagi, aku sayang kamu adekku” lalu ia memeluk erat Jingga yang sudah menghadap ke belakang sejak mendengar suara Senja. “dan kita tetap berteman kan Ar?”
“itu pasti”
“dan aku akan menjadi yang paling bijak jika aku tak memaksakan apa yang tak ada dalam hati dan mau mengembalikan kepada yang semestinya apa yang tanpa sengaja sudah aku ambil. Kamu memang semestinya dengan Arya, dan kamu Ar, kamu yang lebih bisa membahagiakan Jingga” ucapnya juga setelah keluar dari balik pilar yang satunya lagi dan yang jelas ia juga sudah sempat mendengarkan apa yang Jingga dan Arya bicarakan.
Bukan suatu kebetulan semata jika mereka berempat di pertemukan disana dan di sadarkan oleh suatu keputusan yang bijak, tapi semua itu karena sudah ada yang mengaturnya. Suatu pertemuan yang tak pernah mereka sangka akan menjadi seperti itu akhirnya, terutama Jingga dan Arya. Keputusan untuk saling ikhlas melepas satu sama lain demi sebuah persahabatan dan tak ingin melukai hati orang lain dan mencoba lebih bijak dalam mengambil keputusan justru mampu mengembalikan apa yang semestinya ia dapatkan dan ia miliki, cinta yang semestinya.
ΩΩΩΩΩ