Meski sudah mendapat penjelasan dari temanya soal cinta,
hampir sebulan ternyata Arya masih merasa galau, ternyata soal cinta tak
semudah membalikkan telapak tangan, bingung apa yang harus ia lakukan.
Seandainya dirinya tak bertemu Senja, hatinya mungkin tak seperti itu lagi dan
kepalanya di penuhi oleh bayang-banyang Jingga lagi. Begitupun dengan Jingga,
hatinya terus berteriak, meronta, dan menuntut untuk memilih apa yang ia
katakan dan rasakan. Namun mereka berdua sama-sama tak mampu untuk saling mengungkapkannya.
Sedang perilaku Arya di depan Senja sudah mulai sedikit beda, tak sehangat dulu
walau mereka masih dalam status sahabat dan perilaku Jingga terhadap Dimas juga
sudah mulai beda kembali seperti dulu saat Jingga marah dengan Dimas.
Dalam
satu kesempatan, mereka tanpa sengaja di pertemukan berdua. Sebuah bangku yang
menghadap ke taman dan beberapa pilar besar di belakangnya, mereka duduk berdua
tanpa ada siapapun disana, suasana yang justru membuat meraka merasa canggung,
seakan mereka baru saja kenal satu sama lain. Sejak sapaan tadi, tak ada lagi
obrolan yang terdengar dari mereka, padahal sudah berlangsung hampir lima
menit.
“kenapa
kamu sendirian disini Ga?”
“kamu
gimana to Ar, kan tadi sudah tanya dan aku sudah jawab”
“o
iya lupa. Maaf” seakan-akan pertanyaan itu ia sengaja untuk memulai
pembicaraan.
“kamu
aneh”
Mata
mereka saling menatap hingga tajam dan menghentikan gelak tawa yang tadi sempat
tercipta dan keheningan terlahir kembali.
“o
iya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, sesuatu yang selalu mengganggu
pikiranku”
“apa
itu Ar”
“entah
harus aku mulai dari mana, yang pasti
ada perasaan yang sulit aku hilangkan di hati ini karena kamu. Apalagi semenjak
kehadiran Senja, perasaan itu semakin bertambah kuat, tapi bukan ke Senja,
tetap ke kamu. Entah kenapa saat aku berdua dengan dia, justru yang mucul hanya
bayang-banyangmu”
“kamu
sudah jadian dengan dia?”
“belum
Ga. Justru ini yang membuat aku nggak bisa dengan dia. Jika aku paksakan, yang
ada hanya kebohongan. Dan aku putuskan untuk tetap berteman saja dengan dia.
Dan satu lagi, aku mengatakan semua ini bukan berarti aku menembakmu, aku hanya
mengutarakan apa yang aku rasakan yang membuatku jadi seperti ini dan nggak
bermaksud untuk merebutmu dari Dimas, aku sudah putuskan sejak lama untuk mengikhlaskan
kamu bersamanya. Aku harap setelah aku mengatakan semua ini, aku bisa lega,
bisa lagi tersenyum melihat kalian bahagia”
“aku
juga Ar, sebenarnya aku juga sayang sama kamu”
“apa
karena kamu tau puisi-puisi itu milikku?”
“bukan
Ar, jauh sebelum itu, bahkan sebelum aku jadian dengan Dimas, tapi akhirnya
Dimas yang lebih dulu menembakku dengan puisi-puisi itu yang aku syaratkan. Dan
aku ndak ingin mengingkari janjiku sendiri, siapa saja yang bisa meluluhkan
hatiku dengan puisi, aku mau menerimanya. Tapi jauh kesini, ternyata aku salah,
ternyata cinta bukan dari sebuah puisi, cinta itu dari hati itu sendiri. Dan
hati ini lebih memilih kamu Ar. Tapi semua itu sudah terlambat, aku ndak
mungkin meninggalkan Dimas, aku ndak mau menghancurkan persahabatan kalian jika
aku meninggalkan dia hanya demi untuk bisa bersama kamu dan aku juga ndak mau
nyakitin hati dia yang sudah mencintai aku”
“cinta
memang aneh, tapi alangkah bijaknya jika kita mau berfikir apa yang terjadi
setelah cinta itu tercipta. Cinta tercipta bukan untuk menyakiti hati orang
lain, cinta tercipta bukan untuk menghancurkan hubungan orang lain. Dan kita
tau apa yang harus kita lakukan”
“dan
cinta itu anugrah yang di atas, dan Dialah yang lebih tau”
“meski
kita tak bisa saling memiliki, setidaknya kita masih bisa berteman. Aku selalu
berdoa agar Dimas bisa membahagiakan kamu selamanya. Aku kenal dia sudah lama,
dan dia sudah berubah hanya karena kamu. Dan ijinkan aku melihat kamu kalian
bahagia bersama”
Kata-kata
yang membuat Jingga hanya bisa menitikan air mata, ia tak sanggup berkata-kata
lagi.
Sebuah
curahan hati mereka masing-masing yang berakhir dengan senyuman di wajah
mereka. Senyuman yang menjadi simbol atas kelegaan hati yang bergejolak, hati
yang galau. Meski mereka tak dapat bersama, paling tidak hati mereka menjadi
benar-benar lega, tak ada wajah murung atau bingung, tak ada lagi beban berat
yang di timbulkan karena perasaan yang terus menghantui hati meraka.
Tiba-tiba
dari belakang, Senja yang ternyata sudah sedari tadi berada di balik pilar itu
dan sempat mendengar semua pembicaraan tadi, berjalan mendekat ke arah Jingga
dan Arya dengan berkata setelah jaraknya tak jauh dari mereka. “dan aku juga
akan lebih bijak jika aku tak ikut merebut Arya dari cinta kalian. Mungkin aku
bisa memiliki tubuh Arya, tapi sekarang aku tau, aku tak mungkin bisa memiliki
cintanya. Dan aku juga lebih memilih persaudaraan dan persahabatan. Aku nggak
mau kehilangan saudaraku lagi, aku sayang kamu adekku” lalu ia memeluk erat
Jingga yang sudah menghadap ke belakang sejak mendengar suara Senja. “dan kita
tetap berteman kan Ar?”
“itu
pasti”
“dan
aku akan menjadi yang paling bijak jika aku tak memaksakan apa yang tak ada
dalam hati dan mau mengembalikan kepada yang semestinya apa yang tanpa sengaja
sudah aku ambil. Kamu memang semestinya dengan Arya, dan kamu Ar, kamu yang
lebih bisa membahagiakan Jingga” ucapnya juga setelah keluar dari balik pilar
yang satunya lagi dan yang jelas ia juga sudah sempat mendengarkan apa yang
Jingga dan Arya bicarakan.
Bukan
suatu kebetulan semata jika mereka berempat di pertemukan disana dan di
sadarkan oleh suatu keputusan yang bijak, tapi semua itu karena sudah ada yang
mengaturnya. Suatu pertemuan yang tak pernah mereka sangka akan menjadi seperti
itu akhirnya, terutama Jingga dan Arya. Keputusan untuk saling ikhlas melepas
satu sama lain demi sebuah persahabatan dan tak ingin melukai hati orang lain
dan mencoba lebih bijak dalam mengambil keputusan justru mampu mengembalikan
apa yang semestinya ia dapatkan dan ia miliki, cinta yang semestinya.
ΩΩΩΩΩ